Minggu, 02 Desember 2012

SASTRO JENDRO HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU

PUNCAK ILMU KEJAWEN

Ilmu “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah puncak Ilmu Kejawen. “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” artinya; wejangan berupa mantra sakti untuk keselamatan dari unsur-unsur kejahatan di dunia. Wejangan atau mantra tersebut dapat digunakan untuk membangkitkan gaib “Sedulur Papat” yang kemudian diikuti bangkitnya saudara “Pancer” atau sukma sejati, sehingga orang yang mendapat wejangan itu akan mendapat kesempurnaan. Secara harfiah arti dari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah sebagai berikut; Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau lambang keburukan. Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.


Pengertiannya; bahwa Serat Sastrajendra Hayuningrat adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu makrifat yang menekankan sifat amar ma’ruf nahi munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.

 Asal-usul Sastra Jendra dan Filosofinya 

Menurut para ahli sejarah, kalimat “Sastra Jendra” tidak pernah terdapat dalam kepustakaan Jawa Kuno. Tetapi baru terdapat pada abad ke 19 atau tepatnya 1820. Naskah dapat ditemukan dalam tulisan karya Kyai Yasadipura dan Kyai Sindusastra dalam lakon Arjuno Sastra atau Lokapala. Kutipan diambil dari kitab Arjuna Wijaya pupuh Sinom pada halaman 26; 

Selain daripada itu, sungguh heran bahwa tidak seperti permintaan anak saya wanita ini, yakni barang siapa dapat memenuhi permintaan menjabarkan “Sastra Jendra hayuningrat” sebagai ilmu rahasia dunia (esoterism) yang dirahasiakan oleh Sang Hyang Jagad Pratingkah. Dimana tidak boleh seorangpun mengucapkannya karena mendapat laknat dari Dewa Agung walaupun para pandita yang sudah bertapa dan menyepi di gunung sekalipun, kecuali kalau pandita mumpuni. Saya akan berterus terang kepada dinda Prabu, apa yang menjadi permintaan putri paduka. Adapun yang disebut Sastra Jendra Yu Ningrat adalah pangruwat segala segala sesuatu, yang dahulu kala disebut sebagai ilmu pengetahuan yang tiada duanya, sudah tercakup ke dalam kitab suci (ilmu luhung = Sastra). Sastra Jendra itu juga sebagai muara atau akhir dari segala pengetahuan. Raksasa dan Diyu, bahkan juga binatang yang berada dihutan belantara sekalipun kalau mengetahui arti Sastra Jendra akan diruwat oleh Batara, matinya nanti akan sempurna, nyawanya akan berkumpul kembali dengan manusia yang “linuwih” (mumpuni), sedang kalau manusia yang mengetahui arti dari Sastra Jendra nyawanya akan berkumpul dengan para Dewa yang mulia… 

Ajaran “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” mengandung isi yang mistik, angker gaib, kalau salah menggunakan ajaran ini bisa mendapat malapetaka yang besar. Seperti pernah diungkap oleh Ki Dalang Narto Sabdo dalam lakon wayang Lahirnya Dasamuka. Kisah ceritanya sebagai berikut; 

Begawan Wisrawa mempunyai seorang anak bernama Prabu Donorejo, yang ingin mengawini seorang istri bernama Dewi Sukesi yang syaratnya sangat berat, yakni; 
  • Bisa mengalahkan paman Dewi Sukesi, yaitu Jambu Mangli, seorang raksasa yang sangat sakti.
  • Bisa menjabarkan ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” 
Prabu Donorejo tidak dapat melaksanakan maka minta bantuan ayahandanya, Begawan Wisrawa yang ternyata dapat memenuhi dua syarat tersebut. Maka Dewi Sukesi dapat diboyong Begawan Wisrawa, untuk diserahkan kepada anaknya Prabu Donorejo. Selama perjalanan membawa pulang Dewi Sukesi, Begawan Wisrawa jatuh hati kepada Dewi Sukesi demikian juga Dewi Sukesi hatinya terpikat kepada Begawan Wisrawa. 
“Jroning peteng kang ono mung lali, jroning lali gampang nindakake kridaning priyo wanito,” kisah Ki Dalang. 
Begawan Wisrawa telah melanggar ngelmu “Sastra Jendra”, beliau tidak kuat menahan nafsu seks dengan Dewi Sukesi. Akibat dari dosa-dosanya maka lahirlah anak yang bukan manusia tetapi berupa raksasa yang menakutkan, yakni; 
  1. Dosomuko 
  2. Kumbokarno 
  3. Sarpokenoko 
  4. Gunawan Wibisono 
Setelah anak pertama lahir, Begawan Wisrawa mengakui akan kesalahannya, sebagai penebus dosanya beliau bertapa atau tirakat tidak henti-hentinya siang malam. Berkat gentur tapanya, maka lahir anak kedua, ketiga dan keempat yang semakin sempurna.Laku Begawan Wisrawa yang banyak tirakat serta doa yang tiada hentinya, akhirnya Begawan Wisrawa punya anak-anak yang semakin sempurna ini menjadi simbol bahwa untuk mencapai Tuhan harus melalui empat tahapan yakni; Syariat, Tarikat, Hakekat, Makrifat. 

Lakon ini mengingatkan kita bahwa untuk mengenal diri pribadinya, manusia harus melalui tahap atau tataran-tataran yakni; 
  1. Syariat; dalam falsafah Jawa syariat memiliki makna sepadan dengan Sembah Rogo. 
  2. Tarikat; dalam falsafah Jawa maknanya adalah Sembah Kalbu. 
  3. Hakikat; dimaknai sebagai Sembah Jiwa atau ruh (ruhullah). 
  4. Makrifat; merupakan tataran tertinggi yakni Sembah Rasa atau sir (sirullah)
Pun diceritakan dalam kisah Dewa Ruci, di mana diceritakan perjalanan Bima (mahluk Tuhan) mencari “air kehidupan” yakni sejatinya hidup. Air kehidupan atau tirta maya, dalam bahasa Arab disebut sajaratul makrifat. Bima harus melalui berbagai rintangan baru kemudia bertemu dengan Dewa Ruci (Dzat Tuhan) untuk mendapatkan “ngelmu”. 

Bima yang tidak lain adalah Wrekudara/AryaBima, masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan “Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku”, kata Dewa Ruci. Sambil tertawa Bima bertanya :”Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk”. Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:”besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku”. 

Atas petunjuk Dewa Ruci, Bima masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. 

Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati. 

Ada empat macam benda yang tampak oleh Bima, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci:”Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati. 

Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia. 

Lalu Bima melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat. 

Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.

Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah. 

Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab.

Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya. 

Bila seseorang mempelajari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” berarti harus pula mengenal asal usul manusia dan dunia seisinya, dan haruslah dapat menguraikan tentang sejatining urip (hidup), sejatining Panembah (pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa), sampurnaning pati (kesempurnaan dalam kematian), yang secara gamblang disebut juga innalillahi wainna illaihi rojiuun, kembali ke sisi Tuhan YME dengan tata cara hidup layak untuk mencapai budi suci dan menguasai panca indera serta hawa nafsu untuk mendapatkan tuntunan Sang Guru Sejati. 

Uraian tersebut dapat menjelaskan bahwa sasaran utama mengetahui “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah untuk mencapai Kasampurnaning Pati, dalam istilah RNg Ronggowarsito disebut Kasidaning Parasadya atau pati prasida, bukan sekedar pati patitis atau pati pitaka. “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” seolah menjadi jalan tol menuju pati prasida. 

Bagi mereka yang mengamalkan “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” dapat memetik manfaatnya berupa Pralampita atau ilham atau wangsit (wahyu) atau berupa “senjata” yang berupa rapal. Dengan rapal atau mantra orang akan memahami isi Endra Loka, yakni pintu gerbang rasa sejati, yang nilainya sama dengan sejatinya Dzat YME dan bersifat gaib. Manusia mempunyai tugas berat dalam mencari Tuhannya kemudian menyatukan diri ke dalam gelombang Dzat Yang Maha Kuasa. Ini diistilahkan sebagai wujud jumbuhing/manunggaling kawula lan Gusti, atau warangka manjing curiga. Tampak dalam kisah Dewa Ruci, pada saat bertemunya Bima dengan Dewa Ruci sebagai lambang Tuhan YME. Saat itu pula Bima menemukan segala sesuatu di dalam dirinya sendiri. 

Itulah inti sari dari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” sebagai Pungkas-pungkasaning Kawruh. Artinya, ujung dari segala ilmu pengetahuan atau tingkat setinggi-tingginya ilmu yang dapat dicapai oleh manusia atau seorang sufi. Karena ilmu yang diperoleh dari makrifat ini lebih tinggi mutunya dari pada ilmu pengetahuan yang dapat dicapai dengan akal. 

Dalam dunia pewayangan lakon “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” dimaksudkan untuk lambang membabarkan wejangan sedulur papat lima pancer. Yang menjadi tokoh atau pelaku utama dalam lakon ini adalah sbb; 

Begawan Wisrawa menjadi lambang guru yang memberi wejangan ngelmu Sastrajendra kepada Dewi Sukesi. Ramawijaya sebagai penjelmaan Wisnu (Kayun; Yang Hidup), yang memberi pengaruh kebaikan terhadap Gunawan Wibisono (nafsul mutmainah), Keduanya sebagai lambang dari wujud jiwa dan sukma yang disebut Pancer. Karena wejangan yang diberikan oleh Begawan Wisrawa kepada Dewi Sukesi ini bersifat sakral yang tidak semua orang boleh menerima, maka akhirnya mendapat kutukan Dewa kepada anak-anaknya. 
  1. Dasamuka (raksasa) yang mempunyai perangai jahat, bengis, angkara murka, sebagai simbol dari nafsu amarah. 
  2. Kumbakarna (raksasa) yang mempunyai karakter raksasa yakni bodoh, tetapi setia, namun memiliki sifat pemarah. Karakter kesetiannya membawanya pada watak kesatria yang tidak setuju dengan sifat kakaknya Dasamuka. Kumbakarno menjadi lambang dari nafsu lauwamah
  3. Sarpokenoko (raksasa setengah manusia) memiliki karakter suka pada segala sesuatu yang enak-enak, rasa benar yang sangat besar, tetapi ia sakti dan suka bertapa. Ia menjadi simbol nafsu supiyah. 
  4. Gunawan Wibisono (manusia seutuhnya); sebagai anak bungsu yang mempunyai sifat yang sangat berbeda dengan semua kakaknya. Dia meninggalkan saudara-saudaranya yang dia anggap salah dan mengabdi kepada Romo untuk membela kebenaran. Ia menjadi perlambang dari nafsul mutmainah
Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misal kisah prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. 

Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya. Betari Uma disumpah menjadi raksesi oleh Betara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama “ Betara Kala “ (kala berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi memiliki tempat tersendiri yang disebut “ Kayangan Setragandamayit “. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan. 

Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur. Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian mahluk ciptaan Tuhan diwujudkan. Dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah ciptaan paling sempurna. Bahkan ada disebutkan, Tuhan menciptakan manusia berdasar gambaran dzat-Nya. Filosof Timur Tengah Al Ghazali menyebutkan bahwa manusia seperti Tuhan kecil sehingga Tuhan sendiri memerintahkan para malaikat untuk bersujud. Sekalipun manusia terbuat dari dzat hara berbeda dengan jin atau malaikat yang diciptakan dari unsur api dan cahaya. Namun manusia memiliki sifat sifat yang mampu menjadi “ khalifah “ (wakil Tuhan di dunia). 

Namun ilmu ini oleh para dewata hanya dipercayakan kepada Wisrawa seorang satria berwatak wiku yang tergolong kaum cerdik pandai dan sakti mandraguna untuk mendapat anugerah rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat Diyu.

Ketekunan, ketulusan dan kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata sehingga memberikan amanah untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa, keihlasan, kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan kegemaran berbagi ilmu. Sebelum “ madeg pandita “ ( menjadi wiku ) Wisrawa telah lengser keprabon menyerahkan tahta kerajaaan kepada sang putra Prabu Danaraja. Sejak itu sang wiku gemar bertapa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah menahan nafsu duniawi untuk memperoleh kelezatan ukhrawi nantinya. Kebiasaan ini membuat sang wiku tidak saja dicintai sesama namun juga para dewata. 

Sifat Manusia Terpilih 

Sebelum memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah Sastra Jendra, para dewata bertanya pada sang Betara Guru. “ Duh, sang Betara agung, siapa yang akan menerima Sastra Jendra, kalau boleh kami mengetahuinya. “Bethara guru menjawab “ Pilihanku adalah anak kita Wisrawa “. Serentak para dewata bertanya “ Apakah paduka tidak mengetahui akan terjadi bencana bila diserahkan pada manusia yang tidak mampu mengendalikannya. Bukankah sudah banyak kejadian yang bisa menjadi pelajaran bagi kita semua”

Kemudian sebagian dewata berkata “ Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia dibanding manusia “. 

Seolah menegur para dewata sang Betara Guru menjawab “Hee para dewata, akupun mengetahui hal itu, namun sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan pada manusia. Bukankah tertulis dalam kitab suci, bahwa malaikat mempertanyakan pada Tuhan mengapa manusia yang dijadikan khalifah padahal mereka ini suka menumpahkan darah“. Serentak para dewata menunduk malu “ Paduka lebih mengetahui apa yang tidak kami ketahui”. Kemudian, Betara Guru turun ke mayapada didampingi Betara Narada memberikan Serat Sastra Jendra kepada Begawan Wisrawa. 

Duh anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata memutuskan memberi amanah Serat Sastra Jendra kepadamu untuk diajarkan kepada umat manusia”

Mendengar hal itu, menangislah Sang Begawan “ Ampun, sang Betara agung, bagaimana mungkin saya yang hina dan lemah ini mampu menerima anugerah ini “.

Betara Narada mengatakan “ Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu ada 2 (dua). Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata karena terkadang yang baik nampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik. “ Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata kembali ke kayangan.

Setelah menerima anugerah Sastrajendra maka sejak saat itu berbondong bondong seluruh satria, pendeta, cerdik pandai mendatangi beliau untuk minta diberi wejangan ajaran tersebut. Mereka berebut mendatangi pertapaan Begawan Wisrawa melamar menjadi cantrik untuk mendapat sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu menerimanya. Para wiku, sarjana, satria harus menerima kenyataan bahwa hanya orang-orang yang siap dan terpilih mampu menerima ajarannya. 

Demikian lah pemaparan tentang puncak ilmu kejawen yang adiluhung, tidak bersifat primordial, tetapi bersifat universal, berlaku bagi seluruh umat manusia di muka bumi, manusia sebagai mahluk ciptaan Gusti Kang Maha Wisesa, Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang Maha Tunggal. Janganlah terjebak pada simbol-simbol atau istilah yang digunakan dalam tulisan ini. Namun ambilah hikmah, hakikat, nilai yang bersifat metafisis dan universe dari ajaran-ajaran di atas. 

Tantangan Kejawen

Kejawen sebagai ajaran tidak ekspansif, tidak dogmatis. Ini merupakan kelebihan dan kekurangan. Kelebihan sebagai ajaran menjadikan ajaran ini lembut, membebaskan, dan tidak memaksa. Jadi yang masuk adalah karena kesadaran. Dengan ajaran yang tidak dogmatis, untuk saat ini, kejawen tidak berhasil merekrut pemeluk yang banyak. Orang tentu akan lebih tertarik dengan surga dengan bidadarinya. Selain itu, kejawen juga tidak punya ayat untuk menghukum mereka yang "tidak setia". Yang masuk atau keluar, monggo. 

Kalau saya lihat, di forum-forum, blog-blog, banyak sekali postingan yang menghujat kejawen, menganggapnya sesat, kuno. Sudah jelas judulnya "diskusi kejawen", tapi yang masuk para pendakwah membuat onar. Juga di group ini, beberapa waktu lalu, ada pendakwah yang mondar-mandir menyampaikan ayat tuhan, menunjukkan keluhuran ajarannya, tapi sayangnya dengan merendahkan kejawen.

Ini menunjukkan, walaupun penganutnya sedikit, kejawen diperhitungkan. Mungkin sebagian penganut agama mayoritas belum puas, belum sepenuhnya bisa meng-arabkan Jawa. Walaupun dianut diam-diam, tetap punya penggemar. Sudah menjadi kodrat tuhan, selalu ada penghayat-penghayat setia. Dan selalu ada manusia baru yang tersadarkan dan menghayati, bukan karena surga dan bidadari, tapi kesadaran hati.

Kedepan, kalau semakin banyak pengikutnya, sementara kesadaran sebagian besar masyarakat masih "agama minded", bisa saja terjadi gesekan. Kejawen akan dianggap sebagai ancaman oleh "para pembela tuhan". Kalau menurut thesisnya Samuel P. Hutington: "The Clash of Civilizations". Pertentangan bisa terjadi karena perbedaan dalam menafsirkan susuatu. Bisa budaya, agama, atau tata pergaulan sosial. Kalau thesis Hutington mengamati persaingan global, ini mungkin lokal Indonesia atau Jawa.

Kejawen menurut saya tidak siap berkonflik. Mungkin akan nrimo saja dikuyo-kuyo, dan menyerahkan kepada pengadilan Gusti kang murba ing dumadi. Atau menunggu evolusi kesadaran manusia lebih tinggi, sehingga semua manusia bisa menerima perbedaan dengan lapang hati.

Semoga bermanfaat dan semoga para pembaca yang budiman diantara orang-orang yang terpilih dan pinilih untuk meraih ilmu sejatinya hidup.

APA SEBENARNYA SASTRO JENDRO HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU

Di dalam berbagai literatur jawa banyak menceritakan dan menyebutkan bahwa ajaran dan ilmu tertinggi dari laku orang jawa adalah Sastra Jendra. Banyak sekali saya jumpai dari pemahaman banyak orang bahwasanya Ajaran yang terbilang Sinengker (sangat rahasia dan wingit) ini sudah banyak diterjemahkan oleh banyak pujangga. Tidak hanya para Dhalang, tapi Pujangga kraton juga menterjemahkan. Lalu, sebenarnya apa ajaran Sastra Jendra ini? Dan untuk apa? Kenapa sastra jendra ini muncul? Apalagi munculnya di tanah jawa, seperti halnya munculnya kata-kata Prabu Jayabaya mengenai Satrio Piningit yang sampai sekarang menjadi Kepercayaan banyak masayarakat di jawa.

Disini saya tidak akan membahas ilmu sejati sastra jendra hayu ningrat pangruwating diyu. Tapi saya akan memnberikan wacana sastra jendra dari beberapa versi.

Dalam Kitab Primbon Attashadur Adammakna pada Bab Aji Pameleng, dijelaskan bahwa siapa yang menguasai Aji Pameleng (samadi) akan mendapat wisikan Ghaib berupa Sastra Jendra. Secara Etimologi,Sastra artinya ajaran, Jendra artinya Rahasia/sinengker, Hayu artinya keselamatan/makmur, ningrat artinya bumi, pangruwating artinya meruwat atau membersihkan, diyu artinya raksasa. Diterangkan dalam kamus Indonesia-Sansekerta bahwa artinya adalah Ajaran rahasia untuk membawa keselamatan alam semesta dan bisa untuk meruwat raksasa.

Makanya siapapun yang mengetahui ajaran ini, diibaratkan bagaikan raksasa jadi manusia, sudra jadi brahmana, bodoh jadi pinter, miskin jadi kaya, dan sangat banyak lagi perubahan yang ada. Karna ajaran ini sama halnya dengan ajaran perubahan luar biasa. Dan orang yang bisa menguasai ajaran ini adalah orang yang bisa melakukan Aji Pameleng, dengan melakukan Laku Samadi, Nutupi babagan Hawa Sanga, dsb.

Dalam pewayangan yang dilakukan Dhalang di suatu lakon, menceritakan bagaimana Begawan Wisrawa yang jika menceritakan Sastra Jendra ini dia harus meninggalkan gemerlapan kekuasaan dan kekayaan. Sang Dewi Sukesi yang putra dari Pabru Sumali dijelaskan karna untuk urusan pernikahan. Ini disebabkan pura bagawan Wisrawa yang hanya mencintai Dewi Sukesi itu membuat Negara tidak makmur dan kurang memikirkan bangsa.

Begawan Wisrawa pun mengajarkan hakekat dari Sastra Jendra pada Dewi Sukesi, (dalam pewayangan tidak diceritakan apa sebenarnya isi dari ajaran ini). Namun apa yang terjadi? Setelah mendapatkan ajaran tersebut, sungai Nil, Sungai Eufrat dan sungai Ciliwung sangat jernih airnya dan cocok untuk mandi. Selain itu Dewi Sukesi juga mengajarkan bagaimana cinta kasih antar sesame sesungguhnya, cinta kasih pada alam semesta, dan cinta kasih pada Sang Hyang Wisesa.

Yang diajarkan adalah jika cinta kita antara dua insan terjalin (Bertasbih atau menyatu) maka akan mudah dalam mengantarkan ajaran ini.

Bahkan dalam pewayangan juga disebutkan bahwa raksasa yang mendengar ajaran rahasia ini justru bisa berubah menjadi manusia.

Ada juga lakon pewayangan yang pernah di tulis oleh Sunan Kalijaga bahwasanya Ajaran Rahasia ini dimiliki oleh Puntadewa dengan senjatanya Jamus Kalimosodo. Sebenarnya, dalam lakon wayang (artinya adalah ayang-ayang) Pandawa itu bagaikan Rukun Islam. Pertama Puntadewa dengan senjata Jamus Kalimosodo (Kalimat Syahadat), Werkudoro dengan melambangkan shoalat yang senjata terkenalnya Kuku Pancanaka (panca berarti lima, artinya shalat 5 waktu), dan seterusnya.

Dalam jamus kalimasada yang berupa ajaran sastra jendra ini, memang kalimat syahadat bagi orang islam yang benar-benar memahami islam akan tercengan untuk merenunginya. 2 kalimat persaksian bahwa tiada sesembahan selain Allah dan Muhammad sebagai Utusan Allah. Padahal syarat orang bersaksi adalah mengetahui dan pernah tahu. Namun, kenapa agama memerintahkan untuk bersaksi padahal kita belum pernah tahu Allah dan RasulNya. Inilah yang membuat ajaran islam juga snagat perlu dikaji lebih dalam oleh para pengikutnya.

Oleh karena itulah sastra jendra dianggap ajaran yang sinengker dan perlu pemahaman dalam untuk mengetahui hakekat sebenarnya.

Pernah membaca tulisan seorang pujangga dari Surakarta, Raden Ngabehi Ranggawarsito. Bahwasanya menyikapi hal ini, dia membagi-bagi ajaran sastra jendra ke beberapa aspek. Seperti halnya ajaran Rahasia untuk meruwat alam semesta, ajaran rahasia untuk meruwat kelestarian makhluk hidup, ajaran rahasia untuk meruwat dan membersihkan bumi, dan lain sebagainya. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah para orang jawa yang belajar bagaimana memahami kehidupan ini. Bahkan, dari berbagai ilmu yang dia dapatkan, akhirnya beliau menuliskan pada salah satu kitab yang terkenal dengan nama Wirid Hidayat Jati. Wirid ini mencangkup segala ilmu yang ada yang dahulunya berasal dari para wali, namun kebanyakan orang memahaminya menjadi sebuah aliran kejawen. Tidak heran jika seperrti Sunan kalijaga dianggap juga sebagai aliran islam-kejawen (abangan) padahal sejarah yang membuktikan tidak seperti itu.

Dari sisi sini saja masih sedikit pembahasan mengenai Sastra Jendra Hayu Ningrat Pangruwating Diyu. Lalu apa makna sebenarnya (makna sejati) dibalik munculnya Ajaran yang dianggap Sinengker ini?? Silakan pembaca merenunginya.

Ngelmu iku, Kelakone kanthi laku.
Lekase Lawan Khas.
Tegese Khas nyantosani.
Sedya Buda Pangekesing Dur Angkara.
(pupuh Pucung, serat Wedhatama)

TRAGEDI SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU


Lelaki tua itu memandang sedih pada ksatria yang berdiri gagah tepat di depannya – ksatria dan seorang raja besar, dengan mata berkilat-kilat seperti ujung belati tersapu cahaya, siaga menggenggam senjata Gandik Kencana yang berbahaya. Lelaki tua, sang resi pilih tanding, yang kesuciannya pernah diakui para dewa, merasa hancur hatinya. Ia tahu sudah tiba saatnya menuai apa yang telah ditanamnya. Ia bertempur setengah hati sampai akhirnya Gandik Kencana milik ksatria itu menghujam dadanya. 

Ksatria itu menikam dada sang resi dengan kuat; ia pun terhuyung, tetapi raja agung itu terus mendorong senjata yang telah menancap di dada sampai sang resi akhirnya roboh, duduk bersimpuh bersimbah darah di depan sang raja. Namun raja itu pun lemas dan jatuh duduk tepat di depan sang resi – menatapnya dengan berlinang air mata. Ia lalu memeluk sang resi, sambil berkata lirih, “Ayahanda, maafkan aku ...” Resi itu pun menghembuskan nafas terakhir di pangkuan putranya yang amat disayanginya, Prabu Danaraja.

Dia adalah Resi Wisrawa, satu-satunya manusia yang, karena kesuciannya, dipercaya memegang rahasia Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, sebuah kitab rahasia tentang "ilmu kasunyatan," tentang “gumelaring jagat,” tentang “sejatining manembah,” dan tujuh tahapan hidup menuju “kasampurnan jati/urip.” Tetapi kemudian sang resi “merasa” telah memiliki kebijaksanaan. Dia menggunakan ilmunya yang suci demi tujuan duniawi: melamar Dewi Sukesi untuk putranya yang dicintainya. Resi Wisrawa mengupas Sastrajendra berdasarkan keinginan nafsu yang lembut, demi putranya, dan demi mendapatkan jodoh bagi sang putra. 

Di lain pihak, Dewi Sukesi, wanita cerdas dan bersemangat ingin mencari makna hidup, mencari cara untuk memahami hakikat Sastra Jendra dengan cara-cara yang tidak sepantasnya, menjadikan sastrajendra “syarat” untuk mendapatkan suami. Demikianlah, saat keduanya asyik mempelajari cara meruwat "diyu" atau “raksasa,” lambang angkara murka dan segala keburukan serta syahwat, tanpa sadar diam-diam dalam hati mereka bangkit raksasa-raksasa yang dengan halus membelokkan hasrat suci ke dalam kenistaan atas nama cinta.. Dua manusia itu saling jatuh cinta, larut dalam birahi. Lalu Wisrawa mengingkari janji pada putranya: sang resi justru menikahi Dewi Sukesi. Dan kelak, dari pernikahan merekalah lahir empat anak: dua diantaranya adalah anak yang amat mengerikan: Raksasa Rahwana atau Dasamuka yang menjelma dari gumpalan darah dari rahim sang Dewi, dan Sarpakenaka.

HAKEKAT SASTRO JENDRO HAYUNINGRAT

Aku adalah kebijaksanaan tertinggi yang memahami sesuatu dari segala sisi, aku memahami kebaikan dari keburukan dan keburukan dari kebaikan , aku melihat yang tampak dari yang tersembunyi dan melihat yang tersembunyi pada apa yang tampak, kebijaksanaanku melihat segala sesuatu sedang berjalan ke arah kebaikan, aku terbebas dari penilaian baik dan buruk karena aku adalah kesempurnaan dalam kebaikan dan keburukan, aku menyinari kegelapan membasahi yang kering mengeringkan yang basah, aku mengisi yang kosong memberi yang meminta melepaskan yang terikat.. 

Kesejatian dan kebenaranku bukanlah sekadar tubuh yang kelak akan ku tinggalkan setelah kematian, kau bukan pula pikiran yang sering terjebak dalam ketidak tahuannya, kau adalah kecerdasan tak terbatas yang terkunci dalam pikiran yang terbatas, kau adalah yang selalu hidup dan yang pergi saat kematian tetapi kau sendiri tidak pernah mati… aku adalah sebuah ketiadaan, tanpa awal dan tanpa akhir, berjalan diantara keabadian semu dan terpaku nanar dilembah lembah kesunyian, sajakku bergumam disela sela pencarian akan hakikat hidup, aku adalah kekosongan sekaligus yang mengisi kekosongan semesta raya , aku mewujudkan diriku sebagai bagian yang tak termiliki., kita tak pernah menanamkan apa apa dan takkan pernah mendapatkan apa apa, aku adalah sastra jendra yang mencari air kehidupan dan setelah semuanya usai aku akan kembali kedalam kedamaian dipelukan sang pencipta yang tiada awal dan tiada akhir… Ia berisi kebenaran yang mengalir dari Pikiran Atas Sadar Yang Hidup Selalu Hidup .. 

Yang mati Tak Pernah Hidup .. maka Sesungguhnya Tak Pernah Ada Kematian, Ada kesempurnaan didalam kealamian semesta Saat kesadaran terjaga , alam semesta mendengar dan jiwa kosong berbicara…. Kau adalah entitas kesadaran agungku yang terjebak dalam semesta kecil tubuh dan pikiran manusia.. kau adalah diri kecil KU yang sedang bertumbuh untuk bisa mengingat hakikat diriku yang besar… Kau adalah alam semesta yang sedang belajar memahami dirinya sendiri… 

Kau adalah yang yang memberi tanpa harus meminta.. Kau adalah yang terlibat tanpa mesti terikat… Kau adalah pemilih yang tidak terjebak oleh penilaian atas setiap pilihanmu… Kau adalah kesadaran tak terbatas dalam tubuh yang terbatas… Kau adalah kecerdasan tak terbatas yang terkunci dalam pikiran yang terbatas … 

Belajar dari awan….. sudah saatnya menyadari sejauh mana kita kini berada, apakah baru mulai menguap menuju setiap langit agar tamjpak sebagai kesuksesan dari bumi..ataukah masih terombang ambing dalam gerakan dualitas tinggi – rendahnya pemahaman.. mungkin juga tanpa sadar kita bahkan telah memilih menjadi bagian dari kegelapan mendung yang hadir di bumi menciptakan badai dan kehancuran bagi kehidupan…dengan labilnya pemahaman akan kesadaran jiwa kita justru akan menciptakan perdebatan, menyulutkan api kemarahan dan menggelegarkan gemuruh suara suara gusar yang menggiring dunia pada air mata kehancuran…hidup bukanlah pilihan,bukan pula sebuah tujuan namun sbuah persinggahan untuk mencapai kesempurnaan dgn melalui ilusi rintangan nyata yg blindung dibalik tirai duniawi yg bgitu halus. 

Manusia bukanlah makhluk hidup yang sedang berjuang menuju cahaya melainkan makhluk cahaya yang sedang berada dalam tubuh manusia..untuk hidup dan menjalani peran keduniawiannya.. jika tuhan pun tidak lagi kuyakini, lalu siapa lagi yang bisa kupercaya dan kuyakini ?? bukankah tubuh manusia adalah kitab suci tertua yang ditulis sendiri oleh shang pencipta ?? manusia tak lain adalah alam semesta yang sedang memahami dirinya sendiri… hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya ” tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar ‘terimalah dan hadapilah..aku kamu dan kalian adalah sebuah kebodohan yang tercipta..terlahir untuk tercerai berai terpendam…terhempas dan terhenyak, kita adalah tiada dan kembali dalam sebuah ketiadaan ”

PUASA DALAM AJARAN SASTRO JENDRO HAYUNINGRAT

Cerita “Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” yang kemudian saya singkat (SHPD) berawal dari suatu cerita wayang dimana Resi Wisrawa ingin mengajarkan sebuah ilmu Haqeqat kepada Dewi Suksesi . Kemudian Resi Wisrawa juga berkehendak mengajarkannya kepada Prabu Sumali (Ayah Dewi Suksesi).

Kemudian Resi wisrawa bercerita kepada Dewi Suksesi dan Prabu Sumali bahwa SHPD adalah suatu ilmu yang bila ditaati dengan benar maka akan mengenal watak (nafsu-nafsu) dari diri pribadi. Kemudian nafsu-nafsu tersebut dipupuk, dikendalikan dan dikembangkan dibawah “kepemimpinan kesadaran yang bersifat jujur dan baik”. Jika sudah mampu memimpin nafsu2 tersebut maka ilmu tersebut merupakan kunci untuk memahami “isi indraloka” pusat tubuh manusia yang berada di dalam rongga dada manusia, sebagai kunci Rasa Gaib, yang bernilai sama dengan Tuhan YME yang Maha Gaib.

Prabu Sumali sangat tertarik, dan mempersilahkan Resi Wisrawa dan Dewi Suksesi untuk masuk ke dalam sanggar pemujaan untuk memberikan wejangan yang lebih dalam. Semua wejangan dilaksanakan dengan sangat rahasia, karena SHPD adalah rahasia alam semesta, yang tidakboleh diketahui sembarang orang , mahluk lain baik daratan, lautan, maupun udara. Tetapi karena Prabu Sumali dianggap belum waktunya menerima ilmu itu, maka Prabu Sumali tidak ikut masuk ke sanggar. Jadi hanya Resi Wisrawa dan Dewi Suksesi yang ada didalam sanggar.

Kemudian wejangan dilanjutkan…Jika seseorang sudah mengetahu kunci rasa gaib itu… maka akan menjadi pemusnah segala macam bahaya… dan tidak ada ilmu lagi yang mengunggulinya… sebab semuanya sudah tercakup dalam “sastra utama” ini… puncak dari segala macam ilmu. Jika para Raksasa, Hewan, semua mahluk mengetahui ilmu ini… Dewa akan membebaskannya dari segala macam petaka.. Jika mati… sempurna kematiannya… rohnya akan berkumpul dengan manusia yang menguasai ilmu ini dan rohnya juga berkumpul dengan para Dewa yang mulia.

Sastrajendra disebut pula sastra ceta… suatu hal yang mengandung kebenaran, keluhuran. Keagungan akan kesempurnaan penilaian terhadap hal-hal yang belum nyata bagi manusia. Rahasia mengenai seluruh alam dan perkembangannya.

Untuk mencapai itu manusia harus melewati seluruh syaratnya, sukma dan roh harus manunggal, antara lain dengan cara :
  1. Mutih
  2. Nyirik
  3. Ngebleng
  4. Patigeni
Selanjutnya melakukan tapa :
  1. Tapaning jasad, yang berarti mengendalikan/menghentikan daya gerak tubuh atau kegiatannya. Janganlah hendaknya merasa sakit hati atau menaruh balas dendam, apalagi terkena sebagai sasaran karena perbuatan orang lain, atau akibat suatu peristiwa yang menyangkut pada dirinya. Sedapat-dapatnya hal tersebut diterima saja dengan kesungguhan hati. 
  2. Tapaning budi, yang berarti mengelakkan/mengingkari perbuatan yang terhina dan segala hal yang bersifat tidak jujur. 
  3. Tapaning hawa nafsu, yang berarti mengendalikan/melontarkan jauh-jauh hawa nafsu atau sifat angkara murka dari diri pribadi. Hendaknya selalu bersikap sabar dan suci, murah hati, berperasaan dalam, suka memberi maaf kepada siapa pun, juga taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Memperhatikan perasaan secara sungguh-sungguh, dan berusaha sekuat tenaga kearah ketenangan (heneng), yang berarti tidak dapat diombang-ambingkan oleh siapa atau apapun juga, serta kewaspadaan (hening). 
  4. Tapaning sukma, yang berarti memenangkan jiwanya. Hendaknya kedermawanannya diperluas. Pemberian sesuatu kepada siapapun juga harus berdasarkan keikhlasan hati, seakan-akan sebagai persembahan sedemikian, sehingga tidak mengakibatkan sesuatu kerugian yang berupa apapun juga pada pihak yang manapun juga. Pendek kata tanpa menyinggung perasaan. 
  5. Tapaning cahya, yang berarti hendaknya orang selalu awas dan waspada serta mempunyai daya meramalkan sesuatu secara tepat. Jangan sampai kabur atau mabuk karena keadaan cemerlang yang dapat mengakibatkan penglihatan yang serba samar dan saru. Lagi pula kegiatannya hendaknya selalu ditujukan kepada kebahagiaan dan keselamatan umum. 
  6. Tapaning gesang, yang berarti berusaha berjuang sekuat tenaga secara berhati-hati, kearah kesempurnaari hidup, serta taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mengingat jalan atau cara itu berkedudukan pada tingkat hidup tertinggi. 
  7. Rasajati yang merupakan tujuan dan inti dari 6 diatas, memperlambangkan jiwa atau badan halus ataupun nafsu sifat tiap manusia, yaitu keinginan, kecenderungan, dorongan hati yang kuat, kearah yang baik maupun yang buruk atau jahat. Nafsu sifat itu ialah; Luamah (angkara murka), Amarah, Supiyah (nafsu birahi). Ketiga sifat tersebut melambangkan hal-hal yang menyebabkan tidak teraturnya atau kacau balaunya sesuatu masyarakat dalam berbagai bidang, antara lain: kesengsaraan, malapetaka, kemiskinan dan lain sebagainya. Sedangkan sifat terakhir yaitu Mutmainah (nafsu yang baik, dalam arti kata berbaik hati, berbaik bahasa, jujur dan lain sebagainya) yang selalu menghalang-halangi tindakan yang tidak senonoh.
Sastra Jendra adalah “benih seluruh alam semesta”… dan sebagai kunci untuk memahami Rasa Sejati … dengan selalu melakukan instropeksi… untuk mengetahui gerak-gerik Nafsu manusia (Amarah, Alwamah, Supiah, Mutmainah)…



1 komentar:

  1. Terima kasih, saya senang bisa mendapatkan pengalaman berharga ini, Salam Rahayu

    BalasHapus