Kamis, 20 Desember 2012

BERJALAN MENUJU ALLAH

Sesungguhnya manusia berjalan menuju Allah di atas alam ini. Al-Quran Al-Karim telah berbicara tentang gerak dan perjalanan dalam wujud ini :
  1. Ingatlah, bahwa kepada Allah lah semua urusan kembali (QS. Asy-Syura : 53)
  2. Dan bahwasanya kepada Tuhanmu lah kesudahan segala sesesuatu (QS. An-Najm : 42)
  3. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmu lah kamu kembali (QS. Al-‘Alaq : 8)
  4. Sesungguhnya kami ini kepunyaan Allah dan sesungguhnya kepada-Nya lah kami kembali (QS. Al-Baqarah :156)
  5. Wahai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. (QS. Al-Insyiqaq : 6)
Sesungguhnya ayat-ayat di atas mencukupkan kita dari pembahasan-pembahasan filsafat dan irfan, karena Al-Quran Al-Karim telah berbicara dengan jelas mengenai masalah gerak dan perjalanan manusia ini, yang perjalanannya akan berakhir di hadapan Allah.

Manusia, di dalam perjalanannya menuju Allah dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok :

Ada kelompok manusia yang memilih jalan yang disebut dengan sebutan “jalan yang lurus” (shirat al-mustaqim). Dengan jalan inilah dia menuju Allah. Jalan ini adalah seutama-utamanya dan semudah-mudahnya jalan, dan dengan segera akan menyampaikan manusia kepada tujuannya.

Sesungguhnya pengutusan seluruh nabi bertujuan untuk menjelaskan jalan ini kepada manusia, Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya (QS. Al-An’am : 153)

Allah SWT telah menurunkan semua kitab langit kepada manusia dengan tujuan supaya manusia mengetahui jalan menuju kepada-Nya. Itulah jalan keselamatan dan kebahagiaan yang lurus, yang mana seorang manusia di dalam perjalanannya menuju Tuhannya tidak memerlukan jalan lain selain jalan ini. Karena, barangsiapa meniti jalan lain selain jalan ini maka dia akan tersesat dan menyimpang dari jalan yang lurus, dan oleh karena itu dia kan mendapat siksa yang pedih.

Wahai manusia, sesungguhnya di alam ini anda memiliki perjalanan dan gerak kesempurnaan, yang akan membawa anda kepada Allah SWT dan berjumpa dengan-Nya. Jika anda menginginkan kebahagiaan, maka ikutilah jalan yang lurus ini yang menuju kepada-Nya.

Banyak umat yang telah mendapat petunjuk ke jalan yang lurus ini, lalu mereka pun mengikutinya; dan di masa yang akan datang pun umat-umat yang lain akan mengikutinya. Akan tetapi, secara umum antara suatu umat dengan umat yang lain berbeda-beda di dalam kecepatan meniti jalan yang lurus ini. Sebagian dari mereka berloba-lomba di dalam gerak menuju Allah Azza Wajalla, sehingga anda dapat melihat kecepatan mereka melebihi kecepatan yang lainnya.

Kelompok inilah yang disebut oleh Al-Quran dengan julukan as-sabiqun, Allah SWT berfirman,“Dan orang-orang yang paling dahulu beriman (as-sabiqun), mereka itulah orang-orang yang didekatkan kepada Allah. (QS. Al-Waqi’ah : 10).

Selain kelompok as-sabiqun ini, juga terdapat kelompok lain dari manusia yang meniti jalan yang sama, yang oleh Al-Quran disebut dengan ashabul yamin (golongan kanan), Allah SWT berfirman, “Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu. Mereka berada di antara pohon bidara yang tidak berduri.” (QS. Al-Waqiah : 27-28).

Sesungguhnya kata al-yamin berasal dari kata al-yumn yang berarti keberkahan. Para filosof berkata bahwa kelompok ashabul yamin, di dalam meniti jalan yang lurus lebih lambat dibandingkan kelompok yang di atas. Akan tetapi, mereka semua bergerak dengan tekun dan sungguh-sungguh di jalan yang lurus. Mereka semua bekerja sama di dalam satu tujuan, yaitu bertemu Allah SWT.

“Shirat al-Mustaqim”, pada hakikatnya adalah dua jalan, yaitu jalan di dunia dan jalan di akhirat.

“Shirath al-mustaqim”, yang ada di dunia ialah jalan yang lebih rendah daripada sikap berlebih-lebihan (al-ghuluww) dan lebih tinggi daripada sikap melalaikan (at-taqshir), dan jalan yang lurus yang tidak condong kepada sesuatu yang batil.

Sebagian ulama mengatakan, sesungguhnya jalan yang lurus mempunyai sisi lahir dan sisi batin. Sisi lahirnya ialah dunia dan sisi batinnya ialah akhirat. Jika kita ingin memahami perjalanan menuju surga maka kita harus memperhatikan keadaan kita di dunia ini.

Gerak dan perjalanan yang kita lakukan di dunia yang hina ini, akan dapat kita lihat hakikat yang sesungguhnya pada hari kiamat kelak. Orang yang gerak perjalanannya di dunia cepat dan bersifat malakut. Demikian juga dengan orang yang gerak perjalanannya di dunia lambat, maka gerak perjalanannya di akhirat pun akan lambat.

Jika seorang manusia terpeleset di dalam perjalanannya di dunia maka dia pun akan terpeleset di dalam perjalanannya di kehidupan akhirat. Sebagaimana anda melihat bahwa manusia berbeda-beda di dalam perjalanan mereka di dunia maka anda pun akan melihat mereka berbeda-beda di dalam perjalanan mereka di akhirat.

Barang siapa yang geraknya berada pada jalan yang lurus maka di sana pun geraknya yang lurus, dan barang siapa yang di sini geraknya tidak lurus maka di sana dia akan jatuh ke dalam neraka jahanam.

Terdapat sebuah penafsiran mengenai firman Allah SWT yang berbunyi, “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (QS. Al-Fajr : 14). penafsiran itu berbunyi, “Sebuah terowongan yang berada di atas jembatan shirath al-mustaqim, yang tidak dapat dilewati oleh seorang hamba dengan kegelapan.”

Berkenaan dengan ayat Al-Quran Al-Karim yang berbunyi, “Tunjukkanlah kami kepada jalan yang lurus”. Terdapat sebuah penafsiran yang mengatakan, “Kekalkanlah taufik-Mu bagi kami, yang dengannya kami telah bisa menaati-Mu pada hari-hari kami yang lalu, sehingga kami pun bisa tetap menaati-Mu pada masa yang akan datang. Jalan yang lurus itu ada dua: jalan di dunia dan jalan di akhirat.”

Imam Ja’far ash-Shadiq berkata mengenai firman Allah SWT yang berbunyi, “Tunjukkanlah kami kepada jalan yang lurus”, tunjukkanlah kami kepada jalan yang lurus, bimbinglah kami untuk berpegang kepada jalan yang akan mendorong kepada kecintaan-Mu, dan menyampaikan kepada surga-Mu.

Kata-kata “Tunjukkanlah kami kepada jalan yang lurus” artinya ialah, “Ya Allah, sukseskanlah kami di dalam meniti jalan-Mu yang lurus. Dengan kata lain, tunjukkanlah kami kepada jalan yang pada kahirnya kami dapat berjumpa dengan-Mu, Ya Allah, sesungguhnya Rasul Engkau telah berkata, “Sesungguhnya ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah dia” (QS. Al-An’am : 153), sungguh kami telah melakukan itu, akan tetapi Engkau harus meraih tangan kami supaya kami dapat sampai ke sisi-Mu, maka kekalkanlah perhatian, rahmat, dan keridhaan-Mu, sehingga kami bisa sampai kepada tujuan.

Singkatnya, sesungguhnya kita berusaha untuk sampai kepada tujuan melalui jalan yang lurus, dan jalan yang lurus ini terus berlanjut dan ada akhirnya. Akhirnya itu adalah perjumpaan dengan Allah yang Mahamulia dan juga dengan rahmat-Nya yang meliputi segala sesuatu.

Sesungguhnya jalan ini adalah jembatan shirath al-mustaqim, dan jembatan shirath al-mustaqim lebih halus daripada sehelai rambut dan lebih tajam daripada sebilah pedang. Dan sesungguhnya lahiriah jembatan shirath al-mustaqim ini ialah di sini (di dunia), sementara hakikatnya di sana (di akhirat). Barangsiapa tidak mengetahui kehalusan dan ketajamannya maka dia akan tersesat dan menyimpang dari jalan yang lurus, serta akan masuk ke dalam neraka jahanam yang menyala-nyala di hari akhirat kelak.

Sesungguhnya menjaga keistiqamahan perjalanan di dunia ini sangat sulit sekali. Yang dimaksud dengan keistiqamahan perjalanan di sini ialah berpegang teguh kepada agama yang lurus dan syariat yang benar. Seorang yang memegang teguh agamanya tidak ubahnya seperti orang yang menggenggam bara api. Mungkin, generasi yang akan datang sesudah kita akan menghadapi kesulitan yang lebih banyak dibandingkan kita sekarang ini dalam memegang ajaran agama.

Terkadang seorang manusia menyimpang dari jalan yang lurus di bawah slogan yang bermacam-macam, seperti slogan “revolusioner”, “pejuang”, “Mujahid”, dan slogan-slogan lain yang pada lahirnya mengandung arti yang bagus.

Terkadang beberapa ungkapan dapat menyimpangkan seorang manusia dari jalan yang lurus dan menjerumuskannya ke dalam kesesatan, dan ketika dia sadar akan hal itu dan bermaksud kembali ke jalan yang lurus dia melihat kesempatan telah berlalu. Kembali kepada keadaan yang pertama adalah sesuatu yang sulit meskipun tidak dikatakan mustahil. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dan sadar akan apa yang kita katakan, karena jika tidak maka kehancuran tengah menanti orang-orang yang lalai. Betapa banyak orang yang terjatuh selama bertahun-tahun hanya disebabkan satu kalimat yang diucapkannya bukan pada tempatnya.

Seekor semut yang mengangkat sebuah biji gandum dengan mulutnya untuk dibawa naik ke atas batu yang tinggi, karena lelah sekali dan sedikit lalai maka dia pun terjatuh sekaligus dengan biji gandum bawaannya ke bagian batu yang paling bawah.

Dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, ia berkata mengenai firman Allah SWT yang berbunyi,“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, Tuhan kami adalah Allah’ Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka” (QS. Fushsilat : 30), “Engkau telah mengatakan Tuhan kami adalah Allah”. Oleh karena itu beristiqamalah kamu pada Kitab-Nya, pada jalan perintah-Nya, dan pada jalan hamba-hamba-Nya yang saleh. Jadikanlah lisan itu sebagai sesuatu yang satu, dan hendaknya seseorang menyimpan lisannya. Karena, sesungguhnya lisan ini tidak ubahnya seperti kuda liar bagi si pemiliknya. Demi Allah, aku tidak melihat seorang hamba yang bertakwa dengan takwa yang memberikan manfaat kepada dirinya sehingga dia menjaga lisannya.

Rasulullah SAW telah bersabda, “Tidaklah lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tidaklah lurus hati seorang hamba sehingga lurus lisannya.”

Sesungguhnya jembatan shirath al-mustaqim adalah jalan yang sempit dan halus, dan melintasinya adalah bukan perkara yang mudah. Namun demikian, hal itu menjadi mudah bagi mereka yang mengetahui apa yang mereka lakukan, memahami apa yang mereka ketahui, dan mengetahui kedudukan mereka di dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, serta mengetahui kenapa mereka datang ke dunia; kemana mereka akan pergi; dan jalan apa yang harus mereka tempuh.

Sesungguhnya hal itu sesuatu yang mudah bagi mereka yang mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat mereka meskipun mereka tidak melihatnya. Mereka tahu bahwa Allah SWT selalu hadir baik pada saat sendiri maupun pada saat banyak orang, baik pada waktu malam maupun pada waktu siang; dan mereka tahu bahwa sesungguhnya Allah senantiasa melihat, mengawasi, menghitung, dan mencatat amal perbuatan mereka, Allah SWT berfirman,

Dia mengetehaui (pandangan) mata yang khianat dan apa disembunyikan oleh hati. (QS. Ghafir : 19)

Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. (QS. Ali Imran : 119)

Sesungguhnya salah satu di antara kasih sayang Allah kepada para hamba-Nya ialah Dia mengutus para nabi untuk menunjukkan jalan yang lurus kepada manusia. Para nabi telah menanggung berbagai penderitaan dan cobaan dengan dada yang lapang, supaya mereka bisa memberikan petunjuk kepada manusia ke jalan yang lurus.

Banyak riwayat yang menceritakan bahwa Nabi Zakaria as telah menyeru kaumnya siang dan malam supaya mereka beristiqamah di jalan yang lurus. Akan tetapi kaumnya malah bermaksud membunuhnya. Nabi zakaria pun lari dari tengah-tengah mereka dan berlindung ke sebuah pohon, lalu pohon itu terbuka baginya, dan Nabi Zakaria pun masuk ke dalam perut pohon, kemudian pohon itu merapat kembali. Setan memberitahukan kepada mereka tempat persembunyian Nabi Zakaria, dan memerintahkan mereka untuk menggergaji pohon itu. Mereka pun melaksanakan apa yang diperintahkan oleh setan, sehingga tubuh Nabi Zakaria terbelah menjadi dua.

Allah SWT mengutus rasul demi rasul ke dunia, hingga jumlah mereka mencapai 124 ribu orang rasul. Itu semua merupakan rahmat dan kasih sayang dari-Nya, dan juga untuk menyempurnakan hujah atas seluruh alam.

Sekiranya tidak ada para nabi, para rasul, atau para wali maka kita tidak akan mendapat petunjuk ke jalan yang lurus. Kita harus berhati-hati dari kelalaian yang akan menyebabkan kita jatuh dan menyimpang dari jalan yang lurus, yaitu berbicara bukan pada tempatnya, mengumpat seorang Muslim, berhura-hura, atau hal-hal lainnya yang akan menyebabkan terjerumusnya kita ke dalam kehinaan di dunia dan ke dalam neraka Jahannam di akhirat kelak.

Sebagian orang telah mendapat petunjuk ke jalan menuju Allah dan mereka telah benar-benar mengetahuinya. Akan tetapi mereka berpaling dari jalan itu dikarenakan pembangkangan dan kekeraskepalaan mereka. Pembangkangan mereka menuntun mereka ke jalan-jalan lain yang tidak lurus, meskipun mereka mengetahui benar jalan yang lurus. Dengan mudah mereka mengingkari kebenaraan dan terus menerus berada di dalam kelaliman.

Ketika bertemu Allah, mereka akan dijerumuskan ke dalam tempat yang paling rendah. Sebaliknya, orang-orang yang mendapat petunjuk ke jalan yang lurus, dan kemudian mereka beristiqamah di jalan itu, mereka akan mendapatkan rahmat Allah yang luas, dengan demikian, perjumpaan dengan Allah bagi orang-orang yang saleh adalah berarti rahmat, sedangkan bagi orang-orang yang durhaka adalah berarti bencana. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya menetapkan hukum hanyalah hak Allah” (QS. Al-An’am : 57).

Sesungguhnya orang-orang yang membangkang dan menyimpang dari jalan yang lurus setelah mereka mendapat petunjuk jumlahnya banyak sekali.

Tidaklah penyimpangan dan kesesatan itu melainkan hasil buah tangan mereka sendiri. Dengan begitu, kekuasaan setan atas hati mereka menjadi semakin besar, sebagai ganti dari kekuasaan Allah atas hati mereka. Allah SWT berfirman, “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya.” (QS. Al-Jatsiyah : 23).

Al-Quran Al-Karim telah banyak menceritakan kepada kita peristiwa-peristiwa yang menunjukkan pengetahuan orang-orang yang menyimpang terhadap jalan yang benar, namun demikian mereka enggan menerimanya dan malah mengikuti kesesatan. Contohnya putra Nabi Nuh as yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Dia tidak mau mengikuti perintah Nabi Nuh as, ayahnya.

Nabi Nuh as membuat sebuah perahu, lalu dia berkata kepada kaumnya, “Naiklah kamu ke dalam perahu”. Dan salah seorang dari mereka ialah anaknya, Nabi Nuh as memahamkan kepada kaumnya bahwa tidak ada tempat berlindung dari Allah kecuali kepada-Nya Kaumnya, secara berkelompok-kelompok mengejek Nabi Nuh as, namun Nabi Nuh berkata kepada mereka :

“Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami pun mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek kami. Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh azab yang menghinakannya dan yang akan ditimpa oleh azab yang kekal. (QS. Hud : 37-38)

Hingga apabila perintah, Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman, “Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman.” Dan tidaklah beriman bersama dengan Nuh itu kecuali hanya sedikit. (QS. Hud : 40).

Dan Nuh memanggil anaknya, sedangkan anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” Anaknya menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata, “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah saja Yang Maha Penyayang.” Dan gelombang yang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (QS. Hud : 42)

Allah SWT telah berbicara kepada kita di dalam Kitab-Nya yang mulia mengenai banyak orang yang berilmu, orang yang kaya, dan para penguasa, yang mengetahui jalan yang lurus namun dikarenakan pembangkangan yang ada di dalam diri mereka, mereka enggan mengikuti jalan kecuali jalan yang sesat dan menyimpang. Allah SWT berfirman, “Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, “Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” (QS. Saba : 34)

Janganlah anda mengira wahai para pembaca yang mulia bahwa para pembesar-pembesar itu bodoh dan tidak tahu.

Tidak, sama sekali tidak. Akan tetapi pembangkangan dan kesombongan mereka itulah yang telah mencegah mereka untuk mengira para rasul yang datang dengan membawa petunjuk dan kebenaran. Pada masa sekarang pun kita dapat menyaksikan hal itu dengan jelas.

Sesungguhnya orang-orang yang menghalang-halangi para nabi dan para rasul serta risalah-risalah Ilahiyyah yang mereka bawa, kebanyakannya berasal dari kalangan orang yang berilmu, politikus, atau orang-orang yang kepentingan materi mereka tidak sejalan dengan tujuan yang dibawa oleh para nabi. Jika kita meneliti tentang siapa-siapa saja yang mendustakan dan menentang 124 ribu nabi yang diutus oleh Allah SWT, niscaya kita dapat melihat hal itu dengan jelas. Sebaliknya, kita dapat melihat bahwa kebanyakan pengikut para nabi atau orang-orang yang membenarkan mereka tatkala mereka datang adalah berasal dari orang-orang miskin dan orang-orang yang tertindas. Saya tidak ingin menjadikan hal itu sebagai dalil tidak adanya para pembangkang dan para penentang yang berasal dari kalangan orang miskin dan orang-orang yang tertindas. Akan tetapi, saya bisa mengatakan bahwa penentangan dan permusuhan yang berasal dari kalangan orang miskin dan orang tertindas jauh lebih kecil dibandingkan penentangan dan permusuhan yang ditunjukkan oleh kalangan orang kaya dan para penguasa.

Dari sini kita dapat mengetahui bahwa perkara seperti ini telah terjadi sejak zaman Nabi Adam as, dan akan terus berlanjut hingga hari kiamat.

Terdapat 2 Rukun perjalanan menuju Allah.


Sa’id Hawa menjelaskan bahawa perjalanan menuju Allah mempunyai dua rukun, iaitu ilmu dan zikir. Tanpa keduanya, tidak ada perjalanan menuju Allah SWT.Ilmu adalah yang menerangi jalan dan zikir adalah bekal perjalanan dan keperluan pendakian. 

Kita berhajat kepada ilmu untuk mengenali segala perintah, petunjuk, bimbingan dan peringatan Allah SWT dan mengenali hikmatnya agar kita dapat melaksanakan segala perintah tersebut serta mencapai hikmatnya, manakala kita berhajat kepada zikir agar Allah SWT bersama kita dalam perjalanan kita menuju kepadaNya

Rukun pertama: Ilmu


Bukanlah menjadi satu keraguan bahawa apa yang dimaksudkan dengan ilmu ialah ilmu tentang al-Qur’an dan al Sunnah serta ilmu tentang segala yang diperlukan oleh Salik(hamba) dalam perjalanannya menuju Allah SWT. Sekurang-kurangnya setiap salik mestilah melengkapkan dirinya dengan kesemua ilmu fardu ‘ain, iaitu ilmu yang setiap muslim dituntut mempelajarinya.

Setiap muslim wajib mengetahui segala perbuatan yang wajib dilakukannya, agar ia tidak meninggalkannya; dan juga perbuatan yang haram dilakukannya, agar ia terhindar daripada melakukannya. Setiap perbuatan yang wajib dilakukan, maka mempelajari ilmunya juga menjadi wajib, Ini adalah kerana tanpa ilmu tentang sesuatu, maka seseorang tidak mungkin dapat melakukan sesuatu itu dengan betul, sesuai dengan kehendak syariat.

Imam Ghazali mengingatkan kita di dalam kitabnya Ihya Ulum Al-Din, bahawa di antara ilmu yang wajib dipelajari ialah ilmu mengenai jalan menuju ke akhirat. Apa yang dimaksud ilmu menuju jalan ke akhirat ialah ilmu cara membersihkan hati atau jiwa daripada sifat-sifat yang keji, yang tercela, yang dianggap sebagai kotoran yang menjadi penghalang daripada mengenali Allah SWT dan daripada mengenali sifat-sifat dan af’al atau perbuatan-perbuatanNya. Tidak ada jalan untuk ke sana melainkan dengan latihan, ilmu dan pengajaran.

Ilmu tersebut terbahagi kepada dua bahagian:


  • Pertama: Ilmu zahir, iaitu ilmu yang berkaitan dengan amalan anggota badan, dan ia terbahagi kepada adat dan ibadat.
  • Kedua: ilmu batin, iaitu ilmu yang berkaitan dengan amalan hati atau jiwa, atau ilmu tentang sifat-sifat yang ada di dalam hati atau jiwa, yang juga terbahagi kepada yang terpuji dan tercela.

Sifat-sifat yang terpuji di dalam hati adalah seperti: sabar, syukur, takut, harap, redha, zuhud, taqwa, qana’ah (menerima dan berpuas hati dengan yang ada atau dengan apa yang Allah berikan), murah hati, ihsan, baik sangka, baik budi,baik pergaulan, jujur, ikhlas dan sebagainya, yang merupakan sumber atau punca daripada segala perbuatan taat dan ibadat kepada Allah SWT.

Adapun yang tercela daripadanya adalah seperti; dengki, dendam, busuk hati, penipu, gila pangkat, gila harta, gila kuasa, gila pengaruh, suka dipuji, sombong, riya’, keras kepala, pemarah, benci, tamak kedekut, kufur ni’mat, mengagungkan orang kaya, bangga, ujub, nifaq (hipocracy),cintakan dunia, cinta harta, gopoh,lalai dan sebagainya, yang merupakan sumber atau punca daripada segala perbuatan ma’siat dan lain-lain perbuatan buruk atau keji, yang dilarang.

Ilmu tentang batasan segala sifat-sifat ini, sama ada yang terpuji ataupun yang tercela, hakikat, sebab-sebab, hasil atau natijahnya, cara memupuk, menanam, atau cara mengubati, membuang atau mengikis daripada sifat-sifat tercela, kesemuanya itu merupakan ilmu jalan akhirat; dan Imam Ghazali mengatakan bahawa ia merupakan ilmu fardu ain, mengikut fatwa ulama akhirat.

Rukun kedua: Zikir


Adapun yang dimaksudkan dengan zikir ialah zikir yang diwariskan atau dianjurkan, yang termasuk di dalam perintah Allah SWT dan RasulNya SAW.

Imam Nawawi di dalamA kitabnya, Al-Adzkaar, telah menjelaskan pengertian zikir sebagai berikut:

“Ketahuilah bahawa fadilat zikir tidak terhad pada tasbih, tahlil, tahmid, takbir dan yang seumpamanya, tetapi setiap orang yang beramal kerana Allah Taala dengan ketaatan, maka ia termasuk orang yang berzikir kerana Allah Taala. Begitulah yang dikatakan oleh Sa’id Bin Jubair r.a. dan lain-lain ulama”.

‘Ata’ berkata: “Majlis-majlis zikir adalah majlis-majlis yang membincangkan masalah halal, haram, bagaimana anda membeli, menjual, solat, berpuasa, berkahwin, mentalak, haji dan yang seumpamanya”.

Beliau juga telah membawakan hadis yang diriwayatkan daripada Abu Sa’id Al-Khudri r.a. bahawa Rasulullah SAW bersabda:

“Apabila seorang lelaki membangunkan isterinya pada waktu malam, kemudian keduanya solat dua rakaat, maka keduanya ditulis dalam golongan orang-orang yang banyak berzikir kepada Allah”.

Maka kedua rukun berjalan menuju Allah menurut Sa’id Hawa adalah ilmu dan zikir; dan tidak akan ada perjalanan melainkan dengan keduanya.

Walau bagaimanapun, perlu diketahui bahawa para salik yang menempuh jalan menuju Allah itu terbahagi kepada dua golongan. Golongan yang pertama lebih banyak melibatkan diri mereka kepada Allah SWT disamping tidak melalaikan tanggungjawab mereka dalam menuntut ilmu agama sebagaimana yang dituntut oleh syara’.

Manakala golongan yang kedua pula mendekatkan diri mereka kepada Allah SWT dengan bertungkus-lumus mendalami ilmu agama disamping tidak mengabaikan keperluan untuk berzikir. Akhirnya, mereka semua (insya Allah) akan sampai ke satu arah tuju yang sama iaitu mencapai keredhaan Allah dan mendekatkan diri kepadaNya.

Beliau menjelaskan bahawa pembahagian tersebut adalah disebabkan kerana adanya perbezaan pada kecenderungan atau minat dan kemampuan atau kesanggupan manusia itu sendiri. Segolongan manusia, kecenderungan atau minatnya kepada ilmu lebih besar dan juga kemampuannya untuk mencapai ilmu tersebut ada, dan segolongan lainnya kemampuannya untuk mencapai ilmu terhad dan kesanggupannya untuk beribadat, beramal dan berzikir adalah besar.

Jalan yang sesuai bagi golongan yang pertama adalah ilmu, tetapi mesti juga disertai dengan zikir; dan jalan yang sesuai bagi golongan yang kedua adalah memperbanyak zikir, tetapi mesti juga disertai dengan ilmu.

Daripada huraian tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahawa setiap manusia yang berjalan menuju Allah atau mencari keredhaan dan keampunan Allah, yang dengannya dicapai kebahagiaan akhirat dan terhindar daripada seksaan neraka, mestilah berusaha, selain mengisi masanya dengan melaksanakan tugas peribadatan yang telah ditetapkan, seperti solat lima waktu, puasa ramadan dan lain-lainnya, juga dengan kegiatan menuntut ilmu dan berzikir.

Ia mesti menjadikan kegiatan menuntut ilmu dan berzikir ini sebagai agenda hariannya yang berterusan sepanjang hayat, kerana kedua-duanya merupakan ibadat yang sangat tinggi nilainya. Setiap salik mestilah berusaha menghindarkan diri daripada membazirkan masanya dengan sebarang perbuatan yang tidak ada manfaatnya seperti melepak di kedai-kedai kopi, berbual kosong dan kerja-kerja yang seumpamanya.

Di dalam sesuatu hadis, ada dinyatakan bahwa tanggung jawab pertama yang akan disoal ke atas setiap insan ialah tentang umurnya: di mana ia telah menghabiskannya? Di dalam surah al-’Asr Allah SWT telah menyatakan dengan bersumpah: “Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan (mengisi masanya dengan)beramal soleh, serta berpesan-pesan dengan kebenaran dan berpesan-pesan dengan kesabaran”.

Setiap salik mesti menentukan masa yang tetap setiap hari untuk menuntut ilmu dan berzikir: menetapkan masa tertentu untuk membaca al-Qur’an dan memahami maknanya. Mereka boleh merancang untuk mengkhatamkan Al-Qur’an setiap seminggu sekali, dua minggu sekali, sebulan sekali atau lain-lainnya, mengikut kemampuan dan kesanggupan masing-masing. Perkara yang penting di sini ialah mereka menetapkan agenda yang tetap dan berterusan sepanjang hayat.

Membaca Al-Qur’an adalah ibadat dan zikir, dan memahami kandungannya adalah ilmu yang paling tinggi nilainya.

Selain mempelajari Al-Qur’an, mereka juga mesti berusaha mempelajari ilmu-ilmu syari’at lainnya dengan membaca kitab-kitab agama, menghadiri kelas-kelas agama, ceramah-ceramah agama, atau mempelajari agama daripada guru-guru agama yang memberi bimbingan secara langsung kepada para pelajar atau murid-muridnya.

Menuntut ilmu dalam Islam merupakan ibadat yang dituntut dan tinggi nilainya. Ibnu ‘Abd al-Bar telah meriwayatkan daripada Abu Dzarrin al-Ghiffari r.a. bahawa Rasulullah SAW bersabda; “Bahawa anda keluar di waktu pagi untuk mempelajari satu bab daripada ilmu adalah lebih baik daripada anda solat seratus rakaat”.

Kita mesti menetapkan agenda harian yang tetap, dengan memperuntukkan masa tertentu yang mencukupi untuk menuntut ilmu serta membaca kitab-kitab ilmiyah. Di dalam Islam, agama itu sendiri adalah ilmu dan ilmu adalah agama. Agama adalah ilmu kerana ia berdiri di atas asas pemikiran, penyelidikan, menolak taklid buta dan bersandar kepada pembuktian yang meyaqinkan, bukan kepada sangkaan dan mengikuti hawa nafsu.

Begitu juga ilmu dalam Islam, ianya adalah agama, kerana menuntutnya adalah diwajibkan ke atas setiap muslim dan muslimah sama ada sebagai fardu’ain atau fardu kifayah, dan bergiat dalam bidang ilmu yang bermanfaat, sama ada manfaat duniawi atau ukhrawi, dianggap sebagai ibadat dan jihad di jalan Allah.

Adapun zikir, maka ia merupakan amalan yang berterusan kerana, selain ia merupakan amalan tersendiri, ia juga boleh masuk ke dalam atau ke celah-celah amalan-amalan lain dan boleh mengisi setiap masa yang terluang dari sejak kita bangun dari tidur sehinggalah kita naik semula ke katil untuk tidur.

Begitulah sedikit input berkaitan berjalan menuju Allah yang sering ummi tulis dan katakan di dalam tazkirah pendek atau dikala berpesan-pesan sesama insan. Semoga bermanafaat buat anak-anak semua.

MEMBENTENGI DIRI DENGAN FOKUS MENUJU ALLAH

Salah satu pondasi pokok yang sering dikatakan oleh para sufi dalam thoriq ilallah adalah multafitun fi thoriqillah la yasil (menyimpang dari jalan Allah maka tidak akan sampai). Multafitun berasal dari kata iltifaat yang berarti sibuk dengan segala sesuatu selain Allah ta’ala. Apabila tersingkap beberapa asroor (rahasia) dan anwaar (cahaya), kita harus tetap meneruskan perjalanan menuju Allah. Orang-orang soleh sering mengatakan, “jika tersingkap rahasia-rahasia dan cahaya-cahaya padaku, maka aku segera meminta kepada Allah agar menghilangkannya, karena aku tidak menginginkannya”.

Kasyf (ketersingkapan) ini banyak terjadi pada murid yang baru saja menempuh perjalanan menuju Allah. Apabila ia sudah sampai di tengah atau di akhir, tidak akan ada lagi kasyf. Hal ini berarti bahwa ketika ia meningkat ke derajat dan maqom-maqom di atas, Allah akan menutup kasyf baginya, dan ia akan kembali lagi seperti manusia pada umumnya. Ia tidak lagi memiliki kekhususan dan keistimewaan. Maksud dari semuanya adalah Allah ‘azza wajalla. Beribadah hanya semata-mata karena Allah ta’ala. Nabi bersabda, “Sesungguhnya amalan itu tergantung pada niatnya, dan bagi manusia apa yang diniatkannya”.(HR Bukhori)

Adapun orang-orang yang tenggelam ke dalam dunia dan mencari kenikmatan melalui thoriqoh adalah sebenar-benar bid’ah. Inilah syahwat syaitoniyyah. Jangan sampai kita termasuk golongannya. Suatu ketika ada seseorang yang bertanya kepada Syekh Abu Yazid al-Bustomi, “Wahai Abu Yazid, aku sudah lama beribadah, tetapi mengapa aku tidak merasakan lezatnya ibadah?” Abu Yazid menjawab, “Karena engkau menyembah ibadah. Sembahlah Allah maka engkau akan mendapatkan manisnya ibadah”.

Banyak orang yang bangun malam agar paginya dia bisa berkata bahwa dirinya melaksanakan shalat tahajud. Itu pertanda dirinya tidak ikhlas dalam ibadah. Berbeda dengan wali Allah yang beribadah karena ia rindu kepada Allah ta’ala. Dua kondisi yang jauh berbeda. Orang pertama berkata kepada dirinya sendiri bahwa ia bangun malam, ia sembunyikan ibadahnya, dan tidak ada seorang pun yang melihatnya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang tersebut sedang berkata kepada nafsunya dengan bangga bahwa dirinya adalah orang soleh. Adapun orang yang kedua bangun malam karena rindu kepada Allah ta’ala. Ia tidak peduli apakah ibadahnya akan dilihat orang lain atau tidak. Ia tidak mempedulikan adanya orang yang akan memujinya atau tidak. Di benaknya tidak pernah terlintas tentang perasaan tersebut. Di hatinya hanya ada ruang untuk Allah ta’ala. Perbedaan antara kedua orang ini sangatlah besar. Oleh karena itu Abu Yazid berkata, “Engkau menyembah ibadah sehingga engkau tidak merasakan lezatnya ibadah. Jadi, sembahlah Allah maka engkau akan merasakan lezatnya ibadah”.

Cerita lainnya dari Syekh Abdul Qadir Jaelani. Suatu ketika sang Syekh berkholwat dalam suatu ruangan yang gelap. Tiba-tiba muncul cahaya yang bersinar sangat terang. Kemudian ia mendengar suara yang membuatnya merasakan sesuatu yang enak. Suara itu berkata “Wahai Abdul Qadir, sesungguhnya Allah ingin berkata padamu”, “iya” sahut Syekh. Suara itu berkata lagi “Sesungguhnya aku mencintaimu”. Ketika ia mendengar suara itu, sang Syekh merasa seolah-olah hatinya meleleh seperti melelehnya garam dalam air. Suara itu berkata lagi, “Aku akan mendekatkanmu kepadaku”. Rasa nikmat dan senang yang luar biasa membuat sang Syekh meneteskan air mata. Suara itu lalu berkata lagi, “Aku halalkan bagimu segala yang diharamkan sebelumnya”. Sang Syekh heran dan mendadak berteriak seketika itu juga, “Enyahlah kamu hai syetan laknat!!”. Syekh Abdul Qadir langsung berkata seperti itu tanpa harus berpikir panjang. Hatinya yang jernih tidak memerlukan banyak waktu untuk berfikir apakah sesuatu yang haram itu bisa menjadi halal atau tidak. Ia sudah tahu ‘hakekat’ sejak awal mula ia berjalan menuju Allah ta’ala. Akhirnya sinar terang itu menjadi padam dan suara bagus yang enak didengar itu berubah menjadi suara yang sangat buruk dan memekakkan telinga. Suara itu kemudian berkata, “Aku mengeluarkan tujuh puluh ahli ibadah dari lingkaran ‘ubudiyyah (penghambaan kepada Allah ta’ala) dengan cara ini wahai Abdul Qadir. Tapi ilmumu menyelamatkanmu”. Maksudnya, dengan cara ini syetan mengeluarkan tujuh puluh ahli ibadah itu dari jalan Allah menuju jalan syetan.

Orang-orang yang sudah ma’rifat kepada Allah ta’ala dan yang hanya memiliki satu tujuan hidup yaitu Allah, adalah para ahlullah. Mereka telah melakukan praktek-praktek ibadah yang harus kita ketahui dan kita ikuti. Jika seandainya kita tinggalkan ajaran para sufi dengan mencoba melangkah sendiri berjalan menuju Allah ta’ala dan kemudian terjadi pada kita seperti apa yang terjadi pada Syekh Abdul Qadir Jaelani, kemungkinan kita akan tertipu. Cahaya dan suara yang sebenarnya itu adalah jelmaan iblis la’natullah. Kita akan mengira bahwa Allah benar-benar sudah menghalalkan sesuatu yang haram hukumnya. Ini yang berbahaya.

Untuk itu kita perlu mendengarkan para wali Allah mengenai praktek ibadah. Kita perlu menyimak setiap kalimat yang keluar dari lisannya, memperhatikan nasehat-nasehatnya dan memohon petunjuk-petunjuknya. Dengan demikian kita akan mengerti tentang istilah jalan, iltifat, kasyf, tahliyyah, tajallu, taubat, ridlo, tawakkal, dzikr, dan lain-lain. Selain itu kita juga akan belajar dari para sufi mengenai apa yang akan terjadi jika kita mengamalkan sesuatu. Kita menjadi paham cara menghidupkan makna-makna dan mempraktekkan agama Islam secara benar yang sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits pada kehidupan mereka dalam waktu yang lama. Mereka juga sudah berteman dan berguru kepada para siddiqin dan para ahli ma’rifah yang telah memberitahu mereka mengenai lubang-lubang yang harus dihindari dan bagaimana berjalan menuju Allah ta’ala dengan mata hati yang jernih.

Simpang Jalan Menuju Allah

Terdapat banyak persimpangan dalam perjalan menuju Allah, mulai dari jasmani, nafsani hingga ruhani. Persimpangan tersebut dapat memperdaya para pejalan, bahkan bisa menjadi fatal ketika seseorang salah dalam menentukan arah.

Alkisah, seorang pemuda tiba-tiba berteriak kepada seorang tua pendayung rakit yang biasa membawa penumpang menyeberang sungai: "Awas! Di bawah ada kayu besar melintang, kalau nabrak kita akan terbalik." Orang tua tersebut menjawab sambil tersenyum: "Itu hanya bayangan di dalam air, sebenarnya kayu tersebut ada di atas." Mendengar jawaban tersebut sang pemuda langsung mendongak, dan benar, ia melihat sebatang kayu besar melintang di sana.

Ilustrasi tadi merupakan gambaran bagi orang yang sedang berjalan menuju Allah. Semua yang ada di dunia, pada hakikatnya adalah bayangan yang dapat mempengaruhi konsentrasi. Tak menutup kemungkinan, bayangan bisa menghentikan perjalanan. Itu sebabnya seseorang yang berjalan menuju Allah, sebaiknya memiliki pemandu (baca: Syekh Mursyid).

Ada banyak penjelasan yang dapat membantu seseorang menghindari segala kemungkinan buruk yang mungkin terjadi, ketika berjalan menuju Allah. Dalam kitab Al Jawahir Waddurar, Syekh 'Abdul Wahhab Asy Sya'rani qaddasallahu sirruhu, menyebutkan, Syekh Muhyiddin Ibn 'Arabi berpendapat: "Semua akwan (berbagai keadaan di alam ini) pada dasarnya adalah dinding penghalang dalam memandang Al Haqq (Allah), meski penutup akwan itu dibuat oleh-Nya.

Wallahu A'lam

1 komentar:

  1. Apa sampeyan nggolek perusahaan REAL FINANCIAL CREDIT kanggo menehi utangan saka 10.000 euro nganti 10.000.000.000 euro (kanggo utangan bisnis utawa perusahaan, utangan pribadi, utangan hipotek, utangan mobil, utang konsolidasi utang, modal usaha, utangan kesehatan, lsp. ))
    Utawa, sampeyan nolak utangan saka bank utawa institusi finansial kanthi alesan siji?
    Ndhaptar saiki lan entuk utangan finansial nyata, diproses lan disetujoni sajrone 3 dina.
    FINANCIAL FINANCIAL FINANCIAL FINANCIAL, kita minangka pinjaman utangan ing tingkat internasional, sing menehi PINJAMAN KEWANGAN REAL kanggo individu lan perusahaan kanthi tingkat bunga sing kurang 2% karo ID utawa paspor internasional negara sing bener.
    Pambayaran utang diwiwiti 1 (siji) taun sawise nampa utangan, lan wektu mbayar maneh yaiku saka 3 nganti 35 taun.

    UNTUK TANGGUNGAN GAMPIRAN lan NGEDANGGAL APLIKASI KANGGO BORDER Sajrone 2 Dinten KARYA,
    Hubungi langsung liwat layang iki: pacificfinancialloanfirm@gmail.com

    Hubungi kita karo informasi ing ngisor iki:

    Jeneng lengkap: ____________________________
    Jumlah sing dibutuhake minangka utangan: ________________
    etangan Duration: _________________________
    Tujuan kanggo utangan: ______________________
    Tanggal Lair: ___________________________
    Gender: _______________________________
    Status perkawinan: __________________________
    Alamat Hubungan: _______________________
    Kutha / Kode Pos: __________________________
    Negara: _______________________________
    Pakaryan: ____________________________
    Ponsel: __________________________

    Kirimi panjaluk sampeyan kanggo nanggapi kanthi langsung: pacificfinancialloanfirm@gmail.com

    matur nuwun

    CEO.Mrs VICTORIA JOHNSON

    BalasHapus