Selasa, 24 April 2012

NAFSU DALAM DIRI MANUSIA

TINGGALKAN HAWA NAFSU JUMPAI TUHAN

Apabila kita membaca kisah-kisah sufistik hendaklah tidak memahaminya seperti apa adanya, karena sering kali cara pemahaman yang seperti itu justru menyimpang dari makna kisah yang sebenarnya. Yang perlu kita lakukan setelah membaca kisah di atas, dan tentu saja kisah-kisah sufistik lainnya, adalah merenungkannya secara mendalam hingga diperoleh pemahaman yang benar tentang kisah tersebut.

Ketahuilah, setiap orang yang akan menuju perjumpaan dengan Tuhan tidak ada penghalang yang lebih berat yang akan ditemuinya, selain apa yang ada di dalam dirinya. Penghalang yang paling besar dan paling berat itu adalah hawa nafsu. Apa sebenarnya yang sering kita sebut sebagai hawa nafsu itu? Jenis makhluk apa dia sehingga menjadi musuh paling berat bagi setiap orang yang hendak berjumpa dengan Tuhan? Tidak sulit untuk mengatakan apa hawa nafsu itu. Hawa nafsu adalah keinginan-keinginan diri. Dewasa ini ada kata lain yang biasa dipakai untuk menunjukkan keberadaan hawa nafsu itu, yakni egoisme. Egoisme adalah kecenderungan manusia untuk menggapai atau meraih segala macam bentuk keinginan dirinya. 

Ada banyak wujud keinginan diri, di antaranya, sekedar untuk menyebutkan contoh, adalah kesenangan jasmani, keinginan untuk makan dan minum, hasrat seksual, hidup dengan pola bersenang-senang dan berfoya-foya, keinginan untuk diperhatikan, dihargai, diistimewakan, keinginan untuk dianggap sebagai orang penting yang paling berderajat, dan sebagainya. Singkat kata, segala macam yang muncul dari dalam diri dengan tujuan untuk memuaskan keinginan diri sendiri termasuk dalam kategori hawa nafsu.

Lalu mengapa hal-hal yang seperti itu menjadi penghalang manusia ketika ia ingin berjumpa dengan Tuhan? Jawabannya adalah karena Tuhan tidak bisa didekati manakala hawa nafsu masih berdiri kokoh laksanan gunung yang tinggi di dalam diri. Tuhan tidak mungkin di dekati oleh orang-orang yang hidupnya masih dikendalikan oleh hawa nafsu dan hawa nafsu itu sendiri tidak mungkin rela membiarkan diri seseorang patuh kepada selainnya. Maka, menundukkan dan merubuhkan hawa nafsu yang berdiri kokoh tersebut adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi seseorang apabila ia ingin berjumpa dengan Tuhan.

Allah SWT berfirman: “Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa [4]: 100)

Ketika para sufi membaca ayat ini, mereka kemudian mengatakan bahwa yang dimaksud ‘rumah’ pada ayat di atas adalah hawa nafsu. Menurut tafsir para sufi, orang yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya hanya akan dapat melakukannya apabila ia telah keluar dari kungkungan hawa nafsunya. Tidak mungkin seseorang bisa melakukan hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya selama ia masih berada di bawah kendali hawa nafsunya. Orang-orang yang berhijrah sama-sama keluar dari rumah mereka, tapi ada yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya dan ada pula yang hijrah karena sesuatu yang lain. Itulah sebabnya mengapa kaum sufi memaknai ‘rumah’ pada firman Allah tersebut sebagai hawa nafsu, bukan rumah dalam arti sebenarnya.

Mungkin kita jarang sekali menyadari bahwa setiap tindakan yang kita lakukan sesungguhnya karena ada dorongan yang berasal dari dalam diri. Kebaikan maupun keburukan yang dilakukan seseorang terjadi karena adanya dorongan tersebut. Dunia Psikologi Barat menyebut dorongan tersebut sebagai motive atau drive, sedangkan para sufi menamakannya sebagai kekuatan-kekuatan hawa nafsu. Lalu apa saja kekuatan-kekuatan hawa nafsu itu? Menurut para sufi ada empat kekuatan hawa nafsu: quwwatun bahimiyyah, quwwatun sab’iyyah, quwwatun syaithaniyya, dan quwwatun rabbaniyyah.

Quwwatun Bahimiyyah

Yang dimaksud quwwatun bahimiyyah adalah kekuatan kebinatangan. Ternyata, menurut para sufi, sekalipun kita jauh lebih mulia daripada binatang namun dalam diri kita ada dorongan-dorongan atau kekuatan-kekuatan yang bersifat kebinatangan. Mungkin itu pula sebabnya Imam Al-Ghazali pernah menyebut manusia dengan istilah al-hawayanun nathiq, yakni hewan yang berpikir. Tanpa kita sadari kita telah sering melakukan sesuatu yang sebenarnya sebagai akibat adanya dorongan atau kekuatan kebinatangan di dalam diri kita. Quwwatun bahimiyyah ini mendorong kita untuk mencari kepuasan lahiriah atau kenikmatan seksual.

Akitivitas makan, minum, tidur, bermalas-malasan, kawin adalah beberapa tindakan yang kita lakukan atas dorongan quwwatun bahimiyyah. Sebenarnya tidak salah ketika seseorang ingin makan, minum, tidur, dan kawin, karena hal-hal itu merupakan bagian kebutuhan fitrah manusia. Namun ketika semua hal itu menjadi prioritas dalam kehidupan kita maka akibatnya pasti tidak positif. Anda bisa bayangkan apa yang akan terjadi pada seseorang yang aktivitas hidupnya hanyalah makan saja, atau minum saja, atau tidur saja, atau bahkan kawin saja. Orang yang seperti itu pasti tidak akan mampu menjadikan hidupnya lebih mulia, lebih bermanfaat, dan lebih berderajat. Tidakkah perilaku yang demikian itu sama dengan perilaku binatang?

Bila makanan dan minuman yang menjadi miliknya telah habis, pasti dia akan mencari makanan dan minuman yang lain. Celakanya, apabila dia tidak memiliki sesuatu yang bisa dipakai untuk mendapatkan makanan dan minuman secara legal, maka dia akan mendapatkannya dengan cara-cara ilegal. Misalnya, mencuri, merampok, merampas, atau korupsi. Cara-cara buruk seperti itu dilakukan atas nama pemenuhan perut. Bila dia memiliki banyak uang untuk memperoleh makanan dan minuman, maka dia akan mencoba makanan atau minuman yang belum pernah dikonsumsinya, sehingga yang halal dan yang haram tak digubris lagi asalkan kebutuhan perut terpenuhi. Bukankah cara-cara seperti itu sama seperti yang dilakukan binatang?

Dengan demikian, menurut para sufi orang-orang yang hanya mengutamakan kebutuhan jasmani, seksual, dan segala macam kesenangan diri adalah orang-orang yang dikendalikan oleh hawa nafsunya, yakni quwwatun bahimiyyah.

Quwwatun Sab’iyyah

Bila quwwatun bahimiyyah adalah kekuatan kebinatangan dalam taraf biasa, maka quwwatun sab’iyyah adalah kekuatan kebinatangan buas. Dengan mendengar kata ‘buas’ tentu Anda akan dapat membedakan antara yang bimiyyah dan yang sab’iyyah. Para sufi berpendapat bahwa diri kita ini menyimpan sifat buas, dan sifat buas itu hadir karena manusia dikuasai oleh kekuatan kebinatangan buas atau quwwatun sab’iyyah. Apa buktinya kalau manusia itu menyimpan di dalam dirinya kekuatan kebinatangan buas? 

Kita pasti pernah merasa ingin memukul orang lain karena rasa kesal dalam diri akibat perbuatannya. Kita senang menyaksikan lawan bisnis kita bangkrut usahanya, bahkan kalau belum juga bangkrut kita berusaha dengan berbagai macam cara agar usahanya tidak berkembang agar usaha kita tidak tersaingi. Kita suka kalau bisa mendapatkan apa sebenarnya yang menjadi hak orang lain. Cobalah Anda banyangkan apa yang kita rasakan ketika menyaksikan tetangga kita usahanya berkembang, jabatannya di kantor naik, anak-anaknya sukses dalam meniti karir. 

Mendapati keadaan yang seperti itu, yang sering terlintas dalam benak kita adalah mengapa semua bentuk kebenhasilan itu tidak menjadi milik kita? Mengapa justru tetangga kita yang meraihnya? Ketidaksukaan yang demikian itu adalah benih-benih tumbuh kembangnya quwwatun sab’iyyah di dalam diri. Apabila yang demikian it uterus berlanjut, tidak mustahil kita akan melakukan sesuatu yang dapat menghancurkan keberhasilan tetangga kita tersebut.

Orang-orang yang dikuasai oleh quwwatun sab’iyyah akan berubah laksana harimau kelaparan yang siap menerkam siapa pun yang ada di hadapannya. Dia akan menjadi manusia yang seakan-akan dikuasai oleh kekuatan jahat yang selalu berhasrat untuk menyerang dan menghancurkan orang lain. Dia akan sangat bahagia bila penderitaan demi penderitaan dialami orang lain. Dia pasti merasa bangga bila menyaksikan siapa pun hancur akibat ulahnya. Hatinya akan membeku dan tidak mampu lagi merasakan penderitaan sesama. Lalu, tidakkah keadaan yang seperti itu sama dengan keadaan binatang buas?

Menurut para sufi, apabila kita senang menyerang orang lain, menghancurkan orang lain, merasa bahagia bila berhasil menyakiti orang lain, suka mengambil hak orang lain, membenci orang lain, mendengki orang lain, dan segala macam bentuk tindakan yang menyakiti orang lain, maka kita tergolong ke dalam kelompok orang-orang yang dikendalikan oleh hawa nafsunya, yakni quwwatun sab’iyyah.

Quwwatun Syaithaniyyah

Menurut para sufi, ada kekuatan lain yang mendorong seseorang melakukan sesuatu, yakni quwwatun syaithaniyyah. Dorongan atau kekuatan inilah yang membuat seseorang merasa tidak bersalah ketika dia melakukan kejahatan. Bukankah kita juga pernah merasakan kehadiran quwwatun syaithaniyyah ini? Ketika kita melakukan korupsi, setan datang menghampiri dan membisikkan kepada kita bahwa tidaklah mengapa bila korupsi itu dilakukan demi membantu sesama. Atau setan menenangkan perasaan bersalah dalam diri kita dengan membisikkan, “Tidak ada dosa bagimu, bila sebagian uang yang kau korupsi itu kau sumbangkan untuk pembangunan masjid, pesantren atau madrasah.” Berbekal bisikan pembenaran dari setan itu, kita kemudian menyumbang pembangunan masjid 10 juta rupiah, padahal uang yang kita korupsi 1 milyar rupiah.

Mungkin kita pernah diutus perusahaan untuk membeli perlengkapan kantor. Seharusnya biaya yang dikeluarkan 1 juta rupiah, namun di nota kita tulis 1,2 juta rupiah. Hati kecil kita mungkin berbisik bahwa perbuatan itu merupakan salah satu bentuk korupsi. Muncul keraguan dalam diri. Saat itu datanglah setan membisikkan pembenaran kepada kita dengan berkata, “Tidak usah kau ragu melakukannya. Dua ratus ribu tidaklah sebanding dengan nilai yang dikorupsi oleh para pejabat. Lihatlah, mereka bermilyar-milyar rupiah berani mengorupsinya. Kau hanya dua ratus ribu, itu biasa saja.” Atas dasar pembenaran dari bisikan setan, akhirnya kejahatan itu kita lakukan juga. Itu hanyalah sebagian kecil contoh bagaimana setan memberikan pembenaran bagi setiap kejahatan yang kita lakukan.

Apabila kita sering berbuat seperti itu, selalu mendapat pembenaran pada setiap kejahatan yang kita lakukan, maka para sufi berkata bahwa kita termasuk dalam kelompok orang-orang yang dikendalikan oleh hawa nafsu, yakni quwwatun syaithaniyyah.

Quwwatun Rabbaniyyah

Tiga kekuatan atau pendorong dalam diri yang berasal dari hawa nafsu telah kita bicarakan. Selain dari yang tiga tersebut, ada satu kekuatan yang diselipkan Tuhan dalam diri kita, yakni quwwatun rabbaniyyah. Inilah yang menurut para sufi sebagai kekuatan Tuhan. Tuhan telah menyediakan satu kekuatan yang berasal dari percikan cahaya-Nya. Setiap diri manusia memiliki kekuatan itu.

Di mana kekuatan Tuhan atau quwwatun rabbaniyyah itu berada? Kekuatan itu berada pada akal sehat kita. Tuhan sebagai Dzat Yang Maha Sempurna menyempurnakan keadaan kita dengan menganugerahi kita akal sehat. Akal sehat ini selalu jujur menyampaikan kebenaran dalam diri kita. Ia tidak pernah mengatakan yang salah sebagai kebenaran dan tidak pula mengatakan kesalahan sebagai hal yang benar. Kekuatan Tuhan inilah yang membedakan kita dari binatang.

Keberadaan quwwatun rabbaniyyah sesungguhnya menyiratkan bahwa Tuhan menghendaki kita selamat dalam menempuh hidup di dunia hingga akhirat. Tiga kekuatan yang berasal dari hawa nafsu menjadi ujian bagi kita untuk mengetahui seberapa besar kita memanfaat kekuatan Tuhan yang telah dianugerahkannya kepada kita. Apabila kita berada di bawah kendali tiga kekuatan yang berasal dari hawa nafsu, sesungguhnya kita telah menjadi binatang-binatang berwujud manusia. 

Apabila dendam, kebencian, amarah, perasaan iri, dan kemarahan terhadap yang lain kita pelihara di dalam diri, sungguh kita telah menjadi binatang-binatang secara ruhaniah, meskipun secara jasmaniah kita adalah manusia. Apabila kita selalu mencari dalil-dalil pembenar atas kekeliruan yang kita lakukan, sebenarnya lubuk hati kita telah dikuasi oleh bisikan-bisikan setan.

Agar manusia tidak semakin jauh melangkah pada arah yang salah, maka Tuhan menyertakan dalam diri kita kekuatan-Nya, yakni quwwatun rabbaniyyah. Fungsinya adalah untuk mengendalikan hawa nafsu. Dorongan atau kekuatan inilah seharusnya yang mendominasi hidup kita. Jika aktivitas yang kita lakukan seluruhnya atas dasar dorongan quwwatun rabbaniyyah niscaya antara yang benar dan yang salah akan sangat jelas dalam pandangan kita. Cahaya kebenaran akan senantiasa menyinari kita dan setiap tarikan dan hembusan nafas kita akan selalu dalam kebersamaan dengan Tuhan. Dengan demikian, pertemuan dengan Tuhan hanya akan tercapai apabila seluruh kekuatan hawa nafsu dapat ditumbangkan.

Inilah yang digambarkan oleh Jalaluddin Rumi pada sebuah kisah yang ditulisnya. Saya akan ceritakan kembali untuk Anda kisah tersebut. Katanya, “Dulu, ada seseorang yang sedang berada dalam kondisi kehausan, sementara ia berada di sebuah puncak bangunan yang sangat tinggi. Ketika ia mengarahkan pandangannya ke bawah, nampaklah di sana mengalir air yang sangat jernih. Menyaksikan aliran air itu, haus yang dirasakannya semakin menjadi-jadi. Ia sangat ingin mendapatkan air itu, namun sayang ia tak mampu menjangkaunya. Kemudian dengan tenaganya yang masih tersisa, ia menjatuhkan bebatuan yang ada di atas bangunan itu satu persatu. Gemercik air yang ditimbulkan akibat kejatuhan batu tersebut terdengar sangat merdu di telinganya. Kemerduan itu betul-betul telah melupakan segala yang dirasakannya kecuali kemerduan itu sendiri. Bahkan rasa haus yang dirasakannya pun terlupakan oleh kemerduan dan keindahan gemercik air itu. Disebabkan gemercik air tersebut telah menawan hatinya, dengan semangat ia terus menjatuhkan bebatuan yang ada.”

Kata Rumi selanjutnya, “Air itu kemudian bertanya kepada, ‘Hai manusia, mengapa engkau menjatuhkan bebatuan itu ke arahku?’ Orang itu menjawab, ‘Gemercik air akibat kejatuhan bebatuan ini sungguh indah kudengar, dan aku menikmati keindahan itu sehingga kulupakan segalanya, termasuk rasa haus ini. Dan yang lebih penting dari itu, ketika aku terus menjatuhkan bebatuan ini, aku semakin dekat denganmu.’”

Sekali lagi saya ingatkan, hendaklah setiap kisah sufistik tidak kita pahami sebagaimana adanya. Karena kebenaran yang akan disampaikan sesungguhnya ada di balik kisah tersebut. Lalu, apa sebenarnya yang ingin disampaikan Rumi? Rumi ingin menggambarkan kepada kita proses perjalanan manusia untuk berjumpa dengan Tuhan. Kerinduan berjumpa dengan Tuhan hanya akan muncul di dalam diri setiap orang yang terus berusaha merobohkan kepongahan hawa nafsu yang berdiri tegak di dalam dirinya. Ketika susunan hawa nafsu itu dirobohkan sedikit demi sedikit, maka sedikit demi sedikit pula akan tersingkap keindahan jalan yang akan mengantarkan kita berjumpa dengan-Nya. Semakin banyak hawa nafsu yang kita robohkan, semakin banyak pula keindahan yang kita lihat, sehingga kerinduan pun semakin kuat. Jalan yang sudah nampak jelas itu apabila terus kita tempuh benar-benar akan membawa kita pada kedekatan dan pertemuan dengan-Nya. Hanya dengan cara itulah kita akan dapat merasakan kesyahduan yang luar biasa saat berduaan dengan Tuhan, yang tak mungkin dapat digambarkan dengan apa pun, kecuali dengan perasaan orang-orang yang telah mengalaminya. Marilah kita tinggalkan hawa nafsu demi pertemuan dengan Tuhan Yang Maha Kasih.
  1. Dalam bahasa Arab hawa bisa juga diartikan sebagai awan, dan arti lainnya adalah hawa nafsu.
  2. Taraktu hawaaya fa ajlasanii fil hawaa.
Hawa nafsu yang bersarang pada jasmani kita, dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:
  1. Nafsu Amarah yang abentuk perwujudannya berupa sifat marah, dengki, ujub dan syirik. Nafsu ini sumbernya di telinga yang dapat timbul melalui hantaran pendengaran. (Dua lubang telinga, disimbolkan pintu Umar bin Khatab)
  2. Nafsu Lawamah yang termanifestasikan dalam bentuk sifat rakus, tamak, loba dan malas. Nafsu ini sumbernya di mulut yang dapat dimbul melalui hantaran pengucapan atau pengecapan. (Satu lubang mulut disimbolkan pintu Ali bin Thalib)
  3. Nafsu Sufiyah yang termanifestasikan dalam bentuk sifat cinta, kekaguman, dan keindahan. Nafsu tersebut berada pada mata yang akan timbul melalui hantaran penglihatan. (Dua lubang mata disimbolkan pintu Usman bin Affan)
  4. Nafsu Mutmainah yang termanifestasikan dalam sifat ketenangan dan kedamaian. Nafsu tersebut berada di hidung yang dapat timbul melalui hantaran pernafasan. (Dua lubang hidung disimbolkan pintu Abu Bakar).
Ke empat nafsu yang termanifestaasikan dalam bentuk pendengaran, pengucapan (pengecapan), penglihatan dan pernafasan, pada akhirnya akan menimbulkan “hawa” yang berbentuk rasa jasmani yakni
  1. Rasa Pendengaran.
  2. Rasa Pengecapan ataiu pengucapan 
  3. Rasa Penglihatan 
  4. Rasa Pernafasan atau penciuman 
Semua bentuk “rasa” tersebut bersifat ghaib atau bathin yang tidak berwujud tetapi bisa dirasakan keberadaannya. Ke-empat rasa dari nafsu tersebut dapat dimatikan maupun dihidupkan, tergantung dari bagaimana kita menutup atau membuka “pintu” keluar masuknya rasa dari sumber nafsu tersebut. 

Cara menutup pintu hawa nafsu tersebut, dengan mempergunakan “alat” yang telah diberikan oleh Allah kepada setiap manusia, sesuai firman Allah yang artinya:
  • Carilah Akhirat dengan “alat” yang telah Kami anugerahkan kepadamu dan janganlah kamu lupakan kenikmatan dunia” (QS Al Qashash 28: 77)
  • Tatkala aku berada di sisi Rasulullah Saw, tiba-tiba beliau bertanya : Adakah orang asing diantara kamu ?” lantas beliau memerintahkan supaya pintu di tutup dan bersabda “Angkat tangan kamu” (HR Al Hakim)
  • Tutup pintumu dan ingatlah Allah”. (HR Bukhari).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Nabi saw ” Tutuplah seluruh pintu-pintu kecuali pintu Abu Bakar.”

Prosesi “menutup pintu” hawa nafsu yang ada pada kepala manusia, inilah yang dinamakan dengan “Takbiratul Ihram”, (Takbir Larangan) yang mempunyai arti bahwa ketika kita mengangkat kedua telapak tangan kita saat mengawali sholat, kita diharamkan atau dilarang untuk melakukan aktifitas inderawi seperti mendengar, melihat, dan berbicara kecuali bernafas (simbol pintu Abu Bakar), karena kita sedang berhadapan dengan Allah Swt (bertawajuh). Hal ini sesuai dengan firmanNya yang artinya,
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (QS Al An’am 6: 79)
Ayat di atas merupakan pernyataan setiap kali kita sholat, bahwa kita menyadari sedang menghadapkan wajah kita kepada Allah, yang Maha Suci (bertawajuh). Kemudian dilanjutkan dengan penegasan bahwa “Sholatku, Ibadahku, Hidupku dan Matiku semata-mata hanya untuk Allah semata”. Jika keadaan ini terjadi, tak mungkin akal kita berkeliaran tak terkendali mengingat selain Allah. Kita juga tidak akan melakukan perbuatan yang melanggar tuntunan Allah.

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab dan dirikan sholat. Sesungguhya sholat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah dalam (sholat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah lain)” (QS Al Ankabut 29: 45)

1 komentar: