Minggu, 02 Desember 2012

MEDITASI

Meditasi Sufi

Sasaran dan maksud dari muraqabah/meditasi/rabithah syarif adalah untuk memperagakan kehadiran terus-menerus ke dalam realitas syekh. Semakin seseorang memelihara pelatihan ini, semakin terungkapkan manfaatnya dalam kehidupan sehari-harinya sampai pada titik dia mencapai tataran fana dalam hadirat Syekh. Orang harus tahu betul bahwa syekh adalah jembatan antara ilusi dan realitas dan dia berada di dunia ini hanya untuk tujuan itu. Jadi syekh adalah seutas tali yang khas yang diulurkan kepada setiap orang yang mencari kebebasan (dari ilusi), karena hanya syekh yang dapat memberikan layanan sebagai penghubung antara seseorang yang masih terikat kepada dunia dengan Hadirat Ilahi.

Agar menjadi fana di hadapan dan keberadaan syekh adalah menjadi fana dalam kenyataan, dalam Hadirat Ilahi, karena memang sesungguhnya di situlah dia berada.

Langkah 1

Bayangkan dirimu berada di hadapan syekh. Sampaikan salammu. Tutup matamu. Pandanglah melalui mata hatimu. Jangan mencari raut muka, melainkan hanya auranya saja, ruhaniah.


Sebagai awal, murid dapat memulai praktik muraqabah ini untuk jangka waktu pendek, antara 5 sampai 15 menit, dan secara bertahap menjalaninya menuju jangka waktu yang lebih panjang, bahkan merentang hingga berjam-jam sekali sesi.

Yang terpenting adalah bahwa seseorang mempertahankan sebuah praktik yang konsisten untuk mendapatkan manfaat dari praktik tersebut. Jauh lebih baik dan bijaksana untuk bertahap pada sesi yang pendek secara harian daripada disiplin dan praktik yang acak.

Sebuah upaya kecil yang dilakukan secara konsisten akan menghasilkan kemajuan luar biasa dalam waktu yang singkat.
  1. Ambillah wudhu dan shalat 2 rakaat (tahiyatul wudhu).
  2. Ucapkan Kalimat Syahadat (3 kali): Asy-hadu an laa ilaaha illa-llah wa asy-hadu anna Muhammadan `abduhu wa rasuuluh
  3. Istighfar (100-200 kali): Astaghfirulla al `Azhiim wa atuubu ilayh
  4. Surat al-Ikhlash (3 kali): Qul huwa-llaahu ahad/ Allaahu Shamad/ Lam yalid wal lam yuulad/ wa lam yakul- lahuu kufuwan aha
  5. Surat al-Fatiha
  6. Mencari dukungan dan kehadiran Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani dengan mengucapkan: Madad ya Sayyidi, Madadul-Haqq
  7. Minimal 200 kali mengulang kalimat dzikir, Madadul-Haqq, Madadul-Haqq
Langkah 2

Mata tertutup, mohon izin untuk menyambung cahaya beliau kepada hatimu dan cahayamu kepada hati beliau. Bayangkan sebuah kontak dua arah dan kemudian, baca awrad pada langkah 1.

Ketika seseorang duduk bermeditasi dan menutup matanya, dia memfokuskan pikirannya pada satu titik tunggal. Dalam hal ini titik itu biasanya adalah konsep dari mentor spiritualnya; dus dia memfokuskan seluruh kemampuan kesaksiannya memikirkan dengan konsentrasi penuh tentang guru spiritualnya agar mendapatkan gambaran atau citra mentornya pada layar mental, selama dia masih berada dalam status meditasi itu.

Sifat, karakteristik dan potensi yang terkait dengan sebuah citra juga dipindahkan pada layar pikiran ketika citra itu terbentuk pada layar mental dan pikiran menerimanya sesuai dengan itu.

Sebagai contoh, seseorang sedang memperhatikan api. Ketika gambaran tantang api itu dipindahlan ke layar pikiran, suhu dan panas api itu terekam oleh pikiran.

Seseorang yang hadir dalam sebuah taman menikmati kesegaran dan kesejukan pepohonan dan tanaman dalam taman itu untuk menciptakan gambaran itu semua pada layar pikirannya.

Begitu juga ketika gambaran mentor spiritual dipindahkan pada layar pikiran, Ilmu yang Dihadirkan yang beroperasi dalam diri guru spiritual, juga ikut dipindahkan dengan gambaran itu dan pikiran murid secara bertahap menyerap hal yang sama.

Langkah 3

Duduk bersimpuh, yang rapi, tetap bersimpuh, mata tertutup, tangan di tempat, mulut tertutup, lidah ditekuk ke atas, napas terkendali, telinga mendengar al-Quran, Shalawat atau suara sendu. Ruang gelap.


Meditasi, memikirkan tentang mentor spiritual, sebuah upaya untuk memfokuskan dengan konsentrasi pikiran kita kepada seseorang, sehingga citranya dapat dipantulkan secara berulang pada layar pikiran kita, (maka) kita terbebaskan dari keterbatasan indera.

Makin sering sebutir pikiran di tayangkan pada layar mental, makin jelas pula formasi (pembentukan) sebuah pola dalam pikiran itu. Dan, pola pikiran demikian ini, dalam istilah spiritualitas disebut ‘pendekatan pikiran.

Ketika kita membayangkan mentor spiritual atau Syaikh, sebagai sebuah hal dari hukum eternal, ilmu Elohistic Attributes yang beroperasi dalam Syaikh dipantulkan pada pikiran kita dengan ulangan yang berkali-kali menghasilkan pencerahan pikiran dari murid dengan cahaya yang berfungsi dalam diri Syaikh dan dilimpahkan kepadanya.

Pencerahan hati murid berusaha mencapai tataran atau tahap Syaikhnya. Dalam Sufisme, keadaan ini disebut ‘kedekatan, afinitas’ (nisbat). Cara terbaik dan telah teruji untuk menikmati kedekatan, menurut spiritualitas, adalah hasrat kerinduan dari cinta.

Pikiran Syaikh terus-menerus mentransfer kepada murid spiritualnya sesuai dengan kobaran cinta dan rindu akan Syaikh, yang mengalir di dalam diri murid dan datang suatu saat ketika cahaya beroperasi dalam diri Syaikh yang sesungguhnya adalah pantulan Tampilan Ilahiah yang Indah yang dipindahkan kepada murid spiritual itu.

Hal ini memungkinkan murid spiritual untuk membiasakan diri dengan Cahaya Gemilang dan Tampilan Indah. Keadaan ini, dalam istilah sufisme disebut ‘Menyatu dengan Syaikh (Fana fi Shaykh).

Cahaya Syaikh dan Tampilan Indah gemilang yang beroperasi dalam diri Syaikh bukanlah ciri pribadi Syaikh. Sebagaimana halnya murid spiritual, yang dengan perhatian dan konsentrasi penuh dedikasi, menyerap (asimilasi) ilmu dan ciri khas Syaikhnya, maka Syaikh juga menyerap ilmu dan busana Nabi dengan dedikasi pikiran dan konsentrasi penuh.
Langkah 3a

Posisi duduk: Posisi Teratai (yoga Lotus),

Wudhu adalah kunci sukses. Kapal Nabi Nuh as. melawan banjir kelalaian. Kebersihan adalah dekat dengan iman (ilahiah). Ingat bahwa bukanlah saya yang menghitung bahwa saya adalah bukan apa-apa, saya dan aku harus melebur kedalam dia. Syaikhku, Rasulku, menggiring kepada Rabbku
Dzikir dengan penolakan (laa ilaaha) dan pembenaran (illa Allah), dalam tradisi Masyaikh Naqsybandi, mensyratkan bahwa murid (sang pejalan) menutup matanya, menutup mulutnya, menekan giginya, melekatkan lidahnya ke langit-langit mulutnya, dan menahan (mengatur) napasnya.

Dia harus membaca dzikir itu melalui hatinya, dengan penolakan dan pembenaran, memulainya dengan kata LAA (“Tidak”). Dia mengangkat “Tidak” ini dari titik (dua jari) di bawah pusar kepada otaknya.

Ketika mencapai otaknya kata “Tidak” mengeluarkan kata ILAAHA (“sesembahan”), bergerak dari otaknya ke bahu Kanan, dan kemudian ke bahu Kiri di mana dia menabrak hatinya dengan ILLALLAH (“kecuali Allah”).

Ketika kata itu mengenai hatinya energi dan panasnya menjalar/memancar ke sekujur tubuhnya. Sang pejalan yang telah menyangkal semua yang berada di dunia ini dengan kata-kata LAA ILAAHA, membenarkan dengan kata-kata ILLALLAH bahwa semua yang ada telah dilenyapkan di Hadirat Ilahi.

Langkah 3
  1. Posisi Mulut dan Lidah
  2. Menutup matanya,
  3. Menutup mulutnya,
  4. Menekan giginya,
  5. Melekatkan lidahnya pada langit-langit mulutnya, dan menahan napas.
  6. (Secara perlahan-lahan memperlambat napas dan getaran jantungnya).

Tangan membawa rahasia yang dahsyat, mereka itu seperti antena parabolamu, pastikan bahwa mereka itu bersih dan berada dalam posisi yang semestinya.

Jadi ketika kamu memulai dengan tanganmu itu, menggosok-gosoknya, ketika mencucinya dan menggosok gosoknya untuk mengaktifkan mereka, itu adalah tanda dari (angka) 1 dan 0, dan kamu sedang mengaktifkan proses kode yang diberikan Allah I melalui tangan itu. Kamu mengaktifkan mereka.

  1. Mereka memiliki titik sembilan peluru yang terdiri dari keseluruhan sistem, seluruh tubuh. Ketika kamu menggosok jari-jari itu, sesungguhnya kamu mengaktifkan 99 Asma-ulhusna Allah.
  2. Dengan mengaktifkan mereka, kamu mengaktifkan 9 titik dalam tubuhmu.
  3. Dan ketika mengaktifkan mereka, itu adalah seperti menghidupkan receiver (pada radio/tv), energi mengalir masuk, itu mulai berfungsi untuk dapat menerima, memecahnya dalam bentuk kode digital yang dipancarkan keluar seperti gambar atau suara sebagaimana kita kenal di zaman ini (radio dan tv).
  4. Demikian juga halnya dengan tangan yang saling mengelilingi, itulah mengapa ketika kita menggosok-gosokkan da n membuka mereka, mereka mulai bertindak seperti lingkaran satu terhadap lainnya, menampung apapun energi yang datang, dan mereka ini mengelolanya. Lihatlah pada bagian Rahasia Tangan.
Langkah 4
  1. Posisi Tangan:
  2. Jempol dan telunjuk memperagakan posisi “Allah Hu” untuk kuasa/kekuatan terbesar
  3. Tangan diberi kode dengan kode angka arab, tangan kanan “18″, tangan kiri “81″ masing-masing dijumlahkan keduanya menjadi 9 dan dua 9 menjadi 99.
  4. Tangan diberi karakter dengan Asma-ul husna Allah. Dan nama ke-99 dari Rasul adalah Mustafa..
(lebih banyak lagi di depan)…

Bernapas dengan Sadar (“Hosh dar dam”)

Hosh artinya “pikiran” Dar artinya “dalam” Dam artinya “Napas”

Itu artinya, menurut Mawlana Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q), bahwa “Misi paling penting bagi pejalan dalam thariqat ini adalah menjaga napasnya, dan dia yang tidak dapat menjaga napasnya, akan dikatakan tentang orang itu, ‘dia telah tersesat/kehilangan dirinya.’”

Syah Naqsyband berkata, “Thariqat ini dibangun di atas (dengan pondasi) napas. Jadi adalah sebuah keharusan untuk semua orang menjaga napasnya di kala menghirup dan membuang napas, dan selanjutnya untuk menjaga napasnya dalam jangka waktu antara menghirup dan membuang napasnya.”

“Dzikir mengalir dalam tubuh setiap makhluk hidup oleh keharusan (kebutuhan) napas mereka  bahkan tanpa kehendak  sebagai sebuah tanda/peragaan ketaatan, yang adalah bagian dari penciptaan mereka.

Melalui napas mereka, bunyi huruf “Ha” dari Nama Ilahiah Allah dibuat setiap kali membuang dan menghirup napas dan itu adalah sebuah tanda dari Jati Diri (Dzat) Gaib yang berfungsi untuk menekankan Kekhasan Allahu Shamad. Maka adalah penting untuk hadir dengan napas seperti itu, agar supaya menyadari (merasakan) Jati Diri (Dzat) Maha Pencipta.”

Nama ‘Allah’ yang meliputi sembilan puluh sembilan Asma-ulhusna terdiri atas empat huruf: Alif, Lam, Lam dan Ha yang sama dengan suara napas – (ALLAH I).

Kaum Sufisme mengatakan bahwa Dzat Allah yang paling gaib mutlak dinyatakan oleh huruf terakhir itu yang dibunyikan dengan vokal Alif, “Ha”. Ini mewakili Gaib Absolut Dzat-Nya Allah I.

Memelihara napasmu dari kelalaian akan membawa mu kepada Hadirat sempurna, dan Hadirat sempurna akan membawamu kepada Penampakan (Visi) sempurna, dan Penampakan sempurna akan membawamu kepada Hadirat (Manifestasi) Asma-ulhusna Allah I yang sempurna.

Allah membimbingmu kepada Hadirat Asma-ulhusna-Nya, karena dikatakan bahwa, “Asma Allah adalah sebanyak napas makhluk”.

Hendaknya diketahui oleh semua orang bahwa melindungi napas terhadap kelalaian sungguh sukar bagi para pejalan. Maka mereka harus menjaganya dengan memohon ampunan (istighfar) karena memohon ampunan akan membersihkannya dan mensucikannya dan mempersiapkan sang pejalan untuk (menjumpai) Hadirat Benar (Haqq) Allah di setiap tempat.

Langkah 5
  1. Bernapas
  2. Menghirup melalui hidung – Dzikir = “Hu Allah”, bayangkan cahaya putih memasuki tubuh melalui perut.
  3. Menghembus  melalui hidung – Dzikir= “Hu”, bayangkan hitamnya karbon monoksida, semua perbuatan dosamu dikuras / didorong keluar dari dirimu.

“Pejalan yang bijak harus menjaga napasnya dari kelalaian, seiring dengan masuk dan keluarnya napas, dengan demikian menjaga hatinya selalu dalam Hadirat Ilahi;

dan dia harus menghidupkan napasnya dengan ibadah dan pengabdian dan mempersembahkankan pengabdiannya itu kepada Rabbnya dengan segenap hidupnya, karena setiap napas yang dihisap dan dihembuskan dengan Hadirat adalah hidup dan tersambung dengan Hadirat Ilahi.

Setiap napas yang dihirup dan dihembuskan dengan kelalaian adalah mati dan terputus dari Hadirat Ilahi.”

Untuk mendaki gunung, sang pejalan harus melintas dari dunia Bawah menuju Hadirat Ilahi. Dia harus melintas dari dunia ego keberadaan sensual (sensasi) menuju kesadaran jiwa terhadap Al Haqq.

Untuk membuat kemajuan dalam perjalanan ini, sang pejalan harus membawa gambaran Syaikhnya (tasawwur) ke dalam hatinya karena itu adalah cara paling kuat untuk melepaskan diri dari cengkeraman sensualnya.

Dalam hatinya Syaikh menjadi cermin dari Dzat Absolut. Jika dia berhasil, kondisi penisbian diri (ghayba) atau “absensi” dari dunia sensasi muncul dalam dirinya.

Sampai kepada tahap bahwa keadaan ini menguat dalam dirinya dan keterikatannya kepada dunia sensasi melemah dan menghilang, dan fajar dari Level Hilang Mutlak- Tidak Merasa- Selain Allah mulai menyinari dirinya.

Derajat tertinggi dari maqam ini disebut fana’.

Demikianlah Syah Naqsyband berkata, “Jalan terpendek kepada sasaran kita, yaitu Allah mengangkat tabir dari Dzat Wajah-Nya Yang Ahad yang berada dalam semua makhluk ciptaan-Nya.

Dia melakukan itu dengan (melalui) maqam ghayba dan fana’, sampai Dzat Agung (Majestic Essence) menyelimutinya dan melenyapkan kesadarannya akan segala sesuatu selain Dia. Inilah akhir perjalanan untuk mencari Allah dan awal dari perjalanan lainnya.”

“Pada akhir Perjalanan Pencarian dan Level Ketertarikan datanglah Level Perendahan Diri dan Penihilan.

Sasaran ini adalah untuk segenap ummat manusia sebagaimana disebut Allah dalam al-Qur’an, ‘Aku tidak menciptakan Jinn dan Manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.’ Beribadah di sini berarti Ilmu Sempurna (Ma`rifat).”

Langkah 6

Mengenakan busana Syaikh:

3 tahap perjuangan yang berkesinambungan:
  1. Memelihara Cintanya (Muhabbat),
  2. Memelihara Kehadirannya (Hudur),
  3. Melaksanakan Kehendaknya atas diri kita (Penihilan atau Fana).

Kita memiliki cinta kepadanya, jadi kini kenakanlah Cahayanya dan selanjutnya bayangkan segala sesuatunya dari titik (sudut) ini, dengan busana yang kita kenakan itu. Ini adalah penopang hidup kita.

Kamu tidak boleh makan, minum, shalat, dzikir atau melakukan apapun tanpa membayangkan bayangan Syaikh pada kita. Cinta ini akan menyatu dengan Hadirat Ilahi, dan ini akan membuka pintu Penihilan ke dalam-Nya.

Semakin seseorang menjaga ingatan untuk mengenakan busana dengan dia (Syaikh) semakin meningkatlah proses penihilan itu berlangsung. Kemudian penuntun itu akan meninggalkan dirimu di hadirat Rasul Allah Sayyidina Muhammad. Di mana sekali lagi kamu akan menjaga cinta kepada Rasul (Muhabbat), menjaga Hadiratnya (Hudur). Laksanakan kehendaknya atas diri kita (Penihilan atau Fana).

Fana fi Syaikh, Rasulullah, Allah

Penihilan Fana

Dalam keadaan spirit murid menyatu dengan spirit Syaikhnya, kemampuan Syaikh akan diaktifkan dalam diri muridnya, karena itu Syaikh menikmati kedekatan Nabi. Dalam situasi ini, dalam istilah sufisme disebut Penyatuan dengan Rasul  (Fana fi Rasul).

Ini adalah pernyataan Nabi, “Aku seorang manusia seperti kamu, namun aku menerima wahyu’. Jika pernyataan ini dicermati, kita melihat bahwa kemuliaan Nabi terakhir ini adalah bahwa beliau menerima wahyu dari Allah, yang mencerminkan Ilmu-ladduni, ilmu yang diilhamkan langsung oleh Allah, Pandangan yang Indah dari Allah dan Cahaya Gemilang ke dalam hati Nabi.

Dalam keadaan ‘Penyatuan dengan Nabi’ seorang murid karena emosinya, kerinduannya dan cintanya secara sedikit demi sedikit, langkah demi langkah, berasimilasi dan mengenali ilmu Nabi Suci.

Kemudian datanglah saat paling berharga, saat yang ditunggu-tunggu, ketika ilmu dan pelajaran ditransfer dari Nabi Suci kepadanya sesuai dengan kapasitasnya.

Murid itu menyerap karakter Nabi Suci sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya dan karena kedekatannya dengan Nabi Suci dan dukungannya dia dapat mencapai keadaan ketika dia mengenali Rabbil Alamin, ketika Dia menguraikan dalam al-Quran, Ya, sesungguhnya Engkau adalah Rabbi!

Kedekatan ini, dalam sufisme disebut Penyatuan dengan Allah’ (Fana fi-llah) atau singkatnya wahdat. Setelah itu, jika seseorang dikaruniai dengan kemampuan, dia akan membuat eksplorasi di daerah yang tentangnya cerita (narasi) tidak lagi memiliki kata-kata untuk menjelaskannya, karena kepekaan dan kehalusan situasinya.

Langkah 7

Menjadi sesuatu yang tidak ada, kendaraan sebening kristal untuk siapa pun yang ingin mengisi keberadaanmu dari Allah swt. Malikul Mulk.

MEDITASI CARA LAIN
Mengusahakan rumus yang pasti mengenai arti meditasi tidaklah mudah, yang dapat dilakukan adalah memberi gambaran berbagi pengalaman dari mereka yang melakukan meditasi, berdasarkan pengalaman meditasi dapat berarti : 

  1. Melihat ke dalam diri sendiri 
  2. Mengamati, refleksi kesadaran diri sendiri 
  3. Melepaskan diri dari pikiran atau perasaan yang berobah-obah, membebaskan keinginan duniawi sehingga menemui jati dirinya yang murni atau asli.
Tiga hal tersebut diatas baru awal masuk ke alam meditasi, karena kelanjutan meditasi mengarah kepada sama sekali tidak lagi mempergunakan panca indera ( termasuk pikiran dan perasaan ) terutama ke arah murni mengalami kenyataan yang asli. 

Perlu segera dicatat, bahwa pengalaman meditasi akan berbeda dari orang ke orang yang lain, karena pengalaman dalam bermeditasi banyak dipengaruhi oleh latar belakang temperamen, watak dan tingkat perkembangan spiritualnya serta tujuan meditasinya dengan kulit atau baju kebudayaan orang yang sedang melaksanakan meditasi. 

Secara gebyah uyah ( pada umumnya ) orang yang melakukan meditasi yakin adanya alam lain selain yang dapat dijangkau oleh panca indera biasa. Oleh karena itu mungkin sekali lebih tepat jika cara-cara meditasi kita masukkan ke golongan seni dari pada ilmu. Cara dan hasil meditasi dari banyak pelaku olah batin dari berbagai agama besar maupun perorangan dari berbagai bangsa, banyak menghasilkan kemiripan-kemiripan yang hampir-hampir sama, tetapi lebih banyak mengandung perbedaan dari pribadi ke pribadi orang lain. Oleh karena itu kita 

dapat menghakimi hasil temuan orang yang bermeditasi, justru keabsahan meditasinya tergantung kepada hasilnya, umpamanya orang yang bersangkutan menjadi lebih bijaksana, lebih merasa dekat dengan Tuhan, merasa kesabarannya bertambah, mengetahui kesatuan alam dengan dirinya dan lain-lainnya. 

Keadaan hasil yang demikian, sering tidak hanya dirasakan oleh dirinya sendiri, tetapi juga oleh orang-orang ( masyarakat ) di sekitar diri orang tersebut karena tingkah-lakunya maupun ucapan-ucapannya serta pengabdiannya kepada manusia lain yang membutuhkan bantuannya, mencerminkan hasil meditasinya. 

Cara-cara dan akibat bermeditasi. 

Cara bermeditasi banyak sekali. 

Adapun yang memulai dengan tubuh, arti meditasi dengan tubuh adalah mempergunakan menyerahkan tubuh ke dalam situasi hening. Lakuknya adalah dengan mempergunakan pernafasan, untuk mencapai keheningan, kita menarik nafas dan mengeluarkan nafas dengan teratur. Posisi tubuh carilah yang paling anda rasakan cocok / rileks, bisa duduk tegak, bisa berbaring dengan lurus dan rata. Bantuan untuk lebih khusuk jika anada perlukan, pergunakan wangi-wangian dan atau mantra, musik yang cocok dengan selera anda, harus ada keyakinan dalam diri anda, bahwa alam semesta ini terdiri dari energi dan cahaya yang tiada habis-habisnya. Keyakinan itu anda pergunakan ketika menarik dan mengeluarkan nafas secara teratur. Ketika menarik nafas sesungguhnya menarik energi dan cahaya alam semesta yang akan mengharmoni dalam diri anda, tarik nafas tersebut harus dengan konsentrasi yang kuat. Ketika mengelurkan nafas dengan teratur juga, tubuh anda sesungguhnya didiamkan untuk beberapa saat. Jika dilakukan dengan sabar dan tekun serta teratur, manfaatnya tidak hanya untuk kesehatan tubuh saja tetapi juga ikut menumbuhkan rasa tenang. 

Bermeditasi dengan usaha melihat cahaya alam semesta, yang dilakukan terus menerus secara teratur, akan dapat menumbuhkan ketenangan jiwa, karena perasaan-perasaan negatif seperti rasa kuatir atau takut, keinginan yang keras duniawi, benci dan sejenisnya akan sangat berkurang, bahkan dapat hilang sama sekali, yang hasil akhirnya tumbuh ketenangan. Meditasi ini harus juga dilakukan dengan pernafasan yang teratur. 

Kesulitan yang paling berat dalam bermeditasi adalah “ mengendalikan pikiran dengan pikiran “ artinya anda berusaha “ mengelola “ pikiran-pikiran anda, sampai mencapai keadaan “ Pikiran tidak ada “ dan anda tidak berpikir lagi, salah satu cara adalah “ mengososngkan pikiran “ dengan cara menfokuskan pikiran anda kepada suatu cita-cita, umpamanya cita-cita ingin menolong manusia manusia lain, cita-cita ingin manunggal dengan Tuhan. Cita-cita ingin berbakti kepada bangsa dan negara, cita-cita berdasarkan kasih sayang dan sejenis itu menjadi sumber fokus ketika hendak memasuki meditasi. Secara fisik ada yang berusaha “ mengosongkan pikiran 

“ dengan memfokuskan kepada “ bunyi nafas diri sendiri “ ketika awal meditasi, atau ada juga yang menfokuskan kepada nyala lilin atau ujung hidung sendiri. 

Jika proses meditasi yang saya lukiskan tersebit diatas dapat anda lakukan dengan tepat, maka anda dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dalam pengertian spiritual, yang akibatnya pasti baik untuk diri anda sendiri, mungkin juga bermanfaat untuk manusia lain 

Sesuatu itu jangan dijadikan tujuan meditasi, karena hasil sesuatu itu adalah hasil proses meditasi, bukan tujuan meditasi. 

Jika dalm proses tersebut pikiran anda belum dapat anda “ kuasai atau hilangkan “ janganlah putus asa atau berhenti, tetapi juga memaksakan diri secara keterlaluan. Pengembangan selanjutnya dari proses meditasi tersebut, anda sendiri yang akan menemukan dan meneruskannya, karena berciri sangat pribadi. 

Untuk dapt berhasil anda sangat perlu memiliki motivasi yang cukup pekat dan dalam, sehingga dengan tiada terasa anda akan bisa khusuk dalam keheningan bermeditasi. Jika menemui sesuatu, apakah itu cahaya atau suara atau gambaran-gambaran, jangan berhenti, teruskan meditasi anda. Pengalaman sesudah keadaan demikian, hanya andalah yang dapat mengetahui dan merasakannya, karena tiada kata kalimat dalam semua bahas bumi yang dapat menerangkan secara gamblang. Dalam keadaan demikian anda tidak lagi merasa lapar, mengantuk bahkan tidak mengatahui apa-apa lagi, kecuali anda tersadar kembali. Biasanya intuisi anda akan lebih tajam sesudah mengalami proses meditasi yang demikian itu, dan mungkin pula memperoleh “ pengetahuan “ tentang alam semesta atau lainnya. 

Di dalam serat Wulang Reh, karya “kasusastran” Jawa (dalam bentuk syair) yang ditulis oleh Kanjeng Sunan Paku Buono IV, terdapat juga ajaran untuk hidup secara asketik, dengan mana usaha menuju kasampurnaning urip 

Pada gulangen ing kalbu ing sasmita amrih lantip aja pijer mangan nendra kaprawiran den kaesti pesunen sarira nira sudanen dhahar lan guling (Intinya, orang harus melatih kepekaan hati agar tajam menangkap gejala dan tanda-tanda. termasuk ajaran tak boleh mengumbar nafsu makan serta tidur). 

SAMADI 

Samadi berasal dari kata : Sam artinya besar dan Adi artinya bagus atau indah. Seseorang yang melakukan samadi adalah seseorang yang mengambil posisi-patrap untuk meraih budi yang besar, indah dan suci. 

Budi suci adalah budi yang diam tanpa nafsu, tanpa keinginan dan pamrih apapun. Inilah kondisi suwung ( kosong ) tetapi sebenarnya ada aktifitasdari getaran hidup murni murni sebagai sifat-sifat hidup dari Tuhan. 

Budi suci terlihat seperti cahaya atau sinar yang disebut Nur, Nur itu adalah hati dari budi. Kesatuan dari budi dan nur secara mistis disebut curigo manjing warongko atau bersatunya kawula dan Gusti atau juga biasa digambarkan Bima manunggal dengan Dewa Ruci. 

Istilah lainnya ialah Pangrucatan atau Kamukswan, pangrucatan itu arinya dilepas, apa yang dilepas ? pengaruh dari nafsu . mukswa artinya dihapus, apa yang dihapus ? pengaruh dari nafsu, oleh karena itu samadi adalah satu proses dari penyucian budi, budi menjadi nur. Di dalam nur ini, kawula bisa berkomunikasi dengan Gusti untuk menerima tuntunan sesuai dengan kedudukannya sebagai kawula. 

Praktek Samadi 

Waktu bersamadi orang bisa mengambil posisi duduk atau tidur telentang diatas tempat tidur. Pilihlah tempat yang bersih, tenang dan aman, bernafaslah dengan santai, pada posisi tidur kaki diluruskan, kedua tangan diletakkan didada. Dengarkanlah dengan penuh perhatian suara nafas dengan tenang, menghirup dan mengeluarkan udara melalui hidung. Ini akan membuat pikiran menjadi tidak aktif. Nikmatilah suara nafas dengan jalan menutup mata, ini sama seperti kalau memusatkan pandangan kepada pucuk hidung. Dengan melakukan ini, pikiran dinetralisir demikian juga angan-angan dan pengaruh panca indera. Sesudah itu nafsu dinetralisir didalam indera ke enam. Bila berhasil orang akan berada dalam suwung dan nur mendapatkan tuntunan mistis yang simbolis. 

Manusia. 

Manusia dicaptakan oleh Tuhan, manusia adalah makluk yangmempunyai : 

  1. Badan jasmani – badan kasar. 
  2. Badan jiwa – badan alus. 
  3. Badan cahaya – nur atau suksma 
Dengan susunan seperti tersebut diatas, diharapkan akan mampu mengetahui “ Sangkan Paraning Dumadi “ (makna perjalanan kehidupan) 

Memahami Jagad Raya. 

Sebelum adanya jagad raya, tidak ada apa-apa kecuali kekosongan dan suwung. Didalam suwung terdapat sifat-sifat hidup dari Tuhan, jagad raya adalah suatu Causa prima. Sifat-sifat hidup Tuhan terasa seperti getaran dan getaran ini terus menerus. Ada tiga elemen yang terdiri dari : 
1. Elemen merah dengan sinar merah, ini panas 2. Elemen biru dengan sinar biru, ini dingin 3. Elemen kuning dengan sinar kuning, ini menakjubkan. 
Elemen-elemen ini selalu bergetar. Sebagai hasil dari perpaduan ketiga elemen tersebut, elemen ke empat lahir dengan warna putih atau putih keperak-perakan dan inilah yang disebut nur. Nur itu adalah sari dari jagad raya, ada yang menjadi calon planet, ada yang menjadi badan budi atau jiwa yaitu badan jiwa dari manusia, ketika nur menjadi sari dari badan jasmani manusia. Itu artinya didalam jagad raya dan galaksi akan selalu dilahirkan planet-planet dan bintang-bintang baru. Kondisi dari planet-planet yang baru dilahirkan bisa berbeda antara yang satu dengan yang lain, karena tergantung kepada pengaruh dari tiga elemen tersebut, ada planet yang bisa dihuni dan yang tidak bisa dihuni. 
Miyos saking renteging hawa ambedah anggit prayitnaing pikir sesumeh bayu ayuning asih njembari pajar latuning titah ilang lunganing ngawang nemoni asrep reseping wening Ono sanepa kagem pepiling 
Wong kang ambudi daya kalawan anglakoni tapa utawa semedi kudu kanthi kapracayan kang nyukupi apa dene serenging lan kamempengan anggone nindhakake. Atine kudu santosa temenan supaya wong kang nindhakake sedyane mau ora nganti kadadeyan entek pengarep-arepe yen kagawa saka kuciwa dening kahanane badane, wong mau kudu nindakake pambudi dayane luwih saka wewangening wektu saka katamtuwaning laku kang dikantekake marang sawiji-wijining mantram lan ajaran ilmu gaib awit gede gedening kagelan iku ora kaya wong kang gagal enggone nindakake lakune rasa kuciwa kang mangkono iku nuwuhake prihatin lan getun, nganti andadekake ciliking ati lan enteking pangarep-arep. Sawise wong mau entek pangarep arepe lumrahe banjur trima bali bae marang panguripan adat sakene mung dadi wong lumrah maneh. 

Kawruhana wong kang lagi miwiti ngyakinake ilmu gaib sok sok dheweke iku mesthi nemoni kagagalan kagagalan kang nuwuhake rasa kuciwa. Sawijining wewarah kang luwih becik tumrap wong kang lagi nglakoni kasutapan iya iku ati kang teguh santosa aja kesusu-susu lan aja bosenan ngemungake wong kang anduweni katetepan ati lan santosaning sedya sumedya ambanjurake ancase iya iku wong kang bakal kasembadan sedyane. Wong ngyakinake prabawa gaib iku anduweni kekarepan supaya dadi wong lanang temenan kang diendahake dening wong akeh, iya anaa ing ngendi wae enggone nyugulake dirine, Amarehe diwedeni ing wong 

akeh panguwuhe gawe kekesing wong yen anyentak dadi panggugupake lan gawe gemeter dirine, ditrisnani ing wong akeh pitembungane digatekake lan pakartine diluhurake ing wong akeh, iya pancen nyata wong liyane mesthi tunduk marang sawijining wong kang ahli ilmu. 

Wong ahli kasutapan tansah yakin enggone ngumpulake kekuwatan gaib ing dalem dhirine. Ana paedahe kang migunani banget manawa wong nindakake pambudi daya kalawan misah dheweke ana ing papan kang sepi karana tinimune kekuwatan gaib iku sok-sok tinemu dhewekan ana ing sepen. Wong ahli kasutapan kudu budidaya bisane nglawan marang nepsune kekarepan umum (kekarepan wong akeh kang campur bawur ngumandang ana ing swasana), kalawan tumindak mangkono wong ahli kasutapan mau dadi nduweni pikiran-pikiran kang mardhika, iya pikiran-pikiran kang mangkono iku kang bisa nekakake kasekten gaib. 

Sangsaya akeh kehing kang kena tinides, uga sangsaya gedhe tumandhoning kekuwatan gaib kang kinumpulake. Kekuwatan gaib iku tansah makarti tanpa kendhat enggone mujudake sedya lan nganakake kekarepan. Wong ahli kasutapan kudu anduweni ati kang tetep lan kekarepan kan dereng, kalawan ora maelu marang anane pakewuh pakewuhe lan kagagalan-kagagalaning. Kasekten iku kaperang ana rong warna, iya iku kasekten putih (Witte magie/white magic) utawa kasekten ireng (Zwarte magie/Black Magic). Awit saka anane perangan mau banjur dadi kanyatan yen perangan kang sawiji iku becik, dene perangan liyane ala. 

Kasekten putih iku satemene ilmu Allah Kang Maha Luhur wis mesthi bae kapigunakake mligi kanggo kaslametane wong akeh. Dene kasekten ireng iku ilmu kaprajuritan kang kapigunakake luwih-luwih kanggo nelukake kalayan paripaksa, sarta bakal anjalari kacilakaning wong liya. Ananing sakaro karone saka sumber ilmu Allah sarta sakaro karane iku padha dipigunakake kalawan atas asma Allah. Tinemune ilmu-ilmu kasekten iki saranane kalawan kekuwataning pikiran pikiran iku manawa kagolongake meleng sawiji bisa nuwuhake kekuwatan kaya panggendeng kang rosa banget tumrap marang apa bae kang dipikir lan disedya. 

Wong kang nglakonitapa kalawan nindakake laku-laku kang tinemtokake wis mesthi bae gumolonging pikirane bebarengan padha kumpul dadi siji sarta katujokake marang apa kang disedya kalawan mangkono iku kekuwatan daya anarik migunakake sarosaning kekuwatane banjur anarik apa kang dikarepake. Swasana kang katone kaya dene kothong bae iku satemene ana drate rupa-rupa kayata : geni murub emas kayu lemah waja, electrieiteit zunrstof koolzunr sarpaning Zunr lan isih akeh liya-liyane maneh. 

Samengko umpamane ban ana sawijining wong kang lagi tapa kalawan duwe sedya supaya andarbeni daya prabawa kang luwih gedhe sarta anindakake sakehing kekuwatan pikiran kalawan ditujokake marang sedyane mau nganti nuwuhake daya prabawa. Kekuwataning daya anarik saka pikiran iku banjur anarik dzat ing swasana kang pinuju salaras karo daya prabawa mau kalawan saka sathithik sarta sareh dzat daya prabawa kang ing swasana iku katarik mlebu ing dalem badane wong kang lagi tapa mau. Kalawan mangkono dzat “prabawa” iku dadi kumpul ing 

dalem badane wong narik dzat iku nganti tumeka wusanane badane wong ahli tapa, iku bisa metokake daya prabawa kang gedhe daya karosane. 

Wong kang andarbeni ilmu kang mangoko iku dadi sawijining wong kang sakti mandraguna. Tumrap wong-wong kang nglakoni tapa ditetepake pralambang telu : Diyan, Jubah lan Teken. Diyan minangka pralambanging pepadhang, tumrap kahanan kang umpetan utawa gaib. Jubah minangka dadi pralambange katentremaning ati kang sampurna, dene teken minangka dadi pralambanging kekuwatan gaib. 

Ing dalem sasuwene wong nglakoni tapa iku prelu banget kudu migateake marang sirikane, kayata : wedi, nepsu, sengit, semang-semang lan drengki. Rasa wedi iku sawijining pangrasa kang luwih saka angel penyegahe. Menawa isih kadunungan rasa wedi ing dalem atine wong ora bakal bisa kasambadan apa kang disedyaak. Kalawan “rasa wedi” iku atining wong dadi ora bisa anduweni budi daya apa-apa. 

Sajrone nglakoni tapa utawa salagine ngumpulake kekuwatan gaib, atining wong iku mesthi kudu tetep tentrem lan ayem sanadyan ana kadadeyan apa wae. Manawa atine wong iku nganti gugur, kasutapan iya uga dadi gugur lan kudu lekas wiwit maneh. Gegeman kalawan wadi sakehing ilmu gaib lkang lagi pinarsudi, luwih becik murih nyataning kasekten tinimbang karo susumbar kalawan kuwentos kayakenthos. 

“Nepsu” iku andadekake tanpa dayane kekuwataning batin. “Semang-semang” iku andadekake ati kang peteng ora padhang terang. “Sengit utawa drengki” iku uga dadi mungsuhing kekuwatan gaib. Wong kang lagi nindakake katamtuwan ing dalem kasutapan kudu kalawan ati kang sabar anteng lan tetep. Patrapebadan kang kaku lan kagugupan kudu didohake . 

Aja sok singsot 
  • Aja duwe lageyan sok nethek nethek kalawan driji tangan marang meja kursi utawa papan liyane. 
  • Aja ngentrok-entrokake sikil munggah mudhun. 
  • Aja sok anggigit kukuning dariji tangan. 
  • Aja mencap-mencepake lambe. 
  • Aja molahake lidhah lan andhilati lambe. 
  • Aja narithilake kedheping mata. 
Ngedohake sakehing saradan utawa bendana kang ora becik, kayata glegak-glegek molah-molahake sirah, kukur-kukur sirah, ngangkat pundhak lan liya-liyane sabangsane saradan kabeh. 

Satemene perlu banget nyirnakake kekarepan “drengki” luk wit ngrasaning karep drengki iku banget nindhih marang diri pribadi. Ana maneh “drengki” iku kaya anggawa sawijining pikulan abot kang tansah nindhes marang dhiri lan sarupa ana barang atos medhokol kang angganjel pulung ati. “Drengki lan meri” iku mung anggawa karugiyan bae tumrap kita, ora ana gunane sathithik -thithika. Salawase wong isih anduweni pangrasan karep “drengki lan meri” iku ora bakal bisa tumeka kamajuwane tumrap dunya prabawaning gaib. 

Ora mung tumindak bae tumrap sawijining wong bae bisa maluyakake wong liya kalawan kekuwatan gaib nanging uga tumindak tumrap sawijining wong maluyakake dhiri pribadi kalawan kekuwatan iku. Bisane maluyakake larane wong liya, mesthine kudu ngirima kekuwatan waluya marang sajroning badane wong kang lara. Manawa wong gelem naliti yen wong iku bisa ngumpulake kekuwatan gaib ing dalem badane dhewe lan ngetokake sabageyan kekuwatan gaib kawenehake marang wong liyane mestheni uwong bisa ngreti yen arep migunakake kekuwatan iku nganggo paedahe dhiri dhewe uga luwih gampang. 

Supaya bisa nindhakake pamaluya marang dhirine dhewe kalawan sampurna wong ngesthi kudu mahamake cara-carane maluyakake panyakit. Iya iku cara-cara kang katindakake kanggo maluyakake wong liya lan wusanane ambudidaya supaya bisa migunakake obah-obahan iku marang awake dhewe. 

Kawitane wong kudu nindakake patrape mangreh napas, kanggo negahake asabat. Dene carane ngatur napas iku kaprathelakake kalayan ringkes kaya ing ngisor iki : 

Madika panggonan kang sepi. 

  1. Lungguha ing sawijining palinggihan kang endhek lan kepenak, sikil karo pisan tumapak ing lemah. 
  2. Badan kajejegake lan janggute diajokake. 
  3. Benik-beniking klambi kang kemancing padha kauculan, sabuk uga diuculi supaya sandangan dadi longgar lan kepenak kanggo tumindhak ing napas. 
  4. Pikiran katarik mlebu, supaya luwar saka sakehing geteran pikiran kaya saka ing jaba. 
  5. Sakehing urat-urat kakendokake. 
  6. Banjur narika napas kalawan alon lan nganti jero banget tahanen napas iku sawatara sekon/detik (kira-kira 6 detik) lan wusanane wetokna napas iku kalawan sareh. 
  7. Anujokna gumolonging pikiran kalawan ngetut marang napas kang mlebu metu iku kalawan giliran. Cara nindakake napas kaya ing ngisor iki : 
  8. Narik napas kalawan alon lan nganti jero ing sabisane, nganti dhadha mekar lan weteng dadi nglempet. 
  9. Nahan napas iku kira-kira nem saat utawa luwih suwe ing dalem paru-paru dhadhane cikben lestari mekare, lan wetenge cikben lestaringlempetake kalawan mangkono iku gurung dalaning napas tansah tetep menga. 
  10. Ambuangna napas kalawan alon nganti entek babar pisan nganti dhadha dadi kempes, lan weteng dadi mekar. 
  11. Banjurna marambah-rambah matrapake mangkono iku suwene kira-kira saka lima tumeka limolas menit utawa luwih suwe nganti bisa nemoni pangrasa anteng lan tentrem ing sajroning badan. 
Carane matrapake kasebut ing dhuwur iku sawijining cara kanggo napakake napas, iki kena lan kudu ditindakake saben dina telung rambahan, dening sapa bae kang nglakoni tapa supaya oleh ilmu gaib. Daya kang luwih bagus iya iku miwiti makarti miturut pituduhan. Aja weya nindakake patrap kanggo napakake napas iku. 

Cara matrapake tumindaking napas iku kena uga ditindakake kalayan leyeh-leyeh mlumah : ngendokake sakabehing urat-urat nyelehake tangan karo pisan sadhuwuring weteng lan nindakake lakuning napas miturut aturan. Daya ngisekake Prana Ngadeg kalawan jejeg sikil karo pisan kapepetake dadi siji lan driji -drijining tangan karo pisan dirangkep dadi siji kalawan longgar. 

Banjur matrapa lakuning napas sawatara rambahan miturut aturan. Gawe segering utek lungguha kalawan jejeg lan nyelehna tangan karo pisan ing sandhuwuring pupu kiwa tengen: mripat mandheng marang arah ing ngarep kalawan tetep: sikil karo pisan tumadak ing lemah. Kalawan jempol tangan tengen anutup lenging grana sisih tengen lan anarika napas liwat lenging grana sisih kiwa, wusana nglepasake jempol iku banjur ambuwang napas lan nutupa lenging grana kiwa kalawan driji narika napas liwat lenging grana tengen, lepasna driji panutup iku lan ambuwanga napas. Mangkono sabanjure kalawan genti-genten kiwa lan tengen.

Tuntunan Samadhi    



MAKARTI NGANGGE BADAN PIKIR

Kita ngangge badan pikir, tegesipun kita makarti ngangge badan menika. Makarti ngangge badan pikir menika, kadosta: ingkang nama mikir, anggagas, manah, lsp, ingkang badhe kula aturaken ing ngandhap menika pilah-pilahipun:

1. Mikir

Mikir menika kadosta :

  1. Madosi kepanggihipun 85 x 85 wonten pinten, menika sarana mikir.
  2. Pametu Rp. 8.300,— dipangan wong pitu, sesasi, bisane cukup kepriye? mikir.
  3. Anggunggung, nyuda, ngedum (mbage) nangkaraken, inggih sarana mikir.
  4. Ngudi sagedipun kadumugen ingkang dados kajeng kula (ingkang kula kepengini) ....mikir.
  5. Ngoyak ingkang dados esthi kula, ingkang dados idham-idhaman kula, ingkang dados cita-cita kula, mikir.
  6. Lumahing bumi samangke menika kebak wewangunan boten kantenan kathahipun, gontas-gantos sipatipun, kadosta : griya, margi, tetumpakan, lsp, menika sadaya wohing pikir.
Cekakipun: manusa gesang, saking garegah tangi tilem dumugi mangke mapan tilem, tansah memikir.

Prasasat sadaya pakarti kita menika ngangge dipunpikir. Dene ingkang boten dipunpikir menika jalaran sampun apal, sampun dados kabiyasan, kadosta ingkang kawastanan saradan.
Wonten ugi pakarti ingkang dede kabiyasan, dede saradan, lan boten saking apal, nanging boten dipun-pikir rumiyin, menika nama pakarti awur-awuran, nekad, amuta-tuli, ngawur.

Sadaya menika kirang prayogi. Saya ingkang nama anutbyung.
Mikir menika pakarti ingkang mbekta kita dhateng padunungan lan kawontenan kita samangke menika.
Mikir menika kenging kagambar kados dene lampahing kapal ingkang mbekta tetumpakan : ingkang saweg kita turnpaki. Awas:
Yen kapal mbandhang sapurun-purun, tetumpakan saged kacemplung jurang, kita katut !! Mikir menika sarat mutlak tumrap ngagesang.

2. Nggagas


Nggagas menika inggih nunggil misah kemawon kaliyan mikir. edanipun 

  1. Ngetang (nggunggung, nyuda, nangkaraken, mara) lan milang (ji, ro, lu, pat, ma, lss) menika dede "nggagas".
  2. Gajih semono, bisane cukup dipangan wong semono, rekane kepriye...? menika inggih dede nggagas malih.
Nanging : lha wong pametu mung semono, dipangan wong semana kehe, kok bisa cukup, kuwi kepriye, to?.... menika kedah dipun gagas. Menawi sampun kepanggil wangsulanipun, kita lajeng wicanten ing salebetipun manah : "Nek tak gagas, Pangeran iku ya adil temenan olehe ngedum rejeki…..!!!

3. Manah (nggalih), nglimbang-nglimbang, ngonceki, ngolak-alik, nggoleki

  • Menika sadaya sami kaliyan nggagas. Nanging limrahipun kadamel gampil kemawon: sadaya dipunwastani :mikir.
  • Tiyang saweg main catur (schaken), halma, macanan, ceki, pei, lsp. menika sadaya rak sami ngangkah sagedipun menang, ta ?
  • Sadangungipun sami main makaten, sepen, boten wonten ingkang gineman, utawi awis sanget ingkang gineman. Menapa sami ngantuk? Sami tilem? Rak boten, ta? Nanging sadaya sami……??
  • Ing wekdal menika, yen kula rongeh, goreh, boten nyuwiji, pikir kula byang-byangan boten kantenan, boten meleng, boten gekoncentreerd, temtu gampil kawonipun. Makaten ugi, jen nalika main menika kula kinemulan raos gela, benter, kuwatos, muring cekakipun yen sinawung ing raos boten sumeleh, boten tentrem, ……. wee, sampun ngadjeng ajeng badhe menang.
  • Dados: manah, nggalih, lsp. menika wau lampahipun utawi pakartinipun: kados anggen kita njinggleng ngudi badhe menang main menika wau.
4. Ngeling-eling
  • Ngeling-eling (ngenget-enget) menika makaten
  • "Mengko dhisik, priyayi iki kok kaya-kaya aku wis tau kepethuk. Neng ngendi, ya....??
  • Dados: ngenget-enget menika sami kaliyan madosi menapa¬menapa ingkang sampun sumimpen ing ndalem cipta. "Jajal pikiren, priyayi iki wis tau kepethuk kowe neng ngendi ?" Ukara makaten menika rak boten sakeca wonten ing pamireng, ta? Boten sakecanipun, awit panganggenipun tembung "pikiren" menika lepat, leresipun "eling-elingen ".
  • Wong mung panganggone tembung "mikir" wae kok ndadak dirembug. Ngekeh-ekehi gunem. Perkara bener luputing ukara, kepenak utawa ora kepenake neng kuping, mbok ya men, kanggo apa dirembug ??!!
  • Coba rungokna : guneme sadulur kita ndesa, apa ana ukarane sing netepi parama-sastra ? Ewadene gayeng. Sing perlu kuwi rak olehmu nyurasa. Lha samangke bab "nyuraos".
5. Nyuraos

Nyuraos, memper nggagas ugi, wonten bedanipun kaliyan mikir. "Jajal 15 X 8 ana pira, surasanen..!! Ukara makaten menika rak boten leres, ta ?
Samangke para sadherek kula aturi nyuraos piyambak, menapa ingkang dados maksud kula ngaturi keterangan bab lenggahipun tembung "mikir" lsp kados ingkang katur ing ngajeng menikawau.

6. Nyipta

Nyipta menika damel wewujudan (gambar) ing salebeting manah. Damel wewujudan ingkang bakal utawi badhenipun: (a) boten ketingal, (b) ketingal, wohipun nama : Cipta. Sadaya wewujudan sami nggadhahi daya. Wujud sae nggadhahi daya sedhep wonten ing paningal. Wujud awon: sepet wonten ing mripat. Kita sami katuwuhan raos seneng, gembira suka, yen sumerep wewujudan sae ing sakiwa tengen kita. Nanging sedhih, bunek, sepet, yen wewujudan wau boten kantenan. Kaendahan nuwuhaken raos suka. Pramila ing Jagad Raya dipunparingi sekar-sekar endah. Boten namung wewujudan ing kuwadhagan kemawon ingkang nggadhahi daya makaten menika. Wewujudan ing cipta semanten ugi. Cipta nggadahi daya.

DAYANING CIPTA

1. Gedachte-kracht

Para sadherek, manawi panjenengan pirsa wewujudan awon, rak kirang rena, to ? Nanging wewujudan sae saged nggigah raos pirena, kados atur kula ing ngajeng wau. Awit saking menika, kita lajeng sami ngedisarira. Perluni pun namung badhe ngwontenaken wewujudan utawi sesawangan ingkang boten damel sepeting mripat. Dene kok lajeng wonten ingkang kenyut utawi gandrung, makaten menika dede lepatipun ingkang sami ngedi sarira. Kosok-wangsulipun, yen kita sumerep wewujudan awon, saya yen sumerep ingkang ngajrih-ajrihi kita lajeng ketuwuhan raos ingkang boten sakeca.
Dados yen makaten, wewujudan menika nggadhahi daya ingkang tumama (ngengingi) raos (jiwa) kita.

Makaten menika boten namung wewujudan ing kuwadhagan kemawon, kados atur kula ing-nginggil; ingkang alus, ingkang wonten salebeting cipta, ingkang dipun wastani cipta (gedachte utawi gedachte-beeld) kasebut ing nginggil, ugi makaten.


Kula ambali malih murih saya kiyat atur kula : Cipta nggadhahi daya.
Daya ingkang asal saking cipta dipun-wastani dayaning cipta, tiyang Walandi mastani gedachte-kracht. Dayaning cipta boten kasat-mripat, nanging sampun dipun gegampil, sampun dipun sapelekaken. Dayaning cipta boten namung tumama ing sarira panjenengan piyambak, nanging ugi dhateng garwa putra, dhateng sadaya tiyang salebeting brava (gezin). Sumarambah dhateng kanan kering kita, dhateng masyarakat kita. Ugi dhateng masyarakat ageng.

Dayaning ciptanipun biyung ingkang badhe katetesan wiji, sampun tumama ing wiji ingkang badhe tumetes. Saya manawi wiji sampun tumetes, sampun wonten ing guava garba. Saya manawi wiji sampun agatra wonten ing guwa garba.

Bab menika sampun kita sumerepi wiwit ing king making. Tandhanipun yen wonten wilujengan mitoni (tingkeb), inggihmenika wilujengan rehne wiji sampun 7 wulan wonten ing guwa-garba: biyung dipunpurih ningali cengkir gadhing ingkang sampun wonten gambaripun Dewi Ratih lan Bathara Kamajaya.

Menika ngemu pangajap: mugi-mugi sang jabang ing tembe, yen lair jaler sageda ingkang bagus, yen estri sageda ingkang ayu, pinten banggi kados Bathara Kamajaya lan Dewi Ratih.
Pangajap makaten kemawon kok ndadak dipun sarengi gambar sae, cengkir kemawon kok inggih ingkang sae, gadhing. . . , !!
Makaten menika nelakaken: bilih pun pangajap sampun, sinawung ing kapitadosan, bilih gambar (wewujudan) sae, saged ndayani cipta sae; cipta sae saged nuwuhaken daya sae, ingkang temtu nabeti sae ing raos, ing jiwa, ing wiji ingkang wonten ing guwa garba. Samanten kemawon atur kula bab dayaning cipta (gedachte¬kracht).

2. Muja

Kacariyos Indradjit menika dede putranipun Prabu Dasamuka wujud jabang bayi lair saking Ibu, nanging mega dipun puja dados lare.
"Muja" tegesipun damel utawi ndadosaken menapa-menapa ingkang sampun wonten bahanipun (badhenipun), namung sarana kekiyataning cipta. Bedanipun kaliyan "nyipta" namung sawatawis. Muja menika sampun wonten badhenipun, nyipta, dereng. Kala-kala tembung "muja" angsal teges "muji" ingkang maksudipun sami kaliyan ngajap (mengharapkan mudah-mudahan ...)

3. Manungku puja Ian muja semedi

Kalih pisan maksudipun sami. Inggih menika nyawijekaken manah (pikir), namung maligi kangge muja. Anggenipun muja mantheng temenan, boten nolih mangiwa manengen.

KONSENTRASI

Meleng cipta, ngenengaken cipta, ngeningaken cipta.
Menika namung nunggil misah kemawon, sadaya ateges nyawijekaken manah (konsentrasi).
Tembung manca konsentrasi (concentratie) menika saking tembung tanduk: concentreeren ingkang tegesipun: meleng.
Meleng cipta = ngenengaken cipta = ngeningaken cipta = konsentrasi.
Cipta menika rongeh sanget, kados solahipun kupu. Mangka manah utawi nalar kita menika-kebak cipta, sadaya sami rongeh. Pramila yen boten dipun enengaken, inggih boten katingal cetha.
Mangka kangge pakarti menapa kemawon, kita kedah nggadahi gambaripun (ciptanipun) ingkang cetha rumiyin; yen boten, tumandang kula inggih boten kantenan.

Kita mbetahaken cipta cetha

  • Cipta cetha menika dipun sebut cipta wening (bening) utawi cipta ening.
  • Cipta sagedipun ening, kedah kendel rumiyin, kedah meneng rumiyin.
  • Cipta meneng = cipta eneng.
  • Cipta ingkang sampun eneng temenan, caged ening.
  • Eneng Ian eninging cipta sinangkan saking meleng (konsen¬trasi). Dipun-peleng lajeng meneng, nunten ening.
Para sadherek, mangga sami sasarengan mbuktekaken bilih cipta menika rongeh
Kita sadaya rak sampun sami pirsa sato-iwen ingkang nama bebek (kambangan) ?
Cobi, mangga sami mirsani wujudipun wonten salebeting cipta sakedhap kemawon. Mangga, menapa ingkang katingal.....? Rak boten, tumunnten: bebek, ta ?

MEDITASI & KONTEMPLASI

1. Manekung, tepakur

Kridhaning nalar ingkang nyarengi kridhaning raos, nama meditasi. Manekung, tepakur, menika inggih meditasi. Tiyang Walandi anggenipun negesi meditasi (meditatie) = overpeinzing bespiegeling = overweging. Sadaya menika kirang langkung sami kaliyan nggagas lan nyuraos.
Biyasanipun ingkang dipun-suraos namung babagan kebatinan kemawon, upaminipun ingkang magepokan bab agami. Kridhaning nalar ingkang nyarengi kridhaning raos wau gambaripun makaten :

Wonten tiyang sepu : kera aking tur wuta pisan, pepriman. Welas kula dhawah, badhe kula sukani. Gagap gagap kanthong, kaleresan wonten rupiyah satunggal, thil kridhaning raos).
Sareng badhe kula-ulungaken, nalar kula ndadak menging Mengko dhisik, ta, bocah-bocahmu kaya-kaya durung padha sarapan (kridhaning nalar).
Raos kula (welas kula) = aken : ulungna
Nalar kula…….. menging.
Raos Ian nalar makarti sasarengan. Kala-kala rebat deg (rebat kuwaos).
Sadangunipun raos lan nalar sasarengan makarti makaten menika, tiyangipun (kula) mendel dheleg-dheleg.

Makaten menika meditasi.

Yen kita sami nonton ringgit purwa, boten sami kengetan bilih ingkang mobah, gineman, lan perang menika wacucal ingkang dipun-entha kados tiyang, dipun-polahaken pun Dhalang. Dados ingkang nyuwara barang menika boten liya inggih pun Dhalang menika wau. Kita boten patos migatosaken wontenipun sang Dhalang menika.

Ing ngriku kita sami katut ing raos kita piyambak. Nalar boten patos makarti. Nanging para intellektuelen, inggih menika para semen nalar, menapa-menapa dipun manah, nonton ringgit inggih kanthi memanah: Neng ngendi ta dununge negara Pringgadani kuwi ? Apa tenan ana uwong kaya ngono (Semar) kuwi rupane ? lsp.

Yen nalar kita tumut nggagas makaten menika, anggen kita nonton ringgit boten namung kenyut kemawon, nanging ngangge kanalar. Salebetipun kita kraos tumut seneng lan susah saliyan pun ringgit, sarwi kula gagas samukawisipun, menika kula inggih saweg meditasi.
Samangke kita boten nonton wayang, nanging nonton masyarakat agung, nonton ngagesang.


Kita katut seneng, katut bingah, katut gela, katut meri, lsp. Makaten menika kita saweg katut ing raosing ngagesang.


Manawi mangke kita wiwit manah : apa sababe aku susah, bungah, gela, meri ngene kiyi........? Saya sanget anggen kita nggagas, saya lebet anggen kita manah, saya dangu anggen kita mendel dheleg-dheleg. Raos lan manah kita sasarengan makarti, maneges (nyuwun katerangan) dhateng ... dhateng Ingkang Maha Agung. Nyuwun katerangan kados pundi, kita suminggah saking raos sisah lsp. menika wau.

Makaten menika meditasi.
Kita kados lan rumaos sami, gesang jumejer dados manusa. Kita sami kapengin sumerep saking pundi asal kita, badhe dhateng pundi mangkenipun yen kita pejah. Gek kados menapa wonten ngrikanipun, lsp. Makaten menika inggih meditasi.
Meditasi menika badhe sumerep "wadining" ngagesang.
Dados salebetipun meditasi, nalar kita makarti, boten passief: dheleg-dheleg semu ngantuk, kosong boten wonten ingkang dipun manah. Yen kosong makaten menika muta-watosi sanget.

Gampil dipun-ampiri utawi dipun-surupi daya ingkang kirang sae. Kranjingan tembungipun.

2. Kontemplasi

Kontemplasi (contemplatie) lan meditasi (meditatie), kalih pisan saking basa manta, nanging sampun remasuk dados tembung kita ing kalangan kebatinan.
Tiyang Walandi negesi contemplatie sami kaliyan bespiegeling, beschouwing. Kalih pisan nggadhahi suraos: mawas (mawas ing batos), badhe nyumerepi terangipun, cethanipun.

Upaminipun:

  • Suwarga kuwi ana apa ora ..........? Wonten.
  • Ngendi dununge ........................? Ngrika.
  • Kaya apa rupane .......................? Kados makaten.
  • Apa ana ka-endahan Ian ka-nikmatan ing ngalam donya kene sing kira-kira madhani ? Boten wonten.
  • Apa kowe wis tau ngambah suwarga ? ..................... Dereng.
  • Bisamu mangsuli pitakonku man kepriye? .................... Namung saking panginten-inten kula piyambak.
  • Samangke kula piyambak ingkang badhe mangsuli pitaken pitaken menika :
  • Suwarga ana ? Neng ngendi ? Kaya apa ? Apa ana pepadane ? ...............Cep.
  • Kula mendel, terus mawas ing batos Suwarga kuwi ana. Embuh ana ngendi. Ning cetha yen maha endah, maha kepenak, maha nikmat, maha maha........ Cekak papan kamulyan jati.
  • Kamulyan jati kuwi kaya ngapa, ya ? ........................ Embuh.
  • Suwarga iku mung kena kinaya ngapa. Mung kena ginambar ing tembung.
  • Mawas ing batos kados makaten menika nama kontemplasi. Bedanipun kaliyan meditasi, ing ngriki raos boten patosa aktief (makarti), nanging nalar makarti yektos.
Sadangunipun kula cep mendel: mawas wontenipun Ian ka¬wontenanipun suwarga wau, kula inggih dheleg-dheleg temenan. Kebatinan kula saweg dumunung wonten ing suwarga lambaran kula.
Mawas gambar makaten menika nama kontemplasi.

3. Mijmeren, maneges, mahas ing ngasepi

Para sadherek, samangke kita dumugi ing tembung-tembung ingkang angel sanget panyuraosipun.
Ewa dene meksa kula temah nerangaken. Boten namung waton mungel kemawon, nanging ngengeti pitedah-pitedahipun pars linangkung, kados dene Dr. A. Besant, Ny. H.P. Blavatsky, J. Krishnamurti.
Mijmeren, maneges, mahas ing ngasepi, manawi kawewahan manekung Ian tepakur sadaya wau sami nunggil maksud, inggih menika: mirengaken swaraning ngasonya (ngasepi). Terangipun makaten "Ngasepi" utawi "ngasonya" menika tegesipun : pun sepen, pun nyenyet, anu sing sepi, anu sing nyenyet. Dede "sepi nipun, dede "nyenyet" ipun, nanging "anu"-nipun.
"Anu"-nipun ingkang sepen nyenyet menika, pramila dipun sebut : nga-sepi, nga-sonya.

Tembung "urip" boten sami tegesipun kaliyan "nga-urip". "Sonya" boten sami tegesipun kaliyan "nga-sonya".
Dados kita mirengaken swaraning ngasonya menika tegesipun mirengaken swaraning anu kang sonya.

Anu ingkang sonya menika wau pundi lan ing pundi wontenipun ?
Anu ingkang sonya menika papan ingkang awis-awis dipun¬ambah tiyang, utawi ingkang boten dipun-ambah tiyang, kadosta: ing kuburan. Pramila tiyang nepi utawi tiyang nyepi, samimriku.


Kajawi ing pakuburan, ugi ing tengahing wana, pramila kangge papan tapanipun pars pandhita, lan para. begawan. Ugi ing telenging samodra, pramila Werkudara inggih mriku. Lajeng kepanggih Dewa, nama Dewa Ruci, Dewa kang kesit tan-kena ginrayang, tan kena ginatra, tansah nyamun, tan alit tan agung (Dr. Radjiman Wedyodiningrat ing serat "Kempalan karanganipun K.R.T. Dr. Wedyodiningrat").

  • Dados Anu ingkang sonya menika wau: papan ing pakuburan, ing tengahing wana, ing telenging samodra.......!! Rak inggih, to?
  • Mangke rumiyin. Menika kok kathah sadherek ingkang "nikel imba" (nikel alis utawi nepungaken alis utawi mrengut : mrengut jalaran mbok manawi boten kersa nampi katerangan kula menika), Rehne makaten, kula kapeksa ngaturi katerangan Bares:
  • Anu ingkang sonya menika rasa rumasa (bewustzijn) ingkang dumunung ing telenging manah kita piyambak.
  • Alam gumelar, alam dumadi, alam rame utawi alam donya menika boten sonya, boten sepi. Dados ingkang sepi temtu dede ing ngriku panggenanipun. 
  • Lha wonten pundi. Inggih wonten ing alam ingkang boten gumelar utawi ing alam alus, utawi ing alam ingkang boten kasat-mripat, utawi ing alam batin, utawi ing alam gaib.
  • Pundi dunungipun alam gaib menika ? Wonten telenging manah kita piyambak.
  • Manut serat Dewa Ruci wonten telenging samodra. Wondene pun Anu ingkang sonya menika sang rasa rumasa (bewustzijn) kados atur kula ing ngajeng.
  • Dados : mijmeren, maneges, mahas ing ngasepi, manekung, tepakur, utawi mirengaken swaraning ngasonya menika: mirengaken swaraning sang rasa rumasa ingkang sasana ing telenging manah. Manawi ing serat Dewa Ruci: Werkudara mirengaken swara- nipun sang Dewa Ruci.


SAMADHI

Manunggil

Manawi swaraning ngasonya sampun kapireng dumeling (cetha), "Sang Werkudara" lajeng lumebet ing "guwa garbanipun Sang Dewa Ruci."
Ing ngriku kita samadhi. Tegesipun sampun manunggil. Sang Werkudara sampun manunggil kaliyan Sang Dewa Ruci.

Para sadherek, ing ngriki kula boten badhe ngaturaken bilih cariyos Dewa Ruci menika satunggiling pralambang ingkang kedah kita ungkabi, kita onceki.
Sarta kula boten badhe ngaturaken dunung utawi maksudi: pun "Werkudara" lan "Dewa Ruci" menggahing kita manusa. Boten badhe ngaturaken menapa "Werkudara" ing serat Dewa Ruci menika sami kaliyan kula ingkang mirengaken swaraning ngasonya, menapa "Dewa Ruci" menika sang rasa rumasa ingkang sasana ing telenging manah kita.

Kula namung nyumanggakaken.........Namung ngaturaken gambaranipun utawi pepindhanipun: "samadhi" menika kadi dene Werkudara ingkang sampun wonten salebeting guwa garba Dewa Ruci.

Para sadherek, atur kula bab panganggenipun badan pikir punapa dene ingkang dipun-wastani samadhi utawi manunggil, sampun cekap samanten kemawon. Samangke kula badhe ngaturaken bab tuntunanipun.



Penget:

Sasampunipun boten~ingung , keparenga kula ngaturi Penget malih, magepokan bab memanahing-kang leres, manut sabda wasitanipun lngkang Linangkung Risang Krishnamurti ingkang kawrat ing serat "De Vrijheid van het Bekende" ugi, ngkang Jawinipun kirang-langkung makaten "Memanah utawi memikir leres menika boten gumantung dhateng uwohipun utawi kepanggihipun, ugi dede ingkang nama ngasah nalar (ngulir budi) kemawon, tuwin dede cundhukipun (cocogipun) pamanggih kaliyan conto utawi kupiya, nadyan conto utawi kupiyanipun menika adi-luhung kados menapa.

Memanah utawi memikir leres menika tuwuh saking weruh dhiri pribadi.
Memanah utawi memikir leres menika margi saking anggenipun sumerep
dhateng dhiri pribadi.
Manawi dereng weruh dhiri pribadi, sadaya ciptanipun tanpa waton.
Manawi dereng weruh dhiri pribadi, menapa ingkang kamanah
boten nyata, goroh, dudu".

Sok sampuna pirsa...!!!

- Kapetik saking “Tuntunan Samadhi” dening Ki Wirjoatmodjo

ingkang ngedalaken "PT. CITRA JAYA MURTI" Surabaya 1959.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar