Senin, 16 Juni 2014

TAUBAT

Taubat merupakan awal perjalanan para penempuh dan merupakan kunci kebahagiaan para pengharap hadirat Allah. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Q.s. Al-Baqarah: 222). Firman-Nya pula: “Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah ….“ (Q.s. An-nur: 31). Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang bertobat adalah kekasih Allah, dan orang yang bertobat dan dosanya seperti orang yang tidak pernah berdosa.”

Rasulullah saw. juga bersabda: “Kegembiraan Allah terhadap tobat seorang harnba-Nya yang Mukmin melebihi kegembiraan orang yang singgah di sebuah padang sahara yang tandus dan membahayakan. Ia membawa kendaraan, untuk membawa makanan dan minumannya (bekalnya). Kemudian dia merebahkan diri dan tidur sejenak. Ketika terbangun, ternyata ia tidak mendapatkan kendaraan tunggangannya lantaran terlepas dan melarikan diri. Lalu ia berupaya mencarinya ke berbagai penjuru, hingga merasakan amat lapar dan haus … atau apa saja yang dikehendaki Allah menimpa atas dirinya. Kemudian ia berkata, ‘Aku akan kembali ke tempat di mana aku tidur tadi, dan akan tidur kembali hingga mati di situ.’ Sesampainya di tempat itu, ia pun meletakkan kepalanya di atas lengannya, lalu tidur untuk mati. Tiba-tiba ia pun terbangun, dan ternyata tunggangannya yang semula hilang itu ada di sisinya lagi, berikut bekal dan minumannya masih ada. Allah itu jauh lebih gembira dari orang yang telah mendapatkan kembali tunggangannya dan bekalnya itu.” (Al-Hadis).

Esensi Taubat

Esensi taubat adalah kembali dari jalan yang jauh menuju jalan yang dekat. Namun demikian, tobat itu memiliki pilar, prinsip dasar dan kesempurnaan. Prinsip dasar adalah iman. Yang berarti, terpancarnya cahaya ma’rifat pada kalbu sehingga dosa-dosa yang ada di dalamnya merupakan racun yang membinasakan. Dari sana bara rasa takut (khauj) dan penyesalan (nadam), kemudian dari bara inilah memancar sikap waspada dan sikap memperbaiki kekeliruan. Untuk saat itu, berupaya meninggalkan dosa-dosa. Untuk kelak, berarti kemauan yang sungguh-sungguh guna meninggalkan dosa-dosa; dan pada masa silam, berarti memperbaiki kekeliruan semaksimal mungkin. Dengan demikian, kesempurnaan tobat dapat digapai.

Jika esensi taubat telah Anda ketahui, maka sangat jelas bahwa tobat itu merupakan kewajiban setiap individu yang wajib dilakukan dalam kondisi apa pun. Karena itulah Allah swt. berfirman, “Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah ….“ (Q.s. An-Nur: 31).

Di sini Allah mengarahkan khitab-Nya kepada semua pihak secara menyeluruh. Taubat itu wajib karena muatan maknanya adalah mengetahui bahwa dosa-dosa bisa menghancurkan, serta darinya motivasi yang kuat untuk meninggalkannya. Ini merupakan salah satu komponen keimanan, yakni mengenal
faktor-faktor di atas.

Bagaimana taubat tidak wajib? Karena manusia itu terdiri dari beberapa sifat: kebinatangan, kebuasan, kesetanan, dan sifat-sifat ketuhanan. Dan unsur-unsur kebinatangan lahir sifat rakus, nafsu birahi dan durhaka. Dari unsur kebuasan lahir sifat-sifat marah, dengki, permusuhan dan rasa benci. Dari unsur kesetanan lahir sifat-sifat tipu daya dan pengkhianatan. Dari unsur ketuhanan lahir sifat sombong, senang dipuja dan cinta kekuasaan.

Prinsip akhlak tersebut adalah keempat perilaku di atas. Sifat-sifat itu telah mendarah daging dalam diri manusia dan sulit untuk dipisahkan. Yang dapat dilakukan hanyalah upaya menyelamatkan diri dari kegelapannya dengan cahaya yang dapat diperoleh dari akal pikiran dan syariat.

Pertama kali unsur yang diciptakan dalam sifat manusia adalah unsur kebinatangan, karena itu pada masa bayi sifat rakus, tamak dan birahi menguasainya. Lalu unsur kebuasan, yang menguasainya melalui sifat bermusuhan dan saling berkompetisi menguasainya. Kemudian diciptakan unsur setaniah yang menguasai dirinya dengan sifat tipu daya dan rekayasa. Unsur kebuasan dan kebinatangan ini menggiring manusia untuk mempergunakan kecerdikannya dalam menyiasati terlaksananya hawa nafsu dan terwujudnya sifat amarah.

Setelah unsur-unsur tersebut, lahirnya unsur ketuhanan (rububiyah) yang menimbulkan sifat sombong, cinta martabat dan tahta. Kemudian diciptakan akal pikiran, yang mencerahkan cahaya dan cahaya itu adalah pasukan Allah dan pasukan malaikat. Sementara sifat-sifat negatif di atas adalah balatentara setan.
Pasukan akal menjadi sempurna ketika usia seseorang mencapai empat puluh tahun, dan awalnya tampak pada usia baligh. Sedangkan seluruh balatentara setan telah bercokol di dalam hati sebelum berusia baligh. Hati dikuasai oleh balatentara tersebut dan dijinakkan oleh nafsu, selanjutnya ia menyebar luas dalam nafsu birahi (syahwat) menuruti gerak nafsu, sampai cahaya akal pikiran itu masuk. Maka terjadilah perang antara nafsu dan akal pikiran dalam konflik hati.

Apabila pasukan akal dan cahaya iman tidak mampu mengalahkan balatentara setan, maka balatentara setan tersebut tetap bercokol sebagaimana semula, berarti kerajaan hati telah menyerah kepada setan. Perang antara hawa nafsu dan akal pikiran merupakan kelaziman dalam fitrah manusia, sebab naluri seorang anak itu tidak akan meluas jika naluri sang bapak tidak meluas pula. Kisah Adam as. itu dituturkan, agar menjadi pelajaran dan perhatian, bahwa hal itu telah menjadi kepastian atas dirinya. Tentu juga menjadi kepastian atas seluruh anak cucunya dalam ketetapan azali yang tidak dapat diubah lagi. Jadi, tidak seorang pun yang tidak membutuhkan tobat.

Bahwa tobat itu wajib dilakukan setiap saat, karena tingkah laku manusia, tidak lepas dari dosa, baik organ tubuhnya atau pada kalbunya. Ia juga tidak lepas dari moral dan perilaku tercela, suatu hal yang harus dijauhi dan dibersihkan dari hati. Perilaku tercela itu menjauhkan diri dari Allah dan upaya untuk menyingkirkan merupakan tobat itu sendiri, karena hal tersebut merupakan tindakan meninggalkan jalan yang jauh (al-bu’du) kembali menuju jalan yang dekat (al-qurb) kepada-Nya.

Jika lepas dari semua itu, ia tidak bisa sunyi dari kealpaan mengingat-Nya. Kealpaan juga termasuk jalan yang menjauhkan diri (dari Nya), ia harus kembali melalui dzikir. Itulah sebabnya, Allah berfirman:
“Dan ingatlah kepada Tuhan mu jika kamu lupa….” (Q.s. Al-Kahfi: 24).

Jika hatinya hadir selamanya, ingat kepada Allah swt, lalu bagaimana? Dalam hal ini ia tidak bisa lepas dari pendakian tahapan (maqam) rendah menuju tahap yang tinggi. Ia harus meningkat ke maqam selanjutnya. Walaupun ia telah melalui maqam tersebut, ia harus tetap terus mendaki dari maqam-maqam yang lebih tinggi lagi. Ketika ia mendaki tahap yang lebih tinggi, ia harus mohon ampun atas tahap lalu yang rendah. Sebab ia merasa telah berdosa atas masa lalunya, ketika ia dapati tahap yang lebih luhur. Padahal tahap-tahap itu tidak pernah ada batasnya.

Hal inilah yang disabdakan oleh Rasulullah saw.: “Sebenarnya hal itu adalah yang menyelubungi hatiku, hingga aku minta ampun kepada Allah dalam sehari-semalam tujuhpuluh kali.” (Al-Hadis).

Semuanya merupakan tobat. Hanya saja tobat orang awam itu dari dosa-dosa lahiriah. Sedangkan tobat orang-orang saleh adalah tobat dari perilaku-perilaku batin yang tercela; tobat orang-orang takwa adalah tobat dari posisi-posisi keragu-raguan; tobat orang-orang yang cinta kepada Allah swt. (muhibbin) adalah tobat dari kelalaian dzikir; dan tobat orang-orang arif (al-arijiin) adalah tobat dari berhenti pada suatu maqam, padahal di depannya masih terdapat maqam-maqam lagi. Maqam-maqam kedekatan kepada Allah tidaklah berujung, maka tobat seorang arif tidak juga berujung pangkal, tidak berbatas akhir.

Tobat yang telah terpenuhi syarat-syaratnya pasti diterima. Anda tidak perlu khawatir, jika Anda mengerti tentang makna penerimaan tobat. Makna penerimaan tobat adalah kesiapan hati untuk menerima cahaya-cahaya ma’rifat dalam dirinya. Hati Anda bagaikan cermin yang pencerahannya terhalangi oleh kotoran-kotoran hawa nafsu dan cinta nafsu. Setiap dosa merupakan bintik hitam kalbu, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada kalbu. Karena itulah, kebaikan-kebaikan dapat membersihkan dan mencerahkan jiwa. Itulah sebabnya Nabi Muhammad saw. bersabda, “Kejelekan itu harus diikuti dengan kebaikan agar kebaikan itu dapat menghapusnya.”

Tobat bagi hati bagaikan sabun bagi pakaian. Sabun itu pasti dapat menghilangkan kotoran jika digunakan sebagaimana mestinya. Orang yang meragukan diterima-tidaknya tobatnya, berarti belum yakin atau belum memenuhi syarat-syarat tobat secara utuh. Hal itu sama dengan orang yang meminum obat sakit perut, tapi dia tidak yakin hal itu akan menyembuhkan sakitnya, karena dia tidak tahu tentang syaratsyarat penggunaan obat itu secara utuh. Sebaliknya bila ia mengetahui hal itu, pastilah tergambar kesembuhan, pasti menerima syarat orang yang menolong. Namun pada saat-saat tertentu keragu-raguan ini tidaklah menghantui kita, bahwa tobat itu sendiri harus melalui jalan-jalan tertentu untuk dapat diterima.

Terapi Tobat

Terapi tobat adalah penghentian pengulang-ulangan perbuatan dosa yang dilakukan secara terus-menerus. Sebab tidak ada penghilang tobat selain perbuatan dosa yang diulang kembali. Tidak ada penyebab tobat selain sifat lalai dan nafsu.

Suatu penyakit yang terdapat dalam hati dan terapi pengobatannya seperti pengobatan tubuh. Namun penyakit hati ini iebih besar dari penyakit tubuh, karena tiga faktor:

Pertama, itu adalah sejenis penyakit yang pengidapnya sendiri tidak tahu bahwa itu adalah penyakit. Itu sama dengan belang pada wajah orang. Disebabkan tidak mempunyai cermin, dia tidak akan berupaya menghilangkannya, lantaran tidak tahu bahwa di wajahnya ada belang. Kemudian jika ada orang lain yang memberitahukannya, mungkin dia tidak akan percaya.

Kedua, akibat dari penyakit ini tidak dapat disaksikan oleh manusia walaupun ia mengalaminya. Karena itu Anda memandangnya semata bergantung pada ampunan Allah, sedangkan Anda hanya gigih dalam mengobati penyakit tubuh.

Ketiga, itu adalah penyakit kronis yang sulit diobati dan sudah kehilangan dokter. Sementara dokter yang sebenarnya adalah seorang alim yang mau mengamalkan ilmunya.
Ulama-ulama masa kini telah mengidap penyakit yang sulit mereka sembuhkan sendiri, karena penyakit yang membinasakan itu adalah cinta dunia (hubbud-dunya). Penyakit ini telah menguasai para ulama. Padahal mereka sangat berkepentingan untuk mencegah manusia dan cinta dunia, agar kebobrokannya tidak terungkap. Lalu mereka menjadi hina setelah menyetujui orientasi harta-benda, rakus dan cinta gelimang harta. Karena faktor inilah penyakit itu semakin menyebar luas dan obat pun punah, para dokter sibuk dengan upaya yang menyesatkan. Maka, barangkali jika mereka tidak melakukan terapi, kerusakan tidak merajalela. Kemungkinan mereka itu diam dan tidak berbicara, bahkan setiap orang dari mereka bagaikan batu besar di mulut sebuah lembah. Batu itu tidak menyerap air itu, juga tidak menyisakan air untuk diserap oleh benda lain.

Terapi terhadap faktor pengulang-ulangan perbuatan dosa, tertumpu pada lima hal:

Pertama, bahwa siksa atau sanksi yang diancamkan itu, tidak seketika. Naluri manusia meremehkan sesuatu yang tidak nyata terjadi. Terapinya, Anda hendaknya berpikir, bahwa setiap yang akan datang pasti dekat dengan kita, dan bahwa yang jauh itu tidak akan tiba. Anda merenungkan, bahwa mati itu lebih dekat dari tali sandal. Tidak ada yang tahu apakah maut itu menjemput pada akhir hari ini atau pada akhir tahun. Kemudian berpikir, bagaimana dia bersusah-payah menempuh perjalanan jauh melewati aneka ragam bahaya, hanya khawatir pada kemiskinan di masa depan.

Kedua, kesenangan dan hawa nafsu bisa mencekik leher seketika itu pula, sementara ia tidak mampu melepaskan cengkeramannya. Terapinya adalah, dia harus berpikir, andaikata seorang dokter Nasrani menyatakan bahwa meminum air yang dingin sangat berbahaya baginya dan dapat menggiringnya pada maut, padahal air itu adalah yang paling lezat baginya, bagaimana ia akan meninggalkannya? Maka, hendaklah ia tahu bahwa Allah swt. dan Rasulullah saw. lebih benar daripada dokter Nasrani tersebut, sedang kekal dalam api neraka lebih pedih daripada mati karena sakit. Kemudian, jika ia menyatakan kepada diri sendiri, betapa sulitnya meninggalkan kesenangan-kesenangan itu, bagaimana tidak sulit dan menyengsarakan dirinya bila berdiam dalam api neraka, dan terlarang dari Firdaus berikut segala bentuk kesenangan selama-lamanya?

Ketiga, jika ia selalu menunda-nunda tobat dari hari ke hari, terapinya adalah berpikir dan tahu bahwa bisikan kebahagiaan dan kesengsaraan itu bukan kembali padanya, merupakan suatu kebodohan. Dari mana ia tahu bahwa hal itu dapat abadi sampai ia bertobat? Sebagian besar jeritan penghuni neraka disebabkan oleh penundaan-penundaan tobat tersebut. Sebab, mereka selalu menunda-nunda dan mengulur-ulur tobat hingga secara tiba-tiba diserang penyakit yang menggiringnya pada maut. Penunda-nundaan itu dilakukannya karena ia tidak mampu mengekang hawa nafsu seketika itu.

Sebab, bila menunggu-nunggu saat senggang, atau hari yang luang tiada kesibukan untuk pengekangan terhadap hawa nafsu, hakikatnya saat senggang dari hari yang luang tanpa kesibukan itu tidak pernah ada. Itu sama saja dengan orang yang tidak mampu mencabut sebuah pohon yang mengakar, lalu menundanya sampai tahun depan, padahal dia tahu bahwa dari hari ke hari pohon tersebut semakin mengakar kuat, kemudian kemampuan dirinya dari hari ke hari semakin berkurang. Ia benar-benar tolol.

Keempat, menganggap dirinya mulia dan dimaafkan. Ini benar-benar puncak kesombongan, yang dimasukkan oleh setan agar menentang agama. Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang cerdik adalah orang yang menundukkan dirinya, dan beramal untuk kehidupan setelah mati. Orang yang tolol adalah orang yang mengikutkan nafsu-nafsunya dan mengandai-andai kepada Allah swt.”

Kelima, meragukan urusan atau perkara akhirat — Na’udzubillah. Terapinya telah kami sinyalir pada Penutup Bab “Akhlak yang Tercela: Meremehkan Dosa Kecil”. Bertobat dari dosa-dosa, apa pun bentuknya, adalah penting dan merupakan kewajiban, apalagi dosa-dosa besar.

Berulang-ulang melakukan dosa kecil merupakan dosa besar pula. Tidak ada dosa kecil jika terus-menerus dilakukan, sebaliknya, tidak ada dosa besar bila kembali dan istighfar. Dosa-dosa kecil yang berulang-ulang sangat besar pengaruhnya dalam menggelapkan hati, itu identik dengan air yang terus menetes pada batu yang keras. Air itu, lama-lama pasti dapat melubangi batu tersebut, padahal air itu cair, sedangkan batu itu keras.

Beberapa faktor yang menyebabkan dosa kecil menjadi besar:

Pertama, sikap meremehkan dosa kecil, sehingga ia tidak pernah memperhatikan sebab-sebab dosa tersebut. Di antara sufi berkata, “Dosa yang tidak terampuni adalah ucapan seorang hamba, Andaikata segala sesuatu aku kerjakan seperti ini.”

Kedua, rasa bangga dan girang dengan dosa-dosa, bahkan menikmatinya. Si pendosa itu berkata dengan bangganya, “Bagaimana Anda menyaksikan aku mencercanya, mengoyak-koyak kehormatannya dan memperdayanya dalam kerja sama?” Ini benar-benar berpengaruh besar dalam penodaan hati.

Ketiga, meremehkan Allah yang menutupi cacat dirinya. Ia mengira, bahwa itu karena keluhurannya di sisi Allah, sementara ia tidak tahu bahwa hal itu dimurkai. Dia selalu melakukan penunda-nundaan tobat sehingga dosa-dosanya semakin bertambah, karenanya kelak ia ada di dasar api neraka terbawah.

Keempat, mendemonstrasikan dosa-dosanya, setelah melakukannya. Dalam sebuah hadis disinyalir, “Seluruh manusia terampuni, kecuali mereka yang suka mendemonstrasikan dosa-dosanya.”

Kelima, dosa kecil yang bersumber dari ulama yang menjadi panutan. Ini adalah dosa besar, sebab dosa kecil itu tetap berlangsung setelah ulama itu meninggal dunia. Berbahagialah orang yang meninggal dan bersamanya pula berakhir dosa-dosanya. Orang yang meninggalkan tradisi yang jelek, maka beban dosanya dan dosa yang mengikuti tradisi itu ada padanya sampai hari Kiamat.

Dituturkan bahwa di antara ulama Israil bertobat dari dosa-dosanya dan bid’ah yang dilakukannya. Kemudian Allah menurunkan wahyu kepada seorang Nabi pada masa itu berkenaan dengan tobat si ulama tadi. Wahyu itu adalah, “Dosa-dosamu, antara Aku dan kamu, tetap Aku ampuni, namun bagaimana dengan hamba-hamba-Ku yang kamu sesatkan yang dengannya kamu memasukkan mereka ke dalam api neraka?”

Jadi, motivasi yang mendorong pelaksanaan tobat itu tidak lain hanyalah rasa takut yang bersumber dari matahati (bashirah) dan ma’rifat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar