Minggu, 17 Maret 2013

NUR MUHAMMAD

Ajaran tentang ilmu makrifat ini tidak lagi membahas Sifat-20 Allah dan Sifat Rasul, karena keduanya sudah dibahas di materi Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar. Penjelasan tentang ajaran ilmu makrifat ini dimulai dari ajaran tentang Nur Muhammad. Meskipun NM telah disinggung pada keduanya, namun yang dibahas dalam NM ini lebih dalam. Untuk tidak mengalami kebingungan, maka para peserta kajian makrifat ini dianjurkan untuk membaca dan memperhatikan materi yang sudah dibahas di buku SSJ maupun SKJ yang saya tulis.

Di dalam Serat Wirid Hidayat Jati disebutkan bahwa yang menjadi dasar ilmu makrifat adalah sabda Nabi Muhammad kepada Sahabat Ali bin Abi Thalib yang dibisikkan melalui telinga kiri:

“Sejatine ora ana apa-apa awit duk maksih awang uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dingin iku Ingsun, ora ana Pangeran anging Ingsun sejatining Dat kang amaha suci anglimputi ing sipating-Sun, amartani ing asmaning-Sun, amratandani ing apngaling-Sun.”

“Sesungguhnya tidak ada apa-apa karena ketika masih kosong belum ada sesuatu pun, yang ada lebih dahulu adalah Aku, tiada Tuhan selain Aku , Dzat yang mahasuci, yang meliputi sifat-Ku, menyertai nama-Ku, dan menandai perbuatan-Ku.”

Dibisikkan melalui telinga kiri bukan telinga kanan. Telinga kiri yang menampung, dan akan diproses oleh otak kanan. Hal semacam ini merupakan proses primordial bagi kehidupan. Oleh karena itu, azan pada bayi dilakukan di telingan kanan dan iqamatnya di telinga kiri. Azan adalah ajakan, maka ditampung telinga kanan dan diproses telinga kiri. Inilah sifat ajakan, yaitu ada sistematika yang harus diikuti. Tetapi, iqamat di telinga kiri, karena sifatnya perintah setelah seseorang diseru atau diajak. Dalam hal ini perintah akan diproses oleh otak kanan. Dengan otak kanan itulah si bayi memberitahu orang di sekelilingnya bahwa ia lapar, haus, atau ada sesuatu yang tak nyaman bagi dirinya. Bima juga diminta untuk masuk telinga kiri Dewa Ruci. Jadi, ajaran makrifat itu harus diproses oleh otak kanan, dan bukan otak kiri. Kalau kita gunakan otak kiri, kita akan dihadapkan pada banyak kesulitan untuk bisa menerimanya.

Selanjutnya dijelaskan bahwa yang menyatakan tidak ada Tuhan kecuali Aku, Dzat yang mahasuci adalah hidup kita pribadi. Jadi, semua sifat adalah sifat kita pribadi, rupa kita adalah rupa kita pribadi, yang mendapatkan warna Dzat yang elok. Yang menyertai nama juga nama kita pribadi, dan sebagai tandanya adalah perilaku kita pribadi, pasti mencerminkan perbuatan Dzat yang sempurna. Oleh karena itu, ibarat Dzat yang mengandung sifat, sifat menyertai nama, dan nama menandai perbuatan; sedangkan perbuatan menjadi wahana Dzat. Dzat mengandung sifat seperti madu dengan rasa manisnya. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Sifat menyertai nama seperti matahari dengan sinarnya.

Nama menandai perbuatan seperti cermin terhadap bayangan di dalamnya. Apa pun yang dilakukan oleh orang yang sedang becermin, maka bayangan pun akan mengikutinya. Perbuatan menjadi wahana Dzat itu seperti samudra dengan ombaknya, sudah tentu keadaan ombak itu mengikuti keberadaan samudra tersebut.

Kembali pada ajaran dalam Serat Wirid

Ditegaskan bahwa dalam keadaan suwung yang ada ialah Dzat yang mahasuci, yang meliputi segala-galanya. Lalu, apa yang sebenarnya suwung? Yang suwung adalah sifat, asma dan perbuatan. Jadi, bila orang Jawa menyebut Dzat-Nya semata, ya dinamakan Sang Hyang Taya, Dzat yang suwung dari segala sifat, asma, dan af’al. Lalu, bagaimana hubungan antara Dzat dengan ketiganya?

Telah dijelaskan bahwa yang ada hanyalah “Aku”. Yang lain adalah sifat, asma dan perbuatan; dan perbuatan sendiri merupakan wahana bagi keberadaan Dzat. Jadi, Dzat bersifat azali, qadim, artinya ada tanpa permulaan. Oleh karena itu, Dzat yang disebut Tuhan itu adalah Dzat mutlak yang esa. Suwung sebagai keberadaan Tuhan dalam serat-serat Jawa maupun Sunda bukanlah kekosongan itu sendiri, melainkan hanya kosong dari sifat, asma dan af’al atau perbuatan. Dan, Dzat yang demikianlah yang disebut dalam Alquran “laysa kamitslihi syay’ atau Dia tidaklah serupa dengan segala sesuatu.” (Q. 42:11). Jadi, dilihat dari sudut Dzat, Tuhan itu suwung. Seandainya tak ada sifat yang dikenali manusia, maka kita tak pernah bisa menyebut-Nya. 

Q. 42:11.

“Dia pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan pula. Dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia maha mendengar lagi maha melihat.”

Ayat di atas sebenarnya menjelaskan bahwa Tuhan mengembang-biakkan semua ini dengan jalan berpasang-pasangan, kecuali Diri-Nya. Diri-Nya sendiri tetap suwung. Maka, semua yang tergelar di alam raya ini hanyalah wujud dari sifat-Nya. Dengan kata lain, segala sesuatu ini maujud karena sifat-sifat-Nya yang kita kenal dengan Sifat-20. Lain dengan manusia, manusia sebagai makhluk justru merupakan tajali atau manifestasi Tuhan. Oleh karena itu, dalam ajaran SWHJ disebut semua sifat dinyatakan sebagai sifat kita pribadi. Semua nama adalah nama kita pribadi, dan akhirnya semua perbuatan merupakan perbuatan kita pribadi.

Bila Dzat dinamakan qadim atau azali, maka sifat, asma dan perbuatan bisa disebut qadim maupun hawadits (baru). Ini tergantung dari sisi mana kita melihat. Orang yang becermin akan melihat dirinya ketika di depannya. Ketika kita melihat bayangan orang yang becermin, maka bayangan tersebut baru. Tetapi, bayangan sepenuhnya tergantung pada orang yang becermin, maka bayangan pun secara hakikat bersifat qadim. Jadi, Dzat bersifat esa, sedangkan bayangan bersifat dualitas.

Dzat mengandung sifat seperti madu dan rasanya. Kita menyadari ada rasa madu, tetapi kita tak dapat memisahkan rasa dengan madunya. Jadi, konsep dasar makrifat Islam yang berkembang di era Mataram maupun Sunda pada prinsipnya atau esensinya tetap seperti asalnya yaitu ketika konsep hubungan manusia dengan Tuhannya dipahami sebagai konsep Manunggaling kawula Gusti pada masa Jawa Kuna maupun Sunda Kuna.

Relasi hamba dengan Tuhan adalah relasi manusia dengan Sanghyang Taya. Taya dalam bahasa Jawa Kuna berarti suwung, dan dalam bahasa Sunda dikatakan berasal dari kosa kata teu aya yang berarti tidak ada. Selanjutnya dijelaskan dalam SWHJ bahwa sejatinya Dzat itu menjelma pada “Muhammad” yang menjadi wahana bagi cahaya yang melingkupi jasad yang ada di hidup kita, yaitu hidup kita sendiri tanpa ada yang menghidupkan. Oleh karena itu, berkuasa, mendengar, mencium, berbicara, merasakan segala rasa, semua itu berasal dari kodrat dzat kita sendiri. Maksudnya, Dzat Tuhan yang mahasuci melihat dengan mata kita. Dzat Tuhan mendengar dengan telinga kita.

Dengan kata lain, perbuatan kita adalah wahana bagi Dzat, maka segala macam perbuatan Dzat Tuhan diwujudkan dalam diri kita. Dengan kata lain, Tuhan YME berbuat menggunakan hidup kita.

Q. 37:96.

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
Ayat ini menegaskan bahwa Allah adalah pemilik absolut daya dan kekuatan. Tetapi, daya dan kekuatan itu disalurkan melalui diri manusia yang hidup. Artinya, bila kita berbuat jahat, maka kekuatan Allah yang kita gunakan. Namun, Dia tidak meridai.

Selama perbuatan yang kita lakukan untuk kebajikan, dan tidak untuk perbuatan jahat, maka tak perlu ada rasa khawatir dalam pikiran. Dalam hal demikian, lahir dan batin Allah berada dalam hidup kita pribadi. Dalam peribahasanya: “Lebih tua dzat manusia daripada sifat Allah.” Sebab, dzat itu qadim, azali abadi, sedangkan kejadian sifat itu hudutsul ‘alam atau alam yang baru ada di dunia. Akan tetapi, tarik-menarik dan tetap-menetapkan semua yang bernama dzat itu pasti mengandung sifat. Segala yang bernama sifat pasti memiliki dzat. Hubungan antara Dzat dan sifat dijelaskan dalam dalil berikutnya.

“Sejatining Insung Dzat kang amurba amisesa, kang kuwasa anitahake sawiji-wiji, dadi pada sanalika, sampurna saka ing kodrating-Sun, ing kono wus kanyatahan pratandhaning apngaling-Sun, minangka bubukaning iradating-Sun: kang dhingin Ingsun anitah-ake kayu, aran sajaratul yakin, tumuwuh ing sajroning ngalam ngadam makdum ajali abadi, nuli cahya aran Nur Muhammad, nuli kaca aran miratul kayai, nuli nyawa aran roh ilapi, nuli damar aran kandil, nuli soso-tya aran darrah, nulio dhindhing jalal aran kijab, kang minangka warananing kalarating-Sun.”

Terjemahan dalil:

“Sesungguhnya Aku adalah Dzat yang maha pencipta dan mahakuasa, yang berkuasa menciptakan segala sesuatu, terjadi dalam seketika, sempurna lantaran kodrat-Ku: sebagai pertanda perbuatan-Ku, merupakan kenyataan kehendak-Ku. Mula-mula Aku menciptakan hayyu bernama sajaratul yaqin. Tumbuh dalam alam adam makdum yang azali abadi. Setelah itu cahaya yang bernama Nur Muhammad, kaca bernama mir‘atul hayai, nyawa bernama roh idhafi, lampu bernama kandil, permata bernama dzarrah, dan dinding jalal bernama hijab, yang menjadi penutup hadirat-Ku.”

Jadi, kalau diurut dari Dzat hingga sifat, akan didapat rangkaian penciptaan sebagai berikut.

1. Sajaratul yaqin.
2. Nur Muhammad.
3. Mir‘atul hayai.
4. Roh Ilapi.
5. Kandil.
6. Dzarrah.
7. Hijab.

Pertama, sajaratul yaqin. Pada tahap awal Dzat hadir sebagai yang hidup. Perhatikan dalil kedua “minangka bubukaning iradating-Sun: kang dhingin Ingsun anitah-ake kayu, aran sajaratul yakin.” Dzat yang semula tidak tersentuh oleh waktu, mulai mewaktu ketika Dia menetapkan Dirinya menjadi hidup (kayu, hayyu) dengan nama sajaratul yakin atau pohon kehidupan yang pasti. SY ini disebut sebagai Dzat yang tumbuh di alam ngadam makdum ajali abadi.

Artinya, keberadaan SY itu masih di ruang hampa yang sunyi-senyap dan bersifat abadi. Alam ini juga dikenal sebagai alam yang gelap gulita. Belum ada sesuatu pun di luar diri-Nya. Dia adalah Dzat absolut yang qadim, tak ada sesuatu pun yang mendahului ada-Nya. Disebut juga Ahadiyat dalam ajaran martabat tujuh.

Q. 57:3. Dialah yang awal dan yang akhir, yang lahir dan yang batin; dan Dia maha mengetahui segala sesuatu.

Awal akhir hanyalah sifat Dzat, bukan sifat sesuatu yang menjadi ada. Menjadi ada berkaitan dengan ruang dan waktu. Oleh karena itu, sebelum ada apa pun, maka sajaratul yakin bersifat ‘adam yang artinya tidak ada atau kosong. Ma‘dum artinya tidak ada, non-being. Dengan demikian, pada saat Dzat menetapkan diri-Nya menjadi sajaratul yakin, maka keadaannya masih kosong dari segala sesuatu kecuali diri-Nya sendiri. Tentunya belum ada rupa dan juga warna. Jika disebut gelap, itu hanya menunjukkan tiada rupa dan warna.

Oleh karena itu, ketika masih menjadi hayyu yang disebut sajaratul yakin dan disebut oleh orang Jawa kajeng sejati, Dzat tidak serupa dengan segala sesuatu. Keadaan Dzat tetap abadi, selama-lamanya meskipun kodrat dan iradat-Nya memancarkan cahaya. Dalam ajaran martabat tujuh keadaan sajaratul yakin ini disebut “lâ ta‘yun” alias belum berbentuk.

Kedua, nuli cahya aran Nur Muhammad, cahaya yang terpuji. Disebutkan di dalam Hadis bahwa NM itu seperti burung merak yang berada dalam permata putih dan dalam arah sajaratul yakin dan inilah yang dinamakan hakikat cahaya dan diakui sebagai tajali Dzat. NM ini berada dalam nukad gaib, merupakan sifat atma menjadi wahana bagi alam Dzat.

Nukad adalah biji –bagi kemunculan sesuatu– dan gaib adalah tidak terlihat. Dalam kajian yang lebih dalam, NM yang bermakna cahaya yang terpuji ini bersifat sebagai cahaya terang tanpa bayangan. Cahaya terang artinya cahaya yang menerangi. Sorot ini tidak seperti pancaran cahaya lampu. Dengan sorot cahaya NM ini terwujudlah alam terkembang. Dengan kata lain, NM memancar ke segenap arah tak terhalang oleh apa pun. Pancaran NM meliputi semuanya.

Hal semacam ini diterangkan dalam Q. 24:35 bahwa Allah adalah cahaya langit dan bumi. Menurut martabat tujuh NM disebut sebagai martabat wahdat. Artinya, dalam martabat ini kesatuan mengandung kejamakan yang bersifat global.

Dalam tahap NM belum kelihatan batas-batas, tetapi alam ini merupakan awal dari kenyataan yang dapat dikenal. Oleh karena itu, alam ini juga disebut sebagai ta‘yun awal. Menurut pandangan al-Hallaj, Nur Muhammad dikenal sebagai Hakikat Muhammad. Dengan kata lain segala sesuatu yang tergelar di jagat raya ini berasal dari HM.

Sifat Muhammad sama dengan tegaknya rasul, yaitu utusan Dzat yang berfungsi menyebar pengetahuan yang masih murni/suci. Dengan demikian, terdapat dua sifat Muhammad, yaitu sifat manusia hidup, dan sifat manusia luhur.

Dalam sebuah Hadis di kalangan sufi disebutkan: “Bila bukan karena engkau, bila bukan karena engkau, maka niscaya alam semesta ini tidaklah Aku ciptakan.”

Jadi, NM atau HM adalah sumber segala sesuatu. Tapi, NM itu bagaikan sebutir biji, yang di dalam biji itu terkandung bakal akar, batang, cabang, ranting, daun, bunga, buah, dan biji kembali. Bila NM itu telah mengandung semuanya, maka Dzat, sifat, asma, dan perbuatan adalah satu. Inilah yang disebut wahdat al-wujud. Satu kesatuan wujud. Oleh karena NM sendiri manifestasi dari Allah, pancaran langsung yang tidak terhalangi, maka Nur Muhammad = hakikat Allah.

Dzat ketika me-waktu disebut juga sebagai kusuma anjrah ing tawang, bunga yang tumbuh di udara. Dan, ketika telah menjadi Nur Muhammad dinamakan tunjung tanpa telaga yang artinya bunga teratai yang tumbuh tanpa air (tanpa telaga). Bila kusuma masih bersifat abstrak, lain halnya dengan bunga teratai. Bunga teratai memiliki deskripsi, ada kenyataan. Tetapi, bila bunga itu belum ada air atau telaganya tentu belum tumbuh. Yang jelas dalam biji teratai itu sudah terkumpul sifat-sifat teratai. Ketika satu per satu muncul kita bisa menyaksikan asmanya. Dan, ketika kita telah menyaksikan asmanya dan mengerti fungsi masing-masingnya maka pada saat itu kita menyaksikan perbuatannya. Semuanya adalah manifestasi Dzat.

Dengan demikian, semua keberadaan adalah keberadaan yang satu, sawiji atau satu biji. Ada kodrat dan iradat dalam biji itu untuk menumbuhkan semuanya. Namun, yang sudah tampak menjadi akar, tentu bukan hakikat lagi. Bila sudah tampak menjadi batang, tentu bukan hakikatnya lagi, dan seterusnya. Kita harus bisa membedakan penampakan dan yang hakikat. Yang tampak ini hanyalah wahana saja bagi yang tidak tampak. Kita memang menjadi wahana bagi sifat rasul apabila kita menyediakan untuk itu. Kita bukan sifat rasul itu sendiri, tetapi hanya wahananya. Oleh karena itu, bila diri kita ini tidak melakukan yang sesuai dengan sifat rasul, maka kita bukan dia.

Sebaliknya, bila seorang hamba sudah menyerahkan sepenuhnya dirinya sebagai wahana-Nya, maka dia tidak memiliki perasaan untuk berbuat karena seluruh tubuhnya menjadi wahana-Nya. Ketika dia mendengar, maka telinga adalah telinga-Nya, yang dengan kata lain Dia menjadi pendengaran. Demikianlah seterusnya.

Q. 81:29.

Dan kamu tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. Jadi, biji dapat menentukan apa yang tumbuh, tetapi, daun tidak dapat mempengaruhi biji.

Seseorang yang menjalani sifat-sifat rasul, tanpa sadar ia sebagai salah satu rasul. Tetapi, seseorang yang mengaku-aku sebagai rasul, maka ia sebenarnya bukan rasul Allah melainkan utusan hawa nafsunya sendiri, yang juga disebut utusan setan. Mengaku-aku adalah wujud keinginan ego. Itulah sebabnya dalam kenyataan sejarah orang yang meng-aku rasul biasanya kandas di tengah jalan. Tetapi, bila ia benar-benar rasul, tak ada yang bisa menghalangi atau menutupi.

Bila seseorang menyatakan sebagai rasul, dan itu di luar kendali dirinya, biasanya sampai mati pun tak akan menyerah. Nabi Zakaria dan Yahya menyampaikan kebenaran meski keduanya kehilangan nyawa.

Jadi, makna ayat Q. 81:29 tegas sekali, bahwa apa yang kita kehendaki, hanya terwujud bila dikehendaki-Nya. Bila kehendak kita senantiasa terwujud dalam kebaikan, maka itulah tanda hamba dan Tuhannya sudah manunggal, manunggaling kawula Gusti.

Kalau tubuh kita ini hendak kita jadikan wahana Dzat-Nya, maka kita harus terus-menerus konsisten untuk melakukan kebajikan, melakukan apa-apa yang selalu bermanfaat bagi kehidupan diri sendiri dan makhluk-makhluk lainnya. Kita harus buang jauh-jauhkeinginan untuk menjadi utusan-Nya. Kalaulah ada keinginan hanyalah keinginan untuk berbuat kebajikan.


Bangkitnya Kesadaran Sejati & Nur Muhammad

SIKAP

Semakin lama saya hidup, semakin saya sadar
Akan pengaruh sikap dalam kehidupan

Sikap lebih penting daripada ilmu,
daripada uang, daripada kesempatan,
daripada kegagalan, daripada keberhasilan,
daripada apapun yang mungkin dikatakan
atau dilakukan seseorang.

Sikap lebih penting
daripada penampilan, karunia, atau keahlian.
Hal yang paling menakjubkan adalah
Kita memiliki pilihan untuk menghasilkan
sikap yang kita miliki pada hari itu.

Kita tidak dapat mengubah masa lalu
Kita tidak dapat mengubah tingkah laku orang
Kita tidak dapat mengubah apa yang pasti terjadi

Satu hal yang dapat kita ubah
adalah satu hal yang dapat kita kontrol,
dan itu adalah sikap kita.

Saya semakin yakin bahwa hidup adalah
10 persen dari apa yang sebenarnya terjadi pada diri kita,
dan 90 persen adalah bagaimana sikap kita menghadapinya.

Akhirnya:
Seluruh pilihan terletak di tangan Anda,
tidak ada kata-kata “JIKA” atau “TETAPI”.
Andalah pengemudinya.
Andalah yang menentukan JALAN HIDUP ANDA…!

Secara fitrah manusia menginginkan “kesatuan dirinya” dengan Tuhan, karena itulah pergerakan dan perjalanan hidup manusia adalah sebuah evolusi spiritual menuju dan mendekat kepada Sang Pencipta. Tujuan mulia itulah yang akhirnya akan mengarahkan dan mengaktualkan potensi dan fitrah tersembunyi manusia untuk digunakan sebagai sarana untuk mencapai “spirituality progress”.

Di masa modern sekarang agama adalah kebutuhan pokok yang tidak bisa lupakan, bahkan tidak sesaat-pun manusia mampu meninggalkan agamanya, yang mana agama adalah pandangan hidup dan praktik penuntun hidup dan kehidupan, sejak lahir sampai mati, bahkan sejak mulai tidaur sampai kembali tidur agama selalu akan memberikan bimbingan, demi menuju hidup sejahtera dunia dan akhirat.

Ada sebuah ungkapan menarik dari seorang filsuf Perancis, Teilhard de Chardin,
“Kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, kita adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi.”

Manusia bukanlah “makhluk bumi” melainkan “makhluk langit”. Kita adalah makhluk spiritual yang kebetulan sedang menempati rumah kita di bumi. Tubuh kita sebenarnya hanyalah rumah sementara bagi jiwa kita. Tubuh diperlukan karena merupakan salah satu syarat untuk bisa hidup di dunia. Tetapi, tubuh ini lama kelamaan akan rusak dan akhirnya tidak dapat digunakan lagi. Pada saat itulah jiwa kita akan meninggalkan ”rumah” untuk mencari ”rumah” yang lebih layak. Keadaan ini kita sebut meninggal dunia. Jangan lupa, ini bukan berarti mati karena jiwa kita tak pernah mati. Yang mati adalah rumah kita atau tubuh kita sendiri.

Perhatikan Sabda Rasulullah ini :

مَثَلُ الَّذِيْ يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِيْ لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ

“Permisalan orang yang berdzikir kepada Allah dengan orang yang tidak berdzikir kepada Allah adalah seperti orang yang hidup dan mati.” (HR. Al-Bukhariy no.6407bersama Fathul Bari 11/208 dan Muslim 1/539 no.779)

Untuk dapat menikmati hidup, hal terpenting yang perlu Anda lakukan adalah menjadi SADAR. Inti spiritualitas juga adalah kesadaran. Banyak orang yang menjalani hidup ini dalam keadaan “tertidur”. Mereka lahir, tumbuh, menikah, mencari nafkah, membesarkan anak, dan akhirnya meninggal dalam keadaan “tertidur”. Bahkan Rasulullah tidak hanya mengistilahkan tertidur, Beliau bahkan menyebutnya sebagai orang yang “Mati” walau jasmaninya hidup.

Analoginya adalah seperti orang yang terkena hipnotis. Anda tahu di mana menyimpan uang. Anda pun tahu persis nomor pin Anda. Dan Andapun menyerahkan uang Anda pada orang tidak dikenal. Anda tahu, tapi tidak sadar. Karena itu, Anda bergerak bagaikan robot-robot yang dikendalikan orang lain, lingkungan, jabatan, uang, dan harta benda.

Pengertian menyadari amat berbeda dengan mengetahui. Anda tahu berolah raga penting untuk kesehatan, tapi Anda tidak juga melakukannya. Anda tahu memperjualbelikan jabatan itu salah, tapi Anda menikmatinya. Anda tahu berselingkuh dapat menghancurkan keluarga, tapi Anda tidak dapat menahan godaan. Itulah contoh tahu tapi tidak sadar!

Ada dua hal yang dapat membuat orang menjadi sadar. Pertama, peristiwa-peristiwa pahit dan musibah. Musibah sebenarnya adalah “rahmat terselubung” karena dapat membuat kita bangun dan sadar. Anda baru sadar pentingnya kesehatan kalau Anda sakit. Anda baru sadar pentingnya olahraga kalau kadar kolesterol Anda mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.

Anda baru sadar nikmatnya bekerja kalau Anda di-PHK. Seorang wanita karier baru menyadari bahwa keluarga jauh lebih penting setelah anaknya terkena narkoba. Seorang sopir taksi pernah bercerita bahwa ia baru menyadari bahayanya judi setelah hartanya habis.

Kematian mungkin merupakan satu stimulus terbesar yang mampu menyentakkan kita. Banyak tokoh terkenal meninggal begitu saja. Mereka sedang sibuk memperjualbelikan kekuasaan, saling menjegal, berjuang meraih jabatan, lalu tiba-tiba saja meninggal. Bayangkan kalau Anda sedang menonton film di bioskop. Pertunjukan sedang berlangsung seru ketika tiba-tiba listrik padam. Petugas bioskop berkata, “Silakan Anda pulang, pertunjukan sudah selesai!”

Anda protes, bahkan ingin menunggu sampai listrik hidup kembali. Tapi, si penjaga hanya berkata tegas, “Pertunjukan sudah selesai, listriknya tidak akan pernah hidup kembali.”

Itulah analogi sederhana dari kematian. Kematian orang yang kita kenal, apalagi kerabat dekat kita sering menyadarkan kita pada arti hidup ini. Kematian menyadarkan kita pada betapa singkatnya hidup ini, betapa seringnya kita meributkan hal-hal sepele, dan betapa bodohnya kita menimbun kekayaan yang tidak sempat kita nikmati.

Hidup ini seringkali menipu dan meninabobokan orang. Untuk menjadi bangun kita harus sadar mengenai tiga hal, yaitu siapa diri kita, darimana kita berasal, dan ke mana kita akan pergi. Untuk itu kita perlu sering mengambil jarak dari kesibukan kita dan melakukan kontemplasi.

Coba Anda resapi paragraf-paragraf diatas dalam-dalam. Badan kita akan mati, tapi jiwa kita tetap hidup. Kalau Anda menyadari hal ini, Anda tidak akan menjadi manusia yang ngoyo dan serakah. Kita memang perlu hidup, perlu makanan, tempat tinggal, dan kebutuhan dasar lainnya. Bila Anda sudah mencapai semua kebutuhan tersebut, itu sudah cukup!

Buat apa sibuk mengumpul-ngumpulkan kekayaan — apalagi dengan menyalahgunakan jabatan — kalau hasilnya tidak dapat Anda nikmati selama-lamanya. Apalagi Anda sudah merusak jiwa Anda sendiri dengan berlaku curang dan korup. Padahal, jiwa inilah milik kita yang abadi.

Lantas, apakah kita perlu mengalami sendiri peristiwa-peristiwa yang pahit tersebut agar kita sadar? Jawabnya: ya! Tapi kalau Anda merasa cara tersebut terlalu mahal, ada cara kedua yang jauh lebih mudah:

Belajarlah MENDENGARKAN.

Dengarlah dan belajarlah dari pengalaman orang lain. Bukalah mata dan hati Anda untuk mengerti, mendengarkan, dan mempertanyakan semua pikiran dan paradigma Anda. Sayang, banyak orang yang mendengarkan semata-mata untuk memperkuat pendapat mereka sendiri, bukannya untuk mendapatkan sesuatu yang baru yang mungkin bertentangan dengan pendapat mereka sebelumnya. Orang yang seperti ini masih tertidur dan belum sepenuhnya bangun.

KESADARAN MUHAMMAD

Banyak yang dalam perjalanan spiritualnya sudah mendapatkan karunia yang banyak. Termasuk di antaranya adalah terbukanya kesadaran untuk melihat alam ghaib atau dimensi alam vibrasi energi quanta yang berada di balik selubung alam materi ini, dan bahkan dapat berkelana di alam ghaib dengan meraga sukma, dsb.

Namun itu belumlah dapat dikatakan sudah mencapai KESADARAN SEJATI atau MAKRIFATULLAH, itu baru pada terbukanya pengalaman hidup pada dimensi kehidupan yang lebih halus. Itu baru tahap awal saja, masih jauh perjalanan kita untuk memurnikan diri dalam menggapai derajat “manusia sempurna” (al Insanul Kamil) atau Hakikat Muhammad (al-Haqiqah al- Muhammadiyah).

Seseorang baru dapat dikatakan mencapai KESADARAN SEJATI bila dalam pemurnian dirinya sudah mencapai pada tingkat kualitas ruhaniyah yang suci. Yaitu Ruhaniyah yang mampu memancarkan pancaran-pancaran Cahaya Ilahi dengan sempurna. Ruhaniyahnya mampu memantulkan Cahaya Ilahi dengan sempurna untuk menerangi hidup dan kehidupannya, sehingga nampaklah sifat-sifat terpuji yang melekat pada dirinya. Itulah Ruhaniyah yang sudah manunggal dengan Nur Muhammad yang merangkum sifat-sifat Muhammadiyah (Terpuji). Inilah manusia yang telah mencapai derajat SPIRITUAL INSAN KAMIL yang bisa menjadi Rahmat Bagi Sekalian Alam.

Allah SWT berfirman:
  1. “Tiadalah Kami mengutus engkau (wahai Muhammad) melainkan untuk menjadi Rahmat bagi sekalian alam.” (Quran s. al- Anbiya : 107)
  2. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (iaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)
  3. “Sungguh dalam dirimu terdapat akhlaq yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)

Rasulullah bersabda :
  1. “Sesungguhnya aku diutus adalah untuk menyempurnakan budipekerti yang mulia.”(H.R.Ahmad)
  2. “Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya.” (H.R.Ahmad)
  3. “Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang terbaik akhlaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
  4. Dan Aisyah pernah berkata ketika ditanya kepadanya tentang akhlaq nabi saw, beliau berkata: “Akhlaq nabi adalah Al-Qur’an”. (HR Muslim)
Ibn ‘Arabi mengemukakan teori tentang “manusia sempurna” (al Insanul Kamil) atau Hakikat Muhammad (al-Haqiqah al- Muhammadiyah), manusia sempurna adalah cermin dari alam seluruhnya. Karena Allah ingin melihat substansinya dalam alam seluruhnya, yang meliputi seluruh hal yang ada, yaitu karena hal ini bersifat wujud serta kepada Nya itu Dia mengemukakan rahasia Nya. Maka kemunculan manusia sempurna, menurut Ibn ‘Arabi adalah esensi kecemerlangan cermin alam. Ibn ‘Arabi membedakan manusia sempurna menjadi dua. Pertama, manusia sempurna dalam kedudukannya sebagai manusia baru. Kedua, manusia sempurna dalam kedudukannya sebagai manusia abadi. Karena itu, dalam deskripsi Ibn ‘Arabi, manusia sempurna adalah : Manusia baru yang abadi yang muncul, bertahan, dan abadi. (konteks abadi ini bukan berarti abadi dalam konteks sama dengan keabadian Allah.)

Sudah jelaskah kemana arah tujuan perjalanan spiritual kalian bukan…? Yaitu mengikuti jejak langkah dan mengambil suri tauladan dari Nabi Muhammad SAW. Beliaulah model atau cermin diri bagi pengembangan diri kita. Kesempurnaan perjalanan spiritual kita baru tercapai, bila kita telah secara sempurna dapat me-”MODEL”-kan karakter dan keruhanian Rasulullah dengan sempurna. Jadi Janganlah terjebak pada Faham Manunggaling Kawulo Gusti yang tidak jelas jluntrungannya. Atau terjebak pada faham mistik ghoibiyah yang juga tidak jelas arahnya, bahkan banyak yang jauh melenceng dari jalan Shirothol Mustaqiem. Bila mengehendaki untuk bisa berMakrifatullah maka Nur Muhammad adalah satu-satunya jalan, tak ada jalan lain.

Setiap muslim dan muslimah memiliki kewajiban untuk meneladani Rasulullah saw dalam berbagai aspek kehidupan mereka, karena perkara tersebut merupakan satu-satunya jalan untuk mencapai keamanan dan kebahagiaan di dunia serta keberuntungan dan nikmat di akhirat.

NUR MUHAMMAD
  1. Jabir ibn `Abd Allah r.a. berkata kepada Rasullullah s.a.w: “Wahai Rasullullah, biarkan kedua ibubapa ku dikorban untuk mu, khabarkan perkara yang pertama Allah jadikan sebelum semua benda.” Baginda berkata: “Wahai Jabir, perkara yang pertama yang Allah jadikan ialah cahaya Rasulmu daripada cahayaNya, dan cahaya itu tetap seperti itu di dalam KekuasaanNya selama KehendakNya, dan tiada apa, pada masa itu.” ( Hr : al-Tilimsani, Qastallani, Zarqani ) `Abd al-Haqq al-Dihlawi mengatkan bahwa hadist ini sahih
  2. “Aku adalah cahaya dihadapan Tuhanku selama empat belas ribu tahun sebelum Dia menjadikan Adam a.s.” ( HR Imam Ahmad, Dhahabi dan al-Tabari )
  3. “Bila Tuhan menjadikan Adam, Dia menurunkan aku dalam dirinya (Adam). Dia meletakkan aku dalam Nuh semasa di dalam bahtera dan mencampakkan aku ke dalam api dalam diri Ibrahim. Kemudian meletakkan aku dalam diri yang mulia-mulia dan memasukkan aku ke dalam rahim yang suci sehingga Dia mengeluarkan aku dari kedua ibu-bapa ku. Tiada pun dari mereka yang terkeluar.” ( HR : Hakim, Ibn Abi `Umar al-`Adani )
Beberapa kalangan dalam ummat Islam mempersoalkan konsep Nur Muhammad (Cahaya Muhammad atau Ruh Muhammad) sebagai suatu konsep yang tidak memiliki dasar dalam ‘aqidah Islam. Padahal, konsep Nur Muhammad adalah suatu konsep ‘aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang diterima dan diakui oleh ijma’ (konsensus) ulama ilmu kalam dan ulama’ tasawwuf (awliya’ Allah) dalam kurun waktu yang panjang, sebagai suatu konsep yang memiliki sumber dalilnya dari Quran dan Hadits Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Konsep ‘aqidah Nur Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam menyatakan antara lain bahwa cahaya atau ruh dari Nabi Besar Muhammadsall-Allahu ‘alayhi wasallam adalah makhluq pertama yang diciptakan sang Khaliq, Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang kemudian darinya, Ia Subhanahu wa Ta’alamenciptakan makhluq-makhluq lainnya. Pada artikel ini, insha Allah akan dijelaskan, dalil-dalil qath’i (bukti yang pasti) berupa ayat-ayat Al Quran yang menyebutkan atribut Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam sebagai Nur (cahaya) yang dikaruniakan Allah Ta’ala bagi segenap alam semesta. Akan kita dapati pula, penjelasan dari berbagai ulama ahli tafsir (mufassir) akan makna ayat-ayat tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala sendirilah yang menyebut Rasulullah sall-Allahu ‘alayhi wasallam sebagai Nuur (cahaya), atau sebagai “Siraajan Muniiran” (makna literal: Lampu yang Bercahaya).

Hal ini dapat kita perhatikan dari ayat-ayat berikut:

1. dalam QS. Al-Maidah 5:15

“Hai ahli kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan.”(QS. 5:15)

2. dalam QS.An-Nur 24:35

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. 24:35)

3. dalam QS. Al-Ahzab 33: 45-46

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan,” (QS. 33:45)
“dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.” (QS. 33:46)

TAFSIR DAN INTERPRETASI AYAT

I. Mengenai ayat pertama (5:15)
  1. -Qadi ‘Iyad berkata, “Beliau (Nabi) dinamai cahaya (Nuurun) karena kejelasan perkaranya dan karena fakta bahwa Nubuwwahnya (Kenabiannya) telah dijadikan amat jelas, dan juga karena menerangi cahaya orang-orang mukmin dan ‘arif billah dengan apa yang beliau bawa.”
  2. Suyuti dalam Tafsir al-Jalalayn, Fayruzzabadi dalam Tafsir Ibn ‘Abbas berjudul Tanwir al-Miqbas (hlm. 72), Shaykh al-Islam, Imam Fakhr al-Din ar-Razi, Mujaddid abad keenam, dalam Tafsir al-Kabir-nya (11:189), Qadi Baydawi dalam Tafsirnya yang berjudul Anwar al-Tanzil, al-Baghawi dalam Tafsir-nya berjudul Ma’aalim al-Tanzil (2:23), Imam al-Shirbini dalam Tafsirnya berjudul al-Siraj al-Munir (hlm. 360), pengarang Tafsir Abi Sa’ud (4:36), dan Thana’ullah Pani Patti dalam Tafsir al-Mazhari-nya (3:67) berkata: “Apa yang dimaksudkan sebagai suatu Cahaya (Nuurun) adalah: Muhammad, sallalLahu ‘alayhi wasallam.”
  3. Ibn Jarir al-Tabari dalam Tafsir Jami’ al-Bayan-nya (6:92) berkata: “Telah datang padamu Cahaya (Nuurun) dari Allah: Ia maksudkan dengan Cahaya adalah: Muhammad, sallalLahu ‘alayhi wasallam, dengan mana Allah telah menerangi kebenaran, membawa Islam maju dan memunahkan kesyirikan. Karena itu beliau (Nabi) adalah suatu cahaya (nuurun) bagi mereka yang telah tercerahkan oleh beliau dan oleh penjelasannya akan kebenaran.”
  4. al-Khazin dalam Tafsir-nya (2:28) mengatakan serupa: “Telah datang padamu Cahaya (Nuurun) dari Allah bermakna: Muhammad, sallalLahu ‘alayhi wasallam. Allah menyebut beliau cahaya tidak dengan alasan apa pun melainkan karena seseorang terbimbing olehnya (Muhammad SallAllahu ‘alayhi wasallam) dengan cara yang sama seperti seseorang terbimbing oleh cahaya dalam kegelapan.”
  5. Sayyid Mahmud al-Alusi dalam tafsirnya berjudul Tafsir Ruhul Ma’ani (6:97) secara serupa berkata: “Telah datang padamu suatu cahaya (Nuurun) dari Allah: adalah, suatu cahaya yang amat terang yaitu cahaya dari cahaya-cahaya dan yang terpilih dari semua Nabi, sallalLahu ‘alayhi wasallam.”
  6. Isma’il al-Haqqi dalam komentarnya atas Alusi berjudul Tafsir Ruh al-Bayan (2:370) secara serupa juga berkata: “Telah datang padamu Cahaya (Nuurun) dari Allah dan suatu Kitab yang menjelaskan segala sesuatu: dikatakan bahwa makna yang awal (yaitu NUUR) adalah Rasulullah, sallalLahu ‘alayhi wasallam, dan yang berikutnya (Kitabun Mubin, penerj) adalah Quran….
Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam disebut Cahaya (Nuurun) karena yang pertama yang dibawa keluar dari kegelapan kelalaian dengan cahaya dari kekuatan-Nya, adalah cahaya (Nuur) Muhammad, sallalLahu ‘alayhi wasallam, sebagaimana beliau (Nabi Sall-Allahu ‘alayhi wasallam) pernah bersabda: ‘Hal pertama yang Allah ciptakan adalah cahayaku.”

Riwayaat ini berkenaan dengan pertanyaan Jabir ibn ‘Abd Allah yang bertanya tentang apa yang diciptakan Allah pertama kali sebelum segala sesuatu lainnya.

Riwayat ini diriwayatkan oleh ‘Abd al-Razzaq (wafat 211H) dalam Musannaf-nya, menurut Imam Qastallani dalam al-Mawahib al-Laduniyya (1:55) dan Zarqani dalam Syarah al-Mawahib (1:56 dari edisi Matba’a al-’amira di Kairo). Tidak ada keraguan akan Abd Razzaq sebagai rawi (periwayat Hadits). Bukhari mengambil 120 riwayat darinya, Muslim 400. Riwayat ini dinyatakan pula sahih oleh Abd al-Haqq ad-Dihlawi (wafat 1052), ahli hadits India, juga disebut oleh ‘Abd al-Hayy al-Lucknawi (wafat 1304 H) ahli hadits kontemporer India. Demikian pula oleh Al-Alusi dan Bayhaqi dengan matan [redaksi susunan kata hadits, penerj.] yang berbeda, dan juga oleh beberapa ulama lain.

Sebagai suatu catatan khusus adalah suatu fakta bahwa kaum Mu’tazili [kaum yang terlalu mengandalkan ra'yu atau logika akal, penerj.] berkeras bahwa Cahaya dalam ayat 5:15 merefer hanya pada Quran dan tidak pada Nabi. Alusi berkata dalam kelanjutan kutipan di atas: “Abu ‘Ali al-Jubba’i berkata bahwa cahaya/nuurun berkaitan dengan Quran karena Quran membuka dan memberikan jalan petunjuk dan keyakinan. al-Zamakhshari (dalam al-Kasysyaf 1:601) juga puas dengan penjelasan ini.” Penjelasan yang lebih dalam akan dua pendapat ini dijelaskan oleh Shah ‘Abd al-’Aziz al-Multani dalam al-Nabras (hlm. 28-29): “al-Kasysyaf memproklamasikan dirinya sebagai Bapak Mu’tazilaa… Abu ‘Ali al-Jubba’i adalah seperti Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab-nya kaum Mu’tazila Basra.” Kesamaan antara pendapat Mu’tazila dengan Wahhabi dan “Salafi” modern ditekankan oleh Imam Kawtsari di banyak tempat di kitab Maqalat-nya, di mana beliau menunjukkan bahwa seperti halnya Mu’tazilah, penolakan kaum Wahhabi (dan juga Salafi modern, penerj.) atas karakteristik awliya’ adalah kamuflase atas penolakan (karakteristik) yang sama dari diri para Nabi.

Ada suatu penjelasan yg patut dicatat di antara Ahlus Sunnah yang mendeskripsikan makna Nabi baik kepada Cahaya (Nuurun) maupun Kitab, al-Sayyid al-Alusi berkata dalam Ruh al-Ma’aani (6:97): “Saya tidak menganggapnya dibuat-buat bahwa yang dimaksud baik dengan Cahaya (Nuurun) maupun Kitabun Mubin adalah sang Nabi, konjungsi dengan cara yang sama seperti yang dikatakan al-Jubba’i (bahwa baik Cahaya maupun Kitab adalah Quran). Tidak ada keraguan bahwa dapat dikatakan semua merefer ke Nabi. Mungkin Anda akan ragu utk menerima ini dari sudut pandang ‘ibara (ekspresi); tapi cobalah dari sudut pandang ‘isyarah.”

- Al-Qari berkata dalam Syarah al-Shifa’ (1:505, Mecca ed), bahwa “Telah pula dikatakan bahwa baik Cahaya maupun Kitab merefer pada Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam, karena beliau adalah suatu cahaya yang cemerlang dan sumber dari segala cahaya, beliau adalah pula suatu kitab/buku yang mengumpulkan dan memperjelas segala rahasia.” Ia juga berkata (1:114, Madina ed.): “Dan keberatan apa untuk mempredikatkan kedua kata benda itu pada Nabi, karena beliau secara hakikat adalah Cahaya yang Terang karena kesempurnaan penampilannya (tajallinya) di antara semua cahaya, dan beliau adalah suatu Kitab Nyata karena beliau mengumpulkan keseluruhan rahasia dan membuat jelas seluruh hukum, situasi, dan alternatif.”

II. Mengenai ayat kedua (QS. 24:35)
  1. Imam Suyuti berkata dalam al-Riyad al-Aniqa: Ibn Jubayr dan Ka’b al-Akhbar berkata: “Apa yang dimaksud dengan cahaya (nuurun) kedua (dalam ayat tersebut, penerj.) adalah Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam karena beliau adalah Rasul dan Penjelas dan Penyampai dari Allah apa-apa yang memberi pencerahan dan kejelasan.” Ka’b melanjutkan: “Makna dari ‘Minyaknya hampir-hampir bercahaya’ adalah karena kenabian Nabi akan dapat diketahui orang sekalipun beliau tidak mengatakan bahwa beliau adalah seorang Nabi, sebagaimana minyak itu juga akan mengeluarkan cahaya tanpa tersentuh api.”
  2. Ibn Kathir mengomentari ayat ini dalam Tafsir-nya dengan mengutip suatu laporan via Ibn ‘Atiyya dimana Ka’b al-Ahbar menjelaskan firman-firman Allah: “…yakadu zaytuha yudhi-u wa law lam tamsashu nar…”, sebagai bermakna: “Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam sudah hampir jelas sebagai seorang Nabi bagi orang-orang, sekalipun beliau tidak mengumumkannya.”
  3. Qadi ‘Iyad berkata dalam al-Syifa’ (edisi English p. 135): Niftawayh berkata berkaitan dengan kata-kata Allah: “…minyaknya hampir-hampir bercahaya sekalipun api tidak menyentuhnya…” (24:35): “Ini adalah perumpamaan yang Allah berikan berkaitan dengan Nabi-Nya. Ia berkata bahwa makna ayat ini adalah bahwa wajah ini (wajah Rasulullah SAW, pen.) telah hampir menunjukkan kenabiannya bahkan sebelum beliau menerima wahyu Quran, sebagaimana Ibn Rawaha berkata: “Bahkan jika seandainya tidak ada tanda-tanda nyata di antara kami, wajahnya telah bercerita padamu akan berita-berita.”
  4. Di antara mereka yang berkata bahwa makna “matsalu nuurihi” — perumpamaan Cahaya-Nya — adalah Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam adalah: Ibn Jarir at-Tabari dalam Tafsir-nya (18:95), Qadi ‘Iyad dalam al-Syifa’, al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil (5:63) dalam catatan al-Khazin, dari Sa’id ibn Hubayr dan ad-Dahhak, al-Khazin dalam Tafsir-nya (5:63), Suyuti dalam ad-Durr al-Mantsur (5:49), Zarqani dalam Syarah al-Mawahib (3:171), al-Khafaji dalam Nasim ar-Riyad (1:110, 2:449).
  5. al-Nisaburi dalam Ghara’ib al-Quran (18:93) berkata: “Nabi adalah suatu cahaya (Nuurun) dan suatu lampu yang memancarkan cahaya.”
  6. al-Qari dalam Syarah al-Shifa’ berkata: “Makna yang paling jelas adalah untuk mengatakan bahwa yang dimaksud dengan cahaya (Nuur) adalah Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam.”

III. Mengenai ayat ketiga (QS. 33: 45-46)
  1. Qadi al-Baydawi berkata dalam Tafsir-nya: “Itu adalah matahari berdasarkan firman-Nya: “Telah Kami jadikan matahari sebagai suatu lampu”; atau, itu mungkin berarti suatu lampu”.
  2. Ibn Kathir menyatakan dalam Tafsirnya: “Firman-Nya: ‘…dan suatu lampu yang bersinar’, adalah: statusmu (Wahai Nabi, penj) nampak dalam kebenaran yang telah kau bawa sebagaimana matahari nampak saat terbitnya dan bercahaya, yang tak bisa disangkal siapa pun kecuali yang keras-kepala.”
  3. Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradat (1:147) berkata: “kata itu (lampu) digunakan untuk segala sesuatu yang mencahayai.”
  4. al-Zarqani dalam Syarah al-Mawahib (3:171) berkata: “Beliau dinamai Lampu karena dari satu lampu muncul banyak lampu, dan cahayanya tidak berkurang.”
  5. Abd Allah ibn Rawaha al-Ansari cucu dari penyair Imru’ al-Qays berkata tentang Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam: law lam takun fihi ayatun mubina lakana manzaruhu yunabbi’uka bi al-khabari. “Bahkan seandainya, tidak ada ayat (tanda) berkenaan dengan ia (SAW), yang nyata dan jelas sungguh memandangnya saja sudah bercerita padamu akan khabar/berita”
  6. Ibn Hajar meriwayatkannya dalam al-Isaba (2:299) dan berkata: “Ini adalah syair terindah dengan mana Nabi pernah dipuji.” Ibn Sayyid al-Nas berkata tentang Ibn Rawaha ini dalam Minah al-Madh (hlm.. 166):

“Ia terbunuh sebagai syahid di perang Mu’ta pada 8 Jumadil Awwal sebelum Fathu Makkah (Penaklukan Makkah). Di hari itu ia adalah salah satu dari komandan. Ia adalah salah seorang dari penyair yang berbuat kebaikan dan biasa menangkis segala bahaya yang menyerang Rasulullah. Adalah berkenaan dengan dia dan dua temannya Hassan (ibn Tsabit) dan Ka’b (ibn Zuhayr) yang disinggung dalam ayat “Kecuali mereka yang beriman dan berbuat kebajikan dan bedzikir pada Allah sebanyak-banyaknya.” (As-Syu’ara 26:227).”

- Dan sebagai atribut dari Allah adalah Dzu al-Nur yang berarti Sang Pencipta cahaya, dan Penerang langit dan bumi dengan cahaya-cahaya-Nya, juga sebagai Penerang qalbu orang2 mukmin dengan petunjuk/hidayah. Imam Nawawi berkata Syarah Sahih Muslim, dalam komentarnya atas doa Nabi yang dimulai dengan: “Ya Allah, Engkaulah Cahaya Langit dan bumi dan milik-Mu lah segala puji…” (Kitab Salat al-Musafirin #199):

“Para ulama berkata bahwa makna “Engkau adalah cahaya langit dan bumi” adalah: Engkaulah Dzat Yang menyinari mereka (langit dan bumi) dan Pencipta cahaya mereka. Abu ‘Ubayda berkata: “Maknanya adalah bahwa dengan cahaya-Mu penduduk langit dan bumi memperoleh hidayah.”

al-Khattabi berkata dalam komentarnya atas nama Allah an-Nur: “Itu berarti Ia yang dengan cahaya-Nya yang buta dapat melihat, dan yang tersesat dapat terbimbing, di mana Allah adalah cahaya langit dan bumi, dan adalah mungkin bahwa makna al-Nur adalah: Dzu al-Nur, dan adalah tidak benar bahwa al-Nur adalah atribut dari Zat Allah, karena itu hanyalah atribut dari aksi (sifatu fi’li), yaitu: Ia adalah Pencipta dari cahaya.” Yang lain berkata: “Makna cahaya langit dan bumi adalah: Sang Pengatur matahari dan bulan dan bintang-bintang mereka (langit dan bumi).””

“Kebenaran adalah dari Tuhanmu, dan janganlah kau termasuk mereka yang ragu” (kutipan maknawi dari Quran).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar