Senin, 23 Mei 2011

JERITAN RUH KEPADA RABBNYA

وَالله يَدْعُوْا اِلَى دَارِ السَّلاَمِ وَيَهْدِى مَنْ يَّشَآءُ اِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ

“Allah menyeru (manusia) ke Darus Salam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam).” (QS. 10 : 25)

وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِى مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِى مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِّى مِنْ لَّدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيْرًا

Dan katakanlah : “Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (QS. 17 : 80)

Allah S.W.T. telah menyeru manusia untuk memasuki surga, yakni suasana hidup dan kehidupan yang penuh kesejukan kesegaran ketentraman saling kasih sayang tanpa ada penekanan satu dengan yang lain. Untuk bisa menuju ke sana (ke surga), maka Allah dengan rahmat dan kasih sayangnya menurunkan kitab yang tidak ada keraguan dan kebengkokan dan dikirim Rasul S.A.W. untuk menjelaskan kitab serta teladan dalam hidup dan kehidupan. Namun, sungguh manusia itu dzalim lagi kufur terhadap Rabbnya.


Kedzaliman dan kekufuran bukan terletak pada ucapan tetapi dalam sikap dan perbuatannya. Lisannya berucap bahwa Allah-lah sembahannya, tetapi sikap perbuatannya meng-Ilahkan dunia. Lisannya berucap bahwa Qur’an sebagai petunjuk hidup, tetapi kitab-kitab Yahudi menjadi bacaan dan pegangannya. Lisannya berucap bahwa Rasulullah Muhammad S.A.W. teladan hidup dan kehidupannya, tetapi perilaku Yahudi-Nasrani, adat-istiadat nenek moyang panutan sikap dan perbuatannya dalam hidup dan kehidupan.

Demikian itu karena manusia terlalu sombong dan melampaui batas. Dikaruniai modal dasar ruh, rasa, hati, aqal dan nafsu agar masing-masing tumbuh kembang bebas menuju Robbnya, malah nafsu dan logika yang ditumbuh suburkan dengan menekan ruh, sehingga ruh merintih merasa kesakitan tidak bisa berkomunikasi dengan Robbnya, akibat ulah nafsu dan logika yang tidak mau kompromi untuk memenuhi kepuasan tuntutan hidup duniawi.
Jeritan Ruh mengadu kepada Robbnya

Melihat ruh selaku tetesan kesucian-Nya … (Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (QS. Al Hijr (15) : 29) … sedang terinjak-injak oleh nafsu dan logika, maka sang Ar Rahman dan Ar Rahiim menyeru kepada ruh agar bermohon kepada-Nya, dengan susunan bahasa kata sebagaimana firman-Nya pada QS. 17 : 80 berikut ini.

وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِى مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِى مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِّى مِنْ لَّدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيْرًا

Dan katakanlah : “Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (QS. Al Israa (17) : 80)

Atas jeritan permohonan ruh, akibat terinjak-injak nafsu dan logika, maka Allah memberikan pertolongan-Nya sebagaimana firman Allah pada QS. Al Anfaal (8) : 17 berikut:

فَلَمْ تَقْتُلُوْهُمْ وَلكِنَّ اللهَ قَتَلَهُمْ وَمَارَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلكِنَّ اللهَ رَمَى وَلِيُبْلِىَ الْمُؤْمِنِيْنَ مِنْهُ بَلآَءً حَسَنًا إِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mu’min, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Anfaal (8) : 17)

Demikianlah Allah, begitu mudah Dia Allah sang Ar Rahman melimpahkan rahmat karunianya kepada hamba yang bersungguh-sungguh memohon kepada-Nya. Suatu pertanda bahwa Allah itu dekat dan sangat dekat dan mudah dihubungi. Sebagaimana firman-Nya.: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al Baqarah (2) : 186). Namun, sungguh rahmat Allah mendahului murka Allah, artinya apabila rahmat pertolongan Allah telah diturunkan tetapi tidak didayaguna-manfaatkan selaras dengan kehendak-Nya, maka rahmat itu akan berubah menjadi laknat atau azab. Sebagaimana firman-Nya pada QS. 17 : 8 berikut ini.

…عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يَرْحَمَكُمْ وَإِنْ عُدْتُّمْ عُدْنَا وَجَعَلْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَافِرِيْنَ حَصِيْرًا

“Mudah-mudahan Tuhanmu akan melimpahkan rahmat(Nya) kepadamu, dan sekiranya kamu kembali kepada (kedurhakaan), niscaya Kami kembali (mengazabmu) dan Kami jadikan neraka Jahannam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS. Al Israa’ (17) : 8)
Rahmat Terbesar dari Allah S.W.T.

Rahmat terbesar yang Allah turunkan kepada hambanya yang menjerit merintih meminta pertolongan untuk dikeluarkan dari tekanan nafsu dan logika adalah berupa kitab petunjuk jalan lurus untuk jumpa kembali kepada Robb, yakni Al Qu’an. Agar rahmat tetap menjadi rahmat, maka serba-serbi dalam berbuat, harus membuka Qur’an untuk menjangkau terbuka lurus pandangan terbuka pada satu titik (.) yakni Aku Allah.

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al Qur’an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan didalamnya; (QS. Al Kahfi (18) : 1) … Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri. (QS. An Nahl (16) : 89). Bagaimana bisa berpandangan lurus terbuka pada satu titik Allah agar rahmat tetap menjadi rahmat? Allah hanya bisa dihubungi dengan hati bersih murni. Hati bersih murni akan terjadi apabila apa yang dilihat mata dan didengar telinga sama sekali tidak berpengaruh (putus tali) dalam hati.
Secara rinci ciri-ciri hati bersih murni adalah :

Lapang dada karena tidak terpengaruh oleh apa dan siapa, kecuali Allah. Laksana sebutir buah kelapa yang terlempar di tengah laut. Walaupun berada di tengah-tengah gelombang ia tidak terpengaruh oleh besarnya gelombang lautan kehidupan.
Suasana hati terasa sejuk segar, sejuk karena terlepas dari panasnya masalah kehidupan di lingkunagn terbuka, dan segar karena bangkit kembali dari kelayuan setelah memperoleh siraman air segar dari langit berupa siraman ruhani kalam Ilaahi.

Walaupun mata kepala melihat fenomena dan telinga mendengar suara/informasi, namun apa-apa yang dilihat dan didengar tidak berpengaruh (putus tali hubungan) ke dalam hati atau tidak dicerna hati tidak menggetarkan hati. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa berbagai omongan yang tidak selaras dengan Qur’an dan Sunnah Rasul hanya akan membikin hati menjadi kotor dan busuk. Keyakinannya adalah bahwa hati hanya untuk Allah, sedangkan Aqal untuk memikirkan ciptaan Allah dalam rangka ketundukan hati kepada-Nya.

Berkondisi cukup setimbang sempurna, tampil dengan lemah lembut. Kondisi demikian merupakan buah hasil dari lepasnya hati dengan segala yang dilihat mata dan didengar telinga. Dengan kelemah-lembutan inilah maka akan bersambung dengan Aku Allah. Tersambungnya hati dengan Allah, maka akan dirasakan ketenangan. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram (tenang) dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram (tenang). (QS. Ar Ra’d (13) : 28). Wujud tersambungnya hati dengan Allah, maka segala yang tidak dari Allah dan Rasul-Nya akan ditolak.

Sifat terpuji tali sambung dengan Allah S.W.T

Tali sambung dengan Allah S.W.T adalah sifat terpuji, artinya hanya dengan sikap ucap dan perbuatan terpujilah manusia selaku hamba Allah dapat berhubungan langsung dengan Allah S.W.T apa yang dimaksud dengan sifat terpuji? Yakni wujud tampilan ketaatan kepada Allah yaitu segala sikap ucap dan perilakunya senantiasa selaras dengan kehendak Allah. Manusia yang demikianlah yang akan menjadi hamba kecintaan Allah.

Ciri manusia hamba Allah taat atas dasar cinta, maka rahmat terbesar Allah akan dikaruniakan kepadanya, berupa pertolongan dalam segala hal, mata dan THTnya adalah mata dan THTnya Allah. Sebagaimana firman-Nya pada QS. Al Israa’ (17) : 8 yang telah dikutip di atas, dan Hadits qudsi berikut:

“Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan hal-hal yang sunnat, sehingga ia kusenangi dan Ku-cintai. Karenanya Aku-lah yang menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, penglihatannya yang dengannya ia melihat, lidahnya yang dengannya ia bertutur kata, dan aqal yang dengannya ia berfikir . apabila ia berdo’a kepada-Ku, Aku perkenankan do’anya. Apabila ia meiminta sesuatu kepada-Ku niscaya Aku mengaruniainya, dan apabila ia meminta pertolongan kepada-Ku, niscaya Aku menolongnya. Ibadah yang dilakukannya kepada-Ku yang paling Aku senangi ialah menunaikan kewajibannya dengan sebaik-baiknya untuk-Ku.” (HQR. At-Thabrani, dalam Kitab Al-Kabir yang bersumber dari Abu Umamah)

Memperhatikan ayat Qur’an pada Surah Al Anfaal (8) :17 dan Hadits Qudsi di atas betapa besar rahmat pertolongan Allah yang diberikan kepada hamba yang taat atas dasar cinta dengan tampilan akhlaq terpuji. Hamba ini akan mampu mengetahui segala sesuatu dan berilmu sehat setimbang pelestari kesetimbangan semesta. Karena mata, THT, aqal dijadikan sebagai tampilan kehendak Allah. Inilah yang dinamakan jumpa Allah dalam Asma-Nya. Yang harus diperhatikan bahwa rahmat bisa jadi berubah menjadi laknat. Siapa yang terlaknat? Mereka yang pernah menikmati rahmat tali hubung dengan Allah, namun masih juga menyambungkan tali hubung dengan apa yang dilihat mata dan apa yang didengar telinga. Itulah orang yang tidak taat, sebagaimana Iblis yang terlaknat, karena tidak mau sujud kepada Adam A.S, akibat terpengaruh oleh penglihatan mata kepala melihat Adam sebagai garis.

Garis penghalang ruh jumpa Robb

Tantangan yang harus dihadapi ruh untuk dapat kembali berjumpa robbnya semenjak di dunia ini adalah adanya kehidupan yang berbentuk dua garis. Kehidupan yang berbentuk garis pertama adalah kehidupan yang tampaknya manis dan lezat. Sedangkan kehidupan garis kedua adalah kehidupan yang tampaknya pedih dan sakit. Kedua kehidupan yang berbentuk garis ini senantiasa akan menggetarkan hati, jika hidup mengandalkan THT kepala. Apa yang dilihat mata dan didengar telinga senantiasa dicerna oleh otak demi kepentingan isi perut, akibatnya akan menimbulkan gangguan-gangguan dalam hati. Kehidupan demikan merupakan ujian bagi manusia, apa tetap kuat-tegar atau semakin melemah-tak berdaya.

Agar hati terbebas dari gangguan-gangguan kehidupan dua garis, hingga ruh dapat terlepas bebas terbang mengembara menjumpai Robbnya, maka harus senantiasa beraktivitas yang diawali dengan membuka Qur’an dalam rangka mempertahankan tali hubung dengan Aku Allah. Dengan aktivitas yang didahului membuka Qur’an membaca sesuatu dengan Aku Allah maka akan memperoleh tambahan karunia. Sebab membuka Qur’an dan membaca dengan Aku Allah berarti membuka memulai menggali hikmah-hikmah yang ada dibalik garis.

Terbacanya segala hikmah dibalik kehidupan garis berarti melepaskan ruh untuk bebas terbang mengembara menjangkau masuk ruang kosong bersama-sama dengan para malaikat untuk menjemput berita-berita besar dari Ar-Rohman. Barangsiapa yang hidupnya hanya memandang titik Allah., maka ruhnya akan terlepas dari belenggu kehidupan garis, dan dia senantiasa akan mengembara bebas didampingi seribu Malaikat. Sebagamiana firman-Nya: “(ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu deperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut”. (QS. Al Anfaal (8): 9). Berita-berita besar yang telah diperoleh itu kemudian didayaguna-manfaatkan untuk merombak kehidupan di lingkungan terbuka.

Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, dimuka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah S.W.T. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (QS. Ar Ra’d (13) :11) Dari hidup berpandangan garis semata, menuju hidup yang berpandangan titik. Sebab esensi kehidupan bukan merupakan hamparan garis tebal, melainkan berpandangan titik. Sebab esensi kehidupan bukan merupakan hamparan garis tebal, melainkan hamparan titik yang membentuk garis.

Hanya hidup dengan pandangan titiklah yang akan melahirkan keilmuan yang mampu menjaga melestarikan kesetimbangan semesta ini. Ciri hidupnya berpandangan titik adalah aqal dan konsep keilmuannya senantiasa berdasarkan wahyu atau ilham yang dijemput oleh ruh yang telah bebas lepas mengembara menjumpai Rabbnya.

Begitulah ruh selaku titisan kesucian Allah yang telah merasa ditekan oleh nafsu dan logika maka dia akan menjerit memohon pertolongan atas ijin-Nya kepada Rabbnya agar dilepaskan dari belenggu nafsu dan logika. Dan Allah sang Ar-Rahman sungguh Maha Mengetahui dan Maha Mendengar, lagi Maha Mengabulkan do’a hambanya yang sungguh-sungguh memohon kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيْبٌ أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِي وَلْيُؤْمِنُوْا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. 2 : 186)
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. 29 : 69)

Apakah Orang Yang Meninggal Dunia Mengetahui Ziarah Orang Yang Hidup?

Orang yang meninggal dunia dapat mengetahui ziarah orang yang sudah meninggal dunia berdasarkan dalil:

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَلاَحِقُونَ أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ .(رواه مسلم)

“Salam sejahtera atas kalian wahai para penghuni kubur dari orang-orang mukmin dan muslim, sesungguhnya atas kehendak Allah kami akan bersua dengan kalian. Kami memohon afiat kepada Allah bagi kami dan bagi kalian.” (HR. Muslim).

Al-Hafizh Abu Muhammad Abdul-Haqq Al-Asybaily berkata: “Disebutkan bahwa orang yang sudah meninggal dunia bisa menannyakan orang-orang yang masih hidup, bisa mengetahui perkataan dan perbuatan mereka.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أبو عمر بن عبد البر من حديث ابن عباس عن النبي ما من رجل يمر بقبر أخيه المؤمن كان يعرفه فيسلم عليه إلا عرفه ورد عليه السلام.

Abu Umar bin Abdul-Barr menyebutkan dari hadits Ibnu Abbas, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Tidaklah seseorang melewati kuburan saudaranya sesame Mukmin yang dikenalnya, lalu dia mengucapkan salam kepadanya, melainkan dia mengenalnya dan membalas salamnya.” (Hadits ini terdapat di dalam kitab Ibnul Qayyim).

· Apakah Roh Orang Yang Meninggal Dunia Bisa Saling Bertemu, Berkunjung dan Mengingat?

Roh itu ada dua macam; Roh yang mendapatkan siksaan dan roh yang mendapat kenikmatan. Roh yang mendapat siksaan disibukkan oleh siksaan yang menimpanya, sehingga ia tidak bisa saling berkunjung dan bertemu. Sedangkan roh-roh yang mendapat kenikmatan mendapat kebebasan dan tidak dibelenggu, sehingga mereka saling berkunjung dan bertemu serta mengingatkan apa yang pernah terjadi di dunia dan apa yang akan dialami para penghuni dunia lainnya. Dan setiap roh bersama pendampingnya, yang menyerupai amalnya. Allah berfirman:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا.(سورة النساء: 69).

“Dan siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiqin, syuhada dan orang-orang yang shalih, dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisa’: 69).

Kebersamaan ini berlaku di dunia, di alam barzakh dan di hari pembalasan. Di tiga ala mini seseorang bersama orang lain yang dicintainya.

Adapun sebab diturunkannya ayat di atas adalah, sebagaimana diceritakan oleh Jarir, beliau meriwayatkan dari Manshur, dari Abudh-Dhuha, dari Masruq, dia berkata; “Para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada beliau, “Tidak seharusnya kita berpisah dengan engkau di dunia ini. Jika engkau meninggal, maka engkau akan ditinggikan di atas kami, sehingga kami tidak bisa melihat engkau.” Maka Allah menurunkan ayat di atas.

Apakah Roh Orang Yang Hidup Bisa Bertemu Dengan Roh Orang Yang Sudah Meninggal?

Bukti dan penguat bahwasanya roh orang yang masih hidup dapat bertemu dengan orang yang sudah meninggal, atau roh orang yang masih hidup dapat bertemu dengan orang yang masih hidup adalah firman Allah:

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya, maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.” (QS. Az-Zumar: 42).

Dan di antara buktinya, Al-Abbas bin Abdul Muththalib berkata: “Aku benar-benar ingin bertemu Umar dalam mimpi. Sebab terakhir aku bertemu dengannya hampir setahun yang lalu. Maka ketika aku benar-benar bermimpi bertemu dengannya, dan dia sedang mengusap keringat di dahinya, dia berkata; “Inilah waktu kosongku. Hampir saja tempat semayamku berguncang, kalau tidak karena aku bertemu orang yang penuh belas kasih.”

Perlu diketahui, mimpi itu ada tiga macam:
  1. Mimpi yang datangnya dari Allah.
  2. Mimpi yang datangnya dari syetan.
  3. Mimpi yang datangnya dari bisikan sanubari.
Mimpi yang benar ada beberapa macam, seperti:
  1. Semacam ilham yang disusupkan Allah ke dalam hati hamba. Hal ini berupa bisikan Allah terhadap hamba-Nya ketika dia tidur, seperti yang dikatakan Ubadah bin Ash-Shamit, dll.
  2. Mimpi yang disusupkan malaikat yang memang sudah ditugaskan untuk itu.
  3. Roh orang yang masih hidup bertemu dengan roh orang yang sudah meninggal dunia, baik berupa keluarga, rekan atau siapa pun dia.
  4. Roh yang naik ke hadapan Allah lalu Allah berfirman kepadanya.
Ibnu Qayyim berkata: “Aku diberitahu tidak hanya oleh satu orang saja yang sebenarnya tidak condong kepada Syaikhul Islam setelah dia meninggal dunia. Dalam mimpinya itu dia bertanya tentang beberapa masalah fara’idh yang dianggapnya rumit, dan juga masalah-masalah lain, yang kemudian dijawab dengan benar oleh Syaikhul-Islam.

Roh Ataukah Badan yang Mati?

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama berkata: “Yang mati itu adalah roh. Dia merasakan mati karena dia jiwa, dan setiap jiwa akan merasakan mati. Dalilnya:

“Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 27) “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali Wajah Allah.” (QS. Al-Qashash: 88)

Pendapat kedua berkata: “Roh itu tidak mati, karena dia diciptakan agar kekal dan yang mati itu adalah badan. Meenurut mereka, sekiranya roh itu mati, tentu dia tidak akan merasakan kenikmatan dan siksaan. Dalilnya:

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Rabbnya dengan mendapat rezki, mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal dibelakang.” (QS. Ali Imran: 169-170)

Pendapat yang benar, kematian jiwa adalah terpisahnya jiwa dari badan dan keluarnya dari sana. Jika yang dimaksud kematiannya seperti ini, maka memang ia bisa mati. Tapi jika yang dimaksudkan bahwa jiwa itu hilang dan lenyap sama sekali, maka ia tidak mati dengan gambaran ini, tapi ia tetap kekal dalam kenikmatan atau siksaannya. Nash juga menjelaskan hal yang seperti ini, hingga Allah mengembalikan jiwa itu ke badannya.

· Apakah Setelah Roh Berpisah Dari Badan, Ia Membentuk Rupa Tertentu Sesuai Dengan Gambarannya Atau Bagaimana Keadaannya Yang Pasti?

Allah telah mensifati roh itu, yang dapat masuk dan keluar, ditahan, ditidurkan, dikembalikan, dinaikkan ke langit, pintu-pintunya dibukakan baginya dan ditutup kembali. Dalilnya:

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.” (Al-Fajr: 27-30).

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.” (Asy-Syams: 79).

Dari ayat di atas, dapatlah diketahui bahwasannya Allah telah menyempurnakan jiwa manusia, sebagaimana dia menyempurnakan badannya. Dan kesempurnaan badan itu mengikuti kesempurnaan jiwa. Dari sini dapat diketahui bahwa suatu jiwa atau roh dapat membentuk rupa tertentu di badan. Ia berpengaruh dan dapat berpindah dari badan sebagaimana badan yang juga bisa mempengaruhi dan beralih dari roh tersebut. Allah Ta’ala berfirman:


“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka dia tahanlah jiwa (orang) yang telah dia tetapkan kematiannya dan dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan.” (Az-Zumar: 42).


Dan Allah memberikan kepada jiwa sifat ditahan dan dilepaskan, sebagaimana ia diberi sifat dikeluarkan, dimasukkan, dikembalikan dan disempurnakan. Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya pandangan orang yang meninggal itu mengikuti jiwanya ketika dia diwafatkan.” (Ditakhrij Muslim, Ahmad dan ibnu Majah).

Oleh karena itu, badan yang baik dan yang buruk memperoleh hasil dari kebaikan dan keburukannya, roh yang baik dan yang buruk akan memperoleh hasil kebaikan dan keburukan badan. Sebaimana sabda Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam:

أن الملك يقبضها فتأخذها الملائكة من يده فيوجد لها كأطيب نفخة مسك وجدت على وجه الارض أو كأنتن ! ريح جيفة وجدت على وجه الأرض. (رواه أحمد).

“Sesungguhnya seorang malaikat menahannya, lalu diambil para malaikat yang lain dari tangannya. Dari roh itu tercium bau harum seperti hembusan minyak kesturi yang ada di muka bumi, atau tercium bau busuk seperti bau bangkai yang ada di muka bumi.” (HR. Ahmad)

· Apakah Roh Dikembalikan Ke Mayat Di Dalam Kubur Saat Mendapat Pertanyaan?

Nabi Muhammad Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam telah mencukupkan pembahasan tentang kembalinya roh ke mayat dalam kuburnya, sehingga tidak perlu lagi pendapat manuia. Beliau bersabda; “Maka rohnya dikembalikan ke jasadnya. Lalu ada dua malaikat yang mendatanginya lalu mendudukkan mayatnya. Dua malaikat bertanya, “siapakah Rabb-mu? .......” (Hadits ini diriwaytkan oleh imam ahmad, abu daud, an0nasai, ibnu majah, abu awanah al-isfirainiy didalam shahihnya).

Yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa kembalinya roh itu berbeda dengan sebagaimana yang orang tahu, bahwa itu tidak sebagaimana manusia mempunyai roh selagi masih hidup, yang membutuhkan makan, minum, dan lain sebagainya. Akan tetapi itu adalah urusan Allah Ta’ala. Dari hadits di atas, para ulama menyikapinya berbeda-beda:

1. Pendapat Yang Mengiyakan

Semua Ahlusunnah dan semua golongan sependapat dengan apa yang terkandung didalam hadits ini secara dhohir.

2. Pendapat Yang Menafikan

Ini adalah pendapatnya Ibnu Hazm, ia berkata bahwa hadtis tersebut tidak shohih, Al-Minhal bin Amr (salah satu dari perowy hadits tersebut tidak kuat).

Ahlussunnah memandang pendapat Ibnu Hazm ini dengan pernyataan, “Perkataannya masih perlu dirinci”. Jika maksud dari pendapat Ibnu Hazm ini adalah tidak kembali ruh manusia setelah dicabut nyawanya seperti sedia kala ia masih hidup, maka ini adalah benar. Namun jika yang dimaksud adalah sama sekali tidak kembali ruh ke dalam jasad setelah mati itu adalah berbeda dengan paham Ahlussunnah, dan pendha’ifan yang beliau katakan ini masih perlu diteliti, (syaikh mengatakan bahwa akan diperinci pada bab berikutnya). Allah Ta’ala berfirman:

“Allah Ta’ala memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka dia tahanlah jiwa (orang) yang telah dia tetapkan kematiannya dan dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.” (Az-Zumar:42).

Menahan jiwa yang telah ditetapkan kematiannya di sini tidak menafikan dikembalikannya roh ke badan mayat pada saat kapan pun, yang tidak mengharuskannya kehidupan seperti kehidupan di dunia. Mayat itu jika rohnya dikembalikan ke badannya, maka dia mempunyai keadaan pertengahan antara hidup dan mati. Perhatikan baik-baik, tentu akan menghilangkan sekian banyak kerumitan dalam masalah ini.

Tentang pengabaran Nabi Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam yang melihat para Nabi pada malan isra’ dan mi’raj, maka sebagian ahli hadits mengatakan bahwa yang beliau lihat itu adalah roh dan sesuatu yang menyerupai mereka. Beliau bersabda, “mereka hidup di sisi rabb mereka.”

Memang ada yang menentang dari pernyataan tersebut dan mengatakan bahwa “apa yang dilihat beliau itu adalah roh mereka tanpa badan mereka, karena bisa dipastikan, badan mereka ada dibumi. Yang dibangkitkan pada hari berbangkit adalah badan, dan sebelum itu tidak ada kebangkitan badan. Disamping itu dapat dipastikan bahwa roh Nabi Muhammad Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam berada di rofuqul a’laa di tingkatan surga yang paling tinggi bersama roh para Nabi yang lain. Jadi roh ada disana dan berhubungan dengan badan yang ada di dalam kubur, ditampakan dan dikaitkan dengannya, sehingga bisa menjawab salam kepada orang yang mengucapkan salam kepada beliau, sedang roh beliau ada di rafiqul a’laa.

Tidak ada penafian antara dua hal ini. Sebab keadaan roh tidak sama dengan keadaan badan. Boleh jadi kita dapatkan dua jiwa yang serupa dan selaras, saling berdekatan dan beriringan, meskipun keduanya ada di ujung barat dan timur. Sementara ada dua jiwa yang saling membenci dan menjauh, meskipun badan mereka saling berdekatan dan bersenggolan.

· Apa Jawaban Kita Dalam Menghadapi Orang-Orang Yang Mengingkari Kenikmatan Dan Siksaan Kubur?


Di antara orang-orang yang mengingkari adanya kenikmatan atau siksaan di dalam kubur adalah orang-orang ateis dan zindik. Mereka berkata: “Kami pernah membongkar kuburan dan kami tidak mendapatkan para malaikat, yang buta maupun yang bisu, yang memukuli mayat dengan alat pemukul besi.”

Sementara rekan mereka dari golongan ahli bid’ah dan orang-orang sesat berkata; “Setiap hadits yang tidak bisa diterima akal dan perasaan, menunjukkan kesalahan orang yang mengatakannya.”

Dalam masalah ini perlu kita ketahui bahwa para rasul tidak pernah mengabarkan sesuatu yang dianggap mustahil menurut akal. Pengabaran mereka ada dua macam:
  1. Yang diketahui akal dan fitrah.
  2. Yang tidak diketahui oleh akal semata, seperti hal-hal gaib yang mereka kabarkan tentang rincian alam barzakh, hari akhirat, pahala dan siksa.
Pada dasarnya pengabaran mereka tidak mustahil menurut akal. Setiap pengabaran yang dianggap mustahil oleh akal, tidak lepas dari dua keadaan:
  1. Boleh jadi pengabaran itu mereka anggap sebagai pengabaran dusta.
  2. Atau akal itu sendiri tak beres, yang merupakan hayalan yang dikiranya rasional dan jelas.
“Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (Yunus: 57-58).

Sesuatu yang mustahil tidak akan menyembuhkan, tidak akan menjadi petunjuk dan rahmat, tidak bisa menciptakan kegembiraan. Orang yang mengatakan demikian tiada lain di dalam hatinya tidak ada kebaikan, tidak mantap dalam berpijak kepada islam dan keadaan yang paling baik, alis orang tersebut bingung dan ragu-ragu.

· Mengapa Siksa Kubur Tidak Disebutkan Di Dalam Al-Qur’an Dan Apa Hikmahnya?

Jawaban secara globalnya adalah Karena Allah menurunkan dua macam wahyu kepada Rasul-Nya dan mewajibkan kepada hamba-hamba-Nya untuk mengimaninya dan mengamalkan keduanya, yaitu Al-Kitab dan Al-Hikmah. Sebagaimana firmanya di dalam Al-Qur’an Al-Karim:

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Al-Jum’ah: 2)

Al-Kitab adalah Al-Qur’an dan Al-Hikamah adalah As-Sunnah. Ini adalah kesepakatan para ulama salaf. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam:

“Sesungguhnya aku diberi Al-Kitab dan yang serupa dengannya besertanya.”

Maka, apa yang disampaikan oleh Rasulullah harus diimani dan dibenarkan, begitu pula apa yang disampaikan oleh Allah melalui lisan Rasul-Nya. Adapun kenikmatan dan siksaan di alam barzakh telah disebutkan di dalam Al-Qur’an, di antaranya:

“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada saya", Padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang berkata: "Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah." Alangkah dahsyatnya Sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang Para Malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu" di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.” (Al-An’am: 93).

Ini merupakan perkataan yang diajukan kepada mereka pada saat mati. Pengabaran ini ditujukan kepada mereka yang melakukan kezaliman bahwa mereka akan mendapat balasan berupa siksaan yang menghinakan. Sekiranya siksa itu ditangguhkan hingga kehancuran dunia, tentunya tidak dikatakan; “Di hari ini kalian dibalas.”

· Apa Sebab-Sebab Yang Mendatangkan Siksa Bagi Penghuni Kubur?

Secara global, orang-orang yang mendapat siksa di alam kubur dan di akhirat itu disebabkan karena kebodohan mereka tentang Allah, mengabaikan perintah-Nya, dan melakukan kedurhakaan kepada-Nya. Begitu pula sebaliknya, Dia tidak akan menyiksa roh hamba-Nya yang mengenal-Nya, mencintai-Nya, melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya, begitu pula badanya.

Adapun secara rinci, siksa kubur itu bisa disebabkan oleh kedurhakaan hati, mata, telinga, mulut, lisan, perut, kemaluan, tangan, kaki dan seluruh anggota badan. Di antara haditsnya, sebagaimana yang disampaikan Samurah di dalam Shahih Al-Bukhari tentang siksa yang ditimpakan kepada seseorang yang membuat suatu kedustaan hingga mencapai ufuk, siksa yang disampaikan kepada seseorang yang membaca Al-Qur’an, kemudian dia tidur pada malam hari dan tidak mengamalkannya pada siang hari, siksa kepada pemakan riba, dan siksa-siksa lain seperti yang disaksikan Nabi Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam di Barzakh.

· Apa Yang Bisa Menyelamatkan Dari Siksa Kubur?

Secara global, seseorang dapat terhindar dari siksa kubur dengan cara menghindari semua sebab yang mendatangkan siksa kubur, yakni meninggalkan semua hal yang dilarang oleh AllahTa’ala.

Adapun cara yang selayaknya dilakukan oleh seorang muslim jika ia tidak ingin mendapat siksa kubur ialah dengan cara menghisab dirinya sebelum tidur, apa saja kerugian dan keuntungan yang ia dapatkan pada hari itu. Lalu ia perbaharui dengan bertaubat dengan sebenar-benarnya antara dia dan Allah, lalu ia tidur dan berjanji untuk tidak mengulangi dosa yang diperbuatnya di keesokan harinya. Maka jika dia mati, matinya dalam keadaan bertaubat, dan jika dia bangun, maka dia sudah siap untuk bekerja karena ajalnya belum tiba, sehingga dia bisa menghadap Allah dan melakukan apa yang belum dilakukannya.

Secara rinci, hal ini dapat dijawab dengan beberapa dalil yang disampaikan oleh RasulullahShallallhu ‘Alaihi wa Sallam:

رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ. (مسلم).

“Menyiapkan tali selama sehari semalam lebih baik daripada puasa sebulan beserta shalat malamnya. Jika dia meninggal, maka dia diberi balasan atas amal yang dilaksanakannya, diberi pahala berupa rezakinya dan dia selamat dari ujian (kubur).” (HR. Muslim).

Dalam Jami’ At-Tirmidzi disebutkan, bahwa Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam:

“Setiap orang yang meninggal disudahi berdasarkan amalnya, kecuali orang yang meninggal dalam keadaan mempersiapkan tali kudanya di jalan Allah. Sesungguhnya amalnya ditumbuhkan baginya hingga hari kiamat dan dia selamat dari ujian kubur.” (HR. At-Tirmidzi).

لِلشَّهِيدِ عِنْدَ اللهِ سِتُّ خِصَالٍ: يَغْفِرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دُفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ، وَيُرَى مَقْعَدَهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنُ مِنَ الْفَزَعِ الأَكْبَرِ، وَيُحَلَّى حُلَّةَ الإِيمَانِ، وَيُزَوَّجُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ، وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِينَ إِنْسَانًا مِنْ أَقَارِبِهِ. (رواه ابن ماجه).

“Orang mati syahid mempunyai enam perkara di sisi Allah. Dosanya diampuni pada percikan darahnya yang pertama, dia melihat tempat duduknya dari surge, dilindungi dari siksa kubur, selamat dari ketakutan yang besar, di atas kepalanya diletakkan mahkota kewibawaan, yaqut baginya lebih baik daripada dunia dan seisinya, menikah dengan tujuh puluh dua bidadari, dan dia dapat memintakan syafaat bagi tujuh puluh kerabatnya.” (HR. Ibnu Majah).

· Apakah Pertanyaan Kubur Ditujukan Kepada Semua Manusia; Orang Muslim, Munafik Dan Kafir, Ataukah Hanya Sebagian Di Antara Mereka?

Abu Umar bin Abdil-Barr berkata: “Berbagai atsar menunjukkan bahwa yang mendapat ujian atau pertanyaan di dalam kubur hanya tertuju kepada orang muslim dan munafik, yaitu ahli kitab dan islam yang zhahirnya mengucapkan syahadat. Sedangkan orang kafir tidak termasuk mereka yang mendapat pertanyaan.”

Namun Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan kebalikan dari pendapat di atas, sebagaimana firman Allah:

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan Ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (Ibrahim: 27).

Disebutkan di dalam Ash-Shahih bahwa ayat ini turun sehubungan dengan siksa di dalam kubur, ketika seseorang ditanya, siapa Rabbmu? Apa agamamu? Siapa nabimu?.

“Maka Sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus Rasul-rasul kepada mereka dan Sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) Rasul-rasul (Kami).” (Al-A’raf: 6).

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan: “Sesungguhnya jika hamba diletakkan di liang kuburnya dan rekan-rekannya sudah meninggalkannya, maka dia bisa mendengar suara sandal mereka.” Dan Al-Bukhari menambah: “Sedangkan orang munafik dan orang kafir, maka ditanyakan kepadanya; “Apa yang kamu katakan tentang orang ini? Dia menjawa; “Aku tidak tahu. Aku mengatakan seperti yang dikatakan orang-orang. Maka dikatakan kepadanya; “Kamu memang tidak tahu dan kamu tidak pernah membaca.” Lalu dia dipukul dengan palu dari besi, sehingga dia menjerit kesakitan yang jeritannya dapat didengar siapa yang ada dibelakangnya, kecuali jin dan manusia.”

Tiga dalil di atas menunjukkan bahwasannya pertanyaan yang diajukan oleh malaikat tertuju kepada orang muslim, munafik dan kafir. Dan masih banyak dalil yang menunjukkan akan hal tersebut.

· Apakah Pertanyaan Munkar dan Nakir Hanya Ditujukan Kepada Umat Ini Juga Ditujukan Kepada Umat-Umat Lain?

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:
  1. Abu Abdullah At-Tirmidzi berkata: “Pertanyaan hanya ditujukan kepada mayat dari umat islam secara khusus. Memang para rasul juga datang kepada umat-umat sebelum kita, yang membawa risalah kepada mereka. Jika mereka menolak kedatangan dan keberadaan para rasul itu, maka para rasul itu memisahkan diri dari mereka, lalu mereka langsung diberi siksaan di dunia. . .”
  2. Abul-Haqq Al-Asybaily dan Al-Qurthuby menyatakan bahwa pertanyaan kubur ditujukan kepada umat ini dan juga umat-uamt yang lain.
  3. Mengambil posisi netral, seperti Abu Umar bin Adul-Barr. Dia menyatakan, bahwa di dalam hadits Zaid bin Tsabit disebutkan dari Nabi Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya umat ini akan diuji di dalam kuburnya.” Di anatra ulama ada yang berpendapat, makna ‘Diuji’ manurut lafazh ini berarti hanya ditujukan kepada umat ini secara khusus. Mereka memperkuatnya dengan sabda beliau yang lain:“Sesungguhnya umat ini akan diuji didalam kuburnya.”
  4. Golongan lain berkata; “Hadits di atas tidak menunjukkan kekhususan pertanyaan bagi umat ini semata, tanpa umat yang lain. Sabda beliau; “Sesunguhnya umat ini,” bisa dimaksudkan umat manusia, seperti yang disebutkan dalam firman Allah:
“Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab[472], kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (Al-An’am: 38).

Setiap jenis binatang disebut umat. Dalam hadits disebutkan: “Bahwa Nabi Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam pernah digigit seekor semut, lalu beliau memerintahkan untuk membakar satu perkampungan semut.” Maka Allah menurunkan wahyu, bahwa karena digigit seekor semut saja beliau membunuh satu umat semut yang bertasbih kepada Allah. Kalaulah yang dimaksudkan hadits tersebut, bahwa umat ini adalah umat Nabi Muhammad saja, tentunya tidak ada penafian pertanyaan terhadap umat yang lain.

· Apakah Anak-Anak Juga Mendapat Pertanyaan Di Dalam Kubur?

Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini, dan ada dua pendapat yang terfokus di kalangan Imam Ahmad:

Golongan pertama berkata: “Anak-anak akan tetap ditanya di dalam kubur, karena shalat juga disyari’atkan kepada mereka, doa bagi mereka dan permohonan agar mereka dilindungi dari siksa kubur. Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah yang ada di dalam kitab Al-Muwaththa’ bahwa Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam pernah menshalati jenazah seorang anak, lalu Abu Hurairah mendengar Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam mengucapkan doa:“Ya Allah, lindungilah ia dari siksa kubur.”

Golongan kedua berkata: “Pertanyaan hanya ditujukan kepada orang yang dapat memikirkan siapa rasul, sehingga dia dapat ditanya apakah dia beriman kepada rasul dan mentaatinya ataukah tidak? Karena itu ditanyakan kepadanya, “Apa yang kamu katakan tentang oranga yang diutus di tengah kalia?” Sekiranya yang ditanya itu seorang anak yang belum baligh, maka bagaimana mungkin dia diberi pertanyaan seperti itu? Sekiranya akalnya dikembalikan kepadanya di dalam kubur, maka dia tidak akan ditanya tentang hal-hal yang tidak mungkin diketahuinya. Sebab pertanyaan tersebut tidak bermanfaat baginya.”

Tentang hadits Abu Hurairah, yang dimaksud dengan siksa kubur untuk anak adalah hukuman yang dijatuhkan kepadanya, karena dia meninggalkan ketaatan atau karena meninggalkan hal yang dilarang. Sebab Allah tidak menyiksa seseorang karena doa yang tidak dilakukannya. Tapi siksa kubur yang dimaksudkan di sini bisa berarti penderitaan yang bisa dirasakan orang yang meninggal karena sebab yang lain, meskipun bukan berupa siksaan dan bukan karena amal yang dilakukannya. Di antara dasarnya adalah sabda Nabi Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam:

“Sesungguhnya orang yang meninggal dunia benar-benar disiksa karena tengis keluarganya.”

Disiksa di sini artinya dibuat menderita dan tersiksa, bukan berarti dia disiksa karena dosa atau kesalahan orang lain yang masih hidup. Karena Allah berfirman:

seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. (Al-An’am: 164).

· Apakah Siksa Kubur Itu Terus-Menerus Ataukah Terputus?

Permasalahan ini dapat dijawab dengan dua jawaban. 
  • Pertama: Siksaan yang dilakukan terus-menerus, kecuali yang disebutkan di dalam hadits. Dalilnya: “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang.” (Al-Mukmin: 46). Kekekalan penyiksaan ini disebutkan juga dalam hadits Samurah yang diriwayatkan Al-Bukhary tentang mimpi Nabi Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam, yang di dalamnya disebutkan sabda beliau, “Dia melakukan yang demikian itu hingga hari kiamat.”
  • Kedua: Siksaan yang berhenti hingga waktu tertentu dan setelah itu terputus. Siksaan ini ditimpakan bagi orang yang melakukan kesalahan ringan, sehingga dia dijatuhi hukuman sesuai dengan kesalahannya, kemudiaan siksaannya di neraka diringankan, lalu dibebaskan darinya.
Siksaan itu dapat terputus disebabkan karena doa, shadaqah, istighfar, paha haji atau bacaan yang dilakukan kerabat atau yang lainnya.

· Dimana Keberadaan Roh Antara Saat Meninggal Hingga Hari Kiamat?

Para ulama berbeda pendapat tentang keberadaan roh saat meninggal hingga hari kiamat. Berikut ini pendapat-pendapat mereka yang secara ringkas akan kami jelaskan.

1. Roh Berada Di Surga

Pendapat ini dikuatkan berdasarkan firman Allah, “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.”(Al-Fajr: 27-30).

Mereka berkata, “Hal ini difirmankan Allah setelah menyebutkan keluarnya roh dari badan karena kematian, dan Allah membagi roh-roh ini menjadi tiga maacam:
  1. Roh muqarrabin (orang-orang yang didekatkan kepada Allah), yang berada di dalam surga yang penuh kenikmatan.
  2. Roh ashabul-yamin (golongan kanan), yang dihukumi dengan islam dan diselamatkan dari siksa.
  3. Roh orang-orang yang sesat, yang berada di dalam neraka jahannam.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Allah menjadikan ruh mereka dalam bentuk seperti burung berwarna kehijauan. Mereka mendatangi sungai-sungai surga, makan dari buah-buahannya, dan tinggal di dalam kindil (lampu) dari emas di bawah naungan ‘Arasyi.” (Hadis Shahih riwayat Ahmad, Abu Daud dan Hakim).

Menurut mereka hadits di atas tidak dikhususkan kepada syuhada’. Mereka berhujjah dengan dalil yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah: “Bahwa roh orang-orang yang berbuat kebajikan ada di Illiyin, sedangkan roh orang-orang yang durhaka berada di Sijjin.”

Namun pendapat tersebut dibantah oleh Abu Umar, beliau mengatakan. “Ini merupakan pendapat yang bertentangan dengan As-Sunnah, yang tidak bisa disangkal keshahihannya, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Jika salah seorang di antara kalian meninggal, maka ditampakkan tempat duduknya pada pagi dan petang. Jika dia termasuk penghuni surga, maka dia pun termasuk penghuni surga, dan jika dia termasuk penghuni neraka, maka dia pun termasuk penghuni neraka. Lalu dikatakan kepadanya, “Ini tempat dudukmu hingga Allah membangkitkanmu pada hari kiamat.”

Golongan lain mengatakan, makna hadits di atas berkaitan dengan para syuhada’ tanpa yang lain. Sebab Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan yang demikian. Sebagaimana firman-Nya:

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (Ali Imran: 169).

Nash dan atsar yang menyebutkan masalah rezeki bagi para syuhada’ dan keberadaan roh mereka di surga, semuanya adalah benar. Hal ini tidak menunjukkan adanya penafian masuknya roh-roh orang-orang Mukmin ke dalam surga, apalagi shiddiqin, yang kedudukannya lebih baik daripada syuhada’. Hal ini tidak diragukan lagi.

2. Roh Para Syuhada’ dan Orang-Orang Mukminin Tidak Berada di Surga, Tapi Dapat Memakan Buah-Buahnya dan mencium Keharumannya

Ini merupakan pendapat Mujahid, beliau berhujjah dengan dalil yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Para syuhada’ berada di atas aliran sungai di ambang pintu surga di sebuah tenda berwarna hijau. Rezeki mereka keluar kepada mereka dari surga setiap pagi dan petang.”

Hal ini tidak menafikan keberadaan mereka di dalam surga. Sebab sungai itu berasal dari surga, begitu pula rezeki mereka. Mereka berada di surga meskipun tidak berada di tempat duduk yang sudah disediakan bagi mereka di surga. Namun Mujahid menafikan masuk secara sempurna dari semua sisi.

3. Roh Berada di Serambi Kubur

Yang dimaksud keberadaan roh berada di serambi kubur adalah waktu tertentu dan temporal, pada awal-awal roh itu memperhatikan kuburnya, sementara dia tetap berada di tempat yang sudah ditentukan.

Di antara pendapat yang mengatakan bahwa roh itu berada di serambi kubur adalah Abu Umar bin Abdul Barr. Beliau berhujjah dengan dalil: “Jika salah seorang di antara kalian meninggal, maka ditampakkan tempat duduknya pada pagi dan petang.” Dan hadits-hadits yang berkenaan tentang salam, mengetahui ziarah orang-orang yang masih hidup.

Tapi, pendapat tersebut ditolak hadits-hadits shahih dan atsar yang tidak bisa disangkal kebenarannya. Di antara dalilnya bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: (xاللهم الرفيق الأعلى 3);“Ya Allah Tuhanku, aku pilih al-Rafiq al-A’ala 3x.” (HR. Bukhari).

Sedangkan hadits yang menjelaskan bahwa roh itu akan ditampakkannya tempat duduk yang ada di surge maupun yang ada di neraka, tidak menunjukkan bahwa roh itu berada di dalam kubur dan tidak pula berada di serambi kubur selama-lamanya. Akan tetapi roh itu dapat mengawasi dan berhubungan dengan kubur dan serambinya. Karena keadaan yang seperti inilah tempat duduknya juga ditampakkan kepadanya. Dan roh juga mempunyai hubungan dengan badan, yang jika ada orang muslim mengucapkan salam kepada mayat, maka Allah mengembalikan roh tersebut kepadanya, sehingga dia bisa menjawab salam. Dan boleh jadi kecepatan perpindahan itu seperti sekilas pandangan mata atau hubungan roh dengan kubur itu seperti kecepatan sinar matahari, tapi keberadaannya tetap di langit. Hal ini sama halnya bahwa roh orang yang tidur naik ke atas hingga sampai ke langit ketujuh, sujud kepada Allah di depan ‘Arsy, lalu dikembalikan lagi ke badan dalam waktu yang amat singkat.

4. Roh Orang-Orang Mukmin Berada di Sisi Allah

Dalil penguat pendapat ini adalah firman Allah; “Bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (Ali Imran: 169). Dan orang-orang yang seperti ini menguatkan pendapatnya dengan beberapa hujjah, di antaranya riwayat Muhammad bin Ishaq Ash-Shagha’y, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Jika roh sudah keluar dari mayat, maka di dibawa naik ke langit hingga tiba di langit yang di sana ada Allah Azza wa Jalla. Jika dia orang yang buruk, maka rohnya naik hingga tiba di langit, namun pintu-pintu langit tidak dibukakan baginya. Roh itu dilepasakan dari langit dan kembali ke kubur.” (HR. Ahmad).

Pernyataan di atas tidak menafikan perkataan bahwa mereka berada di surge. Sebab surge itu pun berada di sisi Sidratul-Muntaha, semantara surge di sisi Allah. Orang yang menyatakannya mengira bahwa inilah ungkapan yang paling pas. Allah mengabarkan bahwa roh para syuhada’ ada di sisi-Nya, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengabarkan bahwa ia bisa pergi menurut kehendaknya di surge.

5. Roh Orang-Orang Mukmin Berada di Jabiyah dan Roh Orang-Orang Kafir Berada di Burhut Hadhramaut

Abu Muhammad din Hazm mengatakan, ini merupakan pernyataan golongan Rafidhah, meskipun tidak tepat seperti itu, dan juga dinyatakan sebagai Ahlus-Sunnah. Dari Abdullah bin Amr, dia berkata; “Roh orang-orang mukmin berkumpul di Jabiyah, sedangkan roh orang-orang kafir berkumpul di tanah lembab di Hadhramaut yang disebut Burhut.”

Jika yang dimaksudkan Abdullah bin Amr dengan nama Jabiyah itu adalah permisalan dan penyerupaan, yang artinya roh orang-orang mukmin berkumpul di suatu tempat yang luas dan lapang menyerupai jabiyah, kolam yang sangat besar, tempat yang sangat luas dan harum udaranya, maka hal ini dekat kepada kebenaran. Tetapi jika yang dimaksudkannya adalah tempat yang bernama Jabiyah dan bukan tempat yang lain di bumi, maka hal itu tidak diketahui kecuali hanya sepintas lalu saja, yang boleh saja berasal dari kisah sebagian Ahli Kitab.

6. Roh Orang-Orang Mukmin Berada di Bumi Tertentu

Pendapat ini berdalil dengan firman Allah: “Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh.” (Al-Anbiya’: 105).

Jika pendapat ini dinyatakan untuk menafsiri ayat ini, maka hal itu merupakan penafsiran yang tidak tepat bagi ayat ini. Manusia saling berbeda pendapat tentang bumi yang disebutkan di dakam ayat ini. Sa’id bin Jubair menyebutkan dari Ibnu Abbas, yang menurutnya adalah bumi surga, dan ini merupakan pendapat mayoritas mufasir. Ada pula pendapat lain yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, maksudnya adalah dunia yang ditaklukkan Allah bagi umat MuhammadShallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan inilah pendapat yang benar. Yang serupa dengan ini disebutkan di dalam surah An-Nur; “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.” (An-Nur: 55).

Dan masih banyak perbedaan pendapat yang tidak dapat kami tulis di dalam ringkasan ini. Dan berikut ini akan kami terangkan pendapat-pendapat yang kuat tentang keberadaan roh-roh selain Nabi. Karena sudah jelas bahwasannya keberadaan roh para Nabi itu berbeda-beda tingkatannya. Di antaranya ada di Illiyin paling tinggi di Al-Mala’ul-A’la, sebagaimana yang dilihat oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada malam isra’. Adapun roh-roh selain para nabi itu dapat dibedakan tempat keberadaannya sebagai berikut:
  1. Roh-roh yang berada di badan burung berwarna hijau yang selalu berlalu lalang dan pergi di surga menurut kehendaknya. Ini adalah roh para syuhada’. Tapi hal itu tidak berlaku bagi mereka semua. Karena di antara para syuhada’, ada yang rohnya tertahan sehingga tidak bisa masuk surga. Hal itu disebabkan karena mereka mempunyai hutang atau sebab lainnya.
  2. Roh yang tertahan di ambang pintu surga seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits, “Aku melihat rekan kalian tertahan di ambang pintu surga.”
  3. Roh yang tertahan di kuburnya, seperti hadits tentang orang yang mencuri mantel lalu dia mati syahid di peperangan. Orang-orang pada saat itu berkata, “Selamat bagi dirinya yang mendapatkan surga.” Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Demi diriku yang di Tangan-Nya, sesungguhnya mantel yang dia ambil itu menyalakan api di dalam kuburnya.
  4. Roh yang berada di pintu surga, seperti hadits yang disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas, “Para syuhada’ berada di atas aliran sungai di pintu surga, dalam tenda berwarna hijau, rezeki mereka keluar dari surga setiap pagi dan petang hari.” (HR. Ahmad). Hal ini berbeda dengan hadits Ja’far bin Abi Thalib yang menyebutkan bahwa Allah mengganti kedua tangannya dengan dua bilah sayap, dan dengan sayap itu dia terbang di surga menurut kehendaknya.
  5. Roh yang tertahan di bumi, yang tidak bisa naik ke Al-Mala’ul-A’la. Ini merupakan roh yang hina dan terikat dengan bumi. Hal ini terjadi disebabkan karena jiwa orang tersebut tidak mau mencari ma’rifat tentang Rabb-Nya, tidak mencinai-Nya, tidak bertaqarrub kepada-Nya, dan lain-lain.
  6. Roh yang berada di dalam tungku api, yaitu rohnya para pezina, laki-laki maupun wanita.
  7. Roh yang berada di sungai darah dan berenang di sana, yang kemudian dilempari batu setiap kali ia akan keluar dari sungai darah itu.
Jiwa ini mempunyai empat tempat tinggal, yang setiap tempat tinggal lebih besar dari sebelumnya:
  1. Berada di perut sang ibu, yang sempit, pengap dan gelap, tiga keadaan yang harus dialami.
  2. Tempat tinggal yang membesarkannya, tempatnya mengerjakan kebaikan dan keburukan, mencari sebab-sebab kebahagian dan penderitaan.
  3. Barzakh yang lebih luas dari tempat tinggal dunia ini dan lebih besar. Bahkan perbandingan barzakh dengan alam ini seperti perbandingan alam ini dengan rahim ibu.
  4. Tempat tinggal yang kekal abadi, yaitu surga dan neraka. Setelah itu tidak ada tempat tinggal yang lain.
· Apakah Roh Orang Yang Sudah Meninggal Dapat Mengambil Manfaat Dari Usaha Orang Yang Masih Hidup?

Jawabannya; Benar, roh orang yang sudah meninggal dapat mengambil manfaat dari usaha orang yang masih hidup, dengan dua hal yang sudah disepakati ahlus-sunnah dan fuqaha’, ahli hadits dan tafsir, yaitu:
  1. Sesuatu yang menyebabkan orang yang sudah meninggal dapat mendapatkan manfaat itu ketika dia masih hidup.
  2. Doa orang-orang Muslim bagi dirinya, permohonan ampunan yang mereka lakukan baginya, shadaqah dan haji. Tapi ada perbedaan pendapat, apakah yang sampai kepadanya itu pahala infaq ataukah pahala amal? Menurut Jumhur, yang sampai kepadanya adalah pahala amal saja. Tapi menurut sebagian Madzham Hanafi, yang sampai kepadanya adalah pahala infaq.
Menurut mazdhab Imam Ahmad dan sebagian rekan Abu Hanifah, bahwa ibadah fisik, seperti shalat, puasa, membaca Al-Qur’an dan dzikir sampai kepada ahli kubur. Imam Ahmad menetapkan hal ini seperti yang disebutkan dalam riwayat Muhammad bin Yahya Al-Kahlal, dia berkata, “Abu Abdullah pernah ditanya, “Seseorang melakukan suatu kebaikan, berupa shalat atau shadaqah atau lainnya. Lalu dia membagi separohnya untuk ayah dan ibunya. Bagaimana hal ini?” Dia menjawab; “Aku juga berharap seperti itu.” Atau dia berkata; “Shadaqah atau apa pun bisa sampai kepada orang yang sudah meninggal.”

Sedangkan yang mashur dari madzhab Syafi’i dan Mali, hal itu tidak sampai kepada orang yang meninggal.

Sebagian ahli bid’ah dari kalangan teolog mengatakan, bahwa tidak ada sesuatu pun yang sampai kepada orang yang sudah meninggal, tidak pula doa atau apa pun.

Adapun dalil tentang manfaat yang bisa diambil orang yang sudah meninggal karena sebab tertentu semasa ia masih hidup (menurut golongan orang-orang yang menganggap pahala amal yang masih hidup sampai kepada orang yang sudah meninggal) ialah:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له » (رواه مسلم: 1631).

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda; “Apabila anak Adam mati, maka terputuslah segala amalnya, kecuali tiga perkara:Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang mendoakan dia. (HR. Muslim).

Di dalam shahih Muslim juga disebutkan dari haduts Jarir bin Abdullah, dia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ. (رواه مسلم).

“Barangsiapa yang mengadakan kebiasaan yang baik dalam islam, maka dia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya setelah dia meninggal dunia, tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala mereka. Dan barangsiapa mengadakan kebiasaan yang buruk dalam islam, maka dia menanggung dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya setelah dia meninggal dunia, tanpa dikurangi sedikit pun dari dosa-dosa mereka.” (HR. Muslim).

Orang yang sudah meninggal dunia juga bisa mendapatkan manfaat dari selain sebab-sebab yang berasal dari dirinya, yang dalil-dalilnya disebutkan di dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan kaidah syari’at.

1. Doa Orang-Orang Muslim

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 10).

Allah memuji mereka karena ampunan yang mereka mohonkan bagi orang-orang Mukmin sebelum mereka. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang yang sudah meninggal itu dapat mendapatkan manfaat dari ampunan yang dimohonkan orang-orang hidup.

2. Pahala Shadaqah

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, bahwa ada seorang laki-laki yang menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu berkata; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal secara mendadak dan belum sempat berwasiat. Aku menduga sekiranya ibu bisa bicara, tentu dia akan bershadaqah. Apakah dia mendapatkan pahala sekiranya aku mengeluarkan shadaqah atas nama dirinya?” Beliau menjawab, “Ya.”


Dan di dalam shahih Muslim disebutkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa ada seorang laki-laki menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seraya berkata; “Sesungguhnya ayahku meninggal dunia dan dia meninggalkan sejumlah harta, namun tidak sempat berwasiat. Maka apakah cukup berguna baginya jika aku mengeluarkan shadaqah atas nama dirinya?” Beliau menjawab; “Ya.”

3. Pahala Puasa

Tentang sampainya pahala puasa kepada orang yang sudah meninggal, disebutkan di dalamAsh-Shahihain, dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda; “Barangsiapa meninggal dunia dan dia masih mempunyai tanggungan puasa, maka walinya berpuasa atas nama dirinya.”

4. Pahala Haji

Tentang sampainya pahala puasa kepada orang yang sudah meninggal, disebutkan di dalamAsh-Shahih Al-Bukhary, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, bahwa ada seorang wanita dari Juhainah yang menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seraya berkata; “Ibuku pernah bernadzar untuk menunaikan haji, namun dia belum sempat menunaikannya hingga dia meninggal. Maka apakah aku harus menunaikan haji atas nama dirinya?” Beliau bersabda; “Tunaikanlah haji atas nama dirinya. Apa menurut pendapatmu sekiranya ibumu mempunyai hutang, apakah engkau akan melunasinya? Penuhilah oleh kalian terhadap Allah, karena Allah lebih berhak untuk dipenuhi.”

Semua orang Muslim sepakat bahwa melunasi hutang semacam ini menggugurkan tanggungan terhadap hutangnya itu. Hutang orang yang meninggal ini juga bisa dilunasi orang lain atau yang bukan termasuk ahli warisnya, sebagaimana yang ditunjukkan hadits Abu Qatadah, bahwa dia pernah melunasi hutang seseorang yang sudah meninggal sebanyak dua dinar. Setelah hutang itu dilunasi, maka Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda; “Sekarang kulitnya terasa dingin olehnya.”

· Apakah Roh Itu Lama Ataukah Baru Dan Makhluk?

Tidak ada perbedaan di kalangan orang-orang Muslim bahwa roh-roh pada diri Adam, anak keturunannya, Isa dan siapa pun, semua adalah makhluk Allah yang diciptakan, disempurnakan, diadakan, dibentuk, lalu dikaitkan dengan diri-Nya. Sebagaimana Dia juga mengaitkan semua makhluk kepada diri-Nya. Firman Allah:

“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.” (Al-Jatsiyah: 13).

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Roh Adam adalah makhluk yang diciptakan. Begitulah kesepakatan orang-orang salaf dari umat ini, para imam dan ahlus-sunnah.”

Di sini ada satu permasalahan, yaitu tentang roh Isa. Orang-orang Jahmiyah berkata; “Isa adalah roh Allah dan kalimat-Nya. Hanya saja kalimat-Nya adalah makhluk.” Sedangkan orang-orang Nasrani berkata; “Isa adalah roh Allah dan kalimat-Nya yang berasal dari dzat-Nya, seperti yang dikatakan tentang sobekan jain yang berasal dari lembaran kain utuh.”

Ibnu Taimiyah berkata; “Isa menjadi ada karena ada kalimat, dan bukan Isa itu sendiri yang berupa kalimat. Kalimat adalah firman Allah, yaitu kun (jadilah).”

Firman Allah, “Roh dari-Nya,” artinya siapa pun yang mendapat perintah-Nya, maka ada roh di dalamnya. Hal ini seperti firman Allah; “Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.” (Al-Jatsiyah: 13).

Tafsir roh Allah adalah kalimat Allah yang diciptakan-Nya, seperti sebutan hamba Allah, langit Allah, bumi Allah. Allah telah menegaskan bahwa roh Al-Masih adalah makhluk.

· Manakah Yang Lebih Dahulu Diciptakan, Roh Ataukah Badan?

Di sini ada dua pendapat yang berkembang di kalangan manusia, yaitu:

1. Roh itu diciptakan terlebih dahulu dari pada badan.

Yang berpegang pada pendapat ini adalah Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dan Abu Muhammad bin Hazm. Ibnu Hazm mengatakan bahwa hal ini merupakan ijma’. Adapun bagi mereka yang berpendapat bahwa roh itu lebih dahulu diciptakan daripada badan, berhujjah dengan firman Allah”

Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada Para Malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam", Maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak Termasuk mereka yang bersujud. (Al-A’raf: 11).

Ayat ini mengandung pengertian bahwa roh diciptakan sebelum ada perintah Allah pada para malaikat agar bersujud kepada Adam. Sebagaimana yang kita ketahui secara pasti, badan kita ada setelah itu. Dengan begitu waktu itu kita masih berupa roh. Hal ini juga ditunjukan pada firman Allah:

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Al-A’raf: 172).

Selain firman Allah di atas, kelompok yang berpendapat bahwa roh itu diciptakan terlebih dahulu daripada badan berhujjah dengan hadits nabi yang diriwatkan oleh Amr bin Abasah, dia berkata; “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda;“Sesungguh-nya Allah menciptakan roh-roh hamba sebelum hamba-hamba itu ada sejak dua ribu tahun. Selagi roh-roh itu saling mengenal, maka dia akan bersatu, dan selagi saling mengingkari, maka ia akan berselisih.”

2. Badan itu diciptakan terlebih dahulu dari pada badan.

Bagi mereka yang berpendapat demikian berkata; “Penciptaan bapak manusia dan asal mereka memang begitu. Allah mengutus Jibril untuk membuat kepalan-kepalan tanah, diaduk dan dicampur hingga menjadi tanah liat, kemudian membentuknya, lalu meniupkan roh ke tanah liat itu setelah membentuknya. . .”

Di dalam hadits Abu Hurairah disebutkan tentang penciptaan alam, terdapat pengabaran tentang penciptaan jenis-jenis alam, dan penciptaan Adam ditangguhkan hingga hari jum’at. Sekira-nya roh itu diciptakan sebelum badan, tentunya roh itu termasuk bagian alam yang diciptakan-Nya selama enam hari. Karena tidak ada pengabaran tentang penciptaan roh itu pada enam hari itu, maka dapat diketahui bahwa penciptaan roh mengikuti penciptaan keturunan.

· Apakah Hakikat Jiwa Itu?

Permasalahan hakikat jiwa ini banyak diperselisihkan oleh berbagai golongan, di antaranya ada yang berpendapat:
  1. Abi Al-Hasan Al-Asy’ary berkata di dalam Maqalat-nya; “Manusia saling berbeda pendapat tentang roh, jiwa dan kehidupan. Apakah roh itu kehidupan atau bukan? Apakah roh itu fisik atau bukan? An-Nazham mengatakan bahwa roh adalah fisik dan juga jiwa. Menurutnya, roh itu hidup sendiri dan dia mengingkaeri jika dikatakan bahwa kehidupan dan kekuatan merupakan makna diluar orang yang hidup dan kuat. Sementara yang lain berpendapat, bahwa roh itu adalah kefanaan.
  2. Ja’far bin Harb berkata; “Kami tidak melihat roh itu sebagai substansi atau kefanaan. Mereka beralasan dengan firman Allah. “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Al-Isra’: 85). Sementara Allah tidak mengabarkan apa yang dimaksud-kan dengan roh ini, Ja’far menetapkan bahwa kehidupan ini bukan roh, namun menetapkan kehidupan ini sebagai kefanaan.
  3. Abu Muhammad bin Hazm berkata; “Para pemeluk agama islam dan agama-agama lain yang mengakui kebangkitan berpendapat bahwa jiwa adalah fisik yang panjang, lebar dan dalam, mengambil tempat di badan, mengarahkan dan mengatur badan. Dan inilah yang memang kami katakan. Jiwa dan roh merupakan dua nama yang syinonim untuk satu makna dan memang maknanya satu.”
Adapun pendapat yang benar dalam masalah ini adalah sebagaimana yang dikatakan Ar-Razy; “Bahwa manusia merupakan ungkapan tentang fisik yang dikhususkan dan ada di dalam badan ini, maka orang-orang yang mengatakan hal ini saling berbeda pendapat dalam penetapan spesifikasi fisik ini, di antaranya:
  1. Ungkapan tentang empat macam komponen atau campuran, yang kemudian mewujudakn badan ini.
  2.  Maksudnya adalah darah.
  3. Roh yang lembut dan muncul di sisi kiri dari hati, dan mengakses sel-sel keseluruh anggota badan.
  4. Roh yang naik di dalam hati ke otak, yang kemudian membentuk proses yang selaras untuk menerima kekuasaan menghafal, berfikir dan mengingat.
  5. Merupakan bagian yang tak bisa dipisahkan di dalam hati.
  6. Fisik yang berbada dalam hakikatnya dengan badan yang dapat diraba ini, yang merupakan fisik yang bersifat cahaya, tinggi, ringan, hidup, bergerak, menyebar di setiap anggota badan, berjalan di dalamnya seperti aliran air dalam saluran dan seperti aliran minyak dalam saluran dan seperti aliran minyak dalam zaitun dan api dalam bara. Selagi anggota badan ini masih bisa menerima pengaruh yang muncul dari fisik yang lembut itu, maka fisik itu tetap ada pada anggota-anggota badan ini, sehingga ia merasakan pengaruhnya yang berupa rasa, gerakan dan kehendak.
Jika anggota-anggota ini rusak karena didominasi komponen yang menekannya dan tidak dapat menerima pengaruh itu, maka roh berpisah dengan badan dan beralih ke alam roh. Dan inilah pendapat yang benar sedangkan yang batil, dan hal ini ditunjukkan Al-Kitab, As-Sunnah dan ijma’ shahabat serta bukti-bukti akal dan fitrah. Dan berikut ini dalil-dalilnya:

1. “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan.” (Az-Zumar: 42).

Di dalam ayat ini terkandung tiga dalil:
  1. Pengabaran tentang dipegangnya jiwa.
  2. Pengabaran tentang ditahannya jiwa.
  3. Pengabaran tentang dilepaskannya jiwa.

2. “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada saya", Padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang berkata: "Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah." Alangkah dahsyatnya Sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang Para Malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu" di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya. Dan Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya.” (Al-An’am: 93-94).

Di dalam ayat ini terdapat empat dalil:
  1. Para malaikat memebentangkan tangan untuk mengambil jiwa.
  2. Jiwa itu diberi sifat keluar dan masuk.
  3. Pengabaran tentang siksaan yang dijatuhkan kepada jiwa pada hari itu.
  4. Pengabaran tentang kedatangan jiwa itu kehadapan Rabb-nya.
3. “Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan[481], kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan. Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat- Malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.” (Al-An’am: 60-61).


Di dalam ayat ini terdapat tiga dalil:
  1. Pengabaran tentang ditidurkannya jiwa pada malam hari.
  2. Jiwa itu dikembalikan ke badannya pada siang hari.
  3. Para malaikat mewafatkannya jika sudah tiba saat kematian.
4. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam; “Roh para syuhada’ berada di dalam seekor burung berwarna hijau yang pergi ke surga menurut kehendaknya, lalu kembali ke pelita-pelita menggantung di ‘Arsy, lalu Rabb-mu menampakkan diri kepada mereka dengan suatu penampakan. Allah bertanya; “Apa yang kalian kehendaki?” Dan seterusnya yang sudah disebutkan di atas.

Di dalam hadits ini terkandung enam dalil:
  1. Keberadaan roh yang ditempatkan di dalam seekor burung.
  2. Ia dapat pergi dan berlalu lalang di surga menurut kehendaknya.
  3. Memakan dari buah-buahan surga dan meminum dari air sungainya.
  4. Kembali ke pelita-pelita yang menjadi tempat tinggalnya.
  5. Allah berdialog dengan mereka, bertanya dan mereka pun menjawabnya.
  6. Roh itu meminta untuk dapat kembali ke dunia.
Jika ada yang bertanya; “Ini semua merupakan sifat pada burung dan bukan sifat roh.” Maka dapat dijawab; Roh yang ada dalam burung itu merupakan tujuan. Berdasarkan riwayat yang dikuatkan Abu Umar, yaitu sabda beliau, “Roh para syuhada’ seperti burung.” Sudah cukup menjawab pertanyaan ini secara tuntas.

Sebenarnya masih banyak dalil-dalil yang disebutkan oleh penulis dalam menjawab pertanyaan di atas, namun kami hanya dapat menulisnya empat dalil dan itu sudah cukup untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dan adapun mereka yang menentang jawaban di atas, berhujjah dengan beberapa bukti yang tidak dapat kami tulis, karena di sana banyak sekali pertentangan dan kami anjurkan bagi pembaca untuk membaca sendiri pada bukunya.

· Apakah Jiwa dan Roh Itu Sesuatu Yang Satu Ataukah Dua Sesuatu Yang Saling Berubah-Ubah?

Jumhur ulama berpendapat bahwa apa yang dinamakan dengan nama keduanya adalah satu. Dan ada pula yang berpendapat bahwa keduanya saling berubah-ubah.

Seorang penyair beranggapan bahwa jiwa adalah badan, sebagaimana dikatakan di dalam syairnya;
Kudengar Abu Tamim menyampaikan seruan
Mata Al-Mundzir masuk ke anak-anak mereka

Adapun Ibnu Taimiyah sendiri mengatakan bahwa makna jiwa di sini tidak seperti yang dikatakan penyair ini. Jiwa di sini adalah roh. Pengaitan kepada mata ini merupakan pemekaran yang terjadi karena lewat pandangan orang yang hendak menimpakan musibah. Dan kami katakan bahwa kata an-nafsu (jiwa) lebih banyak disebutkan dalam Al-Qur’an dengan pengertian dzat, seperti firman-Nya;

“Maka apabila kalian memasuki rumah-rumah ini, hendaklah kalian memberi salam kepada diri kalian sendiri.” (An-Nur: 61)

“(Ingatlah) suatu hari (ketika) tiap-tiap diri datang untuk membela dirinya sendiri.” (An-Nahl: 111). “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (Al-Muddatstsir: 38).

Dan jiwa juga dapat diartikan roh itu sendiri, seperti firman-Nya;
  • “Wahai jiwa yang tenang.” (Al-Fajr: 27).
  • “Keluarkanlah jiwa kalian.” (Al-An’am: 93).
  • “Dan mencegah jiwa dari hawa nafsu.” (An-Nazi’at: 40).
  • “Sesungguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (Yusuf: 53).
Jadi, roh tidak dapat diartikan badan, bukan karena kesendiriannya dan tidak pula bersama jiwa. Perbedaan antara roh dengan jiwa merupakan perbedaan dalam sifat dan bukan dalam dzat. Darah pun disebut roh karena keluarnya darah dalam ukuran yang banyak akan disertai dengan kematian, yang mengharuskan keluarnya jiwa. Hidup pun tidak akan sempurna tanpa keberadaan darah. Sebagaimana hidup tidak akan sempurna tanpa keberadaan jiwa.

Adapun roh yang ditahan dan dicabut adalah satu roh, yaitu jiwa. Sedangkan roh yang diberikan Allah kepada wali-Nya, yaitu berupa pertolongan, berbeda dengan roh yang dimaksudkan, sebagaimana firman-Nya;

“Meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya.” (Al-Mujadilah: 22).

Begitu pula roh, yang dengan roh-Nya Allah menguatkan Isa putra Maryam, sebagaimana firman-Nya;

“(Ingatlah), ketika Allah mengatakan: "Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu aku menguatkan kamu dengan Ruhul qudus.” (Al-Maidah: 110).

Begitu pula roh yang diberikan kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya, yang berbeda dengan roh yang di badan.

· Apakah Jiwa Itu Satu Ataukah Tiga?

Di antara manusia ada yang menyatakan bahwa jiwa manusia ada tiga, yaitu; Jiwa yang tenang, jiwa yang menyesali diri sendiri dan jiwa yang selalu menyuruh kepada kejahatan. Mereka yang menyatakan hal demikian berdalil dengan firman Allah;
  • “Wahai jiwa yang tenang.” (Al-Fajr: 27).
  • “Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). (Al-Qiyamah: 1-2).
  • “Sesungguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (Yusuf: 53).
Yang pasti jiwa itu adalah satu, namun memiliki beberapa sifat. Setiap sifat disebut dengan satu nama yang disesuaikan dengannya. Di antara sifat itu adalah Jiwa yang muthma’innah.Penyebutan sifat yang seperti ini dikarenakan pertimbangan ketenangan-nya yang menuju kapada Rabb-nya berkat ubudiyah, kecintaan, tawakal, kepasrahan dan ridho kepada-Nya.Thuma’ninah kepada Allah merupakan hakikat yang disusupkan Allah ke dalam hati hamba-Nya, lalu Allah menghimpun hati itu dan mengembalikan hati yang hendak lepas bebas sehingga kembali kepada-Nya. Thuma’ninah yang hakiki tidak bisa didapatkan kecuali dengan kembali kepada Allah dan mengingat-Nya. Sebagaimana firman-Nya;

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d: 28).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar