Jumat, 02 Maret 2012

MAKSIAT MENGGELAPKAN HATI

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Setiap hari tidak bosan-bosannya kita melakukan maksiat. Aurat terus diumbar, tanpa pernah sadar untuk mengenakan jilbab dan menutup aurat yang sempurna. Shalat 5 waktu yang sudah diketahui wajibnya seringkali ditinggalkan tanpa pernah ada rasa bersalah. 


Padahal meninggalkannya termasuk dosa besar yang lebih besar dari dosa zina. Saudara muslim jadi incaran untuk dijadikan bahan gunjingan (alias “ghibah”). Padahal sebagaimana daging saudaranya haram dimakan, begitu pula dengan kehormatannya, haram untuk dijelek-jelekkan di saat ia tidak mengetahuinya. Gambar porno jadi bahan tontonan setiap kali browsing di dunia maya. Tidak hanya itu, yang lebih parah, kita selalu jadi budak dunia, sehingga ramalan primbon tidak bisa dilepas, ngalap berkah di kubur-kubur wali atau habib jadi rutinitas, dan jimat pun sebagai penglaris dan pemikat untuk mudah dapatkan dunia. Hati ini pun tak pernah kunjung sadar. Tidak bosan-bosannya maksiat terus diterjang, detik demi detik, di saat pergantian malam dan siang. Padahal pengaruh maksiat pada hati sungguh amat luar biasa. Bahkan bisa memadamkan cahaya hati. Inilah yang patut direnungkan saat ini.

Ayat yang patut jadi renungan di malam ini adalah firman Allah Ta’ala,

كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14)

Makna ayat di atas diterangkan dalam hadits berikut.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ) »

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’.

Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah dosa di atas tumpukan dosa sehingga bisa membuat hati itu gelap dan lama kelamaan pun mati.” Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid, Qotadah, Ibnu Zaid dan selainnya.

Mujahid rahimahullah mengatakan, “Hati itu seperti telapak tangan. Awalnya ia dalam keadaan terbuka dan jika berbuat dosa, maka telapak tangan tersebut akan tergenggam. Jika berbuat dosa, maka jari-jemari perlahan-lahan akan menutup telapak tangan tersebut. Jika ia berbuat dosa lagi, maka jari lainnya akan menutup telapak tangan tadi. Akhirnya seluruh telapak tangan tadi tertutupi oleh jari-jemari.

Penulis Al Jalalain rahimahumallah menafsirkan, “Hati mereka tertutupi oleh “ar raan” seperti karat karena maksiat yang mereka perbuat.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan perkataan Hudzaifah dalam fatawanya. Hudzaifah berkata, “Iman membuat hati nampak putih bersih. Jika seorang hamba bertambah imannya, hatinya akan semakin putih. Jika kalian membelah hati orang beriman, kalian akan melihatnya putih bercahaya. Sedangkan kemunafikan membuat hati tampak hitam kelam. Jika seorang hamba bertambah kemunafikannya, hatinya pun akan semakin gelap. Jika kalian membelah hati orang munafik, maka kalian akan melihatnya hitam mencekam.

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Jika dosa semakin bertambah, maka itu akan menutupi hati pemiliknya. Sebagaimana sebagian salaf mengatakan mengenai surat Al Muthoffifin ayat 14, “Yang dimaksud adalah dosa yang menumpuk di atas dosa.

Inilah di antara dampak bahaya maksiat bagi hati. Setiap maksiat membuat hati tertutup noda hitam dan lama kelamaan hati tersebut jadi tertutup. Jika hati itu tertutup, apakah mampu ia menerima seberkas cahaya kebenaran? Sungguh sangat tidak mungkin. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika hati sudah semakin gelap, maka amat sulit untuk mengenal petunjuk kebenaran.

Perbanyaklah taubat dan istighfar, itulah yang akan menghilangkan gelapnya hati dan membuat hati semakin bercahaya sehingga mudah menerima petunjuk atau kebenaran.

Ya Allah, tunjukkanlah hati kami ini agar selalu taat pada-Mu dan berusaha menjauhi setiap maksiat yang benar-benar telah Engkau larang, apalagi dosa syirik dan kekufuran. Amin Yaa Mujibbas Saailin.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Dampak Buruk Perbuatan Dosa dan maksiat

PERBUATAN DOSA Setiap hari kita tenggelam dalam kenikmatan yang dilimpahkan oleh Ar-Rahman.. Sungguh, dalam setiap tarikan napas, Dari mulai tidur, bangun hingga tidur kembali, ada nikmat yang tiada terputus. Maka Maha Benar Allah ketika berulang-ulang menegaskan dalam surat Ar-Rahman:
 ﺗُﻜَﺬﱢﺑَﺎنِ رَﺑﱢﻜُﻤَﺎ ِ آﻻَء ِّ ﻓَﺒِﺄَي 

“Maka nikmat Rabb kalian yang manakah yang kalian berdua (bangsa jin dan manusia) dustakan?” Nikmat Allah swt yang berlimpah ini semestinya dihadapi dengan penuh rasa syukur. Namun sangat disesali, hanya sedikit yang mau bersyukur: 
اﻟﺸﱠﻜُﻮْرُ َ ﻋِﺒَﺎدِي ْ ﻣِﻦ ٌ وَﻗَﻠِﻴْﻞ 

“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang mau bersyukur.” (Saba’: 13) Kebanyakan kita hobi mengkufuri nikmat Allah swt. Atau malah mempergunakan nikmat tersebut untuk bermaksiat dan berbuat dosa kepada Ar-Rahman. Allah swtl memberikan kepada mereka banyak kebaikan namun mereka membalasnya dengan kejelekan. Demikianlah tabiat manusia, setiap harinya selalu berbuat dosa. baik karena tergelincir ataupun sengaja memperturutkan hawa nafsu dan bisikan setan. Amat buruklah bila tidak segera bertaubat dari dosa-dosa yang ada dan menutupinya dengan berbuat kebaikan. Karena perbuatan dosa itu memiliki pengaruh yang sangat jelek bagi hati dan tubuh seseorang.Beberapa di antaranya bisa kita sebutkan :
  1. Terhalang dari ilmu yang haq. Karena ilmu merupakan cahaya yang dilemparkan ke dalam hati, sementara maksiat akan memadamkan cahaya. Tatkala Al-Imam Asy-Syafi’i belajar kepada Al-Imam Malik, Al-Imam Malik terkagum-kagum dengan kecerdasan dan kesempurnaan pemahaman Asy-Syafi’i. Al-Imam Malik pun berpesan pada muridnya ini, “Aku memandang Allah swt telah memasukkan cahaya ilmu di hatimu. Maka janganlah engkau padamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”
  2. erhalang dari beroleh rizki dan urusannya dipersulit. Takwa kepada Allah akan mendatangkan rizki dan memudahkan urusan seorang hamba sebagaimana firman-Nya: ﻣَﺨْﺮَﺟًﺎ ُ ﻟَﻪ ْ ﻳَﺠْﻌَﻞ َﷲ ِ ﻳﱠﺘﱠﻖ ْ ﻣَﻦ َو ﻳَﺤْﺘَﺴِﺐُ َﻻ ُ ﺣَﻴْﺚ ْ ﻣِﻦ ُ وَﻳَﺮْزُﻗْﻪ “Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi orang tersebut jalan keluar (dari permasalahannya) dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3) أَﻣْﺮِهِ ْ ﻣِﻦ ُ ﻟَﻪ ْ ﻳَﺠْﻌَﻞ َﷲ ِ ﻳﱠﺘﱠﻖ ْ وَﻣَﻦ ﻳُﺴْﺮًا “Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq: 
  3. Meninggalkan takwa berarti akan mendatangkan kefakiran dan membuat si hamba terbelit urusannya.
  4. Hati terasa jauh dari Allah swt dan merasa asing dengan-Nya. Sebagaimana jauhnya pelaku maksiat dari orang-orang baik dan dekatnya dia dengan setan.
  5. Menggelapkan hati si hamba sebagaimana gelapnya malam. Karena ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Bila kegelapan itu bertambah di dalam hati, akan bertambah pula kebingungan si hamba. Hingga ia jatuh ke dalam, kesesatan, dan perkara yang membinasakan tanpa ia sadari. Sebagaimana orang buta yang keluar sendirian di malam yang gelap dengan berjalan kaki.
  6. Maksiat akan melemahkan hati dan tubuh, karena kekuatan seorang mukmin itu bersumber dari hatinya. Semakin kuat hatinya semakin kuat tubuhnya. Adapun orang pendosa, sekalipun badannya tampak kuat, namun sebenarnya ia selemah-lemah manusia.
  7. Maksiat akan ‘memperpendek‘ umur dan menghilangkan keberkahannya, sementara perbuatan baik akan menambah umur dan keberkahannya.
  8. Satu maksiat akan mengundang maksiat lainnya. Sehingga terasa berat bagi si hamba untuk meninggalkan kemaksiatan. Sebagaimana ucapan sebagian salaf: “Termasuk hukuman perbuatan jelek adalah pelakunya akan jatuh ke dalam kejelekan yang lain. Dan termasuk balasan kebaikan adalah kebaikan yang lain.
  9. Maksiat akan melemahkan hati dan secara perlahan akan melemahkan keinginan seorang hamba untuk bertaubat dari maksiat. Hingga pada akhirnya keinginan taubat tersebut hilang sama sekali.
  10. Orang yang sering berbuat dosa dan maksiat, hatinya tidak lagi merasakan jeleknya perbuatan dosa. Malah berbuat dosa telah menjadi kebiasaan. Dia tidak lagi peduli dengan pandangan manusia dan acuh dengan ucapan mereka. Bahkan ia bangga dengan maksiat yang dilakukannya.
  11. Setiap maksiat yang dilakukan di muka bumi ini merupakan warisan dari umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah Swt. Perbuatan homoseksual adalah warisan kaum Luth.Mengambil hak sendiri lebih dari yang semestinya dan memberi hak orang lain dengan menguranginya, adalah warisan kaum Syu’aib.Berlaku sombong di muka bumi dan membuat kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun.Sombong dan tinggi hati adalah warisan kaum Hud.
  12. Maksiat merupakan sebab dihinakannya seorang hamba oleh Rabbnya. Bila Allah l telah menghinakan seorang hamba maka tak ada seorang pun yang akan memuliakannya. “Siapa yang dihinakan Allah niscaya tak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” (Al-Hajj: 18)
  13. Bila seorang hamba terus menerus berbuat dosa, pada akhirnya ia akan meremehkan dosa tersebut dan menganggapnya kecil. Ini merupakan tanda kebinasaan seorang hamba. Karena bila suatu dosa dianggap kecil maka akan semakin besar di sisi Allah l. “Seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia duduk di bawah sebuah gunung yang ditakutkan akan jatuh menimpanya. Sementara seorang pendosa memandang dosa-dosanya seperti seekor lalat yang lewat di atas hidungnya, ia cukup mengibaskan tangan untuk mengusir lalat tersebut.”
  14. Maksiat akan merusak akal. Karena akal memiliki cahaya, sementara maksiat pasti akan memadamkan cahaya akal. Bila cahayanya telah padam, akal menjadi lemah dan kurang.
  15. Bila dosa telah menumpuk, hatipun akan tertutup dan mati. Hingga ia termasuk orang-orang yang lalai. Allah swt berfirman: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (Al-Muthaffifin: 14)
  16. Maksiat membuat kita berjarak dengan Allah. Diriwayatkan ada seorang laki-laki yang mengeluh kepada seorang arif tentang kesunyian jiwanya. Sang arif berpesan, “Jika kegersangan hatimu akibat dosa-dosa, maka tinggalkanlah perbuatan dosa itu. Dalam hati kita, tak ada perkara yang lebih pahit daripada kegersangan dosa di atas dosa.”
  17. Kita akan punya jarak dengan orang-orang baik. Semakin banyak dan semakin berat maksiat yang kita lakukan, akan semakin jauh pula jarak kita dengan orang-orang baik. Sungguh jiwa kita akan kesepian. Sunyi. Dan jiwa kita yang gersang tanpa sentuhan orang-orang baik itu, akan berdampak pada hubungan kita dengan keluarga, istri, anak-anak, dan bahkan hati nuraninya sendiri.
  18. Maksiat membuat sulit semua urusan kita Jika ketakwaan dapat memudahkan segala urusan, maka kemaksiatan akan mempesulit segala urusan pelakunya. Ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah gelap gulita. Ibnu Abbas r.a. berkata, “Sesungguhnya perbuatan baik itu mendatangkan kecerahan pada wajah dan cahaya pada hati, kekuatan badan dan kecintaan. Sebaliknya, perbuatan buruk itu mengundang ketidakceriaan pada raut muka, kegelapan di dalam kubur dan di hati, kelemahan badan, susutnya rezeki dan kebencian makhluk.”
  19. Maksiat melemahkan hati dan badan Kekuatan seorang mukmin terpancar dari kekuatan hatinya. Jika hatinya kuat, maka kuatlah badannya. Tapi pelaku maksiat, meskipun badannya kuat, sesungguhnya dia sangat lemah. Tidak ada kekuatan dalam dirinya. Wahai Saudaraku, lihatlah bagaimana menyatunya kekuatan fisik dan hati kaum muslimin pada diri generasi pertama. Para sahabat berhasil mengalahkan kekuatan fisik tentara bangsa Persia dan Romawi padahal para sahabat berperang dalam keadaan berpuasa!
  20. Terhalang untuk taat Orang yang melakukan dosa dan maksiat cenderung untuk tidak taat. Orang yang berbuat maksiat seperti orang yang satu kali makan, tetapi mengalami sakit berkepanjangan. Sakit itu menghalanginya dari memakan makanan lain yang lebih baik. Begitulah. Jika kita hobi berbuat masiat, kita akan terhalang untuk berbuat taat.
  21. Memperpendek umur dan menghapus keberkahan Pada dasarnya, umur manusia dihitung dari masa hidupnya. Padahal, tidak ada kehidupan kecuali jika hidup itu dihabiskan untuk ketaatan, ibadah, cinta, dan dzikir kepada Allah serta mencari keridhaan-Nya. Jika usia kita saat ini 17 tahun. 7 tahun kita warnai dengan maksiat. Dalam kacamata iman, usia kita tak lebih hanya 10 tahun saja. Yang 7 tahun adalah kesia-siaan dan tidak memberi berkah sedikitpun. Inilah maksud pendeknya umur pelaku maksiat. Sementara, Imam Nawawi yang hanya diberi usia 30 tahun oleh Allah swt. Usianya begitu panjang. Sebab, hidupnya meski pendek namun berkah. Kitab Riyadhush Shalihin dan Hadits Arbain yang ditulisnya memberinya keberkahan dan usia yang panjang, sebab dibaca oleh manusia dari generasi ke generasi hingga saat ini dan mungkin generasi yang akan datang.
  22. Menumbuhkan maksiat lain Seorang ulama salaf berkata, jika seorang hamba melakukan kebaikan, maka hal tersebut akan mendorongnya untuk melakukan kebaikan yang lain dan seterusnya. Dan jika seorang hamba melakukan keburukan, maka dia pun akan cenderung untuk melakukan keburukan yang lain sehingga keburukan itu menjadi kebiasaan bagi pelakunya. Karena itu, hati-hatilah sobat. Jangan sekali-kali mencoba berbuat maksiat. Kalian akan ketagihan dan tidak bisa lagi berhenti jika sudah jadi kebiasaan!
  23. Menimbulkan kehinaan dan mewariskan kerendahan Kehinaan itu tidak lain adalah akibat perbuatan maksiat kepada Allah sehingga Allah pun menghinakannya. “Dan barangsiapa yang dihinakan Allah, maka tidak seorang pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (Al-Hajj:18). Sedangkan kemaksiatan itu akan melahirkan kehinadinaan. Karena, kemuliaan itu hanya akan muncul dari ketaatan kepada Allah swt. “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu….” (Al-Faathir:10). Seorang Salaf pernah berdoa, “Ya Allah, anugerahilah aku kemuliaan melalui ketaatan kepada-Mu; dan janganlah Engkau hina-dinakan aku karena aku bermaksiat kepada-Mu.”
  24. Maksiat merusak akal kita Tidak mungkin akal yang sehat lebih mendahulukan hal-hal yang hina. Ulama berkata, seandainya seseorang itu masih berakal sehat, akal sehatnya itu akan mencegahnya dari kemaksiatan kepada Allah. Dia akan berada dalam genggaman Allah, sementara malaikat menyaksikan, dan nasihat Al-Qur’an pun mencegahnya, begitu pula dengan nasihat keimanan. Tidaklah seseorang melakukan maksiat, kecuali akalnya telah hilang!
  25. 25. Maksiat menutup hati. Allah berfirman, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (Al-Muthaffifiin:14). Imam Hasan mengatakan hal itu sebagai dosa yang berlapis dosa. Ketika dosa dan maksiat telah menumpuk, maka hatinya pun telah tertutup.
  26. Mendapat laknat Rasulullah saw. Sobatku sekalian, Rasulullah saw. melaknat perbuatan maksiat seperti mengubah petunjuk jalan, padahal petunjuk jalan itu sangat penting (HR Bukhari); melakukan perbuatan homoseksual (HR Muslim); menyerupai laki-laki bagi wanita dan menyerupai wanita bagi laki-laki; mengadakan praktik suap-manyuap (HR Tarmidzi), dan sebagainya.
  27. Menghalangi syafaat Rasulullah dan Malaikat. Kecuali, bagi mereka yang bertobat dan kembali kepada jalan yang lurus. Allah swt. berfirman, “(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman seraya mengucapkan: ‘Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertobat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyla-nyala. Ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang shalih d iantara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan.” (Al-Mukmin: 7-9)
  28. Maksiat yang kita lakukan adalah bentuk meremehkan Allah. Jika kita melakukan maksiat, disadari atau tidak, rasa untuk mengagungkan Allah perlahan-lahan lenyap dari hati kita. Ketika kita bermaksiat, kita sadari atau tidak, kita telah menganggap remeh adzab Allah. Kita mengacuhkan bahwa Allah Maha Melihat segala perbuatan kita. Sungguh ini kedurhakaan yang luar biasa! 
  29. Memalingkan perhatian Allah atas diri kita. Allah akan membiarkan orang yang terus-menerus berbuat maksiat berteman dengan setan. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyir: 19) 30. Melenyapkan nikmat dan mendatangkan azab. Allah berfirman, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy-Syura: 
  30. Ali r.a. berkata, “Tidaklah turun bencana melainkan karena dosa. Dan tidaklah bencana lenyap melainkan karena tobat.” Karena itu, bukankah sekarang waktunya bagi kita untuk segera bertobat dan berhenti dari segala maksiat yang kita lakukan? Dan akibat yang terakhir, yang kedua puluh dua, maksiat memalingkan diri kita dari sikap istiqamah. Kita hidup di dunia ini sebenarnya bagaikan seorang pedagang. Dan pedagang yang cerdik tentu akan menjual barangnya kepada pembeli yang sanggup membayar dengan harga tinggi. Saudaraku, siapakah yang sanggup membeli diri kita dengan harga tinggi selain Allah? Allah-lah yang mampu membeli diri kita dengan bayaran kehidupan surga yang abadi. Jika seseorang menjual dirinya dengan imbalan kehidupan dunia yang fana, sungguh ia telah tertipu!
  31. Dengan maksiat setan akan merasa dibantu oleh manusia dalam memerangi diri manusia itu sendiri. Setan akan sangat senang dengan kemaksiatan yang dilakukan manusia karena ia dipermudah dalam melakukan “tugas”nya menyesatkan manusia.
  32. 32. Maksiat menyebabkan seseorang merasa minder dan takut, suatu perasaan yang tidak dirasakan oleh orang yang tidak berbuat dosa dan maksiat. Pelaku maksiat akan merasakan was-was dalam melaksanakan aktivitas karena ia dibayang-bayangi oleh perasaan dosa dan bersalah.
  33. Maksiat yang sedemikian banyak menyebabkan hati terpatri dan pelakunya menjadi orang-orang yang tidak sadar bahwa ia melakukan keburukan. Sensitivitasnya terhadap dosa dan maksiat menghilang. ”Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka” (Al Muthaffifin: 14).
  34. Maksiat juga menyebabkan hilangnya ketajaman hati. Akibat sensitivitasnya hilang, kemaksiatan dipandang hal yang biasa dan wajar. Hati menjadi kebal dari rasa bersalah, karena menganggap kecil dan remeh kemaksiatan yang mereka lakukan. Benarlah ungkapan yang menyatakan bahwa kemaksiatan dapat menumbuhkan kemaksiatan yang sama, dan sebagian kemaksiatan bisa melahirkan kemaksiatan yang lain. Ibnu Abbas berkata, ”Sesungguhnya kebaikan itu penyebab wajah bercahaya, hati bersinar, rezeki dilapangkan, dan dicintai oleh semua makhluk. Dan sesungguhnya kemaksiatan penyebab wajah hitam, hati gelap gulita, rezeki sempit, dan dibenci oleh semua makhluk.”
  35. Kemaksiatan dapat melemahkan perjalanan hati menuju kepada Allah dan perkampungan akhirat. Kemaksiatan berakibat kerinduan untuk bertemu dengan Allah dan kesiapan diri untuk menyambut perkampungan akhirat, semakin sirna, dan berubah menjadi ketakutan yang mencekam. Mereka tidak siap berjumpa dengan Allah dan kampung akhirat karena merasa banyak dosa.
  36. Melakukan maksiat semua urusannya akan menemui banyak hambatan, ”Sesungguhnya ketika aku bermaksiat kepada Allah, maka kutemukan hal yang demikian ini pada binatang (kendaraan) dan istriku.”
  37. Kemaksiatan membuat perasaan rendah diri dalam berinteraksi antarmanusia, terutama dengan orang-orang yang saleh. Abu Darda berkata, ”Hendaklah seorang di antara kamu berhati-hati jangan sampai dirinya dikutuk oleh hati orang-orang beriman, padahal ia tidak menyadarinya.”
  38. Kemaksiatan mampu menjatuhkan kewibawaan dan kemuliaan pelakunya, baik di sisi Allah maupun di sisi manusia. ”Dan siapa yang dihinakan Allah, maka tidak seorang pun yang memuliakannya” (Al Hajj: 18).
  39. Kemaksiatan bisa memadamkan api semangat yang membara yang terpendam di dalam hati. Seseorang bisa menjadi pemalas, hilang gairah hidup dan tidak memiliki semangat dalam kehidupan. Lihatlah mereka yang berkubang dalam candu atau obat-obat terlarang. Tidak tampak kegairahan hidup, justru mereka semakin lari dari kenyataan hidup.
  40. Kemaksiatan dapat menghilangkan rasa malu. Apabila seseorang membiasakan diri dengan kemaksiatan, ia tidak lagi memiliki rasa malu di hadapan Allah maupun di hadapan manusia. Pada awalnya ia melakukan dengan bersembunyi, namun seiring hilangnya rasa malu, kemaksiatan pun nyata ditampakkan. Semoga kita semua terhindar dari perbuatan dosa dan maksiat. Semoga Allah berikan kekuatan kepada kita untuk berada dalam kebenaran dan kebaikan. Amin
Antara Suci Lahir dan Batin

Pelajaran berharga lagi dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah berkata,

Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk menyucikan hati dan juga menyucikan badan. Kedua penyucian ini sama-sama diperintahkan dan diwajibkan oleh Allah. Allah Ta’ala berfirman,

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ

“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah: 16)

فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ

“Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. At Taubah: 108)
إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah: 222)

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At Taubah: 103)

أُولَئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ

“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka.” (QS. Al Maidah: 41)
إنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ

“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS. At Taubah: 28)

إنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al Ahzab: 33)

Kita dapat perhatikan bahwa para ahli ibadah, perhatian mereka hanyalah pada penyucian badan saja. Mereka begitu semangat memperhatikan dan mengamalkannya. Namun sayangnya mereka meninggalkan penyucian batin yang diperintahkan baik yang wajib atau pun yang sunnah. Mereka hanya memahami penyucian hanyalah penyucian badan saja (secara lahiriyah).

Sebaliknya, kita perhatikan pada orang-orang tasawuf, perhatian mereka hanyalah pada penyucian jiwa. Mereka begitu semangat memperhatikan dan mengamalkannya. Mereka meninggalkan penyucian badan yang diperintahkan baik yang wajib atau pun yang sunnah.

Kelompok pertama (para ahli ibadah) selalu merasa was-was dan was-was di sini tercela. Mereka begitu boros dalam bersuci dengan air dan membersihkan sesuatu yang dianggap najis padahal bukanlah najis. Lantas mereka meninggalkan penyucian jiwa yang disyariatkan seperti menjauhkan diri dari hasad, sombong dan dendam pada saudaranya. Inilah yang menyebabkan mereka tidak jauh beda dengan Yahudi.

Sedangkan kelompok kedua (orang-orang sufi), terlalu menyibukkan diri sampai dinilai tercela. Mereka begitu berlebihan dalam memperhatikan selamatnya batin (hati). Sampai-sampai mereka menempatkan kebodohan di belakang dan mereka lebih memperhatikan hati mereka. Mereka tidak bisa membedakan antara keselamatan batin untuk melakukan sesuatu yang terlarang dan keselamatan hati untuk melakukan sesuatu yang diperintahkan. Sampai-sampai dari kebodohan semacam ini, mereka tidak menjauhi najis dan mengerjakan thoharoh yang wajib. Orang-orang tasawuf di sini tidak jauh berbeda dari Nashrani.

Seorang muslim yang benar adalah yang memperhatikan antara lahir dan batin, antara sucinya hati dan badan. Semoga Allah mudahkan kita sekalian untuk memperhatikan keduanya.
Wassalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar