Rabu, 12 Desember 2012

GAMBARAN RUH

MENEMBUS ALAM RUH

Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jailani R.A di dalam kitabnya al-Ghunyah; 1/101, menyebutkan: “Di dalam hati manusia terdapat dua ajakan: Pertama ajakan malaikat. Ajakan malaikat itu mengajak kepada kebaikan dan membenarkan kepada yang benar (haq); dan kedua, ajakan musuh. Ajakan musuh itu mengajak kepada kejahatan, mengingkari kebenaran dan melarang kepada kebajikan”. Yang demikian telah diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud R.A.

Al-Hasan al-Bashri R.A berkata: “Sesungguhnya kedua ajakan itu adalah kemauan yang selalu mengitari hati manusia, kemauan dari Allah dan dari musuh, hanya dengan sebab Rahmat Allah, seorang hamba mampu mengontrol kemauan-kemauannya tersebut. Oleh karena itu, apa-apa yang datang dari Allah hendaknya dipegang oleh manusia dengan erat-erat dan apa yang datang dari musuh, dilawannya kuat-kuat “.

Mujahid R.A berkata; Firman Allah s.w.t:

مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ

“Dari kejahatan bisikan setan yang biasa bersembunyi”. (QS. an-Nas; 114/4)

Bisikan itu mencengkram hati manusia, apabila manusia berdzikir kepada Allah, maka setan itu akan melepaskan cengkramannya namun apabila manusia kembali lupa, maka setan itu akan kembali mencengkram hatinya. Muqotil R.A berkata: “Dia adalah setan yang berbentuk babi hutan yang mulutnya selalu menempel di hati manusia, dia masuk melalui jalan darah untuk menguasai manusia lewat hatinya. Apabila manusia melupakan Allah Ta’ala, dia menguasai hatinya dan apabila manusia sedang berdzikir kepada Allah dia melepaskan dan keluar dari jasad manusia itu“.

Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jailani R.A berkata, bahwa di dalam hati ada enam bisikan (khotir): (1) Bisikan nafsu syahwat; (2) Bisikan setan; (3) Bisikan ruh; (4) Bisikan malaikat; (5) Bisikan akal; dan (6) Bisikan keyakinan.

1. Bisikan Nafsu Syahwat

Bisikan nafsu syahwat adalah bisikan yang secara qudroti tercipta untuk memerintah manusia mengerjakan kejelekan dan memperturutkan hawa nafsu.

2. Bisikan Setan

Bisikan setan itu adalah perintah agar manusia menjadi kafir dan musyrik (menyekutukan Allah), berkeluh-kesah, ragu terhadap janji Allah s.w.t cenderung berbuat maksiat, menunda-nunda taubat dan apa saja yang menyebabkan kehidupan manusia menjadi hancur baik di dunia maupun di akherat. Ajakan setan ini adalah ajakan paling tercela dari jenis ajakan jelek tersebut.

3. Bisikan Ruh

Bisikan ruh adalah bisikan yang mengajak manusia mengikuti kebenaran dan ketaatan kepada Allah s.w.t dan juga kepada apa saja yang bersesuaian dengan ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan keselamatan dan kemuliaan manusia, baik di dunia maupun di akherat. Ajakan ini adalah dari jenis ajakan yang baik dan terpuji.

4. Bisikan Malaikat

Bisikan malaikat sama seperti bisikan ruh, mengajak manusia mengikuti kebenaran dan ketaatan kepada Allah s.w.t dan segala yang bersesuaian dengan ilmu pengetahuan dan juga kepada apa saja yang menyebabkan keselamatan dan kemuliaan.

5. Bisikan Akal

Bisikan akal adalah bisikan yang cenderung mengarahkan pada ajakan bisikan ruh dan malaikat. Dengan bisikan akal tersebut sekali waktu manusia mengikuti nafsu dan setan, maka manusia terjerumus kepada perbuatan maksiat dan mendapatkan dosa. Sekali waktu manusia mengikuti bisikan ruh dan malaikat, maka manusia beramal sholeh dan mendapatkan pahala. Itulah hikmah yang dikehendaki Allah s.w.t terhadap kehidupan manusia. Dengan akalnya, supaya manusia mempunyai kebebasan untuk memilih jalan hidup yang dikehendaki namun kemudian manusia juga harus mampu mempertanggungjawabkan atas kesalahan dan kejahatan dengan siksa dan neraka dan menerima balasan dari amal sholeh dengan pahala dan surga.

6. Bisikan Keyakinan

Bisikan yakin adalah Nur Iman dan buah ilmu dan amal yang datangnya dari Allah s.w.t dan dipilihkan oleh Allah s.w.t. Ia diberikan khusus hanya kepada para kekasih-Nya dari para Nabi, ash-Shiddiq, asy-Shuhada’ dan para Wali-wali-Nya. Bisikan yakin itu berupa ajakan yang selalu terbit dari dalam hati untuk mengikuti kebenaran walau seorang hamba itu sedang dalam lemah wiridnya. Bisikan yakin itu tidak akan sampai kepada siapapun, kecuali terlebih dahulu manusia menguasai tiga hal; (1) Ilmu Laduni; (2) Ahbārul Ghuyūb (khabar dari yang gaib); (3) Asrōrul Umur (rahasia segala urusan).

Bisikan yakin itu hanya diberikan oleh Allah Ta’ala kepada orang-orang yang dicintai-Nya, dikehendaki-Nya dan dipilih-Nya. Yaitu orang-orang yang telah mampu fana di hadapan-Nya. Yang telah mampu gaib dari lahirnya. Yang telah berhasil memindahkan ibadah lahir menjadi ibadah batin, baik terhadap ibadah fardhu maupun ibadah sunnah. Orang-orang yang telah berhasil menjaga batinnya untuk selama-lamanya. Allah s.w.t yang mentarbiyah mereka. Sebagaimana yang telah dinyatakan dengan firman-Nya:

إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِي

“Sesungguhnya Waliku adalah Allah, dan Dia mentarbiyah (memberikan Walayah) kepada orang-orang yang sholeh”. (QS. al-A’raaf; 7/196)

Orang tersebut dipelihara dan dicukupi dengan sebab-sebab yang dapat menyampaikan kepada keridlaan-Nya dan dijaga serta dilindungi dari sebab-sebab yang dapat menjebak kepada kemurkaan-Nya. Orang yang setiap saat ilmunya selalu bertambah. Yaitu ketika terjadi pengosongan alam fikir, maka yang masuk ke dalam bilik akalnya hanya yang datangnya dari Allah s.w.t. Seorang hamba yang ma’rifatnya semakin hari semakin kuat. Nurnya semakin memancar. Orang yang selalu dekat dengan yang dicintainya dan yang disembahnya. Dia berada di dalam kenikmatan yang tiada henti. Di dalam kesenangan yang tiada putus dan kebahagiaan tiada habis. Surga baginya adalah apa yang ada di dalam hatinya.

Ketika ketetapan ajal kematiaannya tiba, disebabkan karena masa baktinya di dunia fana telah purna, maka untuk dipindahkan ke dunia baqo’, mereka akan diberangkatkan dengan sebaik-baik perjalanan. Seperti perjalanan seorang pengantin dari kamar yang sempit ke rumah yang luas. Dari kehinaan kepada kemuliaan. Dunia baginya adalah surga dan akherat adalah cita-cita. Selama-lamanya mereka akan memandang wajah-Nya yang Mulia, secara langsung tanpa penghalang yang merintangi. Allah s.w.t menegaskan hal tersebut dengan firman-Nya:

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ (54) فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيكٍ مُقْتَدِرٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu, berada di taman-taman dan sungai-sungai – Di tempat yang disenangi di sisi Tuhannya yangMaha Kuasa” .
(QS. al-Qomar; 54/54)

Dan firman Allah s.w.t:

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ

“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik dan tambahan “. (QS. Yunus; 10/26)

Firman Allah s.w.t di atas: “Ahsanuu”, artinya berbuat baik dengan menta’ati Allah s.w.t dan Rasul-Nya, serta selalu mensucikan hatinya dengan meninggalkan amal ibadah yang selain untuk-Nya. Allah s.w.t akan membalasnya di akherat dengan surga dan kemuliaan. Diberi kenikmatan dan keselamatan. Ditambahi dengan pemberian yang abadi. Yaitu selama-lamanya memandang kepada wajah-Nya yang Mulia.

“Nafsu dan Ruh” adalah dua tempat bagi setan dan malaikat. Keadaannya seperti pesawat penerima yang setiap saat siap menerima signal yang dipancarkan oleh dua makhluk tersebut. Malaikat menyampaikan dorongan ketakwaan di dalam ruh dan setan menyampaikan ajakan kefujuran di dalam nafsu. Oleh karena itu, nafsu selalu mengajak hati manusia untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan fujur.

Di antara keduanya ada Akal dan Hawa. Dengan keduanya supaya terjadi proses hikmah dari rahasia kehendak dan keputusan Allah yang azaliah. Yaitu supaya ada pertolongan bagi manusia untuk berbuat kebaikan dan dorongan untuk berbuat kejelekan. Kemudian akal menjalankan fungsinya, memilih menindaklanjuti pertolongan dan menghindari ajakan kejelekan, dengan itu supaya tidak terbuka peluang bagi hawa untuk menindaklanjuti kehendak nafsu dan setan. Sedangkan di dalam hati ada dua pancaran Nur, “Nur Ilmu dan Nur Iman”. itulah yang dinamakan yakin. Kesemuanya indera tersebut merupakan alat-alat atau anggauta masyarakat hati. Hati bagaikan seorang raja terhadap bala tentaranya, maka hati harus selalu mampu mengaturnya dengan aturan yang sebaik-baiknya. (Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jailani, “Al-Ghunyah”; 1/101)

Walhasil, yang dimaksud alam ruhaniah itu bukan alam jin atau alam ghaib, tetapi alam-alam batin yang ada dalam jiwa manusia. Alam batin yang menyertai alam lahir manusia secara manusiawi. Dengan alam batin, manakala indera-indera yang ada di dalam alam batin itu hidup, maka manusia bisa mengadakan interaksi dengan makhluk batin dengan segala rahasia kehidupan yang ada di dalamnya sebagaimana dengan alam lahir manusia dapat mengadakan komunikasi dengan makhluk lahir dengan segala urusannya.

Untuk menghidupkan indera-indera yang ada di alam batin tersebut, manusia harus mampu mencapainya dengan jalan melaksanakan mujahadah dan riyadhoh di jalan Allah. Mengharapkan terbukanya matahati (futuh) dengan menempuh jalan ibadah (thoriqoh) dengan bimbingan seorang guru mursyid sejati. Perjalanan tersebut bukan menuju suatu tempat yang tersembunyi, melainkan menembus pembatas dua alam yang di dalamnya penuh mesteri. Dengan itu supaya ia mencapai suatu keadaan yang ada dalam jiwa yang dilindungi, supaya dengan keadaan itu ia dapat menemukan rahasia jati diri yang terkadang orang harus mencari setengah mati. Itulah perjalanan tahap awal yang harus dicapai seorang salik dengan sungguh hati. Lalu, dengan mengenal jati diri itu, dengan izin Allah selanjutnya sang pengembara sejati dapat menemukan tujuan akhir yang hakiki, yakni menuju keridhoan Ilahai Rabbi. (malfiali, Januari 2009)

PENGERTIAN JIWA DAN ROH

Jiwa, dalam bahasa Arab disebut Nafs, dan dalam bahasa Yunani disebut Psyche yang diterjemahkan dengan jiwa atau Soul dalam bahasa Inggris. Sedangkan Roh biasanya diterjemahkan dengan Nyawa atau Spirit.

Jadi, sebenarnya, sejak manusia mengalami proses kejadian Sampai sempurna menjadi janin dan dilahirkan ke atas dunia, telah ada unsur lain yang bukan fisik material yang ikut menyusun semua peristiwa penciptaan itu. Justru adanya unsur non-fisik inilah yang membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya sebagai satu kelebihan. Kelebihan ini akhirnya tampak nyata pada norma-norma nafsiyah (psikologis) dengan segala kegiatannya.

Jadi, apa jiwa itu?

Plato (477-347 sM) berpendapat bahwa jiwa itu adalah sesuatu yang immaterial, abstrak dan sudah ada lebih dahulu di alam praserisoris. Kemudian is bersarang di tubuh manusia dan mengambil lokasi di kepala (logition, pikiran), di dada (thumeticon, kehendak) dan di perut (abdomen, perasaan). Pendapat ini kemudian dikenal dengan istilah Trichotomi. Menurut Plato, ketiga unsur inilah yang mendasari seluruh aktivitas manusia. Dengan kata lain, seluruh kegiatan hidup kejiwaan manusia mempunyai dasar yang kuat pada ketiga unsur tersebut. Sejajar dengan trichotominya, Plato mengatakan bahwa manusia akan memiliki sifat Bijaksana (jika pikiran menguasai dirinya) dan Ksatria atau Berani (jika kehendak menguasai dirinya) serta Kesederhanaan (jika perasaannya tunduk pada akalnya). Maka apabila ketiga sifat itu menguasai manusia,berarti ia telah memiliki kesadaran sebagai manusia. Sadar artinya mengerti secara aktif. Dengan kesadaran inilah, manusia selalu cenderung untuk menentukan sendiri bentuk-bentuk aktivitas hidupnya dan tingkah-laku yang diwujudkannya, maupun finalita dalam kehidupannya.

Aristoteles (384-322 sM) berpendapat lain dari gurunya. Menurut dia jiwa itu adalah daya hidup bagi makhluk hidup. Jadi, di mana ada hidup di situlah ada jiwa. Daya kehendak dan mengenal merupakan dua fungsi jiwa manusia. Kemudian pendapatnya ini dikenal dengan istilah dichotomi. Selanjutnya dia menjelaskan, bahwa jiwa sebagai sesuatu yang abstrak (dunia idea) halus menempati atau berada dalam tubuh (dunia materi) menjadi daya hidup yang nyata, (realita). Karena realisasi dari jiwa ini memang merupakan tujuan untuk membentuk sesuatu (tingkah laku) menurut hakikatnya yang sudah ditentukan terlebih dahulu untuk mencapai suatu tujuan, maka ia menjadi. Menjadi di sini berarti kemungkinan untuk berwujud. Artinya, semua potensi yang ada akan menampak nyata (aktual). Jiwa itulah potensi yang ada dalam tubuh sehingga mengaktualisasi dalam bentuk tingkah-laku. Sebelum tingkah laku itu terwujud, ia masih merupakan kemungkinan (potensial) dan setelah terbentuk atau terjadi maka ia disebut Hule. Setiap kejadian (hule) pasti ada yang menjadikan (Murphe) dengan demikian, dalam diri manusia terdapat unsur Hule-Morpheisme.

Rene Descartes (1596-1656 M) berpendapat bahwa jiwa merupakan Zat Rohaniah, dan tubuh adalah Zat Jasmaniah. Dari zat rohaniah inilah munculnya tingkah laku manusia yang disebut tingkah laku rasional. Sedangkan dari zat jasmaniah itu muncul tingkah laku mekanis. Antara dua zat kejiwaan dan zat ketubuhan itu berada dalam perbedaan yang terpisah, tetapi keduanya dihubungkan dengan adanya kelenjar Pinealis, sehingga rangsang-rangsang ketubuhan dapat diteruskan melalui kelenjar ini ke aspek kejiwaan dan sebaliknya. Selanjutnya dia menyatakan bahwa jiwa manusia berpokok pada kesadaran atau akal pikirannya, sedangkan tubuhnya tunduk kepada hukum-hukum alamiah dan terikat kepada nafsu-nafsunya. Paham ini dikenal dengan Dualisme.
Selain Descartes ada sarjana yang berpendapat bahwu untura ketubuhan dan kejiwaan (jiwa dan raga) itu tidak dapat bedakan karena keduanya merupakan kesatuan secara interaksi, dan tidak saling terpisah, tetapi merupakan satu hubungan kausalitas. 
Pendapat ini kemudian dikenal dengan teoriMonisme.

Kemudian, apa perbedaan jiwa dengan roh?

Diambil rata, membicarakan masalah roh itu memang kurung menarik perhatian, kecuali beberapa orang tertentu yang memperhatikan dirinya serta ingin memahami fungsi roh pada tubuhnya. Yang mempersoalkan roh pertama kali adalah kaum Yahudi, yang dijawab oleh wahyu:"Katakanlah Muhammad, bahwa roh itu menjadi urusan Tuhanku saja." (QS Al Isra': 85).

Mengapa demikian?

Memang, sampai sekarang masalah roh merupakan ruang kosong dalam analisis dunia sains. Hakikat wujudnya tidak terjaring oleh kemampuan penalaran rasional manusia, apalagi hanya dengan pengamatan mata telanjang. Berpijak pada ayat di atas, para mufassir mencoba memberikan sedikit pengertian tentang roh ini, antara lain:
Ibnu Qayyim al Jauzy menyatakan pendapatnya, bahwa, roh merupakan jisim nurani yang tinggi, hidup bergerak menembusi anggota-anggota tubuh dan menjalar di dalam diri manusia. Kalau tubuh sehat dan menerima bekas-bekas dari jisim halus ini, maka ia akan tetap kekal berjalin dengan tubuh dan menghasilkan beberapa daya atau kemampuan rohaniah. Sebaliknya kalau tubuh itu rusak, maka ia melepaskan diri dan berpisah menuju alam arwah. Akan tetapi ia tidak musnah. Yang mati itu adalah nafs. Jadi, perbedaan antara nafs dan roh adalah perbedaan dalam sifatnya.

Imam Al Gazaly berpendapat bahwa roh itu mempunyai dua pengertian; Roh Jasmaniah dan Roh Rohaniah. Roh jasmaniah ialah zat halus yang berpusat di ruangan hati (jantung)serta menjalar pada semua urat nadi (pembuluh darah) tersebut,- ke seluruh tubuh. Karenanya manusia bisa bergerak (hidup) dan dapat merasakan berbagai perasaan serta bisa berpikir, atau mempunyai kegiatan-kegiatan hidup kejiwaan. Sedangkan roh rohaniah adalah bagian dari yang ghoib. Dengan roh ini manusia dapat mengenal cirinya sendiri, dan mengenal Tuhannya serta menyadari keberadaan orang lain, (berkepribadian, ber-Ketuhanan dan berperikemanusiaan), serta bertanggung jawab atas segala tingkah-lakunya. Roh inilah yang memegang komando dalam seluruh hidup dan kehidupannya, karena roh ini yang menerima perintah dari Allah dan larangan-Nya. Tetapi ia bukan jisim, bukan nafs, dan bukan sesuatu yang melekat pada lainnya. Ia merupakan substansi yang wujud, berdiri sendiri, diciptakan, oleh karenanya hanya menjadi urusan Penciptanya saja.

Prof. Dr. Syekh Mahmoud Syaltout mengatakan bahwa Roh itu memang sesuatu yang ghoib dan belum dibukakan oleh Allah bagi manusia. Akan tetapi pintu penyelidikan tentang hal-hal yang ghoib masih terbuka karena tidak ada nash agama yang m'enutup kemungkinannya. Selanjutnya dia menegaskan bahwa Roh merupakan sesuatu kekuatan ghoib yang menyebabkan -kehidupan pada makhluk hidup. Roh (faktor X) inilah yang berfungsi sebagai penegak nafs. Dalam Alkuran' (Quran) ada 19 ayat tentang roh dengan konteks pembicaraan yang berbeda-beda. Para ulama pun tidak sampai dengan tegas menyatakan pendapatnya apakah roh itu sama dengan nafs, sesuku dengan tubuh, suatu sifat, substansi atau atom yang terlepas samasekali dengan lainnya. Sedangkan ayat yang menyatakan bahwa setelah penciptaan tubuh fisik ini sempurna kemudian Allah meniupkan roh-Nya (Al Hijr: 29), menurut pendapat yang lebih bersifat psikis adalah, terwujudnya pengaruh roh itu pada jasad sehingga jasad kasar ini berfungsi dan melakukan perannya, baik yang berhubungan dengan aspek kejiwaan maupun aspek ketubuhan.

Mempersoalkan tentang sesuatu yang sifatnya ghaib seperti jiwa itu terasa agak ganjil bagi sementara orang, karena, orang 

hanya akan mengira-ngirakan kepada sesuatu yang tidak dapat dipegang, diraba, dilihat, ditimbang, diukur bahkan abstrak secara total. Dugaan itu ada benarnya, tetapi, banyak salahnya. Jiwa sebagai sesuatu yang abstrak, bersifat subjektif, bebas dan pribadi, dapat menimbulkan kesadaran, tapi memerlukan hubungan dengan fisik (tubuh). Karenanya ia dapat dipelajari bagaimananya dan tidak dapat diketahui apanya, kebalikan dari wujud Tuhan yang dapat dipelajari apa (wujud)-nya tetapi tidak bisa diketahui bagaimananya. Berbicara tentang manusia dari kejadiannya, tidak dapat terlepas dari pada hukum-hukum penciptaan keseluruhannya. Setiap insan yang beriman sependapat bahwa manusia merupakan makhluk yang diciptakan, artinya bukan ada dengan sendirinya. Akan tetapi belum semua manusia sependapat bahwa penciptaan atas manusia itu meliputi jasmani-rohani, lahir-batin, jiwa-raganya, atau keseluruhannya secara utuh. Berbeda dengan logika semu yang ditarik-tarik oleh pola pemikiran insani dalam menetapkan adanya Allah sebagai Maha Pencipta, maka Al Quran ,memakai dalil-dalil aksioma (patokan-patokan yang berdasar kenyataan) dengan tekanan-tekanan yang jelas, sederhana dan mudah dicerna oleh segala tingkat pemikiran mulai dari pemikiran kampungan sampai ke pemikiran filosofis. Orang yang berpikir sederhana pun dapat mengetahui dalil-dalil tersebut dalam garis-garis yang pokok karena kesederhanaan, kejelasan dan keaksiomaan yang terkandung di dalam dalil-dalil itu sendiri. Adapun bagi orangorang alim dan cerdik pandai, maka dalil-dalil tersebut dapat diperdalam secara terinci, yang secara keseluruhan dapat membentuk suatu rumusan pikiran yang tersusun, sehingga pengingkaran terhadapnya sama saja dengan mengingkari terhadap 2 x 2 = 4. Tentang kejadian manusia jasmani dan rohani kita dihadapkan kepada kenyataan adanya aktualita Bina Cipta Ilahi yang bersumber pada dalil aksiomatis ini:

a. Dalil Penciptaan (ikhtira')

Tuhan adalah Pencipta Tunggal atas adanya segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang tidak (lahir-batin). Informasi tentang ini dapat kita baca dalam Surat Al Mu'min: 62

b. Dalil Pembinaan (al 'inayah)

Tuhan bukan hanya pencipta kemudian setelah jadi lalu dibiarkan begitu saja berjalan tanpa hukum dan aturan-aturan tertentu. Balk makhluk hidup ataupun benda mati, diikat oleh hukum dan aturan tertentu yang dicipta sebagai proses. Informasi tentang ini dapat kita baca dalam Surat Al A'la: 2-3.

c. Dalil Keteraturan (an nidham )

Semua ciptaan Tuhan berada dalam proses (tidak statis), serta berada dalam kadar sebab akibat tertentu. Segala benda itu punya tabiat sendiri-sendiri, berproses secara tetap dan berulang. Kalau keteraturan ini tidak ada, manusia tidak mungkin punya jiwa, dan sebagainya. Informasi tentang ini dapat kita baca dalam Surat Al Furgan: 2.

Adapun penjabaran dan pengembangan proses tentang adanya hukum dan aturan itu, diserahkan kepada kemampuan akal intelek manusia untuk menerjuni selidik sedalam-dalamnya, karena Alkuran memang bukan buku pelajaran yang memuat deretan dalil-dalil fisika, kimia atau biologi, dan bukan pula buku ensiklopedi, juga bukan tujuan Alkuran untuk menuntun manusia kepada ilmu-ilmu pengetahuan melalui pengajaran. Ayat-ayat yang disusun di dalamnya lebih bersifat memberi isyarat akan adanya rangkaian ilmiah yang terdapat di dalam penciptaan alam semesta dan seisinya dan pada diri manusia sendiri, yang sebagian telah berhasil diungkap oleh kemampuan dan potensi psikis manusia, walaupun masih lebih banyak yang belum tergali.

"Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alkuran (Quran) itu adalah benar." (Fushshilat: 53) 

Menanggapi ayat seperti ini, orang yang berpikiran seder-liana pun mudah menangkap bahwa apa yang terdapat pada penciptaan alam semesta dan diri manusia itu sendiri merupakan tanda-tanda adanya Kehendak- Kekuasaan- Kebijaksanaan-ilmuKetelitian- Keseimbangan-Kerapian- Kesengajaan- yang semuanya itu menguatkan adanya Penciptaan yang Dahsyat. Untuk mengarahkan dan memelihara pemahaman semacam inilah kepada manusia diberikan kesadaran yang berpusat pada adanya Jiwa (akal pikiran, kehendak-perasaan) yang dengannya pula manusia dilimpahi kepercayaan serta dibebani kewajiban sehingga hubungan manusia dengan Tuhannya menimbulkan tingkah laku bermotivasi, yang dilatarbelakangi nilai-nilai ibadah.

Tentang mengapa Allah memilih manusia sebagai pelaksana dari amanat-Nya itu adalah karena manusia mempunyai kelebihan dibandingkan dengan makhluk lainnya. (Baca: Surat Al Isra': 70). Dan kelebihan itu tampak pada adanya normanorma nafsaniyah (psikologis) dengan segala potensi yang mendukungnya, sehingga manusia yang sadar sepenuh jiwanya, akan mengarahkan seluruh kegiatan hidup kejiwaannya itu menuju taqwa.

"Wahai manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafsin wahidah dan menciptakan dari padanya jodohnya, dan mengembangbiakkan dari kedua lakilaki dan wanita yang banyak." (An Nisa': 1)

H. Hassan dan Al Jawahir at Thanthawy, menafsirkan Nafsin Wahidah sama dengan Nabi Adam. Jodohnya ialah Hawa, diciptakan dari Adam (padanya). Demikian pula tafsir Alkuran Departemen Agama Republik Indonesia yang diperkuat dengap hadits riwayat Bukhari Muslim. Akan tetapi dinyatakan pula penafsiran lain yang berpendapat bahwa nafsin-wahidah adalah unsur yang serupa, yakni tanah, yang daripadanya Adam diciptakan.

Maulawi Muhammad Ali (Ahmadiyah Lahore) dalam Quran Suci terjemahan Jawa mengulas, pertama, menurut Abu Ishaq bahwa di kalangan orang Arab perkataan nafs dipakai dua macam arti, yaitu seperti Roh atau Jiwa. Kedua, berarti: Kesatuan sesuatu, berserta sarinya, yang dari padanya juga terjadinya jodoh. Jadi, nafs di sini berarti jenis yang berarti sari (sari yang sejenis: an Nahl, 72).

H. Zainuddin Hamidy cs dalam tafsir Qurannya berpendapat, bahwa nafs berarti jenis atau bangsa manusia.
Syekh M. Abduh dalam tafsir Al Manar menerangkan bahwa nafs wahidah itu bukan Adam, buktinya ada ayat wa batstsa min humaa rijalan katsiran wa nisaa an. Kata Sayid Rasyid Ridla, kalau ditafsirkan dengan Adam, tidak ada alasan dari nash ayat melainkan hanya menerima dari masalah bahwa Adam adalah ayah sekalian manusia.

Prof. Hasby .Ash Shiddiqi dalam tafsir An Nur hanya mengatakan diri yang satu yaitu insan yang dari padanya asal keturunan yang lain.

Al Fatkhur Razy dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kejadian Adam dan Hawa tidak didapat suatu dalil yang qath'i (pas), bagaimananya dan apanya, sebab Alkuran hanya menerangkan secara global saja. Tentang penafsiran selanjutnya tidak sampai kepada asal kejadian itu.

Terlepas dari bermacam-macamnya penafsiran, kami memilih kepada apa yang berkaitan dengan pembahasan buku ini, yakni mod kejadian yang sejenis. yang daripadanya manusia pertama beserta jodohnya diciptakan, kemudian dari keduanya ini keturunan-keturunan yang sejenis pula (jenis insan).

Dengan demikian maka isyarat yang dapat ditangkap dari padanya dapat mengantarkan kepada pengenalan dan pengertian

kita dalam bentuk struktural dan fungsional. Sesuatu yang bisa dijelaskan dari isyarat itu dan yang telah dikembangkan bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, bahwa di dalam kerahasiaan nafsin-wahidah ini, dia bersifat Hereditair, Terus-menerus berketurunan pada kesam aan jenisnya, dalam hal Ini jenis insan. (Al A'raf: 189). Tanpa kenyataan ini, maka pertemuan antara sperma dengan ovum hanyalah semata-mata pertemuan antara materi dengan materi. Di sinilah sebenarnya kita mengarahkan sekuat-kuat dugaan. bahwa misteri yang Lerkandung di dalam plasma yang mendasari sel-sel manusia fisik adalah berhubungan erat dengan kerahasiaan nafsin-wahiah ini. Teka-teki ini diperkuat lagi oleh dugaan tentang makna ayat lalu ditetapkan dan ditumpangkan [tempat ketetapan (Sulbi) dan tempat penitipan (Rahim)- Al An'am: 98, Ath Thariq: 4-10]. Dan dugaan semakin bertambah kuat, bahwa apa yang disebut Nuthfah, (sperma, air mani) itu sudah merupakan kesatuan senafas antara nafsin-wahidah dengan materi, yang dengan demikian manusia adalah tersusun dari NafsaniJasmani yang senafas, atau merupakan psiko-fisik yang membentuk pribadi sebagai totalitas. Tentang manusia fisik dari kenyataan materialnya (mani) semua kita dan ilmu kedokteran sudah memberikan pernyataan, bahwa materi yang terpancar dari sulbi laki-laki itu secara anatomis terdiri dari beberapa unsur tertentu. Akan tetapi kalau ditelusuri lebih mendalam lagi, ternyata ada kegiatan-kegiatan interaksi yang sukar diikuti dimana Alkuran memberi tekanan: Maka hendaklah manusia memperhatikan (QS AthThariq: 5). dan: Sudahkah kamu perhatikan apa yang kamu pancarkan itu. Al Waqi'ah: 58).

Selanjutnya, sebagaimana kita maklumi bersama bahwa pertumbuhan fisik manusia berlangsung 'secara bertahap menuju kesempurnaannya, (Al Mu'minun: 12-14) dan demikian pula dengan perkembangan nafsin yang penuh kerahasiaan itu mendapatkan bagian dengan caranya sendiri dan tersembunyi untuk menuju kesempurnaannya (As Syams: 7-10).

Demikianlah pertumbuhan dan perkembangan manusia sebagai makhluk psiko-fisik dalam prosesnya yang kemudian menjadi pokok pembahasan psikologi. Setiap nafsani memiliki potensi, kemampuan, kegiatan, derivat (keadaan yang menurun dari satu sumber, berasal) baik ke dalam (in abstrakto) maupun ke luar (in manifesto) yang direalisasikan oleh kegiatan-kegiatan jasmaniah (in konkreto) yang kesemuanya itu, baik yang bersifat intensional atau konsepsional maupun dalam bentuk realisasi, sumbernya adalah satu, yaitu Nafs (jiwa) dalam kedudukannya sebagal individu atau pribadi, yang ditegakkan (dinafasi) oleh kekuatan metafisik yang kemudian disebut dengan Roh (spirit, nyawa) sehingga daripada kesatuan dwi-unsur ini muncullah tingkah-laku manusia yang sekarang diakui sebagai objek dari psikologi. Jadi, psikologi sekarang adalah Ilmu Nafs suatu cabang ilmu yang mempelajari tingkah laku dengan latar belakang nafs (jiwa).

PSIKOLOGI

Apakah psikologi dan apa objeknya? Jawaban pertanyaan di atas sebenarnya terdapat di dalam diri manusia sendiri, sebab bila dua orang bercakap-cakap tentang dirinya, tentang orang lain, dengan tidak disadari sebetulnya mereka telah berpsikologi dalam praktik. Hampir seluruh isi dari pembicaraan kita sehari-hari adalah masalah-masalah psikologi. Sebab, dimana ada manusia di situlah psikologi digunakan. Akan tetapi psikologi yang digunakan itu bersifat intuitif, belum scientific. Baru berdasarkan pengalaman dan belum berdasarkan ilmiah. Misalnya kita secara kebetulan memperoleh kesan-kesan umum mengenai tingkah-laku dan sifat-sifat kepribadian .seseorang, kita sudah berpsikologi intuitif. Akan tetapi untuk disebut berpsikologi ilmiah, kita harus bisa mengumpulkan keterangan mengenai kepribadian orang itu dilengkapi dengan metode-metode yang lebih objektif kemudian disusun secara sistematis rasional.

Jadi, apa psikologi itu sebenarnya? Ilmu adalah dinamis. Karenanya setiap ilmu mempunyai ciri khas, yaitu terus-menerus mendefinisikan diri. Definisi lama diganti dengan batasan haru sesuai dengan kemajuan zaman dan perubahan jalan pikiran manusia, terutama ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Teryata psikologi juga mengikuti jejak itu.

Psikologi (Psyche dan Logos) diterjemahkan dengan Ilmu Jiwa yang artinya sama yaitu Ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan. Hanya istilah psikologi merupakah istilah scientific, tetapi Ilmu Jiwa lebih bersifat umum, dan istilah sehari-hari yang sudah banyak dikenal orang. Kemudian, dalam sejarah perkembangannya, arti psikologi menjadi Ilmu yang mempelajari Tingkah laku-manusia. Ini disebabkan oleh jiwa yang mengandung anti yang abstrak itu sukar dipelajari secara objektif. Di samping itu keadaan jiwa seseorang melatarbelakangi timbulnya hampir seluruh tingkah lakunya.

Sekalipun sekarang ini Para sarjana sudah sepakat bahwa, objek dari psikologi adalah tingkah laku, tetapi mengenai tingkah laku yang bagaimana yang dipelajari psikologi, masih terus menjadi bahan penyelidikan dan pembahasan dari ilmu jiwa. Para ahli yang menitikberatkan pembahasannya pada tingkah laku manusia dewasa, normal dan berbudaya, dengan sifat-sifat dan ciri-ciri yang berlaku pada setiap individu manusia umumnya, maka hal ini menjadi pokok bahasan PSIKOLOGI UMUM.

Apabila penyelidikan tingkah laku individu itu dilihat secara lebih mendalam dan dari jarak yang lebih dekat dihubungkan dengan situasinya sehari-hari dan lingkungan serta pengalaman-pengalaman pribadinya, maka sekarang sudah menjadi wewenang PSIKOLOGI KEPRIBADIAN. Dengan psikologi ini kita alcan mengenal watak, karakter, tipe dan kedirian masing-masing individu. 

Di sisi lain, kepribadian seseorang tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh dan berkembang secara periodik mulai sejak pranatal hingga tua, dan periode masing-masing menunjukkan tingkah laku sendiri-sendiri, sehingga ada tingkah laku anakanak, remaja, dewasa dan orang tua. Pertumbuhan dan perkembangan ini muncul dari dua kekuatan yang mempengaruhi, yaitu kekuatan dari dalam diri dan dari luar diri manusia, atau kekuatan dasar dan ajar. Persoalan ini, menjadi bahasan PSIKOLOGI PERKEMBANGAN.

Segi utama yang juga menjadi pokok bahasan ilmu jiwa modern ialah bahwa manusia secara hakiki merupakan makhluk sosial. Manusia disebut manusia kalau ia sudah berhubungan dengan manusia lain. Bahkan sejak ia dilahirkan, ia membutuhkan 
bergaul dengan orang-orang di sekitarnya, untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Dan sejak itulah sebenarnya manusia sudah menerima kontak sosial, kemudian secara lambat laun ia mengalami perkembangan yang bukan hanya segi biologisnya tetapi juga secara psikis.. Bahkan menurut para ahli, apabila manusia tidak ada hubungan psikis antara ia dengan ibunya sejak bayi, perkembangan dan pertumbuhannya akan mengalami 

hambatan untuk sekian lamanya. Kemudian, setelah ia mulai bergaul dengan kawan-kawan sebayanya dan mengadakan interaksi dengan lingkungannya, ia tidak lagi hanya menerima kontak sosial melainkan juga dapat memberikan kontak sosial. Dari situ pula ia mulai mengerti bahwa di dalam interaksi sosial itu, di dalam kelompoknya itu terdapat norma-norma yang hams dipatuhi dan memahami pula bahwa dirinya ikut serta membentuk norma-norma dan peraturan tertentu, sehinga ia pun menyadari keberadaannya dan bahwa dirinya mempunyai  peranan, maka ia hams beradaptasi dan bersosialisasi dengan cara mengebelakangkan keinginan dan kepentingan Indlividualnya demi kelompoknya. Masalah ini menjadi pokok bahasan PSIKOLOGI SOSIAL.

Bahwa manusia merupakan makhluk yang ber-Ketuhanan sebenarnya tidak usah dibuktikan lagi, seperti halnya kehidupan psikis lainnya yang telah diselidiki dan menjadi pokok bahasan psikologi itu.

Sebab bagi setiap manusia pada umumnya telah disadari dan sulit sekali untuk menolak atau mengingkari adanya kepercayaan kepada Tuhan. Memang, Tuhan itu sulit dibuktikan sem empiris eksperimental oleh mereka yang belum ber-Ketuhanan. Ini tidak berarti bahwa Tuhan itu tidak ada. Dan bagi mereka yang belum sadar akan segi kemanusiaannya sebagai makhluk yang diciptakan, sukar sekali untuk menerima atau mengakui adanya Tuhan, jadi, berarti sulit sekali baginya untuk menerima hakikat dirinya dari segi kemanusiaannya itu. Kaumsebenarnya tanpa disadari sudah ber-Ketuhanan walaupun dalam bentuk pertuhanan kepada benda-benda, orang-orang atau gagasan dan ideologi. Sebab hakikatnya mereka adalah orang-orang yang belum menyadari kemanusiaannya. Jadi, dengan begitu secara psikis dapatlah diakui pula bahwa segi manumit* sebagai makhluk ber-Ketuhanan itu dapat dengan sadar atau tidak sadar digerakkan oleh suatu objek yang bukan merupakan Tuhan Yang Mahaesa. Jadi, Tuhan menurut kaum atheis adalah apa yang dipercayai, apa yang mereka akui sebagai Tuhan. kenyataan ini, kesadaran ber-Ketuhanan - selain mempertuhabkab selain Tuhan Yang Mahaesa — pengalaman beragama yang merupakan bagian yang hadir dalarn pikiran dan perasaan itu harus dibahas dalam PSIKOLOGI AGAMA.

Lebih jauh psikologi ini mengemukakan hasil penelitiannya tentang  pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang dan bagaimana cara seseorang berpikir, berkehendak dan berperasaan tidak dapat dipisahkan dari kebertuhanannya, sebab kepercayaan kepada Tuhan itu masukke dalam konstruksi kepribadiannya atau mekanisme naluriah yang bekerja dalam dirinya.

"Barang siapa mengenal nafs-nya maka is akan kenal kepada Tuhannya."

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa beberapa aspek kejiwaan ikut menyertai kehidupan beragama. Artinya, bagaimana Pikiran, Perasaan, Kehendak (atau jiwa) seseorang secara individual terhadap Tuhannya (agamanya) dapat dilihat dari pengaruhnya pada tingkah lakunya dan sikap hidupnya. Untuk menyeru, mengajak, memanggil jiwa manusia ini, atau meluruskan, mengubah atau mengarahkan tingkah lakunya dan sikap hidupnya ke jalan Allah, maka tugas ini adalah wewenang Ilmu Dakwah.


PEMIKIRAN ISLAM TENTANG JIWA DALAM FILSAFAT ISLAM

Manusia adalah makhluk yang memiliki kelebihan dan kekurangan . Puncak kelebihannya bisa lebih mulia dari malaikat, dan titik terendah kekurangannya lebih hina dari binatang . Tetapi dibalik kelebihan dan kekurangannya itu, manusia adalah makhluk yang penuh misteri. Tidaklah mengherankan jika kemudian muncul begitu banyak kajian, penelitian ataupun pemikiran tentang manusia dalam segala aspeknya. Salah satunya adalah tentang jiwa.
Pemahaman tentang jiwa pada manusia merupakan salah satu bagian dari kajian filsafat. Plato banyak menghabiskan waktunya melakukan penelitian tentang jiwa. Bahkan Sokrates mencurahkan seluruh pemikirannya untuk mengetahui kemisterian jiwa, sebagaimana dalam ungkapannya “kenalilah dirimu”. Dua kata inilah, ia memulai filsafatnya dan dengan dua kata ini pulalah ia mengakhiri hidupnya. 

Ungkapan “man ‘arafa nafsah ‘arafah rabbah”, yang populer di kalangan ahli tasawwuf memberi bukti lain bahwasanya manusia terus menyelami kemisterian jiwa untuk menyingkap hakekat sesungguhnya. Karena dengan ketersingkapan itu, akan menjadi pintu masuk mengenali Tuhan.

Dalam al-Qur’an, akan dijumpai ayat-ayat yang memberi isyarat untuk mengetahui jiwa. Di antaranya Q.S. Al-Zariyat : 20-21; 

وَفِي الْأَرْضِ آَيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ () وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ (20-21)... 

Artinya : Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?

Jika saja para filosof dengan rasionalitasnya, dan para sufi dengan ma’rifahnya (pengetahuan rasa) berusaha menyingkap hakekat jiwa, bahkan menghabiskan banyak waktunya, serta adanya dukungan teks-teks al-Quran, ini berarti, Jiwa menjadi sumber pengetahuan tidak terbatas, sumber pikiran yang jelas akan tetapi hakikatnya belum mampu diketahui dan disingkap oleh manusia, ia masih diliputi oleh kerahasiaan dan tetap saja dalam kemisteriannya. Perdebatan dan perbedaan pendapat para ulama dengan sudut pandang yang berbeda-beda, semakin memperluas pemahaman makna jiwa. 

Kenyataan yang tidak dapat dinyalahi bahwa persoalan jiwa adalah salah satu rahasia Tuhan yang ada pada diri hamba-Nya, ia hadir menjadi teka-teki yang belum terpecahkan secara sempurna, tetapi menimbulkan banyak pendapat. Oleh karena itu, kajian tentang jiwa merupakan suatu hal yang urgen untuk dilakukan. 

Pokok permasalahan dalam makalah ini adalah, Kajian kritis terhadap pemikiran Islam tentang jiwa dalam filsafat Islam. selanjutnya akan diurai dalam beberapa sub-pokok bahasan. Di antaranya ;

1. Apa yang dimaksud dengan jiwa dan hubungann dengan roh
2. Bagaimana konsepsi al-Quran terhadap jiwa 
3. Bagaimana pendapat filosof Muslim tentang jiwa

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Jiwa 

Secara leksikografis, jiwa merupakan kata benda yang berarti roh manusia, nyawa; seluruh kehidupan batin, sesuatu yang utama yang menjadi semangat; maksud sebenarnya, isi yang sebenarnya, arti yang tersirat, buah hati, kekasih, orang (dalam perhitungan penduduk) 
Telaah pemikiran Islam tentang jiwa dalam kaitannya dengan filsafat Islam, akan ditilik dari akar kata bahasa Arab, yaitu kata al-nafs. Al-nafs (nun-fa-sin) menunjukkan arti keluarnya angin lembut bagaimana pun adanya. Al-nafs juga diartikan darah , atau hati (qalb) dan sanubari (d}amir), padanya ada rahasia yang tersembunyi . Juga berarti ruh, saudara, ‘indahu (kepemilikan) . Dalam al-mu’jam al-falsafy, kata al-nafs diartikan dengan merujuk kepada tiga versi pendapat; Aristoteles, dengan permulaan kehidupan (vegetative), Kelompok Spiritual (al-ru>h{iyyun) mengartikannya sebagai jauhar (substansi) ru>h, dan yang lainnya mengartikan sebagai jauhar (substansi) berfikir . 

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwasanya jiwa kadangkala diartikan sebagai sesuatu yang berbentuk fisik yang materil melekat pada diri manusia, tampak dan tidak tersembunyi, tetapi pada waktu lain ia mengandung arti sebagai sesuatu yang berbentuk non-materil, yang mengalir pada diri fisik manusia sebagai jauhar (substansi), substansi ruh ataupun substansi berfikir. 
Jauhar tersebut merupakan substansi yang berbeda dengan badan ini, ia bukan badan tetapi merupakan makna antara substansi dan makna, demikian menurut Al-Hariri yang diriwayatkan dari Ja’far bin Mubasyir . Jauhar tersebut menurut Aristoteles adalah jauharun basi>t{ (sederhana, tidak tersusun, tidak panjang dan tidak lebar) menyebar ke setiap yang memiliki ruh pada alam ini, agar supaya makhluk dapat bekerja dan mengatur urusan-urusannya. Tidak boleh sifat banyak atau sedikit yang menguasainya, meskipun berada di setiap hewan di alam ini, ia tetap dalam makna yang satu .

Apa yang dikemukakan Aristoteles merupakan pemahaman umum para filosof Yunani di zamannya. Salah satunya golongan filosof Yunani, Masya’in, mereka mengatakan bahwa jiwa itu bukan fisik dan bukan kefanaan, tidak berada di suatu tempat, tidak memiliki ukuran panjang, lebar, kedalaman, warna, bagian, tidak pula berada di alam ini atau di luarnya, tidak bisa diserupakan dan dibedakan 

Para filosof Yunani termasuk Aristoteles tampaknya memahami jiwa sebagai sesuatu yang sulit digambarkan secara materiil, sebagai sesuatu yang membutuhkan ruang dan tempat. Ia bersifat gradual dan tercecer ke mana-mana yang tidak punya ukuran sama sekali. Tetapi ia ada pada setiap makhluk yang punya roh, dan memiliki fungsi dalam gerak makhluk. Sesuatu yang tidak memiliki fisik tetapi punya fungsi maka bagi penulis ini adalah sesuatu yang majhu>l. Karena semua makhluk pasti memiliki fisik dan menempati ruang dan waktu, walaupun berbeda-beda ketampakannya.

Apakah substansi yang dimaksudkan sebagai sesuatu yang tidak punya fisik itu adalah ruh itu sendiri, sehingga apa yang dinamakan dengan keduanya adalah satu?, ataukah sesuatu yang lain yang berubah-ubah, tetapi ia ada pada setiap adanya ruh, ataukah keduanya sesuatu yang sama sekali berbeda. Dan apakah ruh adalah ‘aradh yang berada di dalam fisik, ataukah sesuatu yang berbeda dengan fisik dan ‘aradh ini?

Pembicaraan tentang jiwa dan ruh ternyata perdebatan panjang di kalangan, teolog maupun filosof Islam. Oleh karena itu, sebelum membicarakan pandangan-pandangan mereka tentang jiwa dan hubungan jiwa dan ruh, akan diuraikan terlebih dahulu apa itu ruh. 
Dalam ensiklopedi Arab, kata ruh (ra-wa-ya) memiliki keluasan makna dan keumuman hukum. Dengan kasrah, al-ri>h artinya hembusan angin. Dengan fath{ah, al-ra>ha berarti tenang/istirahat, al-raih artinya hembusan udara ketika bernafas. Ruh juga berarti awal kehidupan yang padanyalah kehidupan jiwa . 

Menurut al-Qusyairi>, roh, jiwa, dan badan adalah satu komponen (jumlah) yang membentuk manusia, yang sebagiannya tunduk kepada sebagian yang lain. Di kalangan ulama ahlu sunnah, terkadang mereka sepakat tentang jiwa dan ruh dalam satu aspek, tetapi ia berbeda pada aspek yang lain. al-Qusyaery mencontohkan, Ibnu Abbas dan Ibnu Habib keduanya sepakat bahwa ruh adalah kehidupan atau sumber kehidupan. Keduanya juga sepakat bahwa jiwalah yang diwafatkan saat manusia sedang tidur. Tetapi menurut Ibnu Habib jiwa adalah syahwatiah (kesyahwatan) yang merasakan kelezatan dan merasakan sakit, Sedangkan Ibnu Abbas menganggapnya sebagai akal yang mengetahui, membedakan dan memerintah. Pendapat keduanya tentang jiwa yang diwafatkan saat manusia tidur ditentang oleh sebagai muh}aqqiq ahlu sunnah yang berpendapat bahwa rohlah yang berpisah dan terangkat saat manusia sedang tidur dan bukan jiwa. 

Dari penjelasan di atas, penulis berkesimpulan bahwa jiwa adalah sesuatu yang mauju>d (ada), tetapi bagaimana wujudnya? Inilah yang berbeda di kalangan para filosof, theolog dan ahlu sunnah dan tasawwuf. Jika sebagian golongan ahlu hadits dan tasawwuf meyakini jiwa berbeda dengan ruh, maka sebagian yang lain dari para filosof Muslim justru menganggap jiwa dan ruh itu adalah sinonim. Letak perbedaan tersebut bisa dipahami karena adanya perbedaan pada disiplin ilmu. sehingga berbeda pula sudut pandangnnya. Lantas bagaimana al-Qur’an berbicara tentang jiwa dan roh? Mungkinkah perbedaan tersebut dipertemukan dengan kembali kepada al-Quran?

B. Jiwa dan Ruh Dalam Al-Quran 

Kata jiwa di dalam al-Quran disebutkan lebih dari 250 kali dengan berbagai varian (perubahan) katanya. Di antaranya Al-Fi’l (kata kerja) seperti تنفس إذا, al-Ism (kata benda), baik isim al-nakirah نفس, Isim al-ma’rifah المتنافسون , mufrad نفسا ataupun jamak الأنفس, serta yang bergandengan dengan d{amir seperti نفسي, أنفسكم .

Dengan jumlahnya yang lebih dari dua ratus lima puluh kali, dapat dipastikan bahwa lafaz| al-nafs mempunyai arti yang lebih dari satu dan maksud yang beragam. Jika ditelusuri dalam kamus al-Qur’an, kata al-nafs setidaknya mempunyai 10 arti ; 

1. Al-Qalb (Hati) seperti dalam Q.S. Qaf : 16

• وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ (16)...

2. Minkum (dari kalian) seperti dalam Q.S. Al-Taubah : 128

• لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُم...

3. Al-insa>n (manusia), seperti dalam Q.S. al-Maidah : 32 

• مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا...

4. Ba’d{ukum (sebagian di antara kalian), seperti dalam Q.S. al-Baqarah/2:54

• فَتُوبُوا إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ...

5. Al-ru>h (roh), seperti dalam Q.S. al-Zumar : 42

• اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا...

6. Ahli al-di>n (ahli agama), seperti dalam Q.S. Al-Nisa :2

• وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29)...

7. Diri manusia, seperti dalam Q.S. al-Nisa : 66
• وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ...

8. ‘uqu>bat (balasan/hukuman), seperti dalam Q.S. Ali Imran/3 :28

• وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ (28)...

9. Al-umm (ibu), seperti dalam Q.S. Al-Nur : 12

• لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ (12)..
.
10. Al-gaib (gaib), seperti dalam Q.S. al-Maidah/4: 116

• تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ (116)...

Kata Al-ru>h dengan keseluruhan perubahan kata dari kata asalnya disebutkan sebanyak 53 kali. Sedangkan kata Al-ru>h sendiri disebutkan 20 kali yakni : روح روحي, من روحه,روحنا,روحا, بروح, الروح روح

Kata Al-ru>h dalam al-Qur’an memiliki beberapa makna antara lain ;

1. Rahasia Tuhan yang diletakkan pada diri manusia, seperti Q.S. al-Sajadah :7

• ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ

2. Ruhul amin atau malaikat Jibril, seperti Q.S. Al-Maidah :110

• اذْكُرْ نِعْمَتِي عَلَيْكَ وَعَلَى وَالِدَتِكَ إِذْ أَيَّدْتُكَ بِرُوحِ الْقُدُسِ

3. Sebagian Malaikat, seperti Q.S. al-Ma’arij :4

• تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ

4. Kekuatan dari Allah, seperti Q.S. Al-Nisa : 171

• إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ

5. Wahyu atau al-Qur’an, seperti Q.S. Al-Nahl : 2

• يُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِه

Memperhatikan ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang al-nafs jumlahnya jauh lebih banyak dari pada Al-ru>h. Dalam beberapa ayat, ketika Tuhan menyebut kata al-nafs, yang dimaksudkan di dalamnya adalah Al-ru>h. Sebab itu menurut kesimpulan penulis, hakekat al-nafs (jiwa) berasal dari Al-ru>h. Ruh adalah inti dan jiwa adalah bagian dari Al-ru>h. Hal tersebut di dasari dengan beberapa alasan;
1. Kata Al-ru>h (roh) di dalam al-Quran selalu disebutkan dengan bentuk mufrad (tunggal), Al-ru>h, tidak ada yang berbentuk jamak (plural) al-arwah. Berbeda dengan kata al-nafs disebutkan dalam bentuk tunggal maupun plural. 
2. Tidak ada kata Al-ru>h di dalam al-Quran yang mengandung arti roh itu sendiri, ataupun jiwa. Ketika Allah menyebut Al-ru>h, yang dimaksudkan justru malaikat Jibril, kekuatan dari-Nya, atau Al-Quran. Ini menunjukkan bahwa kata Al-ru>h digunakan pada sesuatu yang lebih utama dari sekedar dipahami secara sederhana sebagai hembusan nafas, atau substansi yang mewujudkan proses hidup tubuh manusia. Dapat dipahami bahwa Al-ru>h (dalam makna ruh Tuhan, al-Quran atau malaikat Jibril) adalah hakekat yang menjadi sumber kehidupan manusia yang sempurna. Asal segala kehidupan, yang memancarkan sinaran petunjuk kepada jiwa yang berkelana dalam kehidupan fisik manusia.

3. Semua kata Al-ru>h merupakan ungkapan transeden Tuhan, bahkan beberapa ayat, ketika Allah swt menyebut kata Al-ru>h, Ia mengaitkannya dengan diri-Nya (ruhi>), ini menunjukkan bahwa ruh memiliki unsur ketuhanan di dalamnya. Berbeda dengan kata al-nafs, Allah swt menyebutkannya dengan sangat plural, hingga mengklasifikasikan berdasarkan kualitasnya, kehidupan baik maupun kehidupan buruk. Sebab itu jiwa memiliki unsur ketuhanan sekaligus memiliki unsur syait{aniyah. Dua ranah kehidupan dalam diri manusia yang selalu bertarung sepanjang hidupnya. Siapa pemenang, dialah yang akan menentukan pilihan dan mengendalikan tindakan.

Beberapa ayat menyebutkan kata al-nafs dengan arti roh, yang berkaitan langsung dengan jasad manusia sebagai komponen fisik manusia. pada aspek ini kata al-ru>h dengan al-nafs memiliki kedekatan makna, al-nafs berarti bernafas dan al-ru>h yang jika di jamakkan al-arwah adalah penentu hidup atau matinya manusia. Dalam bahasa keseharian jika ia tidak bernafas lagi maka rohnya sudah tiada. Sebab itu pertanyaan apakah, roh dan jiwa adalah sama atau berbeda? Penulis lebih cenderung memilih pendapat yang mengatakan bahwa perbedaan ruh dan jiwa adalah perbedaan sifat bukan zat. Jiwa juga punya gerak, sebab itu manusia jika ia tidur jiwanya bisa keluar dari jasad dan melayang-layang, tetapi ruhnya tetap ada dan mengatur pola tanaffusnya (keluar masuknya nafas), tetapi ia tidak sadar karena jiwanya sedang di luar jasad, dan akan dengan kembali ke dalam jasad dengan kecepatan yang tak terbahasakan jika Allah menghendakinya kembali (Q.S. al-Zumar : 42) 

C. Jiwa menurut para filosof Muslim

Berbicara tentang jiwa dalam pandangan filosof Muslim adalah pembahasan yang panjang, sebab itu dalam bahasan ini penulis hanya akan membatasi pada pandangan filosof Muslim tentang beberapa aspek yang berkaitan dengan jiwa.

1. Ma>hiyat al-nafs (Makna dan esensi jiwa)

Beberapa filosof Muslim seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Miskawaih, Al-Kindi, Ibnu Bajjah berpendapat hampir sama tentang makna jiwa. Mereka berpendapat bahwa jiwa adalah jauhar (substansi) rohani sebagai form bagi jasad. Hubungan kesatuan jiwa dengan badan merupakan kesatuan secara accident, artinya keduanya tidak dapat dibagi-bagi, tetapi keduanya berdiri sendiri dan mempunyai susbtansi yang berbeda, sehingga binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa. Pendapat mereka menurut Sirajuddin Zar lebih dekat kepada Plato yang mengatakan jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri (al-nafs, jauhar al-Qa>im bi z|a>tih) 

Ibnu Sina juga menerima pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa adalah substansi dan bentuk, dan jiwa memiliki hubungan erat dengan badan. Hanya saja Ibnu Sina sejalan dengan filosof Muslim lainnya yang menolak pendapat Aristoteles, bahwa hubungan tersebut adalah hubungan yang esensial, karena ini akan berimplikasi pada kefanaan jiwa. Jika jasad hancur maka jiwa juga akan hancur. Sebab itu para filosof Muslim kemudian lebih memilih pendapat Plato. yang mengatakan bahwa hubungan tersebut adalah accident, yang memposisikan jiwa kekal dan tidak binasa walaupun jasad tempat di mana jiwa berada telah hancur. 

Adanya kemiripan pendapat mereka, merupakan hal yang dapat dimaklumi karena mereka memang berasal dari aliran filsafat yang sama sebagai aliran masya’in. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah filsafat jiwa mereka sebagai filosof Muslim merupakan rembesan murni dari filsafat Plato, ataukah keberpihakan terhadap Plato karena lebih dekat dengan bahasa Tuhan dalam al-Quran? Dengan kata lain, apakah al-Quran sebagai dasar utama dalam memahami jiwa kemudian mengkomparasikan dengan filsafat Yunani, ataukah berdasar pada filsafat Yunani kemudian mencari pembenarannya di dalam teks-teks al-Quran? 

Menurut Sirajuddin Zar, filosof Muslim membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa yang dikemukakan para filosof Yunani, kemudian mereka menyelaraskannya dengan ajaran Islam. Hal itu karena adanya ayat al-Quran yang menjadi tembok penghalang dalam menyingkap tabir hakekat ruh, di mana hanya Allah swt semata yang mengetahui urusan ruh . Jika ini benar, maka bagi penulis di balik kesuksesan besar yang telah dicapai para filosof Muslim dalam dunia filsafat, ada kegagalan besar yang telah dilakukan dalam memahami Islam sebagai ajaran yang universal, komprehensif dan integral, dan gagal membangun batu bata ilmu dengan pondasi utamanya al-Quran dan sunnah Nabi. Implikasinya, ketika Barat mengadopsi filsafat para filosof Muslim, mereka menerima filsafat tapi terlepas dari nilai Islam yang seharusnya ada, akibatnya mereka kehilangan nilai spiritual. Kenyataan inilah yang disadari oleh al-Gazali sehingga meluncurkan buku tahafat al-falasifah sebagai upaya pelurusan filsafat.

2. Keabadian Jiwa. 

Semua filosof Muslim yang mengatakan bahwa jiwa adalah substansi ruhani yang berdiri sendiri, juga meyakini bahwa jiwa memiliki kekekalan dan tidak hancur. Ibnu Tufael mengatakan bahwa, setelah badan hancur atau mengalami kematian, jiwa lepas dari badan, selanjutnya jiwa yang pernah mengenal Allah selama beradala dalam jasad akan hidup dan kekal . 
Keabadian jiwa bukanlah keabadian yang haqiqi sebagaimana keabadian dan kekekalan yang Maha Kekal. Keabadian jiwa menurut Ibnu Sina sebagai sesuatu yang mempunyai awal tetapi tidak mempunyai akhir . Ini berarti kekekalan jiwa adalah kekekalan karena dikekalkan Allah pada akhirnya yang tidak berujung, sedangkan awalnya adalah baru dan dicipta. Atau jiwa punya akhir tidak punya awal. Lebih rinci Ibnu Sina sendiri mengakui bahwa jiwa memiliki temporalitas, tanda temporalitasnya adalah ketidak tentuannya dan ketidak pastiannya kecuali dengan perantaraan tubuh. Jiwa tidak mungkin digambarkan sebelum adanya tubuh 
Dalam membuktikan kekalnya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan tiga dalil ;

1. Burha>n al-infis}al (bukti perpisahan). Perpaduan jiwa dan jasad bersifat aksiden, keduanya memiliki substansi tersendiri, dan jika jasad mati atau hancur, jiwa tetap dan kekal. Sementara jasad bergantung kepada jiwa untuk bisa hidup

2. Burha>n al-basa>t}at (bukti keluasan). Jiwa adalah substansi ruhani yang luas. Dengan keluasannya ia selalu hidup dan tidak mati. 

3. Burha>n al-musyabbaha>t (bukti persamaan). Dalil ini bersifat metafisika. Jiwa manusia bersumber dari akal fa’al (akal kesepuluh) sebagai pemberi segala bentuk. Karena akal Sepuluh adalah merupakan esensi yang berfikir, azali dan kekal maka jiwa sebagai ma’lul (akibat)nya juga akan kekal sebagaimana ‘illat (sebab)nya 

Mencermati pemikiran di atas, tampaknya kekekalan jiwa yang dikemukakan Ibnu Sina dan yang sepaham dengannya terinspirasi dengan konsep jaza> (balasan perbuatan) dalam yang disebutkan dalam al-Qur’an. Bahwa manusia akan mendapatkan balasan dari perbuatannya di dunia, jika ia beriman dan beramal shaleh balasannya syurga dan akan kekal di dalamnya , jika ia kafir, fasiq dan munafiq balasannya neraka dan ia akan kekal di dalamnya . 
Hanya saja terjadi kontadiksi antara teks-teks al-Quran dengan pendapat para filosof yang memahami bahwa tubuh akan hancur dan binasa, dan menolak kebangkitan jasad di akhirat kelak, karena yang akan merasakan bahagia dan penderitaan hanyalah jiwa. Sebab itu harus dicari titik temunya.

Bahasa kekekalan dalam al-Quran bukanlah kekekalan jiwa semata, tetapi kekekalan diri manusia dengan postur tubuh yang sempurna. Punya fisik, tulang, daging dan kulit, serta jiwa dan kemampuan untuk berbicara. Hal tersebut diperkuat dengan ayat-ayat al-Quran dan hadits yang menyebutkan terjadinya komunikasi di akhirat. Demikian pula ayat yang menyebutkan bahwa orang-orang yang mengingkari ayat Allah akan dibakar di Neraka, setiap kali kulitnya matang akan diganti dengan kulit yang baru supaya ia bisa merasakan pedihnya siksaan Neraka membuktikan bahwa bukan hanya jiwa yang mendapatkan kekekalan balasan tetapi diri manusia secara utuh. 

Bagi penulis, kekekalan jiwa yang dikemukakan filosof Muslim dapat diambil titik temunya dengan kebenaran al-Quran tentang kebangkitan jasad dengan cara; pertama, bahwa apa yang dikemukakan filosof bahwa jiwa manusia merupakan peringkat paling tinggi, jiwa adalah inti manusia yang kekal, sedangkan jasad akan mengalami kehancuran di dunia adalah benar. Kedua penolakan filosof terhadap kebangkitan kembali jasad adalah egoisme filsafat yang harus diruntuhkan. 

Jiwa manusia merupakan hakekat manusia yang sesungguhnya. Jasad tidak lebih dari wadah yang bergerak karena adanya jiwa, jasad bersifat sementara, dan akan mengalami kehancurannya pada batas masa yang telah ditentukan di dunia. Hanya saja kehancuran jasad di dunia bukan berarti ketiadaan sama sekali, tetapi ia hancur kembali ke asalnya yaitu tanah. Sedangkan jiwa sebagai substansi ruhani adalah inti manusia yang akan kembali kepada Allah untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya selama ia berada di dalam jasad di dunia. Supaya jiwa bisa merasakan balasan perbuatannya dengan sempurna, Allah membangkitkan kembali jasad dan menyatukan jiwa dengannya. Karena jiwa tidak bisa merasakan kenikmatan dan kesengsaraan kecuali ketika ia berada di dalam jasad, sebab itu, jasad dibutuhkan untuk menyempurnakan balasan bagi jiwa. 

Jasad memiliki kekekalan sebagaimana jiwa memiliki kekekalan. Adapun kekekalan keduanya adalah di akhirat, negeri yang tiada berakhir (kha>lidina fi>ha>). Demikian pula jiwa memiliki sifat hudus| (temporal) dimana ia ada setelah ada di dalam jasad, sebagaimana juga jasad memiliki sifat hudus| karena ia akan hancur di dunia. Tetapi hudus| (kehancuran)nya jasad bukan hilang dalam ketiadaan, ia hanya kembali ke inti asalnya yaitu tanah . Kelak akan dibangkitkan kembali di akhirat, di mana ia akan mengalami keabadian bersama jiwa, yang tidak pernah mati sejak adanya dalam alam wujud.

Perbandingannya, kekekalan jiwa sejak adanya di alam wujud ia tidak lagi rusak dan hancur, berbeda dengan jasad yang mengalami “stagnasi” yaitu kehancuran dan kembali ke inti asalnya. Tetapi Allah sebagai Yang Maha Kekal, pemilik kekekalan dan kebaruan membangkitkan kembali (berarti tidak hilang dalam ketiadaan) dan mempertemukan keduanya dalam satu kesatuan dan bersama dalam kekekalan akhirat, berpadu mendapatkan balasan 

Pertemuan dua substansi yang berbeda, jiwa sebagai substansi ruhani dan jasad adalah substansi “materi” bertemu dan menyatu dalam kesatuan kekal, melahirkan substansi inti . Bagi penulis inilah konsep jiwa dalam filsafat al-Qur’an.

3. Quwat al-Nafs (Daya jiwa)

Menurut Ibnu Sina, Jiwa dapat dibagi ke dalam tiga tingkatan atau fakultas. yaitu; Al-Al-nabatiyah (jiwa vegetatif), ha>yawaniyah (jiwa binatang), dan insa>niyah (jiwa kemanusiaan) . Perlu diketahui bahwa klasifikasi ini bukanlah ide murni Ibnu Sina atau filosof Muslim lainnya, tetapi rembesan pemikiran Aristoteles yang telah ada sebelumnya .

1. Jiwa vegetatif mempunyai tiga daya; makan, tumbuh dan berkembang biak
2. Jiwa binatang yang mempunyai dua daya; daya gerak (al-mutah}arrikat), dan daya tangkap (al-mudrikat), baik daya tangkap dari luar dengan panca indra maupun daya tangkap dari dalam dengan indra-indra batin
3. Jiwa manusia atau al-nafs al-na>tiqat yang mempunyai dua daya; praktis (al-‘a>milat) dan teoritis (al-‘a>limat). 

Menurut Ikhwan Al-Shafa, daya jiwa vegetatif dimiliki semua makhluk hidup, baik manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, karena semua makhluk memiliki keinginan untuk makan, tumbuh dan berkembang biak. Sedangkan daya jiwa binatang hanya dimiliki manusia dan hewan. Adapun daya jiwa yang ketiga hanya dimiliki oleh manusia yang menyebabkan mereka bisa berfikir dan berbicara . Al-Farabi mengklasifikasikan daya jiwa dengan lebih simpel; daya al-Muh}arrikat (gerak) untuk jenis jiwa pertama, daya al-Mudrikat, yang mendorong untuk merasa dan berimajinasi, daya ini termasuk jenis jiwa yang kedua, dan daya al-na>tiqat (berfikir). Daya ini mendorong untuk berfikir secara teoritis dan praktis , ini untuk tingkatan jiwa yang ketiga. Tampaknya Ibnu Sina, Ikhwan Al-Shafa, dan Al-Farabi memiliki pandangan yang sama tentang daya jiwa.

Berbeda dari ketiga filosof Muslim di atas, Al-Kindi mengklasifikasi daya jiwa ke dalam tiga bagian. Pertama daya bernafsu (al-quwwat al-syahwaniyat) yang terletak di perut. Kedua daya marah (al-quwwat al-gad}abiyat) yang terletak di dada. Ketiga daya pikir (al-quwwat al-‘aqliyat) yang terletak di kepala 

Pendapat para filosof Muslim di atas, tampaknya klasifikasi Al-Kindi lebih mudah dipahami dan lebih dekat dengan apa yang dibahasakan Tuhan dalam al-Quran. Allah swt menfirmankan bahwa sesungguhnya manusia berasal dari jiwa yang satu, tetapi terjadi pertarungan dan komprontasi antara kekuata-kekuatan jiwa; yakni kekuatan syahwat, kekuatan kemarahan dan kekuatan aqal. Jika pertarungan itu dikuasai kekuatan syahwat maka ia akan menggiring manusia pada al-nafs al-amma>rah. Jika kekuatan kemarahan yang unggul, maka ia akan mengendalikan jiwa manusia dalam al-nafs al-lawwa>mah, dan jika kekuatan akal mampu mengalahkan dua kekuatan lainnya maka, manusia akan dibawah menuju al-nafs al-mut}mainnah. 

Jiwa adalah sesuatu yang maujud (ada). Jiwa bisa dipahami sebagai sesuatu yang berbentuk fisik yang materil melekat pada diri manusia, tampak dan tidak tersembunyi, tetapi pada waktu lain ia mengandung arti sebagai sesuatu yang berbentuk non-materil, yang mengalir pada diri fisik manusia sebagai jauhar (substansi) yang berdiri sendiri.
Kata jiwa (al-nafs) disebutkan dalam al-Quran dengan jumlah lebih dari dua ratus lima puluh kali jauh lebih banyak dari pada kata al-ru>h. Kata al-nafs kadang diartikan dengan ruh, dan tidak dengan sebaliknya, ini menunjukkan bahwa hakekat al-nafs (jiwa) berasal dari ruh. Ruh adalah inti dan jiwa adalah bagian dari ruh.

Filsafat jiwa yang dikemukakan para filosof Muslim merupakan rembesan filsafat Yunani yang kemudian mereka kembangkan dengan mendekatkan kepada ajaran Islam. Menurut filosofos Muslim jiwa adalah jauhar (substansi) rohani sebagai form bagi jasad. hubungan kesatuan jiwa dengan badan merupakan kesatuan secara accident, di mana keduanya berdiri sendiri dan mempunyai susbtansi yang berbeda, sehingga binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa. Jiwa tetap hidup kekal dan akan merasakan siksaan atau penderitaan. 
Daya yang dimiliki jiwa ada tiga daya al-Muh}arrikat (gerak) untuk jenis jiwa vegetatif, daya al-Mudrikat, yang mendorong untuk merasa dan berimajinasi, untuk jenis jiwa binatang, dan daya al-na>tiqat (berfikir) untuk jenis jiwa manusia.

Seperti apakah sebenarnya kondisi ruh kta nanti? Jawabannya adalah Wallahu a’lam. Namun demikian, Allah SWT memberikan sedikit gambaran dan penjelasan melalui Hadis-hadis Rasulullah SAW.



Berkaitan dengan ruh ini Allah SWT berfirman:

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah wahai Muhammad, “Roh itu termasuk urusan Tuhanku. Kalian tidak diberikan pengetahuan tentang hal itu kecuali sedikit.”


Jelas sekali arti ayat ini, bahwa Allah SWT hanya memberitahukan ilmu sedikit saja tentang hal-hal yang berkaitan dengan ruh ini.

Rasulullah SAW menerangankan berkaitan dengan ruh:

1. “Allah menjadikan ruh mereka dalam bentuk seperti burung berwarna kehijauan. Mereka mendatangi sungai-sungai surga, makan dari buah-buahannya, dan tinggal di dalam kindil (lampu) dari emas di bawah naungan ‘Arasyi.” (Hadis Shahih riwayat Ahmad, Abu Daud dan Hakim)

2. “Tidak seorang pun melewati kuburan saudaranya yang mukmin yang dia kenal selama hidup di dunia, lalu orang yang lewat itu mengucapkan salam untuknya, kecuali dia mengetahuinya dan menjawab salamnya itu.” (Hadis Shahih riwayat Ibnu Abdul Bar dari Ibnu Abbas di dalam kitab Al-Istidzkar dan At-Tamhid)

3. Orang yang telah meninggal dunia saling kunjung-mengunjungi antara yang satu dengan yang lainnya. Nabi Saw bersabda:

“Ummu Hani bertanya kepada Rasulullah SAW: “Apakah kita akan saling mengunjungi jika kita telah mati, dan saling melihat satu dengan yang lainnya wahai Rarulullah SAW? Rasulullah SAW menjawab, “Ruh akan menjadi seperti burung yang terbang, bergelantungan di sebuah pohon, sampai jika datang hari kiamat, setiap roh akan masuk ke dalam jasadnya masing-masing.” (HR. Ahmad dan Thabrani dengan sanad baik).

4. Orang yang telah meninggal dunia merasa senang kepada orang yang menziarahinya, dan merasa sedih kepada orang yang tidak menziarahinya. Nabi SAW bersabda:

“Tidak seorangpun yang mengunjungi kuburan saudaranya dan duduk kepadanya (untuk mendoakannya) kecuali dia merasa bahagia dan menemaninya hingga dia berdiri meninggalkan kuburan itu.” (HR. Ibnu Abu Dunya dari Aisyah dalam kitab Al-Qubûr).

5. Orang yang telah meninggal dunia mengetahui keadaan dan perbuatan orang yang masih hidup, bahkan mereka merasakan sedih atas perbuatan dosa orang yang masih hidup dari kalangan keluarganya dan merasa gembira atas amal shaleh mereka. Nabi SAW bersabda:

a. “Sesungguhnya perbuatan kalian diperlihatkan kepada karib-kerabat dan keluarga kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka mendapatkan kabar gembira, namun jika selain daripada itu, maka mereka berkata: “Ya Allah, janganlah engkau matikan mereka sampai Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau memberikan hidayah kepada kami.” (HR. Ahmad dalam musnadnya).

b. “Seluruh amal perbuatan dilaporkan kepada Allah SWT pada hari Senin dan Kamis, dan diperlihatkan kepada para orangtua pada hari Jum’at. Mereka merasa gembira dengan perbuatan baik orang-orang yang masih hidup, wajah mereka menjadi tambah bersinar terang. Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan janganlah kalian menyakiti orang-orang kalian yang telah meninggal dunia.” (HR. Tirmidzi dalam kitab Nawâdirul Ushûl).

6. Orang-orang beriman hidup di dalam surga bersama anak-cucu dan keturunan mereka yang shaleh.

“Dan orang-orang beriman yang anak-cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan mereka dengan anak-cucu mereka. Kami tidak mengurangi dari pahala amal mereka sedikitpun. Setiap orang terkait dengan apa yang telah dia kerjakan.” (At-Thur: 21)

Hadis tentang mayit mengetahui dan menjawab salam orang yang menziarahinya tidak berarti bahwa ruh ada di dalam liang kubur di dalam tanah. Bukan seperti itu, melainkan bahwa ruh punya keterkaitan khusus dengan jasadnya. Di mana jika ada yang mengucapkan salam untuknya, dia akan menjawabnya.

Ruh berada di suatu alam yang bernama alam Barzakh di suatu tempat yang bernama Ar-Rafîqul `A’lâ. Alam ini tidak sama dengan dunia kita, bahkan jauh berbeda. Hanya Allah SWT sajalah yang mengetahui lika-liku dan detail-detailnya.

"Dan di hadapan mereka (ahli kubur) ada barzakh sampai hari mereka dibangkitkan ".( Al-Mu'minun: 100)

Dari dalil-dalil tadi juga bisa di simpulkan, bahwa tempat para arwah berbeda-beda dan bertingkat-tingkat derajatnya sesuai amal shaleh mereka.

SEBUAH KISAH

al-Fadhel bin Muaffaq disaat ayahnya meninggal dunia, sangat sedih sekali dan menyesalkan kematiannya. Setelah dikubur, ia selalu menziarahinya hampir setiap hari. Kemudian setelah itu mulai berkurang dan malas karena kesibukannya.

Pada suatu hari dia teringat kepada ayahnya dan segera menziarahinya. Disaat ia duduk disisi kuburan ayahnya, ia tertidur dan melihat seolah olah ayahnya bangun kembali dari kuburan dengan kafannya. Ia menangis disaat melihatnya.

Ayahnya berkata : “wahai anakku kenapa kamu lalai tidak menziarahiku ?
Al-Fadhel berkata : “ Apakah kamu mengetahui kedatanganku? ”

Ayahnya pun menjawab : “ Kamu pernah datang setelah aku dikubur dan aku mendapatkan ketenangan dan sangat gembira dengan kedatanganmu begitu pula teman-temanku yang di sekitarku sangat gembira dengan kedatanganmu dan mendapatkan rahmah dengan doa-doamu”.
Mulai saat itu ia tidak pernah lepas lagi untuk menziarahi ayahnya .

Rasulullah saw bersabda : "Aku dulu melarang kamu berziarah kubur. Sekarang, aku anjurkan melakukannya, agar KALIAN INGAT MATI". (HR. Abu Daud)

Lalu apa yg terjadi sekarang, justru orang berziarah karena bukan untuk INGAT MATI tapi TAKUT HIDUP, yaitu dengan cara meminta-minta kepada ahli kubur agar dimudahkan rejeki , jodoh, diselesaikan masalah, dll. apa yang dilakukan ini termasuk musyrik/syirik.

Ingat, berziarah bukan satu-satunya cara bagi kita untuk MENGINGAT MATI, karena banyak cara yang Rasulullah ajarkan kepada kita. Misalnya, kita melakukan sholat, shaum, berbuat baik kepada sesama, berbakti kepada orangtua, komitmen dan amanah dalam pekerjaan dst, sesungguhnya hal-hal tsb merupakan kesadaran diri, bahwa kita INGAT MATI dan itulah yang harus kita lakukan saat masih hidup.

ADAB BERZIARAH

1. Mengucapkan Salam.
“Assalamu’alaikum ahladdiyar minal mukminin wal muslimin wa innaa insyaa Allahu bikum lahikuuna nasalullaha walakumul ‘afiyat” (HR. Ahmad dan Muslim)

2. Berjalan pelan, berpakaian sopan dan tidak gaduh atau berisik apalagi tertawa-tawa.

3. Berdoa untuk keselamatan ahli kubur, bisa juga membaca doa dari bacaan shalat jenazah.

4. Dilarang melangkahi kubur, menginjak kubur, berdiri diatas kubur atau duduk diatas kubur.
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya menginjak bara api atau pedang itu lebih aku sukai daripada menginjak kubur seorang muslim.” (HR. Muslim dan HR. Ibnu Majah)

5. Dilarang berdialog / ngobrol dengan ahli kubur.

Berziarah merupakan suatu hikmah dari Allah dan sunah Rasulullah yang baik, terpuji dan patut dingat maknanya se dalam-dalamnya agar bisa mengingatkan diri kita bahwa hidup ini akan berakhir dengan kematian dan kematian itu bukanlah akhir dari perjalanan hidup seseorang melainkan awal dari segalanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar