Kamis, 12 Mei 2011

AL-QUR’AN DAN TAFSIR SUFI

Keutamaan Membaca dan Menghafal Al Qur’an

Segala puji bagi Allah SWT Rabb semesta alam, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah SAW, beserta para keluarga, sahabat dan orang-orang yang tetap istiqamah menegakkan risalah yang dibawanya hingga akhir zaman. Al-Qur`an adalah kalamullah, firman Allah SWT yang diturunkan kepada nabi kita Muhammad selama 23 tahun. Ia adalah kitab suci umat Islam yang merupakan sumber petunjuk dalam beragama dan pembimbing dalam menjalani kehidupan di dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim untuk selalu berinteraksi aktif dengan al-Qur`an, menjadikannya sebagai sumber inspirasi, berpikir dan bertindak. Membaca al-Qur`an merupakan langkah pertama dalam berinteraksi dengannya, kemudian diteruskan dengan tadabbur, yaitu dengan merenungkan dan memahami maknanya sesuai petunjuk salafus shalih, lalu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, kemudian dilanjutkan dengan mengajarkannya.

Di samping itu, kita juga dianjurkan menghapalnya dan menjaga hafalan tersebut agar jangan terlupakan, karena hal itu merupakan salah satu bukti nyata bahwa Allah SWT berjanji akan menjaga al-Qur`an dari perubahan dan penyimpangan seperti kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Dan salah satu bukti terjaganya al-Qur’an adalah tersimpannya di dada para penghapal al-Qur’an dari berbagai penjuru dunia, bangsa arah dan ajam (non arab).

Banyak sekali anjuran dan keutamaan membaca al-Qur’an, baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, di antara perintah membaca al-Qur`an adalah: firman Allah swt:
وَاتْلُ مَآأُوْحِيَ إِلَيْكَ مِنْ كِتَابِ رَبِّكَ

Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Rabb-mu (al-Qur’an).. (QS. al-Kahfi:27).
Dan firman-Nya:
اتْلُ مَآأُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (al-Qur’an). (QS. al-’Ankabut:45)
Dan firman-Nya:

إِنَّمَآ أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ رَبَّ هَذِهِ الْبَلْدَةِ الَّذِي حَرَّمَهَا وَلَهُ كُلُّ شَىْءٍ وَأُمِرٍتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ . وَأَنْ أَتْلُوَا الْقُرْءَانَ

Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Rabb negeri ini (Mekah) yang telah menjadikannya suci dan kepunyaan-Nya-lah segala sesuatu, dan aku diperintahkan supaya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. * Dan supaya aku membacakan al-Qur’an (kepada manusia). “. (QS. an-Naml:91-92)

Adapun di antara keutamaan membaca al-Qur`an dari sunnah Rasulullah SAW adalah:

1. Menjadi manusia yang terbaik:

“Dari Utsman bin ‘Affan rad, dari Nabi saw, beliau bersabda:

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ اْلقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ‘

Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari al-Qur`an dan mengajarkannya.” HR. Al-Bukhari.

2. Kenikmatan yang tiada bandingnya:

Dari Abdullah bin Umar RA, dari Nabi, beliau bersabda:

لاَحَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَقُوْمُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآناء النَّهَارِ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ آناَءَ اللَّيْلِ وَآناَءَ النَّهَارِ‘

Tidak boleh ghibthah (menginginkan sesuatu yang dimiliki orang lain) kecuali dalam dua hal: (pertama) orang yang diberikan Allah SWT keahlian tentang al-Qur`an, maka dia melaksanakannya (membaca dan mengamalkannya) malam dan siang hari. Dan seorang yang diberi oleh Allah SWT kekayaan harta, maka ia infakkan sepanjang hari dan malam.”Muttafaqun alaih.

3. al-Qur`an memberi syafaat di hari kiamat: 

Abu Umamah al-Bahili RA, ia berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:

اِقْرَؤُوْا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا ِلأَصْحَابِهِ“

Bacalah al-Qur`an, sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat memberi syafaat bagi ahlinya (yaitu orang yang membacanya, mempelajari dan mengamalkannya).” HR. Muslim.

4. Pahala berlipat ganda: 

Ibnu Mas’ud rad, ia berkata, ‘Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا, لاَأَقُوْلُ ألم حَرْفٌ وَلكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيْمٌ حَرْفٌ.

“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari al-Qur`an maka untuknya satu kebaikan, dan satu kebaikan dilipat gandakan dengan sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan ‘alif laam miim’ satu huruf, akan tetapi alif adalah satu huruf, laam satu huruf dan miim satu huruf.” HR. At-Tirmidzi.

5. Dikumpulkan bersama para malaikat

Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, ‘Nabi Muhammad SAW bersabda:

المَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ, وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيْهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ“

Orang yang membaca al-Qur’an dan ia mahir dalam membacanya maka ia dikumpulkan bersama para malaikat yang mulia lagi berbakti. Sedangkan orang yang membaca al-Qur`an dan ia masih terbata-bata dan merasa berat dalam membacanya, maka ia mendapat dua pahala.” Muttafaqun ‘alaih.

Inilah sebagian dari anjuran dan keutamaan membaca al-Qur`an, dan yang perlu diingat bahwa pahala membaca al-Qur`an diperoleh bagi siapa pun yang membacanya, walau tidak memahami makna dan tafsirnya. Kendati kalau bisa memahaminya pahalanya tentu lebih baik dan lebih banyak pahalanya.

Sebagian ulama menyebutkan beberapa hikmah keistimewaan membaca al-Qur`an yang pahalanya bisa diperoleh kendati tidak memahamainya, di antaranya adalah:
  1. Sebagai faktor penting untuk menjaga keutuhan dan keaslian al-Qur`an dari perubahan dan campur tangan manusia, seperti yang menimpa kitab-kitab sebelumnya.
  2. Membentuk persatuan kaum muslimin secara bahasa, memperkuat persatuan agama, dan memudahkan sarana komunikasi di antara mereka serta memperkokoh barisan mereka.
  3. Sebagai langkah pertama bagi pembaca al-Qur`an untuk tadabbur, memahami dan mengamalkan al-Qur`an.
Salafus shalih dan al-Qur’an:

Berdasarkan anjuran-anjuran dan keutamaan-keutamaan di atas, para salaf (para pendahulu dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama) sangat bersungguh-sungguh dalam memperbanyak membaca al-Qur`an dan menghapalnya, karena mengharapkan keutamaan dan pahala ini, serta karena cinta terhadap Kitabullah dan mendapatkan kenikmatan dengan membacanya. Imam Abdurrahman al-Auza’i rahimahullah berlata: ‘Ada lima perkara yang selalu dipegang para sahabat nabi dan para tabi’in yang mengikuti langkah mereka dalam kebaikan: Selalu bersama jama’ah kaum muslimin, mengikuti sunnah, memakmurkan masjid, membaca al-Qur`an dan jihad fi sabilillah.”

Di antara para sahabat yang masyhur selalu bersama al-Qur`an adalah Utsman bin Affan RA, sehingga diriwayatkan bahwa beliau pernah berkata: ‘Jikalau hati kamu bersih niscaya kamu tidak pernah kenyang dari Kalamullah.”

Di antaranya lagi adalah Abdullah bin Amar bin Ash rad, seperti yang diriwayatkan dalam shahih tentang dialognya bersama Rasulullah SAW, hingga akhirnya Rasulullah SAW memintanya agar membaca dan mengkhatamkan al-Qur`an dalam tujuh hari.’ HR. Al-Bukhari 5052 dan Muslim.

Para salaf rahimahullah merasakan ketenangan dan kenikmatan saat membaca al-Qur`an, karena ia adalah Kalamullah yang tidak pernah bosan membacanya dan tidak pernah jemu mendengarnya. Allah SWT menghilangkan rasa jemu dan bosan dari pembaca dan pendengarnya dengan keikhlasan dan kebenaran iman, untuk memudahkan membaca dan mendengarnya. Firman Allah SWT:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran (QS. al-Qamar:17)

Inilah rahasia perkataan Utsman bin Affan RA: ‘Jikalau hati kamu bersih niscaya kamu tidak pernah kenyang dari Kalamullah.” Itulah penyebab mereka selalu membaca al-Qur`an dan menjaga hizib mereka. Hasan al-Bashri rahimahullah berkata: “Carilah kenikmatan dalam tiga perkara: shalat, al-Qur`an dan doa. Jika kamu mendapatkannya maka pujilah Allah SWT atas hal itu, dan jika kamu tidak mendapatkannya maka ketahuilah bahwa pintu kebaikan telah ditutup atasmu.” HR. al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 7226

Para salaf selalu berpegang teguh terhadap sunnah nabawiyah dalam berbagai aspek kehidupan mereka, tanpa terkecuali dalam hal membaca al-Qur`an. Abul ‘Aliyah ar-Rayahi berkata: “Kami adalah budak yang dimiliki orang, di antara kami ada yang membayar dharibah, ada pula yang melayani keluarganya. Kami mengkhatamkan al-Qur`an setiap malam, maka hal itu terasa berat bagi kami. Lalu kami mengkhatamkan setiap dua malam, ternyata juga merasa berat. Lalu kami mengkhatamkan setiap tiga malam, lalu kami merasa berat, sehingga kami saling mengeluh satu sama lain. Kami menemui Rasulullah SAW, maka beliau mengajarkan kepada kami agar mengkhatamkan setiap jum’ah, maka kami bisa shalat dan tidur, dan kami tidak merasa berat.” Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat 7/113 dan lihat: Siyar A’lam Nubala 4/209.

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Sepantasnya seseorang menjaga rutinitas dan memperbanyak membaca al-Qur`an. Para salaf mempunyai kebiasaan yang bervariasi dalam mengkhatamkan al-Qur`an. Ibnu Abi Daud meriwayatkan dari sebagian salaf bahwa di antara mereka ada yang mengkhatamkan setiap dua bulan, ada yang setiap bulan, ada yang setiap sepuluh hari. Dan dari sebagian mereka ada yang mengkhatamkan setiap delapan hari, dan dari kebanyakan mereka adalah mengkhatamkan al-Qur`an setiap tujuh malam. Dan dari sebagian mereka ada yang mengkhatamkan setiap tiga hari. 

Dan yang terbaik bahwa hal itu berbeda menurut tugas dan kewajiban seseorang. Apabila dengan pelan ia bisa memahami makna dan tafsirnya secara baik, maka hendaklah ia membaca menurut kadar yang ia bisa mendapatkan kesempurnaan pemahaman yang dia baca. Demikian pula orang yang sibuk menyebarkan ilmu (mengajar, berdakwah dan sejenisnya) maka hendaklah membatasi diri agar tidak mengurangi tugas utamanya. Dan jika bukan seperti golongan di atas dan tidak punya tugas yang lain, maka hendaklah ia memperbanyak membacanya sebatas kemampuannya yang tidak menyebabkan rasa bosan. At-Tibyan 46

Perhatian para pendahulu kita dalam Menghafal al-Qur`an:

Para salaf tidak hanya memberi perhatian terhadap membaca al-Qur`an lewat mushhaf, bahkan mereka berlomba-lomba dalam menghapalnya, dan Allah SWT telah memberikan kemudahan dalam membaca dan menghapalnya bagi siapa pun yang ingin mengharapkan pahala dan berminat menghapalnya. Firman Allah SWT:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran (QS. al-Qamar:17)

Ibnu Abbas RA berkata: ‘Kalau bukan karena kemudahan yang diberikan Allah SWT kepada manusia niscaya tidak ada seorang pun yang bisa membaca Kalamullah. (Lihat: ad-Durrul Mantsur 7/676.) Dan di antara kemudahannya adalah mudah dibaca dan menghapalnya.

Di antara keutamaan menghapal al-Qur`an adalah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, ia berkata, ‘Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ الَّذِي لَيْسَ فِى جَوْفِهِ شَيْئٌ مِنَ الْقُرْآنِ كَالْبَيْتِ الْخرب“

Sesungguhnya orang yang tidak ada sedikitpun al-Qur`an di dalam rongganya, ia seperti rumah yang runtuh.” HR. at-Tirmidzi 2910

Dan Beliau mengutamakan di antara para sahabatnya menurut kadar hapalan al-Qur`an mereka, apabila mengutus pasukan beliau mengangkat imam dalam shalat bagi yang paling banyak hapalannya, mengedepankan di liang lahat bagi yang paling banyak hapalannya. Maka banyak sekali dorongan dan motivasi untuk lebih giat menghapal al-Qur`an. Memang tidak disebutkan secara pasti berapa jumlah sahabat yang hapal al-Qur`an, namun cukup sebagai bukti banyak yang hapal al-Qur`an, bahwa dalam perang Yamamah telah terbunuh tujuh puluh orang sahabat yang hapal al-Qur`an.

Di antara contoh penghapal al-Qur`an dari para sahabat, hadits Ibnu Mas’ud RA, ia berkata: ‘Aku hapal dari mulut Rasulullah SAW lebih dari tujuh puluh surah.”

Demikianlah sebagian di antara keutamaan membaca dan menghapal al-Qur’an, semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.


AL-QUR’AN DAN TAFSIR SUFI


Sesungguhnya Al-Qur’an itu ada [makna] lahir dan ada batinnya. Untuk setiap batin ada batinnya, sampai tujuh lapis [makna] batin.— Hadis

Al-Qur’an adalah landasan pokok seluruh ajaran Sufi. Sesuai dengan ciri utama Tasawuf yang lebih menekankan kepada dzauq (rasa) dan aspek esoteris (ruhani, batiniah), maka tafsir Sufi atas Al-Qur’an tak jarang amat berbeda dengan tafsir yang biasa kita kenal. Kadang tafsir Sufi disebut juga ta’wil. Tafsir Sufi banyak berhubungan dengan “rahasia-rahasia” di balik teks lahiriah (literal) yang maknanya tak aus oleh dinamika perubahan-perubahan dalam sejarah.

Menurut Sufi, kemampuan seseorang dalam memahami makna Al-Qur’an amat bergantung kepada derajat dan kualitas keruhanian. Imam Ja’far as-Shadiq mengatakan bahwa Kitab Allah meliputi empat perkara: ibarat, isyarat, lathaif dan haqaiq. Ibarat adalah bagi orang awam, isyarat adalah bagi orang khusus, lathaif adalah bagi para Wali Allah, dan haqaiq adalah bagi para Nabi.

Ibn Mas’ud mengatakan, “Siapa ingin memperoleh ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian, hendaklah ia membaca Al-Qur’an.” Seorang sufi mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an terhimpun semua ilmu yang ada di dunia. Ini sejalan dengan keterangan Al-Qur’an sendiri, yakni al-Qur’an adalah “penjelasan bagi segala sesuatu” (Q.S. 6:6) dan “Tidak Kami lewatkan dalam al-Kitab sesuatupun” (Q. S. 6:38).

Maka, tak heran jika dikatakan bahwa mu’jizat terbesar dari Rasulullah SAW adalah Al-Qur’an. Tentu saja pencapaian ilmu macam ini tidak bisa diperoleh dengan tafsir lahiriah atau akal/rasio. Dalam kasus pengetahuan Wahyu Ilahi, agar bisa memahami dan menguraikan pesan-pesan yang dikandungnya, kita mesti membersihkan diri kita; atau, dalam bahasa Islam, kita harus menjadi “buta huruf” (ummi). Pada dasarnya kita tidak mempunyai kemampuan sendiri untuk memahami wahyu; kita hanya bisa menempatkan diri kita sepenuhnya dalam kekuasaan Wahyu. Maka, agar makna terdalam dari Wahyu bisa dipahami, kita mesti menghentikan pemikiran dan refleksi intelektual atau akal, sebab dalam dirinya sendiri akal adalah terbatas dan pemikiran rasional boleh jadi dipengaruhi oleh kondisi jiwa yang kurang bersih.

Sedangkan kebenaran Wahyu adalah suci dan tak terbatas, karena ia dari dan merepresentasikan Tuhan Yang Maha TakTerbatas ilmu-Nya. Yang terbatas mustahil menguasai yang tak terbatas. Jadi, Ketika hati sepenuhnya aman dari pemikiran reflektif dan lintasan-lintasan pikiran, maka ini adalah keadaan “buta huruf” dan siap menerima anugerah petunjuk Allah secara sempurna — inilah makna mistis dari fakta bahwa “Muhammad adalah Nabi yang buta huruf.”

Di sisi lain, perkataan Aisyah bahwa akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an secara tersirat menyatakan bahwa sesungguhnya Al-Qur’an tak lain adalah diri kita sendiri. Yang dimaksud oleh Sufi dalam hal ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an sesungguhnya sudah berada dalam diri kita sendiri. Setelah Allah menciptakan Adam, Dia mengajarinya “nama-nama segala hal” (Q.S. 2:31).

Penamaan karenanya menjadi bagian dari sifat manusia, karena Allah mengajari manusia bahasa pada saat penciptaannya. Nama-nama yang diajarkan Allah kepada Adam adalah pengetahuan-Nya, yang “disimpan” dalam “tubuh” Adam. Jadi setiap bagian tubuh kita mengandung aspek tertentu dari nama-nama Ilahi. Dengan kata lain, realitas tubuh manusia adalah nama-nama yang memantulkan Citra-Nya: “Allah menciptakan Adam sesuai dengan Citra-Nya.” Setiap tubuh memantulkan nama-nama yang berbeda.

Jadi kita membeda-bedakan realitas melalui diri kita, karena kita adalah citra yang beragam dari satu Tuhan. Dengan cara yang sama, kita membedakan segala sesuatu dengan memberi nama (misalnya, kita membedakan tempat duduk dan tempat tidur dengan memberinya nama kursi dan ranjang). Menurut pandangan Sufi, masalahnya adalah kita melupakan bahwa Allah telah mengajari kita nama-nama segala hal ini sejak awal penciptaan kita. Karena itu, untuk mengetahui “nama-nama” ini dan mengungkapkan hakikatnya, kita harus tahu nama-nama itu persis sebagaimana Allah mengajarkannya kepada kita, bukan sebagaimana yang kita pikirkan sendiri. Hal ini hanya bisa dicapai dengan mencintai Allah. Mencintai Allah, dalam ajaran Islam, hanya bisa dicapai melalui peniruan perilaku dan mengamalkan ajaran Rasulullah Muhammad. Maka, dengan mencintai Rasul, kita akan mencintai Allah, dan Allah akan mencintai kita dan melalui lantaran cinta inilah Allah akan mengingatkan kita kembali tentang “nama-nama segala hal” dan kita akan memandang sesuatu sebagaimana adanya (hakikat), bukan sebagaimana yang kita pikirkan.

Jadi, ringkasnya, dengan menjadikan diri kita “buta huruf,” dan mengikuti suri tauladan akhlak Nabi Muhammad, yakni akhlak Al-Qur’an, pada akhirnya akan membuat kita mendapat petunjuk untuk memahami makna terdalam dari al-Qur’an — “maka berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya; ikutilah [akhlak] Nabi [Muhammad] agar kamu memperoleh petunjuk” (Q.S. 7:158).

Kemudian, menurut Sufi, Al-Qur’an turun pada “Malam Kemuliaan” (Q.S. 97:1) dalam bentuk pengetahuan Allah yang utuh tak terbedakan, sebagai “totalitas kalimat” (jawami’ al-kalim) yang “dipatrikan” ke dalam hati Rasulullah. Wahyu tidak turun melalui “pikiran” Nabi, tetapi ke dalam seluruh keberadaannya, atau dalam “tubuh” Nabi yang dipercaya untuk melaksanakan dan mengamalkan titah Allah; seperti kata Aisyah, “Rasulullah adalah Qur’an yang berjalan.” Wahyu turun pada “malam,” yang melambangkan kerahasiaan yang tersembunyi, seperti kegelapan menyembunyikan sesuatu, dan juga malam adalah suasana yang menebarkan aroma misterius, seperti ada khazanah tersembunyi yang mesti diungkap agar diperoleh manfaatnya. Malam (Layla) dalam tafsir Sufi juga melambangkan “Zat Tuhan” yang tersembunyi dari pengetahuan siapapun.

“Kegelapan” misteri haruslah diterangi dengan “Cahaya” yang terangnya “melebih seribu bulan,” yakni cahaya yang amat terang tetapi tak menyilaukan seperti matahari, sebab cahaya matahari justru membutakan. Dan dengan “cahaya seribu bulan” itulah tersibak apa-apa yang tersimpan dalam rahasia ayat-ayat Al-Qur’an. Tentu saja yang bisa menerangi misteri Ilahi hanyalah cahaya Ilahi saja. Maka, manusia harus meraih anugerah cahaya ilahi ini, yang bisa diakses oleh manusia melalui pensucian jiwa, melalui zikir, sebab seperti kata Syekh Athaillah As-Sakandari, “Zikir adalah cahaya yang menerangi.” Tazkiyat an-nafs (penyucian jiwa), karena itu, adalah kunci pertama dan utama dalam membuka rahasia Al-Qur’an.

Tetapi jelas pula bahwa Al-Qur’an tidak diturunkan hanya kepada golongan elit spiritual seperti Nabi dan Wali Allah, tetapi juga kepada seluruh manusia yang bertingkat-tingkat kedudukan ruhaninya. Karena manusia dalam dirinya sendiri adalah “terbatas” dan memiliki banyak kekurangan, maka Allah berkenan mengejawantahkan Wahyu, yang tak lain adalah representasi Tuhan itu sendiri, ke dalam bentuk yang bisa dipahami manusia, agar manusia bisa mengenal Tuhannya melalui sarana Wahyu itu. Jadi, sebagaimana kita lihat sekarang, Al-Qur’an diajarkan dalam bentuk kalimat, yang tersusun dari kata, yang tersusun dari huruf. “Kalimat adalah dari huruf, dan huruf adalah dari udara, dan udara adalah dari Nafas al-Rahman.” demikian kata Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabi. Untuk memahami kalimat ini manusia memerlukan kehadiran dari al-Rahman, yakni Tuhan, karena hanya karena Dia-lah yang bisa menghidupkan apa-apa yang menjadi kandungan dari kalimat-kalimat itu.

Karena, seperti telah disinggung di atas, Al-Qur’an, atau “Kalimat Allah,” tak lain adalah makhluk termasuk manusia, maka unsur penyusun dari seluruh ciptaan tak lain adalah “huruf” dari tiupan “Nafas al-Rahman.” Ketika Allah meniupkan ruh ke dalam tubuh manusia, yakni tiupan rahmat, maka kemungkinan-kemungkinan yang ada di dalam Diri-Nya dihidupkan. Jadi, huruf-huruf dihidupkan, dihubungkan dan dibentuk menjadi makhluk atau kalimat-kalimat. Setiap huruf, seperti ditunjukkan dalam ilmu fonetik modern, adalah tempat di mana nafas berhenti atau dibelokkan. Kombinasi huruf menjadi kalimat, dan kalimat menyampaikan makna dari si pembicara, yakni Allah SWT. Karenanya dikatakan bahwa barangsiapa ingin bercakap dengan Allah hendaklah ia membaca al-Qur’an.

Jadi, Al-Qur’an adalah kitab yang hidup, kitab yang diturunkan dari aras kesucian, dan karenanya, agar kita bisa “menghidupkan” ayat-ayatnya, maka kita harus menghubungkan ruh kita dengan “ruh” Al-Qur’an. Hal ini hanya bisa terjadi apabila hijab hawa nafsu yang mengalahkan ruh kita telah diangkat, atau setidaknya dibuat tak berdaya sehingga cahaya ruh kita yang telah suci bebas dari cemar nafsu bertemu dengan cahaya Al-Qur’an. Dalam hadis dikatakan bahwa tidak akan menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci dari hadats, yakni seseorang tidak akan “menyentuh” makna hakiki Al-Qur’an sebelum ia suci dari hadats hawa nafsu. Kita ingat riwayat bahwa sebelum Muhammad menjadi Nabi, beliau adalah “yang terpercaya” (al-amin) dan “buta huruf” (ummi) dan, sebelum menerima wahyu, dadanya telah dibedah oleh malaikat untuk disucikan hatinya.

TAFSIR SUFI

Penafsiran Sufi atas makna rahasia (batiniah) atas Al-Qur’an didasarkan pada perlambang, yang hanya bisa diungkap melalui kesucian. Tafsir sufi tidak terbatas hanya pada aspek lahiriah dan batiniah dari teks surat secara keseluruhan, ayat per ayat, tetapi juga menukik hingga ke tafsir atas huruf. Karena Al-Qur’an adalah Wahyu Allah, yang boleh dikatakan “merepresentasikan” segala Ilmu Allah, maka setiap huruf adalah ayat tersendiri yang melambangkan maksud tertentu. Rahasia-rahasia Al-Qur’an, mulai dari rahasia surat hingga ke rahasia huruf tak bisa diketahui melalui penalaran, tetapi melalui jalur lain, yakni mujahadah (jihad akbar) sampai seseorang mencapai mukasyafah dan musyahadah (kesaksian atas kenyataan batin).

Imam Ja’far as-Shadiq mengatakan bahwa “Awalnya terbersit ‘pikiran’ dalam diri Tuhan, sebuah niat, sebuah kehendak. Obyek dari pikiran ini, atau niat dari kehendak ini, adalah huruf-huruf yang menjadi prinsip segala hal; menjadi ‘indeks’ dari segala sesuatu dalam ciptaan. Dari huruf-huruf inilah segala sesuatu diketahui.” Rasulullah bersabda, “Semua ayat Al-Qur’an mengandung makna lahir dan batin. Setiap hurufnya memiliki makna tertentu, dan setiap huruf menyatakan secara tak langsung tempat kedudukannya (matla’).”

Al-Tirmidhi menyatakan bahwa semua ilmu ada dalam huruf-huruf karena asal-muasal ilmu sesungguhnya berasal dari Asma Agung Tuhan, yang melahirkan penciptaan dan pengaturan. Allah mengajari Adam pengetahuan dan akar pengetahuan. Pengetahuan itu terdiri dari “nama-nama”; akar pengetahuan adalah 28 huruf abjad [Arab]. Bahasa berakar pada huruf. Maka makna pengetahuan bukan hanya ditemukan dalam kalimat atau kata. Dua puluh delapan huruf Arab, menurut Muhyiddin Ibn ‘Arabi, adalah artikulasi (perwujudan) dari prinsip tunggal, yang masing-masing terkait dengan Nama Ilahi. Jadinya setiap bentuk dasar huruf mengindikasikan makna.

Allah meletakkan pengetahuan ma’rifat “nama-nama” ke dalam hati Adam. Tempat di mana nama-nama itu mengambil bentuk (taswir) adalah di dada. Kemudian mereka diterjemahkan [ke dalam bentuk suara] melalui tenggorokan dan bibir. Dalam huruf-huruf itu tersimpan pengetahuan pengetahuan primordial (ilm al-bad’), pengetahuan Asma Agung Allah, juga ilmu pengaturan oleh Allah (ilm al-tadbir) yang meliputi ilmu dari Nabi Adam sampai Hari Kiamat. Nama adalah penanda atas sesuatu, sedangkan sifat (atribut) adalah penjelasan yang datang dari sesuatu itu. Nama adalah untuk bahasa, sifat adalah untuk penglihatan dan pemahaman.

Tetapi jika Allah adalah tersembunyi, tak bisa disentuh, dilihat, dirasakan, dicium atau dipahami, maka bagaimana mungkin manusia bisa mengetahui atau melihat sesuatu itu? Allah tidak bisa dipahami dengan perasaan, sentuhan, penglihatan dan sebagainya, karena Dia adalah “Perbendaharaan Tersembunyi” yang Maha Gaib. Oleh karenanya, sebelum Dia menciptakan dunia, Dia memperlihatkan sifat-Nya demi kepentingan hamba-Nya. Setiap sifat ini kemudian diekspresikan dalam kombinasi huruf-huruf yang menjadi Asma al-Husna. Nama yang berasal dari atribut/sifat dan Allah bisa dideksripsikan karena ada sifat yang memancar ini (lihat Bab 2). Nama dan sifat hadir agar lidah bisa mengucapkannya hingga menjadi suara. Nama dan sifat, sebagai bentuk penjelasan, adalah seperti “cahaya yang menerangi langit dan bumi” sehingga segala sesuatu yang ada dalam ciptaan menjadi jelas — “Allah adalah cahaya langit dan bumi.”

Melalui huruf-huruf inilah Allah menampakkan diri kepada hamba-Nya, seperti dinyatakan oleh Imam Ja’far: “Allah memperlihatkan Diri-Nya kepada hamba-Nya dalam kitab-Nya, namun mereka tidak melihat-Nya,” yakni memperlihatkan Diri-Nya dalam rahasia di balik huruf-huruf Kitabullah.

Dengan demikian, untuk mengenal-Nya (ma’rifat), kita mesti membaca Al-Qur’an dalam pengertian mistis ini. Jadinya, Iqra’, bacalah, yakni siapa saja yang membaca Al-Qur’an dan Asma-Nya, ia laksana menyambungkan cahaya pengetahuan dari lidahnya ke Sumbernya. Dalam analisis terakhir, ada hubungan penting antara pensucian jiwa, membaca Al-Qur’an, dan pengetahuan Allah: Seseorang yang telah mensucikan diri dari segala hawa nafsu, ia akan “mengalirkan” khasanah Ilmu Allah ke dalam dirinya melalui perantaraan Al-Qur’an. Ia akan dikaruniai pengetahuan tentang makna lahir dan batin dari Al-Qur’an. Karena itu, dapat dipahami jika Nabi dan Wali Allah memiliki pemahaman tentang Al-Qur’an yang tidak dipahami oleh manusia biasa. Karenanya, menurut Al-Hakim al-Tirmidhi, salah satu tanda Wali Allah adalah ia menguasai ilmu huruf. Ilmu huruf ini dianggap kunci bagi semua ilmu lainnya.

Turunnya Wahyu Al-Qur’an dalam bentuk huruf-huruf adalah semacam transformasi dari dunia yang “tak diciptakan” atau tak dapat dipahami menjadi dunia yang “terciptakan” atau dapat dipahami. Abjad Arab — yang merupakan bahasa Al-Qur’an — terdiri dari 28 huruf, yang terbagi menjadi dua bagian, 14 huruf-huruf yang jelas dan 14 huruf-huruf yang tersembunyi (dalam ilm tajwid ini dinamakan huruf syamsiyyah dan qamariyyah). Huruf yang berkaitan dengan dunia “yang tak terciptakan” adalah huruf-huruf misterius yang menjadi awal dari 29 surat. Huruf-huruf itu tidak “divokalkan” – misalnya ayat pertama surat al-Baqarah dibaca alif, lam, miim dibaca tanpa harakat (penanda vokal). Semua ayat Al-Qur’an bisa “dibaca” karena divokalkan, kecuali huruf-huruf pembuka beberapa surat, yang hanya bisa “dieja.” Huruf-huruf misterius ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para Sufi.

Diriwayatkan bahwa Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq pernah mengatakan bahwa rahasia dalam Al-Qur’an terkandung dalam huruf-huruf fawatih atau muqatta’at (huruf-huruf yang misterius artinya yang ada di ayat pembuka beberapa surat Al-Qur’an). Interpretasi esoteris (mistis) atas huruf Arab tidak bisa dilakukan kecuali dengan menyertakan aritmologik (nilai numerik atau angka pada setiap huruf). Syekh Ahmad al-Buni dalam Kitab Syams al-Ma’arif al-Kubra menjelaskan: “Rahasia-rahasia Tuhan dan obyek Ilmu-Nya … adalah dua macam, yakni huruf dan angka. Angka adalah realitas tertinggi yang berbasis spiritual, sedangkan huruf berasal dari alam material dan malakut. Angka adalah rahasia kata, dan huruf adalah rahasia tindakan.” Dengan kata lain angka melambangkan dunia spiritual dan huruf melambangkan dunia jasmaniyah. Nilai numerik dari masing-masing huruf itu adalah sebagai berikut:

Menurut para Sufi, huruf-huruf misterius yang “tak bermakna” itu dianggap mengandung ilmu-ilmu Allah yang diturunkan secara langsung dengan sangat cepat sehingga bahkan malaikatpun tak sempat memahami artinya. Dalam riwayat diceritakan ketika Jibril menurunkan ayat pertama Surat Maryam, Kaaf, haa, yaa, ‘ain, shaad, Nabi berkata, “Aku tahu artinya,” tetapi Jibril bertanya, “Bagaimana engkau tahu sesuatu yang aku tak tahu?” Melalui ilmu huruf dan angka ini para Sufi melahirkan pandangan yang eksotis tentang Al-Qur’an.

Misalnya, huruf-huruf awal awal surat Maryam ditafsirkan sebagai perlambang dari Asma al-Husna:
  • Kaaf = al-Kafi
  • Haa = al-Hadi
  • Yaa = al-Yaqin
  • ‘Ain = al-‘Alim
  • Shad = as-Shadiq
Karenanya, huruf-huruf ini mengandung makna dan “berkah” tertentu dari khasanah Asma-Nya, yang hanya bisa diketahui oleh para ahli-kasyaf. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib menggunakan huruf-huruf ini sebagai wasilah untuk berdoa: Wahai Kaaf, Haa, Yaa, ‘Ain, Shaad, aku berlindung kepada-Mu dari dosa yang menyebabkan murka-Mu … Ya Allah tolonglah aku melawan diriku sendiri.” Demikian pula Sayyid Abu Hasan as-Syadzili berdoa dengan menggunakan huruf-huruf: “Qaaf, Jiim, adalah dua rahasia bersama-Mu. Keduanya menunjukkan kepada selain-Mu. Maka, dengan rahasia yang menyeluruh yang menunjukkan kepada-Mu, janganlah Engkau biarkan aku menuju selain-Mu. Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Rahasia huruf dan angka ini juga dipakai untuk menentukan jumlah bacaan zikir. Misalnya, dalam Tarekat Qadiriyyah, murid pemula dianjurkan setiap hari membaca asma “Allah” sebanyak 66 kali, yang dianggap sebagai “dosis” yang pas, karena jumlah numerik “Allah” adalah 66 (alif = 1, lam, lam = 2 x 30, dan h = 5).

Sebagai ilustrasi, berikut sedikit contoh tentang tafsir oleh para Sufi. Pertama kita ambil contoh ayat awal Surat Al-Fatihah yang merupakan induk Al-Qur’an, yakni ayat bismillahi ar-rahman ar-rahim. Untuk contoh pertama, di bawah ini hanya akan disajikan sedikit saja contoh tafsir kalimat “bismillah” disebabkan oleh keterbatasan tempat dalam buku ini.

Surat ini oleh Al-Qur’an sendiri (Q.S. 15:87) disebut “Tujuh yang diulang” (sabt al-matsani) sebab Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dalam shalat. Dalam al-Fatihah terdapat seluruh huruf kecuali tujuh huruf:

za, kho, dzho, tsa’, syin, jim, fa

Sebagian Sufi menyatakan bahwa Asma Paling Agung (Ism al-Adzam) Allah terkandung dalam huruf-huruf ini.

Dalam sebuah tafsir lain dikatakan bahwa semua yang tercantum dalam Al-Qur’an ada dalam Al-Fatihah, dan semua yang ada dalam Al-Fatihah ada di dalam bismillahi ar-Rahman ar-Rahim (kalimat basmalah), dan semua yang ada di dalam kalimat basmalah itu ada dalam huruf ba’, dan huruf ba’ itu sendiri terkandung di dalam titik yang berada di bawahnya. Titik adalah asal-usul dari segala huruf. Menurut suatu riwayat, Sayyidina Ali ibn Abi Thalib mengisyaratkan tafsir ini dalam ucapan saat beliau mengalami fana: Anaa nuqtatu ba–i bismillah (Aku adalah titik huruf ba’ dalam bismillah).

Kalam Ilahi dimulai dengan bismillahi — “Dengan menyebut Nama Allah” — yang diawali bukan oleh huruf alif (yang bernilai 1) tetapi oleh huruf ba’, yang bernilai 2. Kalimat bismi asalnya adalah bi-ism, yakni ada alif di antara ba’ dan sin. Alif, yang bernilai 1, melambangkan Zat yang Maha Esa dan Tak Terpahami (Transenden). Alif, perlambang Zat Maha Gaib dan wujud primer (wujud al-awwal) “disembunyikan” dalam huruf ba’ yang melambangkan manifestasi atau perwujudan (zuhur) atau eksistensi kedua (wujud al-tsani).

Yang Gaib yang dihijab dalam huruf ba’ ini dimunculkan kembali melalui “nama” Allah, yakni nama yang menunjukkan Zat Yang Maha Gaib. Jadi Bismillah adalah pertemuan antara yang “tak diwujudkan” dengan “yang maujud,” yang lahir dan batin, yang tampak dan yang gaib. Ini adalah perlambang hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya, yang menyimbolkan imanensi atau “keserupaan” (tasybih) sekaligus transendensi atau perpisahan (tanzih): “Allah meliputi segala sesuatu” dan “tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya.”

Maka dalam konteks eksistensi, ini melambangkan hubungan halus antara al-Khaliq dan makhluq: “Dia adalah engkau; engkau adalah engkau dan Dia adalah Dia” (al-huwa anta; wa anta anta wa huwa huwa). Jadi huruf ba’ adalah kinaya, metafora, yakni sesuatu yang menyembunyikan sesuatu yang lain. Ketika ba’ “divokalkan” menjadi bi, ia berarti “Dengan Aku,” yakni Aku Ilahi atau Allah sendiri.

Menurut Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabi, melalui Aku Ilahi ini, terdapat perbedaan antara bentuk hakiki dari Tuhan (al-sura al-haqiqiyya) dan bentuk citra-an atau metaforis (al-sura al-majaziyya), di mana melalui bentuk yang disebut belakangan inilah Dia menciptakan manusia — “Allah menciptakan manusia sesuai dengan bentuk atau citra-Nya.” Yang dimaksud adam di sini adalah insan kamil (Manusia Sempurna), yang memanifestasikan pola dasar keruhanian insan dalam gambaran-Nya. Jadi ba’ adalah bentuk pertama yang “mengejawantahkan” alif. Ba’ adalah pola dasar dan dapat dikatakan melambangkan adam dalam arti manusia di bumi.

Karena manusia sempurna adalah cermin dari Bentuk Majazi-Nya, maka dialah yang diangkat menjadi khalifah-Nya dan memerintahkan malaikat untuk sujud kepadanya. Karena manusia diberi amanat kekhalifahan di muka bumi, maka Allah menjadikan manusia sebagai perwujudan yang kelihatan dari al-Batin. Ini berarti bahwa tercipta pula “pemisah” (hijab) antara Tuhan (Yang Maha Gaib) dengan manusia (manifestasi dari Yang Gaib).

Jadi, sejak awal huruf Kitabullah ini, pembaca Al-Qur’an telah diingatkan bahwa segala sesuatu selalu terkait dengan Allah, sebab “la maujuda illa Allah.” Setiap wujud selalu terkait dengan satu “nama” yang mengantarkan pada Zat-Nya, dengan kata lain pada hakikatnya hanya ada satu Wujud — Kesatuan Wujud (wahdat al-wujud). Tetapi, Kesatuan Wujud ini, sebagaimana Kitabullah, memuat prinsip diferensiasi (lihat kembali Bab 2). Jadi, membaca Al-Qur’an dengan benar akan membawa pembacanya pada visi atau pengalaman kesatuan wujud, tanpa mengacaukan aspek tanzih (transenden) dan tasybih (imanen).

Kata “Allah” dalam kalimat basmalah juga mengilustrasikan urutan persatuan dan perpisahan, tasybih dan tanzih. Setelah mengucapkan bismi, pembaca al-Qur’an akan bertemu dengan asma Allah — bismillah, yakni dengan menyebut asma “Allah.” Kata ini terdiri dari empat huruf, alif, lam, lam, dan ha. Kata ini amat istimewa. Jika dari kata “Allah” ini kita hilangkan huruf alif, maka kita akan mendapatkan kata “lillah”; jika lam pertama kita singkirkan, maka kita akan mendapatkan kata “lahu”; jika lam kedua kita singkirkan, kita akan mendapatkan kata “hu” — Semua itu merujuk kepada “Allah.” Huruf alif dalam kata “Allah” yang bernilai 1 melambangkan Diri Tuhan dan Keesaan-Nya. Huruf lam pertama adalah alam malakut (kerajaan langit). Huruf lam kedua adalah alam mulk (kerajaan dunia bumi). Dan Hu adalah tak ada sesuatupun selain Dia.

Ringkasnya, segala sesuatu adalah ada karena Allah dan “beserta” Allah. Kelangsungan hidup makhluk bergantung pada ruh yang “ditiupkan” ke dalam makhluk-Nya. Inilah tiupan rahmat, Nafas al-Rahman. Jadi, terwujudnya semesta, termasuk manusia, adalah lantaran Kasih-Nya. Allah disebut “ar-Rahman” selama Dia memancarkan “Wujud-Nya” yang tak terbatas, yang merupakan akar primordial dari semesta (kosmos). Karenanya, dalam satu pengertian, “Allah” dan “ar-Rahman” adalah identik sebab keduanya “mencakup segala sesuatu” — “Rahmat-Ku mencakup segala sesuatu” (Q.S 7: 156). Keidentikan ini juga diisyaratkan dalam ayat “Serulah Allah atau serulah ar-Rahman” (Q.S.17:10). Sampai di sini dapat dikatakan bahwa alif yang “tersembunyi” diejawantahkan atau dimanfestasikan dengan ba’, dan pengejawantahan ini adalah karena dan beserta “Allah,” dan manifestasi dipelihara dan dijaga dengan Rahmat-Nya yang tiada terbatas.

Akan tetapi ciptaan tak pernah sama dengan Pencipta, dan karenanya ciptaan akan berakhir. Tujuan akhir dari manusia adalah keselamatan dan kenikmatan di sorga. Inilah rahmat yang lebih khusus, ar-Rahim, yang dimanifestasikan dengan jelas di dalam surga. Dan di dalam surga inilah terdapat tujuan tertinggi manusia—“melihat” wajah Allah atau bertemu (liqa’) dengan Allah—sebuah pertemuan yang membahagiakan di mana sang hamba kembali “menyatu” dengan-Nya. Bertemu dengan Tuhan adalah bertemu dengan diri sendiri yang sejati — “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.” Sosok yang paling mengenal dirinya, dan karenanya, mengenal Tuhannya, tak lain adalah Insan Kamil (Manusia Sempurna), dengan perwujudannya atau personifikasinya yang tertinggi dan paling sempurna di dunia ini adalah Nabi Muhammad SAW. Kedatangan Muhammad sebagai Penutup Kenabian dan Kerasulan, sebagai Insan Kamil, adalah “kesimpulan” dari semesta.

Jadi, secara garis besar, di satu sisi dapat dikatakan lingkaran eksistensi manusia muncul pertama kali dengan bismi, yang diawali oleh Adam yang menerima “nama-nama segala hal” dari Allah, ar-Rahman, dan diakhiri oleh ar-Rahim, yang dengan Asma ini Muhammad menyatukan kembali hal-hal yang “dipisahkan” oleh bismi. Tauhid Rasulullah adalah menyatukan kembali signifikansi Tauhid, tanzih-tasybih, rahasia dari makna “Dia-lah Yang Mahaawal dan Mahaakhir, Yang Mahazahir dan Mahabatin” (Q.S. 57:3). Namun, di sisi lain, dalam konteks azali (sebelum ada alam), segala sesuatu berasal dari Muhammad yang, menurut salah satu riwayat hadis, diciptakan “2000 tahun sebelum penciptaan Adam” (lihat Bab 3). Dengan demikian “yang akhir” kembali ke “yang awal,” dan lingkaran tujuan penciptaan semesta pun telah paripurna: “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.”

Jadi, dari contoh tafsir di atas, yang hanya serba sedikit, tampak bahwa tafsir para sufi benar-benar memperhatikan detail hingga ke huruf-hurufnya. Dari mana datangnya pengetahuan tafsir simbolis semacam ini? Sufi As-Sady mengatakan, “Ketika Allah hendak menjadikan seseorang sebagai Wali, Dia akan mengajarinya ilm ladunni, dan ilmu ini tidak bisa diperoleh dengan penelitian rasional atau akal-budi” — ilm ladunni ini hanya bisa diperoleh melalui karunia dan pertolongan Ilahi setelah manusia mau berusaha untuk mensucikan hatinya dengan mendekatkan diri kepada-Nya.

Dari sudut pandang lainnya, yakni dari segi “pragmatis,” maka kandungan Al-Qur’an bukan hanya ilmu pengetahuan lahir dan batin, tetapi juga mengandung aspek pragmatis untuk membantu manusia menghadapi hidup, dan bahkan juga bisa melahirkan keajaiban-keajaiban dalam kehidupan manusia. Al-Qur’an bisa memunculkan “keajaiban” jika diamalkan dengan cara tertentu, baik untuk tujuan keruhanian maupun keduniawian. Menurut para sufi, setiap surat dan ayat atau bahkan setiap kata dan huruf ada “khasiat” atau fadhilah (keutamaan) tertentu. Ilmu tentang rahasia khasiat ini juga termasuk dalam ilm ladunni. Misalnya, Rasulullah bersabda “Fatihah terbuka untuk segala maksud kaum mukminin” dan “Fatihah itu obat dari segala penyakit, kecuali kematian.”

Tentunya yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana khasiat ini bisa direalisasikan. Inilah yang dimaksud dengan ilmu rahasia khasiat dan fadhilah, yang hanya bisa diketahui melalui ilm ladunni. Banyak Sufi yang dikaruniai pengetahuan gaib tentang cara-cara pengamalan agar manfaat Fatihah ini bisa terealisasikan. Sebagian dari pengetahuan gaib itu telah ditulis dalam banyak kitab. Misalnya, agar mendapat perlindungan dari segala bencana dan wabah, dianjurkan dibaca secara rutin 40 kali sesudah shalat subuh; atau untuk memudahkan rezeki, menurut Syekh Ahmad al-Ghazali, Fatihah dibaca 100 kali setiap hari, atau dibaca sesuai dengan jumlah hurufnya, yakni 125 kali. Muhyiddin Ibn ‘Arabi mengatakan Fatihah bisa memudahkan terkabulnya hajat jika dibaca secara rutin 40 kali selepas shalat maghrib; atau dibaca sebanyak bilangan pejuang badar, 313 kali, untuk membuka keberkahan dan menutup keburukan; dan masih banyak lagi cara lainnya. Wali Allah wanita yang bernama Fathimah biti ibn al-Mutsanna, memiliki kemampuan menguasai surat al-Fatihah. Beliau pernah berkata, “Aku diberi surat al-Fatihah dan aku bisa menggunakan kekuatannya untuk apa saja yang kuinginkan.”

Dalam sebuah kisah, beliau memerintahkan al-Fatihah untuk membawa kembali seorang suami yang minggat dari rumahnya, meninggalkan istrinya untuk kawin lagi. Contoh lainnya, untuk bertemu dengan 4000 Wali Allah, kata Syekh Majduddin, seseorang dianjurkan mewiridkan “ayat lima” setiap hari (yakni Surat al-Baqarah: 246; Surat ali-Imran: 181; an-Nisa: 77; al-Maidah: 27; dan ar-Ra’du: 16).

Pada level yang lebih tinggi, surat-surat dalam al-Qur’an pada hakikatnya memiliki sebentuk “wujud” tersendiri yang bisa diajak berkomunikasi. Al-Qur’an dapat menampakkan diri kepada Wali Allah dalam “modus” atau bentuk tertentu. Surat-surat yang secara kasat mata kita lihat sebagai tulisan dan kita dengar sebagai suara, bagi sebagian Wali Allah dapat muncul dalam bentuk visual. Ini disebabkan eksistensi memiliki empat derajat yang menyediakan wadah bagi makna. Muhyiddin Ibn ‘Arabi mengatakan:

Segala “sesuatu” dalam wujud ini memiliki empat derajat … Pertama adalah wujud sesuatu di dalam realitas personalnya; yang kedua adalah wujud sesuatu di dalam pengetahuan; yang ketiga adalah wujud sesuatu di dalam suara; dan keempat adalah wujud sesuatu di dalam tulisan — Jika kita mengeja nama Shalahuddien, maka kita memahami maknanya [suara]; jika kita menulis nama Shalahuddien dalam secarik kertas, maka kita memahami maknanya [tulisan]; jika Shalahuddien sendiri muncul di hadapan kita, kita memahami maknanya [realitas personalnya]; dan jika kita mengingat atau membayangkan Shalahuddien dalam pikiran ketika dia tidak hadir di depan kita, maka kita memahmi maknanya [pengetahuan atau bentuk imajinal/al-khayal].

Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabi sendiri pernah mengalami “penampakan” langsung dari bentuk-bentuk surat, setidaknya tiga kali. Salah satunya adalah pengalaman ketika surat al-Ikhlas mengungkapkan dirinya secara langsung di Aleppo, di mana dia diberi tahu bahwa surat ini “tak tersentuh oleh jin dan manusia.” Melalui penampakan langsung inilah Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabi memahami konsep ikhlas, yang merupakan rahasia Allah yang hanya dipercayakan kepada hati orang-orang yang dicintai-Nya. Syekh al-Akbar juga pernah diselamatkan oleh surat “Yasin” dalam bentuk lelaki yang gagah dan tampan. Isyarat bentuk surat ini juga dikemukakan secara implisit oleh Sabda Rasulullah SAW bahwa surat as-Sajdah memiliki “dua sayap” yang akan menaungi pembacanya di hari kiamat.

Selain itu, Wali Allah bisa menyaksikan atau bercakap langsung dengan makna atau kejadian yang dimuat dalam al-Qur’an. Setiap bentuk kitab atau buku adalah semacam “representasi” dari penulisnya. Dalam hal ini ada hubungan “gaib” antara penulis dengan buku, yakni seolah-olah buku itu menghubungkan si pembaca dengan si penulis. Sebagian Wali Allah dikaruniai kemampuan membaca buku hingga ke tingkat mutalaqqi, yakni ketika mereka membaca kitab, mereka langsung “bertemu” — baik secara ruhaniah atau tidak

Dikisahkan Kyai Ihsan Jampes, Kediri, setiap beliau menelaah kitab al-Ihya Ulumuddin, maka Imam al-Ghazali akan langsung mendatanginya untuk memberinya penjelasan secara langsung. Pernah seorang Wali Allah yang bila ingin memahami isi suatu buku, beliau cukup melihat nama pengarangnya, diam sejenak, lalu ditutup lagi bukunya. Jika ditanyakan kandungan buku itu, beliau bisa menguraikannya. Ada banyak kisah semacam ini dalam dunia Tasawuf.

Hal yang sama juga terjadi ketika Wali Allah membaca Al-Qur’an. Misalnya, ketika membaca ayat dalam surat al-Kahfi yang mengisahkan para “pemuda gua,” Wali Allah bisa jadi akan langsung diberi visi keadaaan para pemuda itu, bagaimana perjuangannya, dan seperti apa keadaannya saat tidur selama 309 tahun. Seorang Wali Allah menceritakan bahwa anjing yang mengikuti tujuh pemuda itu benar-benar patuh bahkan hingga mengikuti gerak-gerik para pemuda gua.

Jika, misalnya, para pemuda itu tidur terlentang, si anjing ikut terlentang; dan jika mereka berubah posisi miring, si anjingpun ikut miring. Kemudian beliau mengatakan, ini adalah isyarat bahwa dengan mengikuti dan patuh pada Wali Allah, bahkan seekor anjing pun bisa masuk surga, apalagi manusia. Jadi beliau tidak hanya membayangkan dalam imajinasi kisah itu, tetapi “mengalami” langsung peristiwanya, dan bahkan bisa bercakap-cakap dengan tujuh pemuda gua itu.

Contoh lainnya dalam “keanehan” sang Wali ini adalah sebagai berikut:

Di ruangannya , yakni di sekitar tempat duduknya, terdapat banyak kitab agama, seperti kitab tafsir, kitab hadis, kitab tasawuf, dan sebagainya. Menurut keterangan, sebenarnya kitab-kitab itu telah dirapikan dan di simpan di kamar belakang. Namun Wali Allah ini kemudian memerintahkan putranya untuk mengembalikan kitab itu di ruangannya, di dekat tempat duduknya. Menurut Wali Allah itu beliau mendengar kitab-kitab itu memanggilnya, dan kitab-kitab itu berkata kepada beliau bahwa mereka tidak ingin jauh-jauh dari sang Wali Allah. Bahkan, dalam kasus pembacaan Al-Qur’an, terkadang Wali Allah ini tak kuat membaca suatu ayat.

Dikisahkan oleh seorang putranya kepada penulis, ketika sang Wali membaca ayat yang menerangkan penderitaan Nabi Ayyub, sang Wali ini berhenti membaca dan menangis tersedu-sedu. Belakangan, menurutnya, ketika membaca ayat itu, Nabi Ayyub hadir langsung secara ruhaniah di hadapannya, menceritakan dan menunjukkan penyakit dan penderitaannya kepada sang Wali. Menurut sang Wali, kemampuan seperti ini hanya bisa diperoleh jika seseorang sudah tak lagi “melihat” atau “membaca” hal-hal yang subhat apalagi yang haram — bahkan dalam suatu kesempatan beliau mengatakan kepada penulis bahwa dirinya tak bisa lagi membaca berita koran, karena sudah “diharamkan” baginya.

Selain itu ada “keajaiban” Qur’an dari aspek audionya, yakni dari pelafalan atau pembacaan Qur’an. Kata-kata dan bunyi al-Qur’an diyakini memiliki kekuatan “magis” tertentu yang bersumber dari asal-usul Ilahiahnya Al-Qur’an sendiri mengisyaratkan, “Sesungguhnya orang-orang beriman itu ialah orang yang apabila disebut Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah iman mereka karenanya” (Q.S. 8: 2). Dalam pengertian yang luas, membaca ayat al-Qur’an pada dasarnya adalah berzikir pula. Ayat lain yang menunjukkan kekuatan suara bacaan al-Qur’an adalah “Allah telah menurunkan perkataan yang terbaik [al-Qur’an] yang ayat-ayatnya saling menguatkan dan disampaikan berulang-ulang dan bulu roma orang yang bertakwa kepada Tuhannya pasti bergetar, kemudian kulit dan hati mereka menjadi lembuat karena mengingat Allah [zikirullah]” (Q.S. 39: 23).

Sudah diakui bahwa bacaan ayat Al-Qur’an dengan suara yang jernih dan merdu akan memengaruhi suasana hati. Bacaan al-Qur’an akan lebih berkesan jika dibaca dengan suara yang merdu dan mengikuti kaidah tajwid secara sempurna. Berkah yang paling jelas yang didapat oleh seseorang ketika membaca al-Qur’an adalah turunnya “sakinah” atau “kedamaian.” Rasulullah menyatakan dalam sebuah hadis bahwa orang-orang yang membaca al-Qur’an dan saling membacakan al-Qur’an akan mendapat karunia sakinah, rahmat dan dikelilingi malaikat. Usaid ibn Hudhair ketika sedang membaca al-Qur’an tiba-tiba ia melihat awan putih mengelilinginya. Rasulullah kemudian memberi tahu bahwa awan itu adalah malaikat yang berkumpul untuk mendengarkan bacaannya. Karena begitu banyaknya malaikat yang berkerumun, sampai-sampai mereka tampak seperti awan. Rasululullah menyatakan bahwa awan itu adalah sebentuk sakinah.

Dalam pandangan ulama Sufi, setiap ayat, dan bahkan setiap huruf, sesungguhnya ada penjaganya, yakni malaikat. Karenanya, ketika seseorang membaca suatu ayat sesungguhnya ia “menyapa” sang penjaganya. Pada satu titik di mana keadaan pembaca sudah sedemikian tinggi tingkat keruhaniannya, maka “bacaan” itu akan menyatu dengan dirinya, yang berarti pula ia akan selalu diliputi dan dijaga oleh para malaikat dari setiap huruf yang dibaca.

Jika al-Qur’an telah “mendarah daging” dalam kehidupan seseorang, maka fadhilah dan khasiat setiap ayat akan terealisasi dengan sendirinya. Karenanya, dalam kehidupan sehari-hari, jika kita melihat ada orang kesurupan, kadang saat dibacakan ayat kursi atau surat al-Falaq dan an-Nas oleh orang yang kualitas spiritualnya rendah atau biasa saja, orang kesurupan itu tidak segera sembuh, tetapi ketika didatangkan “ulama khos,” bahkan belum sempat ia membacanya pun orang itu langsung pulih karena jinnya sudah lari terbirit-birit.

Dibutuhkan kualitas spiritual yang tinggi agar manfaat untuk “pengusiran” jin dapat terealisasikan. Orang dengan kualitas ruhani yang tinggi, apalagi jika al-Qur’an telah mendarah-daging dalam dirinya, akan memiliki daya spiritual dan cahaya yang amat kuat, dan bahkan cukup dengan kehadirannya saja akan bisa membakar para jin dan sejenisnya.

Orang yang lidahnya fasih dalam melafalkan huruf Arab dan menguasai tajwid dengan sempurna serta memiliki kualitas ruhaniah yang tinggi — atau cahaya ruhnya telah “bertemu” dengan cahaya ruh Al-Qur’an — akan mampu memengaruhi orang dengan membaca al-Qur’an, dan bahkan dalam beberapa kasus, mampu membuat pendengarnya jadzab. Inilah salah satu kualitas Wali Allah yang menakjubkan. Wali Allah yang sempurna akan benar-benar “menghadirkan” seluruh makna al-Qur’an kepada pendengarnya.

Sahabat Rasulullah, Ibn Mas’ud, yang tak diragukan lagi kualitas kewaliannya dan kefasihan bacaannya, pernah diminta oleh Rasulullah untuk membacakan al-Qur’an. Ibn Mas’ud heran dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mestikah saya membacakan al-Qur’an kepadamu, sedangkan al-Qur’an diturunkan kepadamu?” Rasulullah menjawab, “Benar, tetapi aku suka mendengarkan bacaan dari orang lain.” Lalu Ibn Mas’ud membacakan surat an-Nisa ayat 41. Ketika sampai pada kalimat “Maka bagaimanakah (keadaan orang kafir) apabila kami mendatangkan saksi [Rasul] dari tiap umat…” Rasulullah berkata, “Cukup.” Lalu air mata beliau bercucuran. Sayyidina Umar ibn Khattab yang terkenal garang pun luluh hatinya setelah mendengarkan bacaan al-Qur’an.

Dalam kisah kekuatan ayat al-Qur’an yang dibaca oleh seorang Wali Allah. Menurut seorang santrinya yang pernah disembuhkan sang Wali dari penyakit “gila” yang dideritanya, “ludah sang Wali ini setara dengan 41 al-Qur’an,”; dan seorang tamu lainnya yang ahli kasyaf jika hendak bersalaman dengan beliau, dia selalu berwudhu terlebih dahulu, karena menurut visinya dalam perut sang Wali ini “berisi” al-Qur’an.

Menurut  seorang kyai yang sudah menempati kedudukan Wali ini, dan menurut beliau, sampai sekarang beliau tidak mau meludah sembarangan, karena dikhawatirkan air ludahnya yang “setara” dengan al-Qur’an akan diinjak orang. Karenanya, tak mengherankan jika beberapa kyai Wali Allah zaman dahulu selalu punya tempat khusus untuk meludah. Kyai ini juga terkenal karena bacaannya yang membuat orang bisa “lupa daratan.”

Dalam sebuah kisah, beliau diundang untuk membacakan ayat al-Qur’an dalam acara pernikahan anak lurah setempat. Sebenarnya beliau tidak mau, namun karena dipaksa akhirnya beliau bersedia. Beliau membaca surat ar-Rahman, namun baru pada ayat ketiga situasi menjadi kacau. Para tamu undangan menangis tersedu-sedu, pak lurah menangis berangkulan dengan istrinya, dan orang-orang di dalam rumah berhamburan keluar — bahkan sang juru masak bersama anak buahnya lari dari dapur sambil membawa kayu bakar yang masih menyala tanpa disadarinya. Akhirnya, seorang kyai sepuh ahli fiqh menghentikan bacaan itu.

Sejak peristiwa itu, sang faqih ini menetapkan sang Kyai itu “haram menjadi imam atau makmum shalat.” Sebab jika menjadi iman dalam shalat jahr (isya, magrib dan subuh), para makmum yang mendengar bacaannya lupa diri dan tak membaca al-Fatihah, dan karenanya shalat mereka tidak sah. Tetapi beliau juga tak bisa menjadi makmum karena ada dalil fiqh dalam kitab Fathul Muin bahwa “tidak sah seorang qori (orang yang fasih bacaannya) bermakmum kepada imam yang ummi (yakni tingkat kefasihannya berada di bawahnya).”

Pada akhirnya, agar tidak didaulat menjadi imam atau diundang membacakan Qur’an pada acara-acara tertentu, sang Wali ini terpaksa berkorban: beliau dengan sengaja mencopoti seluruh giginya, sehingga bacaannya tidak bisa fasih lagi. Tetapi bahkan ketika sudah ompong sekalipun, setiap kali beliau mengaji kitab, pengaruh ruhaninya luar biasa.

Pada suatu ketika sang kyai memaparkan ilmunya, para hadirin, , terserang kantuk yang hebat — bahkan putra sang Wali tidur sampai mendengkur. Ketika beliau menghentikan bacaannya, mendadak semua tamu bangun dan hilang pula semua kantuk. Setelah tersadar dari kantuk yang hebat, merasakan kesegaran yang tidak biasanya. Namun, pada sisi lain, jika sang Wali memaparkan makna mistis dari al-Qur’an kepada orang yang belum siap kapasitas ruhaninya, akibatnya bisa buruk.

Pernah pada suatu malam tiba-tiba sang Wali mengajak berbincang dalam waktu yang cukup lama. Beliau kemudian memaparkan beberapa makna al-Qur’an yang tidak lazim, dan sebagian besar tidak bisa pahami. Setelah selesai, beberapa saat kemudian  merasa seluruh badan sakit semua dan panas. Sang Kyai kemudian menyuruh  untuk istirahat supaya sembuh — dan keesokan harinya kondisi tubuh pulih kembali sedia kala.

Terakhir, beberapa Sufi menemukan keajaiban numerik dalam al-Qur’an yang menjadi dasar dari “struktur” al-Qur’an itu sendiri. Para Sufi merenungkan angka misterius yang dimuat dalam Q.S. 74: 30, “Di atasnya ada 19 penjaga.” Akhirnya sebagian sufi menemukan makna mistis dari angka ini — bahkan beberapa sekte spiritual mengagungkan angka ini, misalnya sekte Baha’iah. “Misteri 19” ini belakangan ditunjukkan melalui bantuan komputer oleh Prof. Rashad Khalifa Ph.D. Penemuannya mengukuhkan kebenaran tafsir mistis para sufi yang telah dikemukakan beberapa abad yang lalu.

Dengan berdasarkan huruf dan nilai numeriknya, Rashad menemukan bahwa struktur al-Qur’an “dijaga dari perubahan” berdasarkan angka 19. Struktur numerik dari ayat dan surat dan huruf diteliti dengan ilmu kriptografi dengan bantuan komputer. Tentu saja akan terlalu luas jika semua temuan itu diuraikan di sini, karenanya berikut ini akan disajikan sedikit contoh dari temuan misteri 19 penjaga itu.

Kalimat basmalah terdiri dari 19 huruf, di mana basmalah disebut 114 kali (19 x 6), di mana 114 adalah jumlah surat al-Qur’an. Semuanya ada di awal surat, kecuali di surat ke-9; namun kalimat basmalah muncul di salah satu ayat di surat 27 ayat 30, sehingga totalnya tetap 114. Kata “Allah” dalam al-Qur’an muncul sebanyak 2.698 kali, atau 19 x 142. Jumlah total ayat yang mengandung kata “Allah” adalah 118.123, yang merupakan hasil dari 19 x 6.217.

Surat pertama, yang berada diurutan no. 96 dalam mushaf, terdiri dari 19 ayat. Ayat-ayat pertama yang turun adalah 5 ayat dengan jumlah kata 19 buah, 76 huruf (1`9 x 4). Total huruf setelah genap 19 ayat adalah 304 atau 19 x 16. Surat 110 yang diturunkan terakhir terdiri dari 19 kata, dan ayat pertama dari surat itu terdiri dari 19 huruf. Contoh lainnya: huruf Qaaf dalam surat Qaaf muncul sebanyak 57 kali, atau 19 x 3. Dalam surat Yaa Siin, huruf Yaa dan Siin muncul 285 kali, atau 19 x 15 — Jumlah kemunculan huruf-huruf muqatta’at lainnya dalam surat yang relevan juga merupakan kelipatan dari 19. Angka 19 juga merupakan nilai gematrikal dari kata “Satu” dalam bahasa Arab, yakni wahid (wawu, alif, ha dan dal), di mana total nilai numerik (lihat tabel numerik di atas) untuk kata ini adalah 19. Angka 619 (yang diambil dari 6 x 19 = 114) adalah deret ke-114 dari bilangan prima; dan kalimat wahdahu la syarikalahu memiliki nilai numerik 619. Sebagai angka prima, ia tidak boleh di-syirkah, diduakan. Demikian segelintir contoh dari struktur numerik al-Qur’an.

Jadi, setelah seluruh huruf dianalisis, pada akhirnya tampak bahwa tak satupun huruf yang bisa ditambah atau dikurangi, sebab melakukan perubahan itu akan menyebabkan strukturnya menyempal dari penjagaan angka 19 — Allah berfirman, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan Kami pula yang benar-benar menjaganya” (Q.S. 15: 9).

Memurnikan Akidah, Menebarkan Sunnah”, sebuah slogan yang sering kita dengar, dan sependek pengetahuan kami,  yang kita cintai inilah yang mempopulerkannya. Kalau kita membaca surat al Kahfi, kita akan menemukan di akhir surat tersebut, Allah menutup dengan sebuah ayat yang sangat penting, sebuah perintah kepada Rasulullah untuk mendakwahkan dan menyerukan ayat ini kepada manusia. Sebuah ayat yang intisarinya adalah seruan untuk memurnikan akidah dan menebarkan sunnah, Allah berfirman,

قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلٰهُكُمْ إِلٰهٌ وٰحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا

“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Sesembahan kamu itu adalah Sesembahan yang satu”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabbnya“. (QS. Al Kahfi: 110)

Kalau kita jabarkan satu-persatu sebagai berikut:
قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ

“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini (Rasulullah) manusia biasa seperti kamu”

karena beliau manusia biasa, maka beliau tidak boleh disembah dan diibadahi, ini memurnikan akidah.

يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلٰهُكُمْ إِلٰهٌ وٰحِدٌ

“diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Sesembahan kamu itu adalah Sesembahan yang satu”

karena beliau diberi wahyu, maka kita tidak boleh mendustakannya dan wajib menerima semua yang datang dari beliau, serta mengamalkannya. Ini menebarkan sunnah.

فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢ

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabbnya”

Siapa yang ingin berjumpa dengan Rabbnya dalam keadaan diridhai, maka hendaknya dia memurnikan akidah (dengan tidak berbuat syirik) dan menebarkan sunnah (dengan beramal shalih yang sesuai tuntunan Sunnah).

Syaikh As Sa’di mengatakan dalam tafsirnya mengenai ayat ini:

  1. “Maksud ayat ini adalah, katakan wahai Muhammad kepada orang-orang kafir dan selain mereka, bahwa aku adalah manusia seperti kalian, aku bukan sesembahan, aku bukan sekutu dalam kerajaan Allah, aku tidak tahu ilmu gaib, aku pun tidak memiliki kekuasaan seperti Allah. Sesungguhnya aku manusia seperti kalian, aku hanyalah salah satu hamba Rabbku.
  2. “Diwahyukan kepadaku bahwa sesembahan kalian hanyalah sesembahan yang satu”, hanya saja aku diberi kelebihan dibanding kalian, aku diberikan wahyu yang Allah berikan kepadaku. Wahyu yang membawa berita yang paling agung yaitu bahwa sesembahan kalian hanyalah sesembahan yang satu, tiada sekutu bagiNya, tidak ada satupun selain Dia yang berhak diibadahi walau seberat biji sawi. Aku menyeru kalian untuk beramal dengan sesuatu yang bisa mendekatkan diri kalian kepadaNya sehingga kalian medapatkan pahala dariNya dan terhindar dari azabNya.
Oleh karena itu Allah kemudian berfirman: “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh” yaitu amalan yang sesuai dengan syariat Allah. “dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabbnya” yaitu, janganlah dia merasa riya dalam amalannya, bahkan hendaknya dia beramal ikhlas mengharapkan wajah Allah semata.

Maka ayat ini menggabungkan keterangan tentang amalan yang ikhlas dan mengikuti sunnah Nabi. Amalan seperti itulah yang kan diterima dan pelakunya kan mendapatkan ganjaran. Adapun amalan yang tidak ikhlas atau tidak sesuai sunnah, maka itu hanyalah kerugian di dunia dan akhirat bagi pelakunya. Dia tidaklah mendapatkan kedekatan dari Sang Maula dan dia juga tiada mendapat keridhaanNya” (lihat Taisir Karimirrahman).

Apa kandungan surah al-Kahf dan keutamaan membacanya?
Al Kahfi adalah salah satu surat yang memiliki keutamaan yang luar biasa. Ada dua keutamaan surat al kahfi, pertama adalah karena Rasulullah selalu rutin membacanya di hari jumat karena akan diampuni segala dosa yang kita perbuat dari jumat ke jumat. Kedua adalah jaminan bagi orang yang membaca surat Al kahfi adalah akan terpelihara dari gangguan Dajjal. Dalam surat al kahfi sebenarnya diceritakan empat cerita besar yang bisa kita ambil pelajarannya. Surat al kahfi juga merupakan surat pekanan atau surat yang dianjurkan untuk dibaca di setiap pekan. Al kahfi juga bisa menolong kita dari gangguan Dajjal, maka ada nasihat yang berkata bahwa apabila kita bertemu Dajjal maka dipersilakan untuk meludah ke sebelah kiri dan membaca sepuluh ayat terakhir dari surat ini.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, ada empat cerita besar dalam surat al kahfi. 

Pertama, adalah cerita tentang pemuda yang menyelamatkan akidah mereka. Ya, ini cerita tentang Ashabul Kahfi. Peristiwa seluar biasa peristiwa ini adalah kemudahan bagi Allah swt untuk dijalankan. Cerita tentang pemuda yang tertidur selama beratus ratus tahun ini adalah tanda bahwa yang kita butuhkan adalah petunjuk agar kita tetap mampu bertahan di jalan yang lurus. Bahwa Allah swt selalu ada bagi hambanya yang membutuhkan pertolonganNya. Dari cerita ini kita bisa mengambil pelajaran, bahwa bersabarlah berada di dalam jalan dakwah, kita perlu keteguhan hati berada di dalam jalan ini, butuh kekonsistenan, butuh mental yang pantang menyerah.
Ada tiga ciri dari jalan dakwah. 

  1. Jalan dakwah adalah jalan yang sangat panjang dan berliku. Sehingga membuat jalan dakwah bukanlah jalan yang mudah untuk dilalui. 
  2. Jalan dakwah pun hanya memiliki sedikit SDM, hanya sedikit orang yang mau bersusah payah bertahan di jalan ini, karena banyak orang lebih senang berada di jalan yang menawarkan kemudahan dunia. 
  3. Beban di jalan dakwah sangat lah banyak, sehingga jelas dibutuhkan orang orang yang luar biasa untuk berada di dalamnya. Akidah adalah pondasi utama, sedang jalan dakwah adalah bukti konkret kita dalam berakidah.
Kedua adalah tentang fitnah harta. Ada dua orang berbeda yang memiliki sikap berbeda terhadap harta yang mereka punya. Satu orang sangat menyadari bahwa semua itu adalah titipan Allah, sedangkan yang lain lupa dan menganggap bahwa itu adalah kerja kerasnya. Satu hal lagi yang bisa kita dapatkan dari sin adalah kesadaran bahwa segala sesuatu yang kita miliki di dunia adalah titipan dari Allah, Allah berhak mengambil nya kapanpun Ia mau.
Ketiga adalah cerita tentang penyikapan kita terhadap ilmu. Kali ini cerita tentang nabi Musa yang serba tahu dan memiliki banyak sekali ilmu. Sampai pada suatu ketika nabi Musa khilaf dan lupa bersyukur serta lupa bahwa ada Allah yang Maha Mengetahui yang mengizinkannya untuk bisa mengetahui tentang banyak hal. Kemudian juga dilanjutkan tentang kisah nabi Musa dan nabi Khidir, yang pada akhirnya bisa menyadarkan bahwa nabi Musa bukanlah satu satunya orang yang paling pintar, dan selalu saja ada hal hal yang kita tidak ketahui dari dunia yang begitu luas. Kerendahhatian adalah hal yang aneh, dia pergi saat kita menyadari bahwa kita memilikinya. (2010)
Keempat adalah cerita tentang penyikapan terhadap kekuasaan. Cerita tentang benteng besi yang dibangun Zulkarnaen dan tidak bisa ditembus oleh siapapun. Kemudian ditutup dengan sepuluh surat terakhir berisi nasihat bahwa orang yang beriman dan beramal sholeh pasti akan masuk ke dalam surga. Maka yang harus kita lakukan sebagai umat yang merindukan surga adalah bekerja dengan amalan sholihah dan jangan pernah menduakanNya.

Surat al kahfi mengajarkan empat prinsip saat kita menjalani kehidupan di dunia yang penuh dengan ujian. Empat cerita yang mengajarkan hikmah dan jawaban tentang bagaimana penyikapan terbaik terhadap segala ujian yang pasti kita alami saat menjalani kehidupan. Manusia terbaik adalah manusia yang mampu mengambil pelajaran dalam kehidupan ini, maka ketika Al Kahfi mengajarkan banyak pelajaran semoga kita semua mampu untuk menarik hikmah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan.

Surah al-Kahf (18) seperti surah-surah lain al-Qur’an memiliki banyak keutamaan dan tipologi yang khas. Keagungan dan keutamaan surah al-Kahf telah dinukil dalam banyak riwayat dari Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As. Keutamaan itu seperti bahwa terdapat tujuh puluh ribu malaikat yang melepas kepergiannya tatkala diwahyukan; atau barang siapa yang membacanya pada hari Jum’at maka Allah Swt mengampuninya hingga Jum’at berikutnya dan barang siapa yang membaca surah al-Kahf pada setiap malam Jum’at maka ia mati syahid ketika meninggal dunia dan kelak dibangkitkan dengan para syahid dan masih banyak lagi keutamaan yang lain.

Ajaran-ajaran dan kandungan-kandungan surah ini dimulai dengan puji dan pujaan kepada Allah Swt dan berakhir dengan iman dan amal saleh. Ayat-ayat ini lebih banyak bercerita tentang mabda (hari permulaan),ma’âd (hari akhirat), berita gembira terhadap pelbagai karunia dan ancaman terhadap azab-azab kiamat.

Di antara poin menarik pada surah ini adalah menyinggung tentang tiga kisah: Pertama, kisah Ashab al-Kahf. Kedua, kisah Musa dan Khidir. Dan ketiga, kisah Dzulqarnain.

Menyimak pertanyaan yang diajukan terkait dengan keutamaan dan kedudukan demikian juga tentang ajaran-ajaran surah al-Kahf maka ada baiknya juga kami menjelaskan jawaban dalam dua bagian:

Kedudukan dan Tipologi Surah al-Kahf

Surah al-Kahf (18) seperti surah-surah lain al-Qur’an memiliki banyak keutamaan dan tipologi dimana keagungan dan keutamaan ini telah dinukil dalam banyak riwayat dari Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As. Jelas bahwa kedudukan ini disebabkan oleh pentingnya ajaran-ajaran dan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.

Pada kesempatan ini kami akan menyebutkan beberapa contoh dari sabda-sabda para maksum As terkait dengan nilai dan kedudukan surah al-Kahf dan ganjaran orang-orang yang membacanya:

Rasulullah Saw bersabda kepada para sahabatnya, “Apakah kalian ingin Aku perkenalkan sebuah surah yang dilepas oleh tujuh puluh ribu malaikat tatkala diwahyukan dan keagungannya memenuhi langit dan bumi?” Mereka berkata, “Iya.” Rasulullah Saw bersabda, “Dialah surah al-Kahf. Barang siapa yang membacanya pada hari Jumat maka Allah Swt akan mengampuninya hingga Jumat berikutnya.”

Pada hadis lainnya dari Rasulullah Saw kita membaca, “Barang siapa yang menghafal sepuluh ayat dari surah al-Kahf maka Dajjal tidak akan dapat mencelakakannya dan barang siapa yang menghafal seluruh surah maka ia akan masuk ke dalam surga.

Dari Imam Shadiq As juga diriwayatkan, “Setiap malam Jum’at maka ia mati syahid ketika meninggal dunia dan kelak dibangkitkan dengan para syahid dan akan dihimpunkan dalam barisan para syahid di hari kiamat.

Selayang Pandang Ajaran-ajaran Surah al-Kahf

Ajaran-ajaran dan kandungan-kandungan surah ini dimulai dengan puji dan pujaan kepada Allah Swt dan berakhir dengan iman dan amal saleh. Pada kesempatan ini, kami akan jelaskan bagian-bagian terpenting dari pesan-pesan yang disampaikan dalam surah al-Kahf:

Kandungan surah ini seperti surah-surah Makkiyah lebih banyak menjelaskan tentang mabda (hari permulaan penciptaan), ma’ad (hari akhirat), berita gembira terhadap pelbagai karunia dan ancaman terhadap azab-azab kiamat.

Surah ini menyinggung tentang masalah-masalah penting yang dibutuhkan kaum Muslimin pada hari-hari berat (kiamat). Masalah-masalah tersebut adalah bahwa satu kelompok dalam kondisi minoritas meski sangat sedikit dari sisi jumlah namun mereka tidak boleh menyerah di hadapan kaum mayoritas yang sepintas terlihat kuat, melainkan mereka harus bersikap sebagaimana Ashâb al-Kahf yang merupakan kelompok kecil harus memisahkan diri mereka dari atmosfer dan lingkungan yang rusak dan penuh noda kemusyrikan dan akhirnya bangkit melawan mereka. Apabila mereka mampu maka mereka harus melanjutkan perlawanan dan harus melakukan hijrah apabila tidak mampu.

Demikian juga di antara kisah surah ini adalah kisah dua orang, pertama adalah seorang yang sangat kaya dan sejahtera namun tidak beriman. Dan kedua seorang fakir dan miskin yang beriman, namun ia sekali-kali tidak pernah tunduk dan menyerahkan kemuliaannya di hadapan orang kaya yang tidak beriman tersebut dan selagi mampu, ia memberikan nasihat dan bimbingan kepadanya dan pada akhirnya ia menyatakan kebenciannya terhadap orang itu dan kemenangan berada pada orang miskin tersebut.

Bagian lainnya dari surah ini adalah kisah yang menyinggung tentang Nabi Musa dan Nabi Khidir (meski nama Khidir tidak disebutkan dalam surah ini), bagaimana Nabi Musa As di hadapan perbuatan-perbuatan yang nampak secara lahir perkasa namun batinnya penuh mengandung kemaslahatan tidak mampu bersabar, namun setelah menerima pelbagai penjelasan Nabi Khidir terhadap kedalaman masalah ia menyatakan penyesalannya.

Bagian lain dari surah ini adalah kisah Dzulqarnain, bagaimana ia melewati dunia timur dan barat, berhadapan dengan pelbagai kaum yang memiliki tradisi dan kebiasaan yang berbeda-beda dan pada akhirnya dengan bantuan sekelompok orang bangkit melawan konspirasi Ya’juj dan Ma’juj dan membuat benteng besi menghadang laju pasukan Ya’juj dan Ma’juj.

Di antara poin menarik surah al-Kahf ini adalah menyinggung tentang tiga kisah: Pertama, kisah Ashâb al-Kahf. Kedua, kisah Musa dan Khidir. Dan ketiga, kisah Dzulqarnain.

Patut untuk diketahui bahwa berbeda dengan kisah-kisah al-Qur’an yang terkadang merupakan sebuah kisah yang disebutkan dalam beberapa surah al-Qur’an, namun ketiga kisah ini tidak disebutkan pada surah-surah lainnya – kendati hanya pada surah al-Anbiya ayat 96 menyinggung tentang masalah Ya’juj dan Ma’juj tanpa menyebutkan nama Dzulqarnain – dan hal ini merupakan salah satu tipologi surah al-Kahf

Keutamaan surat Al Kahfi

Imam Qurthubi menyebut banyak keutamaan dalam membaca ayat ayat yang ada dalam surat Al Kahfi. Surat Al Kahfi adalah surat ke 18 yang bersi kisaha Ashabul Kahfi. Beberapa keutamaan dari ayat-ayat dalam surat Al Kahfi adalah sebagai berikut:

Sumber bagi ketenangan

Dalam hadist riwayat Al Bara’, ia berkata: Ketika ada seorang laki-laki sedang membaca surat al Kahfi tiba-tiba ia melihat binantang kendaraannya berlari. Lalu ia melihat tiba-tiba ada awan atau mendung. Lalu ia datang kepada Rasulullah Saw dan melaporkan hal itu.

Rasulullah Saw bersabda: Itu adalah ketenangan yang diturunkan karena Al Quran atau turun karena Al Quran (HR Attirmidzi)

Mendapatkan penjagaan dari Dajjal

Hadist dari Abu Darda bahwa Nabi Saw bersabda : Barang siapa membaca tiga ayat dari awal surat Al Kahfi, ia dijaga dari Dajjal (HR Attirmidzi)

Hadist Muslim juga mengatakan : Barang siapa mendapatkannya, yakni Dajjal, hendaklah ia membaca awal surat Al Kahfi.

Ampunan dari jumat hingga jumat berkutnya

Ishak bin Abdullah bin Farwah berkata: Sesungguhnya Nabi Saw bersabda:

“Maukah kalian aku tunjukkan sebuah surat yang diikuti sepuluh ribu malaikat yang memenuhi ruang antara langit dan bumi, dan bagi orang yang membacanya juga seperti itu? mereka menjawab: Benar wahai Rasulullah. Beliau bersabda: ” Surat Ashabul Kahfi”. Barang siapa membacanya pada hari jumat, Allah mengampuninya hingga jumat berikutnya dengan tambahan tiga hari, Allah memberinya cahaya yang sampai ke langit, dan Allah menjaganya dari fitnah Dajjal.

Disinari cahaya antara dirinya hingga Ka’bah

Muadz bi Anas berkata bahwa Nabi Saw bersabda :

Barang siapa membaca awal surat Al Kahfi dan akhirnya, maka baginya cahaya dari kepala hingga kaiknya. Dan Barang siapa membaca semuanya pada malam hari, baginya cahaya dari langit sampai ke bumi.

Al Waili, Ad Darimi dan Abu Sa’id al Khudri ia berkata : Barang siapa membaca surat al kahfi pada malam jumat, ia disinari cahaya antara dirinya dan baitul Atiq (ka’bah).

Perlindungan terhadap kaum Musyrikin

Kaab berkata : Nabi saw melindungi diri kaum Musyrikin dengan tiga ayat yang ada didalam surat al Kahfi:

Firman Allah : Sesungguhnya Kami telah menjadikan tutup atas hati mereka sehingga mereka tidak memahaminya dan Kami telah menjadikan pula ditelinga mereka sumbatan. Dan sekalipun kami menyeru kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapatkan petunjuk selama-lamanya. (Al Kahfi : 57)

Pembangun dalam shalat Malam

Dari Ibnu Abbas, seorang laki-laki berkata kepadanya: Aku berniat untuk bangun satu jam dimalam hari. Lalu aku tertidur lelap. Ibnu Abbas berkata: Apabila kamu ingin bangun tengah malam jam berapapun yang dikehendaki, maka jika kamu hendak ke pembaringan bacalah : Katakanlah seandainya laut sebagai tinta bagi kalimat-kalimat Tuhanku (Al Kahfi : 109) sampai akhir surat, maka Allah akan membangunkanmu kapanpun kamu menghendaki dibangunkan pada malam itu.

MERAGA SUKMA DENGAN AMALAN SURAH AL-KAHFI
Jika ingin bertemu dengan ruh diri sendiri atau ruh orang lain, maka bacalah 4 ayat terakhir dari surah Al-Kahfi. Kiranya, penjelasan yang sepertinya naïf ini bukanlah isapan jempol semata….

Al-Qur’an adalah kitab suci ummat Islam yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW lewat perantara Malaikat Jibril as. Kitab ini terdiri dari 30 juz, 114 surah, yang isi kandungannya menyelimuti seluruh aspek kehidupan dunia dan akhirat. Ada masalah Tauhid, hukum, ilmu pengetahuan, juga kisah para anbiya dan mursalin atau kisah orang-orang shaleh yang begitu gigih dan berani berkorban demi mempertahankan iman kepada Allah SWT. Salah satunya adala kisah para pemuda beriman kepada Allah pengikut Nabi Isa as, di masa pemerintahan raja Dikyanus (Dicius). Merekalah yang disebut sebagai Ashabul Kahfi. Kisah tentang mereka terdapat dalam Surah Al-Kahfi.

Selain kisah para Ashbul Kahfi, di dalam surah ini juga diceritakan tentang Nabi Musa as yang disertai salah seorang muridnya mencari Nabi Khidir as dipertemuan dua arus laut untuk belajar ilmu gaib, namun sayang Nabi Musa tidak sabar sehingga tidak bisa menimba ilmu tersebut.Menurut para ahli ilmu hikmah, jika seseorang membaca surah Al-Kahfi pada malam Jum’at satu kali, maka akan diampuni oleh Allah dosanya selama satu minggu sebelumnya, dan satu minggu sesudahnya.
Sedangkan ahli hikmah lainnya mengatakan, jika ingin bertemu dengan ruh diri sendiri atau ruh orang lain, maka bacalah 4 ayat terakhir dari surah Al-Kahfi. Kiranya, penjelasan yang sepertinya naïf ini bukanlah isapan jempil semata. Penulis adalah seorang saksi yang telah membuktikan kebenarannya.

Salah satu kitab ilmu hikmah yang penulis baca dan amalkan adalah Kitab Mujarabat. Seseorang pernah mengamalkan membaca surah Al-Ikhlas disertai puasa mutih agar bisa bertemu dengan khodamnya yang bernama Syekh Abdul Wahid, namun tidak berhasil untuk bertemu dengan khodam tersebut.

Kemudian ada yang mencoba membaca  4     ayat terakhir surah Al-Kahfi sebanyak 160 kali. Apa yang terjadi?

Menurut petunjuk kitab Mujarabat tersebut, jika Anda ingin bertemu dengan ruh diri Anda sendiri, atau ruh orang lain, maka bacalah 4 ayat terakhir surat Al-Kahfi sebanyak 160x. Diceritakan bahwa amalan ini pernah diamalkan oleh seseorang di dalam penjara di zaman Belanda. Pada waktu tengah malam, orang tersebut didatangi oleh ruh dirinya sendiri yang mengatakan bahwa dia sebentar lagi akan dibebaskan dari penjara. Tidak lama kemudian, orang tersebut benar-benar dibebaskan dari penjara.

Cerita tersebut, sangat menarik  untuk mengamalkan 4 ayat terakhir surah Al-Kahfi. Ternyata, butuh waktu berjam-jam untuk menyelesaikan amalan tersebut. Namun, Alhamdulillah, ada yang  berhasil menyelesaikannya dengan baik. Setelah itu, saya membakar hio kemudian berbaring di atas dipan. Posisi tubuh telentang dengan kedua tangan disedekapkan di dada seperti orang shalat sambil berdzikir.

Sebenarnya, tuntunan dzikir seperti ini tidak ada didalam kitab tersebut. Hal ini saya lakukan atas inisiatif sendiri.
Ketika berdzikir “Khafi Allah…Allah,” dirasakan suatu kenikmatan yang luar biasa sampai suatu ketika, Setelah sadar dengan pengalaman tersebut, saya bertambah yakin dengan kebenaran petunjuk di dalam kitab. Karena itulah, pengalaman pertama melihat ruh diri sendiri di malam Jum’at tersebut, membuat penulis ingin mengulanginya kembali.

Sama seperti malam Jum’at sebelumnya, kali ini pun dilakukan prosesi yang serupa. Hingga sampailah ketika  sedang asyik dengan dzikiran, tiba-tiba dikagetkan dengan kemunculan orang-orang tinggi besar.

Ya, tinggi badan orang-orang itu dari lantai sampai flafon. Tubuhnya yang tinggi besar ditumbuhi oleh bulu-bulu hitam pekat. Tubuh mereka juga hanya dibungkus dengan cawat putih, dengan mata sebesar bola pingpong berwarna merah.  Mereka melempari dengan obor-obor yang menyala. Dalam hati  berpikir, “Pasti mereka adalah orang tua dari anak-anak yang malam Jum’at sebelumnya menggangguku. Tentu orang tua mereka menuntut balas padaku!”

Pada malam kejadian tersebut,  merasakan tubuh saya dapat naik dan berputar-putar seperti spirial. Pertama menembus atap rumah. Saya tentu kaget bukan kepalang. Terlebih saat menengok ke bawah, maka saya dapat melihat tubuh sendiri yang masih telentang dengan posisi tangan bersedekap seperti orang shalat.

Tubuh  terus naik dengan kecepatan yang tinggi. Tetapi di saat yang sama ada kenikmatan luar biasa yang belum pernah dirasakan seumur hidup. Dalam kenikmatan tersebut,  membatin, “Pastilah saya sedang dalam perjalanan menuju ke alam kematian. Alangkah enaknya jika saya mati seperti ini. Karena menurut cerita, kalau orang mau mati, sakitnya luar biasa sewaktu ruhnya mau keluar dari raga. Tetapi yang di rasakan adalah sebaliknya, kenikmatan yang luar biasa.”

Sejak kejadian tersebut, tidak berani lagi mengamalkan 4 ayat terakhir surah Al-Kahfi tersebut. Mengapa? Sebab sangat takut tidak bisa kembali lagi dan mati, untuk kemudian dikubur. Padahal bisa jadi, saat itu belum semestinya mati.

Beberapa tahun kemudian seorang yang ahli dalam ilmu Hikmah. Ternyata, menurut H. Hasyim, salah seorang berderajat Waliyullah menjelaskan bahwa sebenarnya kejadian  itu bukan menuju alam kematian, tetapi menuju suatu tempat dimana di tempat tersebut akan diajarkan ilmu laduni.

Sedangkan guru spiritual, mengatakan, bahwa orang yang mengamalkan 4 ayat terkahir surah Al-Kahfi, ruhnya akan menjadi ringan. Tapi orang yang mengamalkan 4 ayat itu, sebelumnya harus mempunyai pagaran badan yang kuat agar tidak diganggu makhluk gaib sewaktu ruh atau sukmanya meninggalkan badan.

Oleh guru spiritual ini, meminta untuk tidak melakukan meraga sukma untuk beberapa waktu. Amalan untuk membuat pagaran badan agar kalau sedang meraga sukma tidak akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. Amalan untu pagaran badan ini berupa puasa selama 7 hari, serta wirid selama 7 malam berturut-turut.

Ahamdulillah, setelah selesai menjalani ritual pagaran badan, penulis diajak meraga sukma oleh guru. Setelah itu dengan mudah melakukan meraga sukma berkat mengamalkan 4 ayat terakhir surah Al-Kahfi.

Semoga ada hikmahnya. Dan jangan sekali-kali mendalami ilmu gaib tanpa bimbingan seorang guru, sebab bisa fatal akibatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar