Kamis, 26 April 2012

IJTIHAD DAN TERJADINYA IKHTILAF/ERBEDAAN

Ijtihad merupakan sebuah upaya untuk menggali suatu hokum yang sudah ada sejak zaman Rasul, dan ijtihad itu di lanjutkan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya,bahkan sampaisaat ini. Pada periode tertentu ijtihaad itu di buka, dan pada saat yang lain di tutup, lalu setelah itu di buka kembali, karena ijtihad meupakan sebuah keharusan untuk menghadapi berbagai permasalahan yang belum pernah terjadi pada masa Rasul, juga banyaknya permasalahan yang semakin kompleks. Pada saat ini banyak di temukan beberapa perbedaan madzhab dalam hokum islam, dan hal itu di sebabkan oleh adanya ijtihad, dengan adanya ijtihad ini semakin tampaklah kesempurnaan islam, dengan itu juga islam bisa menjawab dan menghadapi berbagai problematika yang beraneka ragam dan semakin kontemporer.

Ijtihad ini merupakan salah satu cara untuk mengetahui suatu hokum melalui dalil-dalil syar’I yaitu Al-qur’an, Al-hadits dengan cara istinbath.

Adapun mujtahid mereka adalah ahli fiqih yang menghabiskan dan mengerahkan seluruh kesanggupanya untuk mendapatkan hokum syar’i.

Adanya ijtihad ini sangat berpengaruh pada perkembangan fiqih pada masa shahabat, karena dengan ijtihad ini banyak di temukan hokum-hukum yang belum terjadi pada masa Rasul dan bisa menjawab atas kejadian tersebut. Hal ini sangat bermanfaat bagi generasi selanjutnya dan para pengikutnya.

Pengertian ikhtilaf dan ijtihad

Adapun kata ijtihad berasal dari kata إجتهد يجتهد إجتهاداً yang artinya adalah mencurahkan segala kemampuan atau memikul beban dalam segala perbuatan.

Adapun ma’na secara istilah adalah sebuah usaha sungguh-sungguh yang di lakukan oleh seorang mujtahid untuk mencapai putusan syara’ pada sebuah kejadian yang belum pernah ada dalam Al-qur’an maupun Al-hadits.

Sebagian ulama’ lain mendefinisikan ijtihad adalah 

إستفراغ الجهدوبذل غا ية الوسع في إستنبات الأحكام الشرعية وأمّا في تطبيقها 

artinya adalah usaha sungguh sungguh dengan mengerahkan segala kekuatan, baik untuk memutuskan hokum syar’I ataupun untuk menerapkanya.

Imam Asy-syaukani memberikan definisi ijtihad adalah: mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan hokum syar’I yang bersifat operasional dengan cara beristinbath (mengambil kesimpulan hokum).

Dari definisi di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa ijtihad adalah mencurahkan fikiran untuk mendapatkan hokum syar’I dengan salah satu dalil syar’I dan dengan cara tertentu.

Dasar-dasar dalam ijtihad

An nahl :43
وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُوحِى إِلَيْهِمْ فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ

Artinya “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”

Al anbiya’: 7

وَمَآأَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ

“Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.”

Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi

ولما بعث النبي معاذ بن جبل إلى اليمن قاضيا، قال له: (كيف تقضي إذا عرض لك قضاء؟) قال: أقضي بكتاب الله تعالى، قال: فإن لم تجد ؟ قال: فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال: فإن لم تجد؟ قال: أجتهد رأيي ولا آلو، قال معاذ: فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم في صدري وقال: الحمد لله الذي وفق رسول رسول الله لما يرضي رسول الله

Artinya: Ketika Nabi mengutus Sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman sebagai hakim Nabi bertanya: Bagaimana cara kamu menghukumi suatu masalah hukum? Muadz menjawab: Saya akan putuskan dengan Quran. Nabi bertanya: Apabila tidak kamu temukan dalam Quran? Muadz menjawab: Dengan sunnah Rasulullah. Nabi bertanya: Kalau tidak kamu temukan? Muadz menjawab: Saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan tidak akan melihat ke lainnya. Muadz berkata: Lalu Nabi memukul dadaku dan bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi pertolongan pada utusannya Rasulullah karena Nabi menyukai sikap Muadz.

Hadits muttafaq alaih (Bukhari Muslim) dan Ahmad

Artinya: Apabila seorang hakim membuat keputusan apabila dia berijtihad dan benar maka dia mendapat dua pahala apabila salah maka ia mendapat satu pahala.

Sebab-sebab terjadinya ikhtilaf

Di antara sebab yang menyebabkan para sahabat berbeda pendapat adalah:

  1. Ikhtilaf bisa saja muncul karena hawa nafsu, namun ikhtilaf ini tercela, karena maknanya ia menjadikan hawa nafsu sebagai dalil syara’, dan ikhtilaf ini bukan merupakan ikhtilaf yang di tolerir oleh syar’i.
  2. Sedangkan ijtihad yang di bolehkan oleh syari’at adalah jika hal itu tyerjadi karena beberapa sebab. 
Di antaranya ada dua bagian:

a) Sebab ikhtilaf karena dalil
Adanya lafadh yang mengandung beberapa ma’na, ataupun ma’na yang mengandung penakwilan.
  1. Adanya beberapa lafadh yang mengandung ma’na haqiqi dan majazi, seperti dalam surat Al-ma’idah ayat 6, lafadh “menyentuh” bisa saja berarti menyentuh dengan tangan ataupun jima’.
  2. Penggunaan dalil antara yang umum dan khusus.
  3. Perbedaan bacaan Al-qur’an dan pandangan mereka terhadap periwayatan hadits.
  4. Berbeda pendapat tentang ada dan tiadanya nasakh hokum.
  5. Terlupakan atau tidak d perhatikanya suatu hadits.
b). sebab ikhtilaf karena kaidah ushul

Termasuk dalam hal ini yaitu memahami satu kata perintah, apakah satu perintah tersebut menimbulkan hokum wajib ataukah tidak, apakah berlaku muqoyyad ataukah muthlaq, dan lain-lain.

Macam-macam ikhtilaf

1) Ikhtilaf tercela

Adapun jenis-jenis ikhtilaf adalah sebagai berikut:

a) Ikhtilaf yang antara kedua belah pihak di cela sebagaimana firman Allah

 وَمِنَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَى أَخَذْنَا مِيثَاقَهُمْ فَنَسُوا حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُوا بِهِ فَأَغْرَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَآءَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَسَوْفَ يُنَبِّئُهُمُ اللهُ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

Artinya” Dan diantara orang-orang yang mengatakan:”Sesungguhnya kami orang-orang Nasrani”, ada yang telah kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebahagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya; maka Kami timbulkan diantara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. Dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang selalu mereka kerjakan”. [Al-Maidah : 14]

b) Merupakan jenis daripada ikhtilaf adalah andanya 2 kelompok kaum muslim dalam masalah firi’iyyah tanawwu’dan masing masing mengingkarikebenaran yang di miliki oleh orang lain

c) Ikhtilaf yang salah satu pihak dicela dan satu lagi dipuji (karena benar). 
Ini disebut dengan ikhtilaf tadhadh (kontradiktif) yaitu salah satu dari dua pendapat adalah haq dan yang satu lagi adalah bathil. Allah telah berfirman “Artinya : Akan tetapi mereka berselisih, maka ada diantara mereka yang beriman dan ada (pula) diantara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan” [Al-Baqarah : 253] 
Ini (ayat di atas) adalah pembeda antara al-haq (kebenaran) dengan kekufuran. Adapun pembeda antara al-haq (kebenaran) dengan bid’ah adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits iftiraq.

Artinya : Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 firqah (kelompok), kaum Nashara menjadi 72 firqah, dan ummat ini akan terpecah menjadi 73 firqah, semuanya (masuk) didalam neraka kecuali satu. Ditanyakan : “Siapakah dia wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab : “orang yang berada diatas jalan seperti jalan saya saat ini beserta para sahabatku” dalam sebagian riwayat : “dia adalah jama’ah”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa semua firqah ini akan binasa, kecuali yang berada diatas manhaj salaf ash-shaleh. Imam Syathibi berkata : “Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam [illa waahidah] telah menjelaskan dengan sendirinya bahwa kebenaran itu hanya satu, tidak berbilang. Seandainya kebenaran itu bermacam-macam, Rasul tidak akan mengucapkan ; [illa waahidah] dan juga dikarenakan bahwa ikhtilaf itu di-nafi (ditiadakan) dari syari’ah secara mutlak, karena syari’ah itu adalah hakim antara dua orang yang berikhtilaf. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Artinya : Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya)”. [An-Nisaa : 59]

Jenis ikhtilaf inilah yang dicela oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.

2) Ikhtilaf yangboleh

Ini juga ada dua macam yaitu :

a) Ikhtilafnya dua orang mujtahid dalam perkara yang diperbolehkan ijtihad di dalamnya. 

Sesungguhnya termasuk rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada umat ini. Dia menjadikan dien (agama) ummat ini ringan dan tidak sulit. Dia juga telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa hanifiyah (agama lurus) yang lapang. Allah berfirman. 
“Artinya : Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” [Al-Hajj : 78]

Diantara rahmat ini adalah tidak memberikan beban dosa kepada seorang mujtahid yang salah bahkan ia mendapatkan pahala karena kesungguhannya dalam mencari hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman.

“Artinya : Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu salah padanya” [Al-Ahzab : 5]

Dari Amr bin Al-’Ash Radhiyallahu ‘anhu, berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Apabila ada seorang hakim mengadili maka ia berijtihad, lalu ia benar (dalam ijtihadnya) maka ia mendapatkan dua pahala, apabila ia mengadili maka ia berijtihad, lalu ia salah maka ia mendapatkan satu pahala” [Hadits Riwayat Imam Bikhari]

[b]. Ikhtilaf Tanawwu

Contohnya adalah ikhtilaf sahabat dalam masalah bacaan (Al-Qur’an) pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :”Saya mendengar seseorang membaca ayat yang saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacanya berbeda dengan orang itu, maka saya pegang tangannya lalu saya bahwa kehadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya laporkan hal itu kepada beliau, namun saya melihat tanda tidak suka pada wajah beliau, dan beliau bersabda. 
“Artinya : Kalian berdua bagus (bacaannya), jangan berselisih ! Sesungguhnya umat sebelum kalian berselisih lalu mereka binasa”.

Kriteria mujtahid

Seseorang yang menggeluti fiqih, belum bisa sampai pada tingkat mujtahid kecuali jika memenuhi beberapa syarat, sebagian syarat ada yang telah di sepakati dan sebagian yang lain masih di perselisihkan. Adapun syaratnya adalah sebagai berikut.
Mengetahui Al-qur’an.

Al-qur’an merupakan sumber hukum islam yang utama sebagai pondasi dasar hokum islam. Oleh karena itu, maka seorang mujtahid harus mengetahui Al-qur’an secara mendalam, karena orang yang tidak mengetahui Al-qur’an sudah tentu ia juga tidak mengerti syari’at islam secara utuh.

Mengenai Al-qur’an tidak cukup dengan pandai dan piawai saja, namun ia juga harus melihat bagaimana Al-qur’an memberikan sebuah cakupan terhadap ayat-ayat hokum .

- Mengetahui Asbabun-nuzul,

Mengetahui asbaabun-nuzul ayat merupakan salah satu syarat mengetahui Al-qur’an secara komprehensif, karena dengan mengetahui sebab-sebab turunya ayat akan memberikan analisis yang komprahensif dalam memahami maksud di turunkanya Al-qur’an tersebut kepadamanusia.

Imam Asy-syatibi dalam kitabnya Almuwaafaqaat mengatakan bahwa mengetahui asbaabun-nuzul merupakan sebuah keharusan bagi orang yang hendak memahami Al-qur’an, kenapa bisa demikian?,Sebuah pembicaraan akan berbeda pengertian dan pemahaman sesuai dengan perbedaan keadaan. Tidak mengetahui sebab turunya ayat bisa menyebabkan pada sebuah keraguan dan kesulitan, juga bisa membawa pada pemahaman global terhadap pemahaman sebuah nash syar’i yang bersifat lahir, sehingga sering menimbulkan sebuah perselisihan.

- Mengetahui nasikh mansukh.

Hal ini bertujuan untuk menghindari agar tidak ada yang berdalih untuk menguatkan suatu hukum dengan ayat yang sebenarnya yang telah di nasikh dan dalilnya sudah tidak di pergunakan untuk berdalil

Mengetahui As-sunnah.

Syarat selanjutnya yang harus di miliki oleh seorang mujtahid adalah mengetahui as-sunnah, yaitu ucapan, perbuatan, ataupun sebuah ketetapan yang telah di tetapkan oleh Nabi dan telah di riwayatkan dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Beberapa hal yang harus di ketahui antara lain:

Mengetahui ilmu dirayah hadits

Pengertian dari Ilmu Hadits Diroyah yang di berikan oleh Al-ghazali adalah mengetahui riwayat dan memisahkan hadits yang shahih dari yang rusak dan hadits yang bisa di terima dari hadits yang di tolak.

Seorang mujtahid harus mengetahui pokok-pokok hadits dan ilmunya, berkaitan dengan ilmu tentang para perowi hadits, syarat-syarat di terimanya hadits atau di tolaknya suatu hadits, tingkatan kata dalam menetapkan adil dan cacatnya sebuah hadits, dan hal lain-lain yang tercakup dalam ilmu hadits, lalu mengaplikasikan pengetahuan tersebut dalam menggunakan hadits sebagai dasar hokum. 

Mengetahui hadits yang nasikh dan mansukh.

Mengetahui hadits yang nasikh dan mansukh ini bertujuan agar seorang mujtahid tidak berpegang sebuah hadits yang sudah jelas hukumnya telah di hapus dan tidak di pergunakan lagi, seperti hadits yang membolehkan nikah mut’ah, yang mana hadits tersebut telah di nasakh oleh hadits lain secara pasti.

  1. Mengetahui asbabul-wurud hadits, Syarat ini sama dengan seorang mujtahid yang seharusnya menguaasai asbaabun nuzul.
  2. Mengetahui bahasa arab. Seorang mujtahid harus mengetahui bahasa arab agar penguasaanya pada obyek kajian lebih mendalam
  3. Mengetahui tempat-tempat ijma’. Seorang mujtahid harus mengetahui hokum-hukum yang di sepakati olehpara ulama’,sehingga tidak terjerumus memberikan sebuah fatwa yang bertentangan dengan hasil ijma’.
  4. Mengetahui ushul fiqih. Seorang mujtahid juga harus mengetahui ilmu ushul fiqih, yaitu suatu ilmu yang telah di susun oleh para fuqoha’ untuk meletakkan kaidah-kaidah dan cara-cara untukmengambil istinbath hokum dari sebuah naash dan mencocokkan cara pengambilan hokum yang tidak ada nash dan hukumnya.
Dalam ushul fiqih , seorang mujtahid di tuntut untuk memahami qiyas sebagai modal pengambilan ketetapan hokum.
Mengetahui maqoshidusy-syari’ah.

Syari’at islam di turunkan dalam rangka melindungi dan memelihara kepentingan manusia. Pemeliharaan ini di katagorikan dalam tiga tingkatan, di antaranya

  1. Dhoruriyat, yaitu apabila sesuatu itu di langgar akan mengancam jiwa, agama, harta, akal, dan keturunan.
  2. Hajiyat, yaitu kelapangan hidup, seperti member rukhsoh pada sebuah kesulitan.
  3. Tahsiniyat, yaitu perlengkap yang terdiri dari kebiasaan dan akhlaq yang baik.
  4. Mengetahui manusia dan kehidupan sekitarnya.  Seorang mujtahid juga harus mengetahui keadaan zamanya, masyarakatnya, permasalahanya, aliran keyakinanya,politiknya, agamanya dan mengenal hubungan masyarakat dengan masyarakat lain juga sejauh apa interaksi saling mempengaruhi antara masyarakat tersebut.
  5. Bersifat adil dan taqwa. Hal ini bertujuan agar produk hukum yang telah di formulasikan oleh para mujtahid benar-benar proposional karena memiliki sifat adil, jauh daripada kepentingan politik dalam istinbath hukumnya.
Implikasi dari perbedaan para sahabat

Para sahabat radhuyalaahu ‘anhum, meskipun mereka berbeda pendapat dalam masalah furu’, namun mereka tetap teguh dan jauh dari perpecahan, mereka tetap teguh menjaga kesatuan mereka, sebagai contoh dalam pembacaan basmalah secara jahriyyah, ada sebagian mereka yang mengatakan bahwa hal itu di syari’atkan, sementara yang lain mengatakan bahwa hal demikian tidak di syari’atkan. Demikian juga dalam permasalahan menyentuh wanita setelah usai berwudlu, sebagian mereka berpendapat membetalkan dan sebagian yang lain mengatkan tidak membatalkan, sekalipun demikian mereka tetap sholat di belakang seorang imam dan mereka tidak mau meninggalkan shalat di belakang imam di karenakan perbedaan pendapat tersebut.

Ijtihad adalah mencurahkan fikiran untuk mendapatkan hukum syar’I dengan salah satu dalil syar’I dan dengan cara tertentu. Para shabat tetap bersatu walaupun mereka mempunyai perbedaan pendapat, sehingga tidak menimbulkan iftiroq. Adanya ikhtilaf ini berdampak pada perbedaan hukum-hukum oleh para sahabat, generasi setelahnya hingga saat ini. Sehingga di dapati ada beberapa ulama yang sering berbeda pendapat, namun semoga itu tidak menjadikan mereka berpisah dan beriftiroq.

Perbedaan itu Fitrah

إِنَّ فِي اخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَّقُونَ

“Sesungguhnya pada pergantian malam dan siang itu dan pada apa yang Allah ciptakan di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang- orang yang bertakwa.” (Q.S. Yunus [10]: 6).

إِنَّكُمْ لَفِي قَوْلٍ مُخْتَلِفٍ

“Sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berbeda pendapat[1],” (Q.S. adz-Dzariyat [51]: 8).

[1] Maksudnya berbeda pendapat antara kaum musyrikin tentang Muhammad saw. dan al-Quran.

Definisi Ikhtilaf

Menurut Etimologi (Bahasa)

Ikhtilaf berasal dari kata خَلَفَ yang berarti berbeda, mengganti, membelakangi, meninggalkan keturunan. Ada istilah lain yang seakar dengan kata tersebut, misalnya khalifah, khulafa`ur Rasyidin, khilaf, khilafah.

Menurut Terminologi (Istilah)

أَنْ يَأْخُذَ كُلُّ وَاحِدٍ طَرِيْقًا غَيْرَ طَرِيْقِ الأَخَرَ فِى حَالِهِ أَوْ قَوْلِهِ

“Ikhtilaf ialah seseorang mengambil jalan/cara berbeda dengan jalan yang lainnya baik dalam keadaannya atau perkatannya”. (Imam ar-Raghib)

اَلخِلاَفُ وَ الْإِخْتِلاَفُ يُرَادُ بِهِ مُطْلَقُ الْمُغَايَرَةِ فِيْ الْقَوْلِ أَوِ الرَّأْيِ أَوِ الْحَالَةِ أَوِ الْهَيْئَةِ أَوِ الْمَوْقِفِ

“Khilaf atau ikhtilaf, dimaksudkan dengannya semata-mata perbeedaan, baik dalam ucapan, pendapat, keadaan, cara atau pendirian.”

Sebab-sebab Ikhtilaf

Ikhtilaf yang terjadi disebabka oleh bberapa hal, di antaranya:

1. Ada beberapa ayat dan hadits yang mutasyabihat (memerlukan penafsiran lebih dalam). Implikasinya, banyak penafsiran yang beragam. Milsanya, ayat يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ, ada yang menafsirkannya secara eksplisit (nampak, jelas kalimat) dengan tangan Allah (berarti Allah punya tangan). Ada pula yang menafsirkan secara konotasi (bukan sebenarnya) yakni kekuasaan Allah.

2. Perbedaan data dan informasi dalil. Misalnya, Imam Hanafi berpendapat bahwa menyimpan tangan di atas dada ketika shalat itu tidak boleh karena Beliau belum mendapatkan dalilnya. Sedangkan Imam yang lainnya berpendapat bahwa kita harus bersedekap menyimpan tangan di dada ketika berdiri dalam shalat karena mereka sudah menelaah dalilnya.

3. Perbedaan penilaian kualitas hadits. Misalnya pendapat tentang kualitas hadits berikut:

مِنَ السُّنَةِ أَنْ لَا يُصَلِّيَ الرّجُلُ بِالتَّيَمُّمِ إِلَّا صَلَاةً وَاحِدَةً ثُمَّ يَتَيَمَّمُ لِلصَّلَاةِ الأُخْرَى

“Adalah sunnah Nabi, seseorang tidak melakukan shalat dengan satu kali tayamum kecuali untuk sekali shalat (fardhu), kemudian hendaklah ia bertayamum lagi untuk shalat (fardhu) yang lainnya” (HR.Dzaruqutniy, Baihaqi, Abdur-Razak, dan Thabrani).

Sebagian berpendapat hadits ini bisa dijadikan hujjah, namun sebagian lagi berpendapat hadits ini sangat dha’if. Jadi tidak bisa di jadikan hujjah.

4. Perbedaan titik tolak dalam mengambil suatu kesimpulan. Yang satu menggunakan dalil, sedangkan yang lain menggunakan madzhab, akal, atau tradisi. Misalnya, yang satu pendapat bahwa shalwat dalam shalat itu harus menggunakan kata sayyidina alasannya kita harus sopan kepad Nabi. Sedangkan yang lain berpendapat tidak boleh menggunakan kata sayyidina karena memang tidak ada satu pun dalil yang menjelaskannya.

5. Perbedaan terhadap nash yang telah disepakati kesahihannya. Contoh hadits shahih berikut ini:

إِذَا نَهَضَ فِى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ اسْتَفْتَحَ القِرَاءَةَ بِالحَمْدُ لله رَبِّ الْعَلَميْنَ وَلَمْ يَسْكُتْ

“Jika nabi bangkit pada raka’at kedua, Nabi memulai bacaannya dengan Alhamdulillahi rabbil’Alamin, dan tidak diam dulu”(HR. Muslim)
Mengenai hadits tersebut ada yang berkesimpulan bahwa membaca al-Fatihah pada raka’at kedua tidak mesti membaca Bismillah, berdasar zhahirnya hadits tersebut. Sementara pihak lain berpendapat bahwa yang dimakusd dengan Alhamdulillahi rabbil’alamin di sini adalah surat al-Fatihah termasuk bismillah di dalamnya.

6. Perbedaan rumusan dan pendekatan yang digunakan dalam mengistinbat hukum dari Al-Quran, Hadits, dan Ijtihad


Macam-macam Ikhtilaf

1. Ikhtilaf Maqbul

Ikhtilaf yang masih bisa diterima keberadaannya, seperti yang satu menetapkan wajib sementara yang lainnya menetapkan sunnat. Tetapi pada dasarnya dua-duanya sama; harus diamalkan. Contoh:
  1. Mandi Jumat. Menurut sebagian wajib dan menurut yang lainnya sunnah muakkadah
  2. Bismillah dalam wudhu menurut Hanabilah wajib, menurut yang lainnya sunnat
  3. Salam kedua di akhir shalat. Menurut Hanabillah wajib, dan menurut yang lainnya sunnat.
2. Ikhtilaf Ghair (tidak) Maqbul

Ikhtilaf yang sifatnya kontradiktif antara satu dengan lainnya. Seperti A mengatakan haram sementara B menyatakan halal atau yang satu menyatakan sunnah sementara yang lain menyatakan “bid’ah”. Contohnya sebagai berikut:
  1. Talaffuzh Binniyat. Menurut Syafi’iyah sunnah, sedang menurut yang lainnya bid’ah
  2. Menjaharkan bismillah adalah disyari’atkan menurut Syafi’iyah, sementara menurut Abu Syaibah adalah bid’ah
  3. Pelaksanaan shalat jum’at kurang dari 40 orang tidak sah menurut Syafi’iyah, sedangkan menurut yang lainnya sah.

Menyikapi Ikhtilaf

Dalam menykapi ikhtilaf terdapat tiga kelompok orang, di antaranya:


  1. Kelompok yang menutup diri. Mereka meyakini bahwa yang telah menjadi tradisi di kalangan mereka sudah pasti benar, karena telah berlangsung cukup lama dan telah melewati kajian-kajian di kalangan leluhur dan tokoh-tokoh mereka. Mereka lebih apriori (berpraanggapan sebelum mengetahui keadaan yang sebenarnya)
  2. Kelompok yang bersikap apatis. Mereka meyakini kedua pendapat benar, karena masing-masing mempunyai alasan yang kuat. Umat disilahkan memilih pendapat yang Ia kehendaki. Mau qunut silahkan, tidak pun tidak apa-apa, yang penting menjaga kesatuan dan persatuan (ukhuwah Islamiyah).
  3. Kelompok yang berusaha mencari penyelesaian. Kelompok ini meyakini bahwa tidak ada dua hal yang bertentangan yang keduanya sama benar. Tidak mungkin ada dua hukum (halal-haram, sunah-bid’ah) dalam satu masalah.
Setidaknya ada tiga cara penyelesaian, yaitu:

  1. طَرِيْقَةُ الْجَمْعِ (menggabungkan dua dalil yang bertolak belakang)
  2. طَرِيْقَةُ التَّرْجِيْحِ (mencari dalil yang lebih kuat di antara dalil yang bertolak belakang)
  3. طَرِيْقَةُ النَّسْخِ (menelaah dalil yang dihapus hukumnya oleh dalil yang lain)
Para ulama telah meneliti dalil-dalil tentang ikhtilaf, sehingga nampak jelas bahwa ikhtilaf itu ada dua macam, masing-masing terdiri dari beberapa jenis.

[1]. IKHTILAF TERCELA

Jenis-jenisnya adalah sebagai berikut :

[a]. Ikhtilaf yang kedua belah pihak dicela, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang ikhtilafnya orang-orang Nashara.

"Artinya : Maka Kami timbulkan diantara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat" [Al-Maidah : 14]

Firman Allah dalam menerangkan ikhtilaf nya orang-orang Yahudi

"Artinya : Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian diantara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya" [Al-Maidah : 64]

Demikian juga ikhtilaf nya ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu) dan ahlul bid'ah dalam hal-hal yang mereka perselisihkan. Allah berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka" [Al-An'am : 159]

Juga termasuk kedalam ikhtilaf jenis ini adalah ikhtilaf antara dua kelompok kaum muslim dalam masalah ikhtilaf tanawwu' (fariatif) dan masing-masing mengingkari kebenaran yang dimiliki oleh kelompok lain.

[b]. Ikhtilaf yang salah satu pihak dicela dan satu lagi dipuji (karena benar).

Ini disebut dengan ikhtilaf tadhadh (kontradiktif) yaitu salah satu dari dua pendapat adalah haq dan yang satu lagi adalah bathil. Allah telah berfirman 

"Artinya : Akan tetapi mereka berselisih, maka ada diantara mereka yang beriman dan ada (pula) diantara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan" [Al-Baqarah : 253]

Ini (ayat di atas) adalah pembeda antara al-haq (kebenaran) dengan kekufuran. Adapun pembeda antara al-haq (kebenaran) dengan bid'ah adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits iftiraq.

"Artinya : Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 firqah (kelompok), kaum Nashara menjadi 72 firqah, dan ummat ini akan terpecah menjadi 73 firqah, semuanya (masuk) didalam neraka kecuali satu. Ditanyakan : "Siapakah dia wahai Rasulullah ?" Beliau menjawab : "orang yang berada diatas jalan seperti jalan saya saat ini beserta para sahabatku" dalam sebagian riwayat : "dia adalah jama'ah" [Lihat "Silsilah Ash-Shahihah 204 Susunan Syaikh Nashiruddin Al-Albani]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa semua firqah ini akan binasa, kecuali yang berada diatas manhaj salaf ash-shaleh. Imam Syathibi berkata : "Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam [illa waahidah] telah menjelaskan dengan sendirinya bahwa kebenaran itu hanya satu, tidak berbilang. Seandainya kebenaran itu bermacam-macam, Rasul tidak akan mengucapkan ; [illa waahidah] dan juga dikarenakan bahwa ikhtilaf itu di-nafi (ditiadakan) dari syari'ah secara mutlak, karena syari'ah itu adalah hakim antara dua orang yang berikhtilaf. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya)". [An-Nisaa : 59]

Jenis ikhtilaf inilah yang dicela oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah.

[2]. IKHTILAF YANG BOLEH

Ini juga ada dua macam yaitu :

[a]. Iktilafnya dua orang mujtahid dalam perkara yang diperbolehkan ijtihad di dalamnya.

Sesungguhnya termasuk rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada umat ini. Dia menjadikan dien (agama) ummat ini ringan dan tidak sulit. Dia juga telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa hanifiyah (agama lurus) yang lapang. Allah berfirman.

"Artinya : Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan" [Al-Hajj : 78]

Diantara rahmat ini adalah tidak memberikan beban dosa kepada seorang mujtahid yang salah bahkan ia mendapatkan pahala karena kesungguhannya dalam mencari hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah berfirman.

"Artinya : Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu salah padanya" [Al-Ahzab : 5]

Dari Amr bin Al-'Ash Radhiyallahu 'anhu, berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Apabila ada seorang hakim mengadili maka ia berijtihad, lalu ia benar (dalam ijtihadnya) maka ia mendapatkan dua pahala, apabila ia mengadili maka ia berijtihad, lalu ia salah maka ia mendapatkan satu pahala" [Hadits Riwayat Imam Bikhari]

Sebagai penjelas terhadap apa yang telah lewat, saya katakan :"Banyak para ulama yang membagi masalah-masalah agama ini menjadi Ushul Kulliyah (pokok-pokok yang mendasar serta bersifat meliputi) dan Furu' Juz'iyah (cabang-cabang yang bersifat parsial), masalah-masalah. Ushul (pokok) dan masalah-masalah ijtihad 1 baik dalam masalah ilmiyah ataupun amaliyah. Pendapat inilah yang ditempuh oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah dan Imam Syathibi Rahimahullah. Syaikhul Islam berkata : "Akan tetapi yang benar, bahwa masalah yang besar (pokok) dari dua katagori itu adalah masalah ushul, sedangkan rinciannya adalah masalah furu".

Di dalam fatwa Lajnah Daimah terdapat pernyataan mereka (para ulama) bahwa : "Ahlus Sunnah wal Jama'ah memiliki Ushul yang kokoh berdasarkan dalil-dalilnya, yang di atas Ushul tersebut mereka membangun furu'. Mereka berpedoman kepada masalah-masalah Ushul dalam mencari dalil terhadap masalah-masalah Juz'iyah dan dalam menerapkan hukum bagi diri mereka sendiri dan bagi orang lain".

Dari sini tampak jelas bagi kita bahwa permasalahan-permasalahan yang diperbolehkan berijtihad di dalamnya adalah masalah yang bersifat rinci (detail) dari masalah ilmiyah ataupun masalah amaliyah. Adapun masalah ushul (pokok) maka tidak boleh berijtihad didalamnya.

Diantara contoh permasalahan yang besar (pokok) dalam kaitannya dengan khabariyah (masalah iman dan khabar wahyu) adalah : mengesakan Allah dengan segala hak-Nya, adanya para malaikat, jin, hari kebangkitan kembali, azab kubur, shirath (jembatan yang membentang di atas Jahanam untuk di lalui manusia di hari kiamat setelah hisab), dan persoalan-persoalan nyata lainnya yang disebut sebagai USHUL (persoalan ini tidak boleh diperselisihkan -ed). Adapun FURU' dalam kaitannya dengan masalah khabariyah (masalah iman dan khabar wahyu) ialah setiap rincian (detail dari masalah-masalah ushul di atas -ed). Misalnya :Apakah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Rabbnya (ketika Mi'raj), apakah orang mati di kuburnya mendengar pembicaraan orang yang masih hidup, apakah sampai pahala amal orang yang masih hidup (selain do'a) kepada mayit ? dan lain-lainnya.

Syaikhul Islam berkata : "Oleh karenanya para imam sepakat untuk membid'ahkan orang yang (pendapatnya) menyelisihi masalah-masalah ushul seperti ini. Berbeda dengan orang yang (pendapatnya) menyelisihi masalah-masalah ijtihad, yang peringkatnya belum sampai tingkat ushul dalam kemutawatiran sunnah mengenainya, seperti perselisihan mereka berkaitan dengan hukum seorang saksi, sumpah, pembagian (harta warisan), dalam undian, dan perkara-perkara lain yang tidak sampai derajat ushul". [Majmu' Fatawa IV/425]
Sekalipun demikian, persoalannya tidaklah mutlak begitu yaitu dapat berijtihad untuk membid'ahkan siapa saja yang dikehendaki dengan hujjah ijtihad yang diperbolehkan. Oleh karena itu ada beberapa ketentuan untuk ijitihad ini, yaitu :

[1] Hendaknya dalam masalah yang di ijtihad-kan, tidak ada dalil yang qath'iyuts tsubut (qath'i adanya sebagai dalil) dan qath'iyud-dalalah (qath'i penunjukannya/dalalahnya), sebab tidak boleh berijtihad dalam menentang nash. Saya buatkan satu contoh mengenainya dengan firman Allah. 

"Artinya : Tetapi jika ia tidak menemukan (binanatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna" [Al-Baqarah : 196].

Ayat ini adalah dalil yang qath'iyus-tsubut (qath'i adanya/tetapnya sebagai dalil) karena ia termasuk Al-Qur'an al-Karim. Dan juga qath'iyud dalalah (qath'i penunjukkannya/dalalahnya) tentang wajibnya puasa sepuluh hari bagi orang yang tidak mendapatkan hewan kurban (denda) padahal ia ber-tamattu' (mendahulukan umrah daripada haji).

[2] Hendaknya dalil tentang permasalahan itu mengandung beberapa kemungkinan. Contoh yang bekaitan dengan dalil zhanniyuts-tsubut (dalil yang masih bersifat zhann.dipertanyakan keadaannya sebagai dalil), ialah pendapat sebagian ulama Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa mustahab (sunnah) hukumnya mengerak-gerakkan jari ketika tasyahhud. Sementara sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa tambahan "menggerak-gerakkan (jari)" dalam hadits itu adalah syadz (bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat). Contoh yang berkaitan dengan dalil zhanniyud-dalalah (penunjukkannya sebagai dalil masih bersifat dugaan/dalalahnya tidak qath'i) ialah firman Allah. :

"Artinya : Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru" [Al-Baqarah : 228]. 

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Al-Qar'u adalah suci, sementara yang lain berpendapat bahwa Al-Qar'u adalah haid. Kedua pendapat tersebut mempunyai kemungkinan benar-benar secara bahasa.

[3] Hendaknya ijtihad yang dilakukan tidak dalam masalah yang telah ijma' (disepakati) atau tidak dalam masalah yang telah baku sebagai manhaj ilmiyah Ahlu Sunnah.

[4] Hendaknya hukum atas permasalahan itu bersumber dari seorang mujtahid yang telah memenuhi persyaratan ijtihad, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka tentang ushul fiqh.

[5] Hendaknya kesimpulan hukum dibangun berdasarkan metode Ahlus Sunnah dalam cara pandang maupun cara mengambil dalil. Di antara metode itu adalah bahwa dalam pendapat yang di ijtihadkannya, memiliki pendahulu dari kalangan ulama umat ini yang telah dipersaksikan keilmuannya dalam masalah dien. Al-Hafidzh Ibnu Rajab dalam kitabnya "Fadhul Ilmi as-Salaf 'ala al-Khalaf" berkata :"Adapun para imam dan Fuqaha' Ahul Hadits, maka mereka akan mengikuti hadits shahih sebagaimana adanya apabila hadits itu diamalkan oleh para sahabat, orang-orang yang sesudah mereka atau sekelompok dari mereka, Adapun apa yang telah disepakati oleh mereka untuk ditinggalkan, maka ia tidak boleh diamalkan Umar bin Abdul Aziz berkata : Ambillah pendapat yang sesuai dengan (pendapat) orang-orang sebelum kalian (Salafus Shalih), sesungguhnya mereka lebih tahu dari pada kalian" [Lihat Tsalatsu Rasa'il, karya Al-Hafizh Ibnu Rajab, hal. 140, Tahqiq Muhammad Al-Ajami]

Dari keterangan di atas, menjadi jelaslah macam ikhtilaf yang pertama dari ikhtilaf yang diperbolehkan.

[b]. Ikhtilaf Tanawwu'

Contohnya adalah ikhtilaf sahabat dalam masalah bacaan (Al-Qur'an) pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, ia berkata :"Saya mendengar seseorang membaca ayat yang saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membacanya berbeda dengan orang itu, maka saya pegang tangannya lalu saya bahwa kehadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Saya laporkan hal itu kepada beliau, namun saya melihat tanda tidak suka pada wajah beliau, dan beliau bersabda.

"Artinya : Kalian berdua bagus (bacaannya), jangan berselisih ! Sesungguhnya umat sebelum kalian berselisih lalu mereka binasa".

Ulama yang paling baik menulis masalah ikhtilaf tanawwu ini dan menjelaskannya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, yaitu ketika beliau berkata : "Ikhtilaf tanawwu' ada beberapa macam, diantaranya adalah ikhtilaf yang masing-masing dari kedua perkataan (pendapat) atau perbuatan itu benar sesuai syari'at, seperti bacaan (Al-Qur'an) yang diperselisihkan itu dicegah oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Kalian berdua bagus/benar (bacaannya)"

Misalnya lagi adalah ikhtilaf dalam macam-macam sifat adzan, iqamah, do'a iftitah, tasyahhud, shalat khauf, takbir ied, takbir jenazah dan lain-lain yang semuanya disyari'atkan, meskipun dikatakan bahwa sebagiannya lebih afdhal. Kemudian kita dapatkan banyak umat Islam yang terjerumus dalam ikhtilaf hingga menyebabkan terjadinya peperangan (pertengkaran) antar golongan diantara mereka. hanya karena masalah menggenapkan lafazh iqamah atau mengganjilkannya, atau masalah-masalah semisal lainnya. Ini adalah substansi keharaman itu sendiri. Sementara orang yang tidak sampai ketingkat ini (yaitu tingkat peperangan/pertengkaran), banyak diantaranya yang kedapatan fanatik terhadap salah satu cara (adzan, iqamahm dst) tersebut karena mengikuti hawa nafsu, dan berpaling dari cara lain, atau melarang cara lain yang sebenarnya masuk dalam salah satu cara. Hal yang tentu dilarang oleh Nabi.

Diantara ikhtilaf tanawwu' juga adalah ikhtilaf yang masing-masing dari dua pendapat mempunyai kesamaan makna namun redaksinya berbeda, sebagaiman banyak orang (Ulama) yang kadang berselisih dalam membahasakan ketentuan hukum-hukum had, shighah-shighah (bentuk-bentuk ) dalil, istilah tentang nama-nama sesuatu, pembagian-pembagian hukum dan lain-lain. Selanjutnya kebodohan atau kezhalimanlah yang akhirnya membawa pada sikap memuji terhadap sakah satu dari dua pendapat tadi dan mencela yang lain.

Diantaranya lagi adalah tentang sesuatu yang memiliki dua makna yang berbeda namun tidak saling berlawanan. Yang ini adalah perkataan benar, dan yang itu juga merupakan perkataan benar, sekalipun maknanya saling berbeda. Ini banyak sekali terjadi dalam perselisihan pendapat.

Di antaranya lagi adalah ikhtilaf mengenai dua cara yang sama-sama disyari'atkan. Seseorang atau satu kelompok menempuh jalan ini, sedangkan yang lain menempuh jalan lain. Kedua-duanya baik dalam agama. Tetapi kebodohan atau kezalimanlah yang kemudian menggiring pada sikap mencela terhadap salah satu dari kedua jalan tersebut atau lebih mengutamakannya, tanpa dasar niat yang benar, atau tanpa dasar ilmu, atau tanpa dasar niat yang ikhlas dan tanpa dasar ilmu sekaligus" [Iqtidha' Ash-Shiratth Al-Mustaqim, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah I/132-134]

Jika pertengkaran di antara sebagian kaum muslimin terjadi dalam ikhtilaf macam ini maka jadilah ikhtilaf itu tercela, sebagaimana yang telah jelas pada penjelasan yang telah lewat dan pada hadits Abdullah bin Mas'ud seputar ikhtilaf dalam qira'ah (bacaan Al-Qur'an). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Kalian berdua benar, jangan berselisih ! Sesungguhnya umat sebelum kalian berselisih lalu mereka binasa"

Syaikhul Islam berkata : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang ikhtilaf (perselisihan pendapat) yang masing-masing dari kedua belah pihak mengingkari/menolak kebenaran yang ada pada pihak lain, karena kedua orang sahabat yang berbeda bacaannya itu sama-sama benar dalam bacaannya. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan sebab (larangan) tersebut yaitu bahwa lantaran umat sebelum kita berselisih, maka kemudian mereka menjadi binasa karenanya.

Oleh sebab itu ketika Hudzaifah melihat penduduk Syam dan Iraq berselisih mengenai bacaan huruf Al-Qur'an dengan perselisihan yang telah dilarang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau berkata kepada Utsman (bin Affan, Amirul Mukminin -ed) : "Perbaikilah umat ini, janganlah mereka berselisih dalam bacaan Al-Qur'an, sebagaimana umat sebelum mereka berselisih".

Jadi keterangan ini memberikan dua faedah :l

  1. Haramnya berselisih dalam masalah seperti ini.
  2. Mengambil pelajaran dari umat sebelumnya dan berhat-hati jangan sampai menyerupai mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar