Senin, 18 Maret 2013

ANTARA JIWA , RUH DAN JASAD

Kejadian ketika Allah mengambil kesaksian dan sumpah dari setiap jiwa memberikan informasi kepada kita, bahwa pada hakikatnya, manusia adalah makhluk spiritual. Kemudian, setelah kesaksian setiap jiwa di alam ruh / jiwa itu, maka Allah melalui mekanisme alam rahiim, memberikan setiap jiwa itu jasad. Jasad manusia pada hakikatnya adalah berasal dari bumi, dari sebagian zat yang ada pada tanah, sari pati tanah. Banyak sekali hal yang menyatakan tentang ini bisa kita temukan di dalam Al Qur’an. Dan ilmu pengetahuan modern-pun telah membenarkan bahwa jasad manusia adalah satu bentuk material yang berasal dari sari pati tanah. Sedangkan jiwa adalah sesuatu yang berasal, kita sebut saja, ia berasal dari langit karena jiwa substansinya bukan berasal dari bumi...

Jiwa tidak pernah berhenti berkeinginan karena tua, tetapi karena keterbatasan jasad yang ia gunakan di dunia saja, yang membuat dirinya seakan-akan menjadi tua dan membatasi keinginan yang bermacam-macam. Tetapi, jika kita renungkan, pada hakikatnya, jiwa tidak pernah berhenti untuk berkeinginan. Hal ini sebagaimana pernah disampaikan oleh Rasullulllah SAW, bahwa anak adam, seandainya ia telah memiliki gunung emas (kekayaan yang banyak) dirinya tidak akan pernah berhenti untuk menginginkan hal itu sampai tanahlah yang akan mengisi perutnya (kematian). Pada realitas kehidupan kita, kita sering melihat orang yang sudah ‘berumur’, tetapi masih memiliki semangat, kemauan, keinginan, bahkan gairah ‘seakan-akan’ mereka lupa akan usia mereka.

Inilah jiwa, yang sesungguhnya ia adalah bagian dari diri manusia yang abadi. Jiwa tidak pernah mati, bahkan ia akan hidup abadi. Dalam proses keabadiannya, jiwa mengalami satu fase ujian yang harus ia lewati, yaitu kehidupan di bumi (alam dunia dengan tujuan pokoknya, baca buku perjalanan manusia, pen), dan untuk melakukan hal itu setiap jiwa harus hidup ‘terkurung’ dan tergantung dalam materi yang mengikatnya, yaitu jasad. Setiap jiwa, hanya hidup sesaat di bumi, hidup sementara bersama jasadnya yang semakin hari semakin bertambah tua, yang kemudian jasad yang digunakannya itu akan kembali lagi pada bentuk semula, yaitu tanah. Dan ketika jasad yang ia gunakan telah kembali menjadi tanah, maka jiwa setiap manusia akan mengalami fase kehidupan selanjutnya. Untuk selengkapnya silakan anda membaca buku perjalanan manusia yang telah diterbitkan.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan hal yang berkaitan dengan hal jiwa dan jasad. Kita semua tahu, kalau saja jasad tidak diberi makan dan minum selama satu hari apa yang akan terjadi..? bagaimana jika 2 hari, 3 hari, atau 8 hari ?. Tentunya, kita semua sudah tahu jawabannya. Para dokter mengatakan rata-rata, manusia akan kuat untuk bertahan hidup dengan tidak makan dan minum adalah hanya 5 hari saja. Maka lebih dari itu, hampir jarang ditemukan manusia yang masih dalam keadaan hidup. Itulah jasad, setidaknya, jika ia masih hidup, pastilah jasadnya akan diketemukan dalam keadaan lemah, dan boleh jadi, tubuhnya rentan terkena penyakit, karena sistem pertahanan tubuhnya sudah tidak berfungsi dengan baik. Tentunya, kesadaran akan pentingnya makanan bagi jasad sudah merupakan satu hal yang menjadi pengetahuan umum, bahkan tidak perlu seseorang itu memperlajari teorinya secara alamiah, ia sudah melakukan hal ini. Hanya saja, yang dapat menggangu kesehatan jasadnya biasanya hanya tergantung dari pola makan, dan jenis makanan yang ia konsumsi. Itulah jasad. Orang yang menyadari pentingya makanan untuk jasad, maka ia akan senantiasa berusaha untuk mencari makanan untuk kelangsungan hidup jasadnya.

Setidaknya ada beberapa tingkatan dalam jasad manusia, yang pertama ia dalam keadaan lemah, yang kedua, ia dalam keadaan sakit, lalu kurang sehat, sehat, dan bugar, dan sangat sehat atau bersemangat. Jasad manusia senantiasa berada di antara kondisi-konsidi tersebut. Dan ketika seseorang menyadari pentingnya kondisi tersebut, tentunya ia akan melakukan sesuatu agar ia dapat mencapai kondisi tersebut. Jika ia dalam keadaan sakit, maka ia akan berobat, dan sudah menjadi satu hal kita maklumi, bahwa tidak semua obat yang kita minum enak rasanya. Tetapi karena kita tahu bahwa itu adalah obat, maka dengan harapan dan keyakinan akan sembuh, seseorang akan meminum / memakan obat untuk kesembuhan jasadnya, walaupun ia berasa pahit.

Demikian pula dengan jiwa setiap manusia. Jiwa juga memerlukan ‘makanan’. Jika makanan untuk jasad ini adalah segala sesuatu yang berasal dari bumi, maka jiwa memerlukan ‘makanan’ yang berasal dari tempat jiwa itu berasal, yaitu dari langit. Allah sebagai pencipta manusia, telah juga menyediakan ‘makanan’ bagi jiwa itu, yaitu dengan memberikan petunjuk agar manusia menjaga jiwa mereka dengan melakukan ritual, seperti yang dinyatakan dalam rukun iman dan islam. Melakukan berbagai perintah anjuran, dan larangan yang terkadang tidak dapat dipahami oleh jasad. Dalam beberapa ayatnya Al Qur’an menyatakan bahwa, bukan jasadnya yang mengalami kerusakan, tetapi jiwalah yang mengalami kerusakan. Seperti pada ayat yang secara makna menyatakan, bukan mata mereka yang buta, atau telinga mereka yang tuli, atau seperti pada ayat mereka memiliki mata dan telinga, tetapi mereka tidak bisa melihat dan tidak bisa mendengar. Dan disampaikan juga oleh Rasulullah, bahwa kedudukan hati (dalam jiwa, bukan hati dalam konteks fisik, seperti liver atau jantung) memiliki kedudukan yang sangat tinggi, jika hati seseorang itu baik, maka baiklah seluruh manusia itu.

Demikian pula kondisi jiwa seseorang, ia dapat berada pada kondisi lemah, sakit, kurang sehat, sehat dan bugar. Tentunya, ketika jasad untuk mencapai kondisi bugar perlu berbagai latihan dan juga makanan tambahan. Memang jasad tidak akan mati, jika ia hanya memakan makanan pokok saja, seperti nasi, tetapi juga dengan memakan makanan itu jasad juga tidak akan sampai pada tingkatan kesehatan yang maksimal atau bugar. Perlunya suplemen makanan (makanan tambahan) atas jasad sudah merupakan hal yang sangat penting, bagi mereka yang menyadari bagaimana harus menjaga jasar mereka. Dan, hal ini tidak ubahnya dengan jiwa, jiwa juga memerlukan suplemen makanan, boleh jadi, dalam kontes ritual, jiwa juga memerlukan banyak sekali amal tambahan agar ia menjadi bugar. Ritual yang diwajibkan oleh Allah seperti shalat lima waktu dalam konteks pembahasan ini kita katakan sebagai makanan pokok saja. Yang dengan itu, jiwa manusia tidak akan pernah mati, tetapi, akan jauh lebih baik lagi kondisi jiwa seseorang itu apabila ia juga ‘memakan suplemen’ makanan jiwa yang lain dengan memperbanyak perbuatan yang di sunnahkan oleh Rasulullah. Maka jika ia melakukan hal itu, tentunya hal itu hanya akan membawa kebaikan untuk kesehatan jiwa yang melakukannya.
Kesehatan jiwa, sangat berhubungan erat dengan kesehatan jasad. Inilah hubungan yang masih menjadi pertanyaan besar bagi para peneliti di dunia kedokteran. Hampir semua penyakit yang di derita oleh manusia, kecuali yang sifatnya fisik, itu disebabkan karena kondisi kejiwaan. Atau dengan isitlah populer, kita kenal dengan kata ‘stress’. Yang kemudian akan menghasilkan tindakan emosional yang tidak sehat, dan memicu berbagai penyakit yang kita kenal dengan kanker, stroke, serangan jantung, dan lain sebagainya. Dalam dunia kedokteran, metode placebo (memberikan keyakinan pada jiwa sang pasien) adalah hal yang sangat efekif untuk penyembuhan penyakit.

Dan pada faktanya, obat yang di konsumsi oleh pasien, ternyata efektifitasnya hanya sekitar 25%-30%. Juga melalui fakta tersebut, ada yang berpendapat bahwa, ketika seseorang mengalami ganguan kesehatan, maka sesungguhnya 60% yang ia alami adalah gangguan kejiwaan. Melalui fakta-fakta tersebut, dunia penyembuhan saat ini, tidak bisa tidak harus mencari sati terapi alternatif bagi sang pasien yang menderita satu penyakit, yaitu dengan menyehatkan jiwa mereka melalui pendekatan spiritual.

Hal ini tentunya bukan merupakan satu hal yang ‘baru’. Karena hal ini sudah dinyatakan dalam Al Qur’an dan pada prakteknya sudah dicontohkan secara kongkrit oleh Rasulullah saw 14 abad yang lalu. Kesehatan yang hakiki agar dapat mencapai kebahagiaan yang hakiki, yaitu keseimbangan antara kesehatan jiwa dan jasad. Kebaikan dunia dan akhirat.

Tinggal yang menjadi persoalan adalah, apakah kita sudah memberikan suplemen makanan yang cukup untuk jiwa kita, lalu bagaimanakah kita mendeteksi ‘sakit’ yang di derita oleh jiwa kita. Tentunya, untuk melihat jasad yang sakit kita memerlukan cermin, atau pandangan orang lain terhadap diri kita. Demikian pula dengan jiwa, kita memerlukan cermin agar kita bisa melihat, di bagian manakah yang sakit pada jiwa kita. Ketika jasad memerlukan cermin yang berasal dari bumi, maka jiwa memerlukan cermin yang berasal dari langit, dan cermin itu, adalah Al Qur’an.

Bercerminlah dengan Al Qur’an untuk mengukur sejauh mana kesehatan jiwa kita. Hanya saja, tentunya, dalam prakteknya bercermin untuk memperbaiki jasad berbeda dengan bercermin untuk memperbaiki jiwa. Boleh jadi jiwa terasa tidak nyaman ketika sedang melihat pada cermin tersebut, sama seperti kita melihat bagian dari jasad kita yang tidak nyaman ketika kita mengetahui di mana tempat sakit itu berada. Dan boleh jadi ketika jiwa yang sakit tersebut di obati, maka akan terasa pahit pada awalnya, tetapi sesungguhnya ia memberikan penyembuhan, dan hal inilah proses yang telah di ajarkan Allah, sebagaimana proses penyembuhan jasad kita.

Ketika kesadaran akan hal ini timbul dalam diri kita, maka kita akan segera mengetahui manakah yang lebih penting, memenuhi kebutuhan jasad kita atau jiwa kita. Faktanya, banyak di antara mereka yang kebutuhan akan jasadnya (materil) sudah terpenuhi tetapi dalam kehidupannya mereka tidak bahagia, atau bahkan mereka hidup tersiksa, di amerika sendiri, pola hidup sehat secara fisik sudah banyak dilakukan, tetapi masih banyak pula yang terkena penyakit kanker. Keseimbangan, adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan, dan tentunya, kita hanya akan melakukannya untuk jasad sesuai dengan proporsinya, sesuai dengan episodenya, karena nanti, jasad akan kembali ke bumi, hanya jiwalah yang akan melanjutkan perjalanannya. Dan untuk melakukan perjalanan, tentunya jiwa memerlukan bekal ‘ kesehatan’ yang cukup.
Sudahkah kita memiliki hal itu…?

JIWA DAN RUH DALAM PANDANGAN FILSUF ISLAM

Jiwa tidak tersusun, substansinya adalah ruh yang berasal dari substansi Tuhan. Dalam hal jiwa, al-Kindi lebih dekat dengan pandangan Plato yang mengatakan bahwa hubungan antara jiwa dan badan bercorak aksidental (al-‘aradh). Al-Kindi berbeda dari Aristoteles yang berpendapat bahwa jiwa adalah form dari badan. Menurut Al-Kindi, jiwa memiliki 3 daya, antara lain 1. jiwa bernafsu (al-quwwah asy-syahwāniyyah), 2. jiwa memarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah) dan 3. jiwa berakal (al-quwwah al-‘aqilah). Selama ruh atau jiwa berada di badan, ia tidak akan menemukan kebahagiaan hakiki dan pengetahuan yang sempurna. Setelah bepisah dari badan dan dalam keadaan suci, ruh akan langsung pergi ke “alam kebenaran” atau “alam akal” di atas bintang-bintang, berada dilingkungan cahaya Tuhan dan dapat melihat-Nya. Di sinilah letak kesenangan hakiki ruh.
Hubungan jiwa dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, llahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh.

Ibnu Sina

Segi – segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :
  1. Segi fisika yang membicarakan tentang macam – macam jiwa (jiwa tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan – kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain – lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
  2. Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian :
  1.  Jiwa tumbuh – tumbuhan dengan daya – daya : makan, tumbuh, berkembang biak.
  2. Jiwa binatang dengan daya – daya : gerak, menangkap, Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera, Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama, Imaginasi yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi, Estimasi yang dapat menangkap hal – hal abstraks yang terlepas dari materi umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala. Rekoleksi yang menyimpan hal – hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
  3. Jiwa manusia dengan daya – daya : Praktis yang hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan hal – hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan : 
  • Akal materil yang semata – mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
  • Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal – hal abstrak.
  • Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal – hal abstrak.
  • Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal – hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi – fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.

Pandangan filosof Muslim tentang beberapa aspek yang berkaitan dengan jiwa.

Mahiyat al-nafs (Makna dan esensi jiwa)

Beberapa filosof Muslim seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Miskawaih, Al-Kindi, Ibnu Bajjah berpendapat hampir sama tentang makna jiwa. Mereka berpendapat bahwa jiwa adalah jauhar (substansi) rohani sebagai form bagi jasad. 

Hubungan kesatuan jiwa dengan badan merupakan kesatuan secara accident, artinya keduanya tidak dapat dibagi-bagi, tetapi keduanya berdiri sendiri dan mempunyai susbtansi yang berbeda, sehingga binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa. 
Ibnu Sina juga menerima pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa adalah substansi dan bentuk, dan jiwa memiliki hubungan erat dengan badan. Hanya saja Ibnu Sina sejalan dengan filosof Muslim lainnya yang menolak pendapat Aristoteles, bahwa hubungan tersebut adalah hubungan yang esensial, karena ini akan berimplikasi pada kefanaan jiwa. Jika jasad hancur maka jiwa juga akan hancur. Sebab itu para filosof Muslim kemudian lebih memilih pendapat Plato. yang mengatakan bahwa hubungan tersebut adalah accident, yang memposisikan jiwa kekal dan tidak binasa walaupun jasad tempat di mana jiwa berada telah hancur. 

Menurut Sirajuddin Zar, filosof Muslim membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa yang dikemukakan para filosof Yunani, kemudian mereka menyelaraskannya dengan ajaran Islam. Hal itu karena adanya ayat al-Quran yang menjadi tembok penghalang dalam menyingkap tabir hakekat ruh, di mana hanya Allah swt semata yang mengetahui urusan ruh . Jika ini benar, maka bagi penulis di balik kesuksesan besar yang telah dicapai para filosof Muslim dalam dunia filsafat, 

Keabadian Jiwa. 

Keabadian jiwa bukanlah keabadian yang haqiqi sebagaimana keabadian dan kekekalan yang Maha Kekal. Keabadian jiwa menurut Ibnu Sina sebagai sesuatu yang mempunyai awal tetapi tidak mempunyai akhir . Ini berarti kekekalan jiwa adalah kekekalan karena dikekalkan Allah pada akhirnya yang tidak berujung, sedangkan awalnya adalah baru dan dicipta. Atau jiwa punya akhir tidak punya awal. Lebih rinci Ibnu Sina sendiri mengakui bahwa jiwa memiliki temporalitas, tanda temporalitasnya adalah ketidak tentuannya dan ketidak pastiannya kecuali dengan perantaraan tubuh. Jiwa tidak mungkin digambarkan sebelum adanya tubuh 
Dalam membuktikan kekalnya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan tiga dalil ;
  1. Burhan al-infisal (bukti perpisahan). Perpaduan jiwa dan jasad bersifat aksiden, keduanya memiliki substansi tersendiri, dan jika jasad mati atau hancur, jiwa tetap dan kekal. Sementara jasad bergantung kepada jiwa untuk bisa hidup
  2. Burhan al-basatat (bukti keluasan). Jiwa adalah substansi ruhani yang luas. Dengan keluasannya ia selalu hidup dan tidak mati. 
  3. Burhan al-musyabbahat (bukti persamaan). Dalil ini bersifat metafisika. Jiwa manusia bersumber dari akal fa’al (akal kesepuluh) sebagai pemberi segala bentuk. Karena akal Sepuluh adalah merupakan esensi yang berfikir, azali dan kekal maka jiwa sebagai ma’lul (akibat)nya juga akan kekal sebagaimana ‘illat (sebab)nya 
Al-Ghazali

Dengan demikian terdapat empat bagian dari diri manusia:
  1. Jiwa Berfikir (nafs nâthiqoh) atau dalam al-Qur’an disebut sebagai nafs muthmainnah (jiwa yang tenteram) 
  2. rûh amrî atau istilah lainnya disebut sebagai kalbu. 
  3. Jiwa ini adalah esensi yang hidup, aktif dan rasional.
  4. Kalbu ini dipercaya memiliki substansi seperti jasad. Ia dapat melihat segala yang tampak dengan mata dan melihat hakekat dengan akal.
Sebagaimana sabda rasul:
 ﻥﺎﻧﻳﻋ ﻪﺒﻠﻗﻠﻮ ﻻﺇ ﺪﺑﻋ ﻦﻤ ﺎﻤ 

(artinya: tidak ada dari seorang hamba itu kecuali kalbunya memili dua mata). Keduanya dapat melihat hal yang ghaib. Dan ia pun tidak akan mati namun hanya kembali kepada Tuhan mereka :

ﺔﻳﻀﺮﻤ ﺔﻳﻀﺍﺭ ﻚﺒﺮ ﻰﻟﺇ ﻲﻌﺠﺮْﺍ ♦ ﺔﻨﺌﻣﻄﻣﻠﺍ ﺲﻓﻧﻠﺁ ﺎﻬﺗﻳﺃ ﺎﻳ [23]

(wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridloi). Dalam kehidupannya, jiwa ini selalu bekerja mencari ilmu, karena ilmu adalah perhiasannya di akherat.
  1. Jasad, perangkat tubuh manusia yang kasar dan empiris. Allah menyusun jasad ini dari saripati tanah dan disusun dan dibangun dari sari-sari makanan. Ia terdiri dari bagian-bagian keras dan kuat serta melaksanakan tugas-tugas berjalan, gerakan, penginderaan yang diperintahkan oleh ruh hewani (sebagai pelayan ruh hewani).
  2. Ruh Hewani sering pula disebut sebagai nafsu. Ruh hewani ini merupakan penggerak syahwat dan emosi. Lebih jauh lagi Ia pula yang melahirkan keinginan-keinginan untuk melakukan kekerasan, amarah, berbuat sadis menguasai segala sesuatu dan lain sebagainya.[24] Ruh hewani dapat digambarkan sebagai jasad lembut yang bertempat di dalam kalbu. Ia bagaikan lampu menyala di dalam kaca kalbu. Kehidupan adalah cahaya lampu itu dan darah adalah minyaknya . emosi adalah panasnya, sedangkan kekuatan yang menggerakkan jasad adalah ajudannya.
  3. Ruh kehidupan. Ruh ini tidak menunjukkan pada ilmu serta tidak menegtahui jalan makhluk dan kebenaran pencipta. Ia merupakan kehidupan di saat jasad hidup, dan ia akan mati seiring jasad mati. Dari berbagai hal yang dimiliki manusia tersebut, maka Ghazali kemudian membaginya dalam tiga dimensi, yakni: Jasad, ‘Aradh, serta jawhar. Jasad sebagaimana diterangkan diatas merupakan bagian kasar. Sementara ‘aradh (aksiden) adalah ditentukan oleh jasad dan ruh. Ia tidak kekal setelah substansi –yakni nafs nâthiqoh— kembali kepada sang pencipta. Sedangkan jawhar (substansi) ialah jiwa yang tak pernah mati, jiwa yang hanya kembali kepada Tuhan, nafs al-muthmainnah.
Lebih lanjut, dalam buku-buku Ghazali yang lain (Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifah al-Nafs), ia tidak berbeda dengan Ibnu Sina dalam teori hubungan antara jiwa dan akal.[25] Ibnu Sina (demikian juga al-Ghazali) membagi jiwa menjadi 3 bagian:[26]
  1. Jiwa tumbuh-tumbuhan. Jiwa ini mempunyai tiga daya yaitu daya makan, daya tumbuh, dan daya membiak.
  2. Jiwa binatang. Mempunyai dua daya yaitu daya penggerak dan daya pencerap. Daya penggerak dapat berbentuk nafsu, amarah dan bisa pula berpindah tempat. Sedangkan daya pencerap dapat diterima melalui pancaindera lahir (mata, telinga, mulut, kulit dan hidung) serta indera batin, yakni; pertama, indera bersama, bertempat di bagian depan otak yang berfungsi menerima kesan-kesan dari pancaindera luar. Kedua, Indera penggambar, bertempat di bagian depan dan bertugas melepaskan kesan-kesan yang diteruskan indera bersama. Ketiga, Indera pengreka yang berada di otak tengah dan bertugas untuk memisahkan kesan-kesan yang diterima kemudian digabungkan lagi. Keempat, indera penganggap yang berada di otak tengah dan berfungsi mengungkap arti yang dikandung gambaran itu. Dan kelima, indera pengingat yang berada di bagian belakang otak dan bertugas menyimpan gambar itu.
  3. Jiwa manusia yang mempunyai daya berfikir. Dapat pula disebut sebagai aql (akal), dan akal ini dibagi dua; akal praktis yang berfungsi menangkap gambar-gambar empiris dan akal teoritik yang berfungsi menangkap hal-hal yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh, dan sebagainya. Menurut Imam al-Ghazali, roh manusia mempunyai tiga unsur yang membedakannya dengan roh makhluk-makhluk lain iaitu hati (al-Qalb), nafsu (al-Nafs) dan akal (al-‘Aql).
Alfarabi

Pemikiran al-Farabi yang lain adalah tentang jiwa. Menurutnya, jiwa berasal dari pancaran Akal X (Jibril). Hubungan antara jiwa dan jasad hanya bersifat accident (‘ardhiyyah), artinya ketika fisik binasa jiwa tidak ikut binasa, karena substansinya berbeda. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nāthiqah (jiwa yang berpikir) yang berasal dari alam Ilahi, sedang jasad berasal dari alam khalq yang berbentuk , berkadar, bergerak, dan berdimensi.

Jiwa manusia, menurut al-Farabi, memiliki 3 daya: 
  1. Daya gerak (quwwah muharrikah), berupa: makan (ghādiyah, nutrition), memelihara (murabbiyah, preservation), dan berkembang biak (muwallidah, reproduction); 
  2. Daya mengetahui (quwwah mudrikah), berupa: merasa (hāssah, sensation) dan imajinasi (mutakhayyilah, imagination); dan 
  3. Daya berpikir (al-quwwah al-nāthiqah, intellectual), berupa: akal praktis (‘aql ‘amalī) dan akal teoretis (‘aql nazharī). 
Dan al-‘aql al-nazharī terbagi pada 3 tingkatan: 
  1. al-‘aql al-hayūlānī (akal potensial, material intellect) yang mempunyai “potensi berpikir” dalam arti melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk (māhiyah) dari materinya; 
  2. al-‘aql bi al-fi’l (akal aktual, actual intellect) yang dapat melepaskan arti-arti (māhiyah) dari materinya dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal yang sebenarnya (aktual), bukan lagi dalam bentuk potensial; 
  3. al-‘aql al-mustafād (akal pemerolehan, acquired intellect) yang sudah mampu menangkap bentuk murni (pure form) tanpa terikat pada materinya karena keberadaannya (pure form) tidak pernah menempati materi.
Al-‘aql al-mustafād bisa berkomunikasi dengan akal ke-10 (Jibril) dan mampu menangkap pengetahuan yang dipancarkan oleh “akal aktif” (‘aql fa’āl). Dan ‘aql fa’āl menjadi mediasi yang bisa mengangkat akal potensial naik menjadi akal aktual, juga bisa mengangkat akal aktual naik menjadi akal mustafad. Hubungan antara ‘aql fa’āl dan ‘aql mustafād ibarat mata dan matahari.

STRUKTUR INSAN MENGENAI RUH, JASAD, JIWA DAN CAHAYA ALLOH

Dalam hadits Nabi Saw. Mengemukakan bahwa“Alloh Swt menciptakan makluk dalam kegelapan, kemudian Alloh Swt melimpahkan cahaya-Nya”.Dalam hadits lain Rosululloh Saw bersabda :

حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ قَيَّامُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ أَنْتَ الْحَقُّ وَوَعْدُكَ الْحَقُّ وَقَوْلُكَ الْحَقُّ وَلِقَاؤُكَ حَقٌّ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ وَالسَّاعَةُ حَقٌّ اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَأَخَّرْتُ وَأَسْرَرْتُ وَأَعْلَنْتُ أَنْتَ إِلَهِي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ *

Artinya : “Diriwayatkan daripada Ibnu Abbas r.a katanya: Sesungguhnya apabila Rosululoh s.a.w bangun pada malam hari untuk mendirikan sembahyang, baginda akan berdoa:

 اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ قَيَّامُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَالْأرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ أَنْتَ الْحَقُّ وَوَعْدُكَ الْحَقُّ وَقَوْلُكَ الْحَقُّ وَلِقَاؤُكَ حَقٌّ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ وَالسَّاعَةُ حَقٌّ اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَأَخَّرْتُ وَأَسْرَرْتُ وَأَعْلَنْتُ أَنْتَ إِلَهِي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ 

Yang bermaksud: Segala puji bagiMu. Engkau adalah cahaya langit dan bumi. Segala puji bagiMu. Engkaulah yang mengatur segala urusan makhluk di langit dan di bumi. Segala puji hanyalah bagiMu. Engkau adalah Tuhan di langit dan bumi serta semua yang terkandung di antara keduanya. Engkau adalah benar. JanjiMu adalah benar. FirmanMu adalah benar. Peristiwa perjumpaan denganMu (Hari Akhirat) adalah benar. Syurga adalah benar. Neraka adalah benar. Hari Kiamat adalah benar. Ya Alloh! Hanya kepadaMu aku berserah. KepadaMu jugalah aku beriman. KepadaMu jugalah aku bertawakkal. KepangkuanMu jugalah aku kembali. KepadaMu jugalah aku mengadu. KepadaMu jugalah aku mengambil keputusan. Maka ampunilah daku, ampunilah dosa-dosaku yang telah lalu dan dosa-dosaku yang akan datang, yang aku lakukan secara diam-diam ataupun terang-terangan. Engkau adalah Tuhanku. Tiada Tuhan melainkan Engkau”

Saudaraku… semesta alam yang Alloh Swt. Ciptakan diatur oleh cahaya-Nya. Jika alam semesta tanpa cahaya-Nya (Ar-Rahman), maka tak akan mampu untuk menyadari ciptaan-Nya bahkan diri kita sendiri, tiupan (Nafakh Ruh) Ar-Rahman dan pemeliharaannya memekarkan setiap titik ciptaan dari status awal yang tanpa nama, huruf, dan makna sehingga terpakailah nama bagi-Nya Wujud وجود. Setiap ‘wujud-wujud’ yang yang di tampakkan oleh cahaya-Nya adalah pernyataan dari himpunan Asma’ul Husna, bakhan Asma’ul Husna itu tetap kokoh oleh Tajalli Illahi yang terus menerus. Diantara Asma’ul Husana tak terhitung terdapat asama agung-Nya Ismu ‘Adhom, merupakan cahaya Alloh paling terang diantara limpahan cahaya-cahaya yang menunjuk kepada-Nya. Cahaya agung ini meruapakan sumber cahaya-cahaya mengambil cahaya-Nya.

اللَّهُ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Artinya : “Alloh (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Alloh, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Alloh membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Alloh memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Alloh Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. An-Nur : 35)

Dengan mempergunakan cahaya-Nya Robbul’alamin menzhirkan 7 pelata langit dan bumi tanpa tiang. Kehadiran cahaya Alloh adalah sebagai syarat utama atau sebab awal bagi tegaknya kaun langit dan bumi, tanapa adanya cahaya Alloh alam syahadah akan lenyap. Hanya manusia yang menyandang gelar Cahaya Alloh ia menduduki Hamba Alloh (‘Abd). Hamba Alloh ini merupakan segel yang menjaga pelita langit dan bumi dari keruntuhannnya dan yang menyematkan kepada-Nya asma al-Hafidz.”

“….Alloh membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Alloh memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Alloh Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. An-Nur : 35)

Cahaya Alloh atau Hamba Alloh ini diibaratkan sebagai Misykat, cerkuk lubang yang tak tembus yang didalamnya terdapat pelita terang, misykat melambangkan kegelapan jasad seorang hamba yang merupakan bertemunya dua lautan, lautan yang mengalir dari penghambaan kepada Alloh (Ubudiyah) dan lautan yang mengalir dari ketauhidan (Uluhiyah). Aspek penghambaan keluar dari sisi jasad dan jiwa (Nafs), sedangkan yang dating dari aspek Katauhidan adalah ‘Amrnya (Ruh ‘Amr) melalui Ruh Quds, yang dilambangkan dengan pelita atau api yang terang nyalanya.

Jasad hamba merupakan wujud yang dibangun dari aspek kebumian (al-aradh); sedangkan jiwa (nafs)nya yang karena kejernihan wujudnya bagai kaca, dilabel oleh kata langit (Assama’i). Jadi Assama’iddunya dan Aradh melambangkan pasangan jiwa dan jasad, yang dijenjang tertentu keduanya berperan sebagai cahaya Alloh Swt. Saksi Alloh Swt. Dalam persolan ubudiyah, jiwa penghambaan merupakan imam bagi jasad dimana pasangan ini akan bertindak sebagai pelaku utama dalam persoalan pengungkapan khazanah : “Aku adalah khazanah tersembunyi; maka aku rindu untuk dikenal’ karena itu aku ciptakan makhluk agar aku diketahui” (hadits Qudsy)

Sedangakan Nafakh ruh kedalam diri hamba adalah pusat yang ditiupkan dari sumber Ruh ‘Amr, yang dilambangkan dengan cahaya suci yang mengisi ruang-ruang langit. Jadi Nafakh Ruh yang berada dalam penghambaan merupakan langit pertama (Adam) yaitu langit terdekat dengan jasad dari ketujuh langit malakut yang berlabuh didalam jasan hamba. Jasad hama merupakan rumah bagi Nafs dan Qalb dari nafs yang telah diterangi cahaya ubudiyah merupakan rumah bagi ruh yang datang dari sisi-Nya. Kehadiran ruh quds ke dalam nafs hamba dan menetapnya ruh ini didalam qalb yang mengakibatkan hamba tersebut digelari hamba Alloh (‘Abd/Insan kamil). “Tidak memuatku bagiku pelata langit dan bumiku, yang memuatku hanyalah Qalb hamba-hambaku yang mu’min (hadits Qudsy)

Zujazah atau bola kaca yang jernih merupakan kejernihan qalb di dalam nafs yang qudus. Terangnya qalb merupakan syarat utama menetapnya api ruh di Qalb, merupakan cahaya yang memancar dalam nafs yang diberkati Alloh Swt; tidak ada tempat bagi cahaya kecuali cahaya; zujazah yang terang ini bagaikan sebuah bola langit malam yang gemerlap olah taburan benda-benda langit, bagaikan bola-bola cahaya yang berkilauan diterpa cahaya yang meneranginya. Kaukab adalah benda langit yang menyala tetap dan hanya bercahaya jika ada cahaya yang menerpanya, sehingga bola langit yang dibangun oleh taburan kawakib yang bersinar cemerlang menghiasi ruang langit pertama; ibarat qalb yang bersinar menerangi nafs mukmin. Bersinarnya kalb dalam kaukab ini karena adanya minyak yang menyalakanya, minyak yang bercahaya walau tanpa disentuh api, minyak yang keluar dari pohon yang banyak berkahnya. Pohon yang tidak tumbuh disebelah barat juga tidak tumbuh disebelah timur, tidak tumbuh dibarat tempat tenggelamnya ‘Matahari’ (al-Haqq), tidak pula ditimur tempat terbitnya ‘Matahari’ (al-Haqq). Di baratnya ada jasad ubudiyah dan ditimurnya ada uluhiyah. Pohon ini tidak tumbuh di ufuk diri tetapi tumbuh ditengah-tengah aspek jasad dan aspek ruh yaitu Jiwa (Nafs) hamba.

Alloh Swt menanam benih pohon ini pada suatu lahan dipermukaan bumi diri yang telah dirahmati dengan kesucian Tauhid (Iman) dan kesuburan, pada batas persentuhan antara urusan bumi jasad dan langit jiwa. Dengan memohon taufiq dan rahmat-Nya, benih ini merupakan suatu persoalan yang harus ditumbuhkan didalam diri hamba; pohon ini ditumbuhkan dengan : Iman, Islam dan Ihsan yang membuat senang penanamnya, sehingga Dia memberkati pohon yang sedang tumbuh ini dengan perawatan dan perlindungan yang baik agar tumbuh kuat dan berbuah banyak. Alloh Swt menamai pohon kaukab ini, yang tumbuh menjulang dari bumi diri dan cabang-cabangnya merentang dan berbuah dilangit jiwa sebagai kalimah-kalimah Alloh Swt.

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ(24)تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ(25)

Artinya : “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Alloh telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Alloh membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (Q.S. Ibrohiim : 24: 25)

Akar pohon ini adalah iman yang diteguhkan oleh Nur ketauhidan, akarnya kokoh menghujam bumi diri dan bumi jagat secara mutasyabih. Batang pohon melambangkan ketaqwaan yang tumbuh di atas landasan akar keimanan yang kokoh, sedangkan yang seperti Rosululloh Saw sabdakan buah-buah keikhlasan yang dihasilkan dari pohon taqwa ini, dari kalimah taqwa, adalah hasanah, sari dari hasanah adalah minyak yang berkilauan menampakan wajah pengetahuan tersembunyi, pengetahuan tentang al-Haqq.“Iman itu telanjang, pakaiannya adalah taqwa, buahnya ilmu dan hiasannya adalah malu” (Hatits)

….وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Artinya : “…..Dan bertakwalah kepada Alloh; Alloh mengajarmu; dan Alloh Maha Mengetahui segala sesuatu” (Q.S. al-baqoroh :282)

Tidak ada yang datang kepada cahaya kecuali cahaya, maka kaukab qalb yang ternyalakan indah oleh minyak zaitun yang merupakan Arsy (singgasana) bagi api al-Aziz, utusan-Nya ; Arsy Alloh ini berdiri diatas Qursy-Nya berupa kekuasaan atas dua kerajaan, yaitu kerajaan pelata langit nafsiyah dan bumi (jism), malakut dan mulk. Ranting-ranting kaya minyak yang menghijau khidr ketinggian langit jiwa merupakan gambaran suburnya ketaqwaan, sebagai buah dari ubudiyah dan penyerahan diri yang dalam kepada al-Malikulqudus, akan segera terquduskan oleh medan cahaya suci-Nya yang penuh berkah, Api Ruh al-Quds.

الَّذِي جَعَلَ لَكُمْ مِنَ الشَّجَرِ الْأَخْضَرِ نَارًا فَإِذَا أَنْتُمْ مِنْهُ تُوقِدُونَ

Artinya : “yaitu Alloh yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu.”(Q.S. Yasin : 80)

فَلَمَّا جَاءَهَا نُودِيَ أَنْ بُورِكَ مَنْ فِي النَّارِ وَمَنْ حَوْلَهَا وَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Artinya : “Maka tatkala dia tiba di (tempat) api itu, diserulah dia: “Bahwa telah diberkati orang-orang yang berada di dekat api itu, dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Dan Maha Suci Alloh, Tuhan semesta Alam”. (Q.S. An-naml : 8)

Qalb yang suci bagaikan bola lampu kristal yang jernih dan tampak titik apinya, tempat bertemunya minyak dan api, dari luarnya diterangi oleh cahaya iman sedangkan di dalamnya diterangi ruh suci (Ruh Amr). Sehingga terberkatilah dua rumah yaitu rumah jiwa dan rumah jasad oleh cahaya-cahaya tersebut. Lampu jiwa ini adalah cahaya-cahaya pemandu dan sumber kekuatan (Sulthan) bagi nafs sebagai hakikat sejati Hamba, fokus utama pendididkan Illahi tujuan alam semesta dihamparkan, agar mi’raj menembus tujuh lapis langit ruhani, untuk ma’rifatullah. Maka yang disebut Hamba Alloh, cahaya Alloh atau Insan Kamil itu adalah Hamba yang telah dinyalakan Api Jiwanya oleh Alloh Swt, telah diperkuat oleh Cahaya Ilmu dan Cahaya Ma’rifat. Hamba seperti inilah memiliki struktur seperti yang digambarkan surat An-Nur ayat 35, cahaya di atas cahaya.

Misykat, Zujajah dan pohon zaitun adalah persoalan yang datang dari aspek Ubudiyah, merupakan pasangan bagi api al-misbah yaitu urusan yang datang dari aspek Uluhiyah-Nya; persoalan yang diidentifikasi oleh pasangan laki-laki dan perempuan. Lubang pada misykat yang mengarah kepada satu arah adalah pintu-pintu indera jasad yang terbuka kelam syahadah. Jika kaukab qalb menyala maka indera-indera jasad akan memperoleh kekuatan tambahan, kekuatan ruhaniyah, sehingga cahaya yang terbit pada pintu-pintu indera tidak hanya menampakan alam syahadah, tetapi juga alam malakut yang menyertainya, yaitu hakikat kaun, hakikat ayat-ayat Alloh, yaitu al-Haqq apa yang menyala dilubang-lubang misykat jasad adalah cahaya yang memperoleh saluran yang berbeda-beda ke alam syahadah, cahaya itu yang melihat, cahaya itu yang mendengar, cahaya itu yang merasa Dan inilah yang disebut dengan Abd (Insan kamil).


Jasad, Jiwa, Ruh dan Hati dalam Al-Qur’an

Secara umum, manusia hanya mengenal dirinya hanya terdiri atas jasad dan ruh. Mereka tidak memahami unsur-unsur yang ada di dalam dirinya. Untuk melihat masalah ini, secara normatif kita dapat menelusurinya di dalam Al-Qur’an. Kami akan mencoba mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas masalah tiga unsur manusia: Jasad, Jiwa dan Ruh.

Mari kita awali dengan salah sati ayat dalam Al-Qur’an Surah Shaad [38]: 71-73, yang terjemahannya sebagai berikut: Ingatlah ketika Tuhan mu berfirman kepada malaikat:Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Ku sempurnakan kejadianya, maka Ku tiupkan kepadanya Ruh Ku. Maka hendaklah kamu tunduk bersujud kepadanya. Lalu seluruh malaikat itu bersujud semuannya.

Kita juga bisa melihat pada ayat lain. Allah menjelaskan tentang penciptaan jiwa (nafs) di dalam Surah Asy Syams [91]: 7-10, yang terjemahannya dapat kita baca sebagai berikut: Dan demi nafs (jiwa) serta penyempurnaannya, maka Allah ilhamkan kepada nafs itu jalan ketaqwaaan dan kefasikannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikannya dan sesungguhnnya rugilah orang yang mengotorinya.
Selain itu, kita juga dapat menelusuri penjelasan Allah tentang kejadian jasad (jisim) dalam Al- Quran Surah Al-Mukminun [23]: 12-14, yang artinya sebagai berikut: Dan sesungguhnya Kami telah menciptkan manusia dari saripati dari tanah, Kemudian jadilahlah saripati itu air mani yang disimpan dalam tempat yang kukuh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-tulang, lalu tulang-tulang ini Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk berbentuk lain, maka maha suci Allah. Pencipta yang paling baik.

Ayat tentang Jasad

Jasad atau jisim adalah angggota tubuh manusia yang terdiri atas mata, mulut, telinga, tangan, kaki dan lain sebagainya. Ia dijadikan atau berasal dari tanah liat yang dalam proses penciptaan termasuk dalam derejat paling rendah di bandingkan api dan nur. Kondisi dan sifatnya dapat mecium, meraba, dan melihat segala sesuatu yang ada di depannya, terutama yang bersifat material. Dari jasad ini timbullah kecenderungan dan keinginan yang disebut Syahwat. Ini dijelaskan dalam Al-Quran Surat Ali Imran [3]: 14, yang artinya: Dijadikan indah pada pandangan manusia , merasa kecintaan apa-apa yang dingininya (syahwat) iaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang bertimbun dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatan ternakan dan sawah ladang, Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah tempat sebaik-baik kembali.

Ayat tentang Jiwa (Nafs)

Mengenai nafs ini, kebanyakan orang menghubungkan diri manusia atau jiwa. Padahal sesungguhnya berkaitan dengan derejat atau kedudukan manusia yang paling rendah dan yang paling tinggi. Jiwa ini memiliki dua jalan iaitu: (a) Menuju hawa nafsu (nafs sebagai hawa nafsu) dan (b) Menuju hakikat manusia (nafs sebagai diri manusia).

Hawa nafsu. Hawa nafsu lebih cenderung kepada sifat-sifat tercela, yang menyesatkan dan menjauhkan dari Allah. Sebagaimana Allah Taala berfirman surah (Shaad :26) yang bermaksud:..... dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, kerana ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah

Hubungan Hati dan Hawa Nafsu.

Hati memainkan peranan yang sangat penting dalam diri manusia ia menjadi sasaran utama kepada Syaitan. Syaitan sedaya upaya menutupi hati manusia dari menerima Nur llahi. Sebagaimana sabda Rasulullah yang bermaksud: Jikalau tidak kerana syaitan-syaitan itu menutupi hati anak Adam, pasti mereka boleh milihat kerajaan langit Allah

Cara syaitan menutupi hati manusia itu dengan cara –cara tertentu iaitu dengan menghidupkan hawa nafsu tercela dan yang membawa ke arah maksiat. Semuanya sudah tersedia berada adalam diri manusia, ianya dikenali dengan nafsu ammarah bissu, nafsu sawiyah dan nafsu lawammah.. 

Para ahli tasawwuf mengatakan bahawa syaitan (anak iblis) memasuki hati manusia melalui sembilan lubang anggota manusia iaitu dua lubang mata, dua lubang hidung, kedua lubang kemaluan dan lubang mulut. Buta manusia bukan buta biji matanya tetapi buta hatinya sebagaimana bukti yang dijelaskan dalam Firman Allah dalam surah (Al Hajj :46) bermaksud:Kerana sesungguhnya bukan mata yang buta, tetapi yang buta ialah hati di dalam dada.

Mereka juga mengatakan yang membutakan hati ialah kejahilan atau tidak memahami tentang hakikat perintah Allah SWT. Kejahilan yang tidak segera diubati akan menjadi semakin bertimbun. Allah SWT berfirman dalam surah (Al Baqarah:2-9) yang bermaksud: Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka yang menipu diri sendiri, sedangkan mereka tidak menyedarinya.

Demikian bahayanya penyakit hati yang dihembuskan syaitan melalui hawa nafsu manusia. Sehingga Rasulullah pernah berpesan setelah kembali dari perang Badar. Beliau bersabda :Musuhmu yangterbesar adalah nafsymu yang berada di antara kedua lambungmu(Riwayat Al-Baihaki)

JIWA, RAGA, SUKMA, NYAWA

Sejenak kita akan membahas (lagi) ilmu tentang jiwa, tetapi mungkin para pembaca yang budiman masih bertanya tanya apa perbedaan antara jiwa, jasad, dan sukma. Sebelum saya menjabarkan ketiganya, kiranya perlu saya tampilkan beberapa cuplikan pemahaman orang lain tentang jiwa sebagai upaya mencari komparasi dan menambah khasanah ilmu kejiwaan.

KERANCUAN MEMAKNAI JIWA, SUKMA, NYAWA, PSIKHIS

JIWA, di dalam Oxford Dictionary tertulis soul (roh), mind dan spirit. Sementara dalam bahasa Indonesia cukup dengan padanan yaitu jiwa. Yunani Psychê yang berarti jiwa dan logos yang berarti nalar, logika atau ilmu. Tubuh adalah bagian yang fenomenal, dapat ditangkap oleh pancaindera dan bersifat fana sedangkan jiwa menurut Plato (500 SM) merupakan bagian yang memiliki substansi tersendiri (terpisah dari jasad) dan bersifat abadi. Plato berargumen, bahwa jiwa menempati tempat yang lebih tinggi daripada tubuh, lebih jauh ia mengatakan bahwa tubuh adalah kubur bagi jiwa karena tubuh menghambat kebebasan jiwa. Bagi seorang murid Plato, yakni Aristoteles (400 SM), semua yang hidup mempunyai jiwa seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan tentu saja manusia. Bagi Plato jika seseorang mati, maka jiwanya akan tetap ada dan kembali kedunia Idea di mana di sana terdapat segala hal yang ideal (sempurna) untuk kemudian jiwa akan mereinkarnasi diri dan menubuh kembali pada saatnya. Di sisi lain Aristoteles muridnya, memiliki pandangan berbeda, ia tidak setuju keduaan ala gurunya. Bagi Aristoteles tubuh dan jiwa itu bukan keduaan melainkan kesatuan. Olehkarenanya jika seseorang mati, maka konsekuensinya jiwapun turut mati bersama tubuh. Mana yang benar, Plato atau Aristoteles ? Saya kira kedua-duanya konsep Plato dan Aristoteles tetap mengandung kelemahan-kelemahan. Bahkan jika ditelaah lebih dalam, banyak ilmuwan kesulitan memetakan letak di mana jiwa (nafs, hawa, nafas, soul), roh (spirit) dan raga (body). Hal ini bukan berarti para filsuf pendahulu kita gegabah dalam memaknai tentang jiwa. Dapat dimaklumi sebab mempelajari tentang seluk beluk kejiwaan kita, musti menggunakan jiwa kita sendiri. Golek latu adadamar, atau mencari bara api dengan menggunakan obor sebagai penerang jalan. Sangatlah bisa dimaklumi sebab pembahasan jiwa sudah bersinggungan dengan ranah gaib yang tak tampak oleh mata wadag. Hanya saja, untuk melengkapi pembahasan terdahulu dalam posting MENGENALI JATI DIRI kiranya perlu dilakukan komparasi terhadap khasanah ilmu jiwa yang telah disampaikan oleh para pendahulu kita agar jiwa kita menjadi jiwa yang betul-betul merdeka. Merdeka lahir dan merdeka batin.

JIWA MENURUT KI AGENG SURYO MENTARAM

Sejenak para pembaca yang budiman saya ajak mampir ke padepokan seorang filsuf Jawa dan kondang sebagai seorang yang linuwih dan sakti mandraguna. Beliau adalah Ki Ageng Suryo Mentaram (kebetulan dulu tinggalnya di belakang rumah kami). Ki Ageng Suryo Mentaram membahas ilmu jiwa yang dikemukakan seorang filsuf Jawa sekaligus penghayat kejawen yang pada waktu hidupnya beliau terkenal sebagai seseorang yang memiliki ilmu linuwih dan sakti mandraguna.Baca selanjutnya !

Ilmu jiwa sebagaimana diungkapkan Ki Ageng Suryo Mentaram dikenal dengan dua macam jiwa. Yakni jiwa KRAMADANGSA, dan jiwa BUKAN KRAMADANGSA. Apa yang disinyalir sebagai jiwakramadangsa adalah jiwa yang tidak abadi disebut pula sebagai rasa “Aku Kramadangsa”. Aku kramadangsa termasuk di dalamnya adalah “rasa nama” atau ke-aku-an, misalnya aku bernama Siti Ba’ilah. Aku adalah seorang musafir, aku seorang satrio piningit, aku adalah seorang kaya raya. Ki Ageng Suryo Mentaram mensinyalir adanya “rasa jiwa” yang bersifat abadi. Dimaknai sebagai Aku bukan kramadangsa. Menurut Ki Ageng Suryo Mentaram, rasa aku kramadangsaadalah ke-aku-an (naari atau “unsur api”) yakni aku yang masih terlena, terlelap dalam berbagai rasa aku yang terdapat di dalam lautan kramadangsa. Sebaliknya aku bukan kramadangsa adalah aku yang telah otonom yang sudah memiliki KESADARAN memilih mana yang BENAR dan mana yang SALAH sehingga ia dapat dinamai “Aku kang jumeneng pribadi”.

Menurut Ki Ageng Suryomentaram alat manusia untuk mendapatkan pengetahuan terdiri dari tiga bagian yakni pancaindera, rasa hati dan pengertian. Pertama, pancaindera, seperti yang telah kita ketahui yaitu alat penglihatan (mata), alat pendengaran (telinga), alat penciuman (hidung), alat pencecap (lidah) dan alat peraba (kulit, misalnya: jari- jari tangan merasa panas kena api, kulit merasa gatal terkena bulu ulat, dll). Kedua, rasa hati, adalah suatu kesadaran diri tentang keberadaan aku di mana aku dapat merasa senang, susah dan lain-lain. Ketiga, adalah pengertian, kegunaan pengertian dapat menentukan tentang hal-hal yang berasal dari pancaindera dan juga dari rasa hati. Pengertian di sebut pula sebagai persepsi, yang pada gilirannya akan menentukan mind-set atau pola pikir. Dengan demikian alat pengertian ini dapat dikatakan sebagai alat yang tertinggi tingkatan otonominya bagi manusia karena ia sudah melampaui pengetahuan yang didapat dari alat pertama dan kedua. Ia sudah merupakan suatu refleksi kritis, kontemplasi, endapan yang didapat dengan cara menyeleksi hal-hal yang tidak diperlukan kemudian hanya memilih yang berguna atau bermanfaat saja. Sedangkan alat di luar ketiga tersebut tak diketahui karena di dalamnya terdapat banyak hal yang masih mysteré sulit terjangkau oleh kemampuan alat manusia.

JIWA YANG MERDEKA (KAREPING RAHSA)

Seperti yang telah saya kemukakan dan jabarkan dalam posting terdahulu tentang MENGENALI JATI DIRI. Jiwa adalah nafas, nafs, hawa atau nafsu. Jiwa yang telah merdeka barangkali artinya sepadan dengan apa yang dimaksud jiwa yang mutmainah (an-nafsul mutmainah). Rasanya sepadan dengan apa yang dimaksud dalam konsep Ki Ageng Suryo Mentaram sebagaiaku bukan kramadangsa. Aku bukan kramadangsa selanjutnya saya lebih suka menyebutnya sebagai JIWA yang NURUTI KAREPING RAHSA, lebih mudah dipahami bila saya analogikan sebagai JIWA yang TUNDUK KEPADA SUKMA SEJATI. Sebaliknya apa yang disebut sebagai jiwa kramadangsa, aku kramadangsa, tidak lain adalah jiwa yang NURUTI RAHSANING KAREP. Lebih tegas lagi saya sebut sebagai JIWA yang DITAKLUKKAN OLEH JASAD.

Barangkali perlu dipahami bahwa jiwa kramadangsa (rasa nama) kesadarannya lebih dari jiwa yang berhasil diidentifikasi oleh Aristoteles sebagai jiwa yang ikut mati. Saya kira Aristoteles hanya menangkap jiwa-jiwa sebagaimana jiwa binatang dan tumbuhan yang ikut mati. Dan Sementara itu jiwa kramadangsa di sini adalah jiwa dengan kesadaran rendah, yang dimiliki manusia. Jiwa kramadangsa hanya terdiri dari kumpulan seluruh catatatan di dalam memori jasad manusia yang berisi semua tentang dirinya dan semua yang pernah dialaminya. Tidak seluruh memori itu bersifat abadi karena banyak catatan-catatan in memorial dapat terlupakan bahkan lenyap bersama jasad yang mati. Berbeda dengan “aku bukan kramadangsa”, berarti yang dimaksudkan adalah “aku yang dapat mengatasi kramadangsa” karena itu “aku” adalah aku yang dapat mengatur dengan baik kramadangsa-ku.

JIWA, ROH, JASAD

Tulisan saya di sini mencoba untuk membantu menjabarkan apa sejatinya di antara ke tiga unsur inti manusia yakni jiwa, roh dan jasad. Tentu kami yang miskin referensi buku hanya bisa menyampaikan berdasarkan pengalaman pribadi sebagai data mentah untuk kemudian saya rangkum kembali dalam bentuk kesimpulan sejauh yang bisa diketahui. Pengalaman demi pengalaman batin, memang bersifat subyektif, artinya tak mudah dibuktikann secara obyektif oleh banyak orang, namun saya yakin banyak di antara para pembaca pernah merasakan, paling tidak dapat meraba apa sesungguhnya hubungan di antara jiwa, roh, dan jasad. Walaupun jiwa dan roh berkaitan dengan gaib, namun bukankah entitas gaib itu berada dalam diri kita. Diri yang terdiri dari unsur gaib dan unsur wadag (fisik), tak ada alasan bagi siapapun untuk tidak bisa merasakan dan menyaksikan “obyektivitas” kegaiban. Mencegah diri kita dari unsur dan wahana yang gaib sama saja artinya kita mengalienasi (mengasingkan) dan membatasi diri kita dari “diri sejati” yang sungguh dekat dan melekat di dalam badan raga kita.

Sukma-Raga

Hubungan antara roh/sukma dengan raga bagaikan rangkaian perangkat internet. Sukma atau roh dapat diumpamakan IP atau internet protocol, yang mengirimkan fakta-fakta dan data-data “gaib” dalam bentuk “bahasa mesin” yang akan diterima oleh perangkat keras atauhardware. Adapun hardware di sini berupa otak (brain) kanan dan otak kiri manusia. Sedangkan tubuh manusia secara keseluruhan dapat diumpamakan sebagai seperangkat alat elektronik bernama PC atau personal komputer, note book, laptop dst yang terdiri dari rangkaian beberapa hardware. Hardware otak tak akan bisa beroperasional dengan sendirinya menerima fakta dan data gaib yang dikirim oleh sukma. Hardware otak terlebih dulu harus diisi (instalation) dengan perangkat lunak atau sofware berupa “program” yang bernama spiritual mind atau pemikiran tentang ketuhanan, atau pemikiran tentang yang gaib.

Sukma-Jiwa

Namun demikian, hardware otak tidak akan mampu memahami fakta-fakta gaib tanpa adanya jembatan penghubung bernama jiwa. Jiwa merupakan jembatan penghubung antara sukmadengan raga. Aktivitas sukma antara lain mengirimkan bahasa universal kepada raga. Bahasa universal tersebut dapat berupa sinyal-sinyal gaib, pralampita, perlambang, simbol-simbol, dalam hal ini saya umpamakan layaknya bahasa mesin, di mana jiwa harus menterjemahkannya ke dalam berbagai bahasa verbal agar mudah dimengerti oleh otak manusia. Tugas jiwa tak ubahnya modem untuk menterjemahkan “bahasa mesin” atau bahasa universal yang dimiliki oleh sukma menjadi bahasa verbal manusia.

Namun demikian, masing-masing jiwa memiliki kemampuan berbeda-beda dalam menterjemahkan bahasa universal atau sinyal yang dikirim oleh sukma kepada raga, tergantung program atau perangkat lunak (software) jenis apa yang diinstal di dalamnya. Misalnya kita memiliki program canggih bernama Java script, yang bisa merubah bahasa mesin ke dalam bentuk huruf latin atau bahasa verbal, dan bisa dibaca oleh mata wadag.

Jiwa-Raga

Setelah jiwa berhasil menterjemahkan “bahasa mesin”, atau bahasa universal sukma ke dalam bahasa verbal, selanjutnya menjadi tugas otak bagian kanan manusia untuk mengolah dan menilainya melalui spiritual mind atau pemikiran spiritual. Semakin besar kapasitas random acces memory (RAM) yang dimiliki otak bagian kanan, seseorang akan lebih mampu memahami “kabar dari langit” yang dibawa oleh sukma, dan diterjemahkan oleh jiwa. Itulah alasan perlunya kita meng upgrade kapasitas “RAM” otak bagian kanan kita agar supaya lebih mudah memahami fakta gaib secara logic. Sebab sejauh yang bisa saya saksikan, kenyataan gaib itu tak ada yang tidak masuk akal. Jika dirasakan ada yang tak masuk akal, letak “kesalahan” bukan pada kenyataan gaibnya, tetapi karena otak kita belum cukup menerima informasi dan “data-data gaib”. Dimensi gaib memiliki rumus-rumus, dan hukum yang jauh lebih luas daan rumit daripada rumus-rumus yang ada di dalam dimensi wadag bumi. Contoh yang paling mudah, misalnya segala sesuatu yang ada di dalam dimensi wadag bumi, mengalami rumus atau prinsip terjadi kerusakan (mercapadha). Merca berarti panas atau rusak, padha adalah papan atau tempat. Mercapadha adalah tempat di mana segala sesuatunya pasti akan mengalami kerusakan. Sementara itu di dalam dimensi gaib, rumus kerusakan tak berlaku. Sehingga disebutnya sebagai dimensi keabadian, atau alam kehidupan sejati, alam kelanggengan, papan kang langgeng tan owah gingsir. Sekalipun organ tubuh manusia, apabila dibawa ke dalam dimensi kelanggengan, pastilah tak akan rusak atau busuk sebagaimana pernah saya ungkapkan dalam kisah terdahulu, silahkan para pembaca yang budiman membuka posting berjudul KUNCI MERUBAH KODRAT. Sebaliknya, sukma yang hadir ke dalam dimensi bumi, pastilah terkena rumus atau prinsip mercapadha, yakni mengalami rasa cape, sakit, rasa lapar, ingin menikmati makanan dan minuman yang ia sukai sewaktu tinggal di dimensi bumi bersama raga. Hanya saja, sukmanya merupakan unsur gaib, maka tak akan terkena rumus atau prinsip mengalami kematian sebagaimana raga.

RUMUS-RUMUS KEHIDUPAN WADAG DAN GAIB

Jiwa yang terlahir ke dalam jasad manusia merupakan software yang merdeka dan bebas menentukan pilihan. Apakah akan menjadi jiwa yang mempunyai prinsip keseimbangan, yakni seimbang berdiri di antara sukma dan raga, menjadi pribadi yang seimbang lahir dan batinnya. Ataukah akan menjadi jiwa yang berat sebelah, yakni tunduk kepada sukma, ataukah jiwa yang menghamba kepada raga saja. Untuk menjadi pribadi yang dapat meraih keseimbangan lahir dan batin, jiwanya harus memperhatikan dan menghayati apa saran sang sukma (nuruti kareping rahsa). Tak perlu meragukan kemampuan sang sukma sebab ia tak akan salah jalan dalam menuntun seseorang menggapai keseimbangan lahir dan batin. Pribadi yang seimbang lahir dan batinnya akan mudah menggapai kemuliaan hidup di dunia dan kehidupan sejati setelah raganya ajal. Sementara itu bagi jiwa yang mau diperbudak oleh raga berarti menjadi pribadi yang hidup dalam penguasaan lymbic section, atau insting dasar hewani, selalu mengumbar hawa nafsu (nuruti rahsaning karep). Tentu saja kehidupannya akan jauh dari kemuliaan sejak hidup di mercapadha maupun kelak dalam kehidupan sejati.

Sebaliknya, bagi jiwa yang terlalu condong kepada sukma, ia akan menjadi pribadi yang fatalis, tak ada lagi kemauan, inisiatif, dan semangat menjalani kehidupan di dimensi wadag planet bumi ini. Seseorang akan terjebak ke dalam pola hidup yang mengabaikan kehidupan duniawi. Hal ini sangatlah timpang, sebab kehidupan duniawi ini akan sangat menentukan bagimana kehidupan kita kelak di alam keabadian. Apakah seseorang akan menggapai kemuliaan bahkan kemuliaan Hidup di dunia merupakan bekal di akhirat. Sebagaimana para murid Syeh Siti Jenar yang gagal dalam memahami apa yang diajarkan oleh gurunya. Para murid menyangka kehidupan di planet bumi ini tak ada gunanya, bagaikan mayat bergentayangan penuh dosa. Kehidupan dunia bagaikan penghalang dan penjara bagi roh menuju ke alam keabadian. Jalan satu-satunya melepaskan diri dari penjara kehidupan dunia ini adalah jalan kematian. Sehingga banyak di antara muridnya melakukan tindakan keonaran agar supaya menemui kematian.

NYAWA, KEMATIAN, DAN MERAGA SUKMA

Banyak orang, melalui berbagai referensi, menganggap nyawa sama dengan jiwa. Bahkan dipahami secara rancu dengan menyamakannya dengan roh atau sukma. Nyawa, jiwa, roh, sukma, diartikan sama. Tetapi manakala kita menyaksikan peristiwa meraga sukma, perjalanan astral, lantas timbul tanda tanya besar. Bukankah saat terjadi peristiwa kematian, sukma seseorang keluar dari jasadnya ?! Kenapa orang yang meraga sukma tidak mengalami kematian ?! Sejak lama saya bertanya-tanya dalam hati saya sendiri. Apa gerangan yang terjadi dan bagimana duduk persoalannya. Bagaimanakah sebenarnya rumus-rumus tuhan yang berlaku di dalamnya ?

Butuh waktu puluhan tahun hingga saya menemukan jawaban logis, paling tidak nalar saya bisa menerimanya. Nyawa ibarat “lem perekat” yang menghubungkan antara sukma dengan raga manusia. Pada peristiwa kematian seseorang, nyawa sebagai lem perekat tidak lagi berfungsi alias lenyap. Jika lem perekatnya sudah tak berfungsi lagi maka lepaslah sukma dari jasad. Lain halnya dengan meraga sukma, lem perekat masih berfungsi dengan baik, sehingga kemanapun sukma berkelana, jasadnya yang ditinggalkan tidak akan mati. Hanya saja lem perekat bernama nyawa ini sistem bekerjanya berbeda dengan lem perekat pada umunya yang benar-benar menyambung merekatkan antara dua benda padat. Nyawa merekatkan antara jasad dan sukma secara fleksibel, bagaikan dua peralatan yang dihubungkan oleh teknologi nir kabel. Namun demikian nyawa tentu saja jauh lebih canggih ketimbang teknologi bluetoothyang bisa menghubungkan dua peralatan dalam jarak dekat maupun jauh. Dalam khasanah spiritual Jawa, para leluhur di zaman dulu menemukan adanya keterkaitan masing-masing unsur gaib dan wadag manusia. Raga supaya hidup harus dihidupkan oleh sukma, sukma diikat oleh rasa. Ikatan rasa akan pudar dan lama-kelamaan akan habis apabila rasa tidak kuat lagi menahan penderitaan dan trauma yang dialami oleh raga. Bila seseorang tak kuat lagi menahan rasa sakit, kesadaran jasadnya akan hilang atau mengalami pingsan, dan bahkan kesadaran jasadnya akan sirna samasekali alias mengalami kematian. Di sini peristiwa kematian adalah padamnya “alat nirkabel” atau semacam “bluetooth” bikinan tuhan sehingga terputuslah hubungan antara jasad dan sukma. Lain halnya dengan aksi meraga sukma, sejauh manapun sukma berkelana ia tetap terhubung dengan raga melalui “teknologi” bluetooth bikinan tuhan bernama nyawa



Tidak ada komentar:

Posting Komentar