Minggu, 17 Maret 2013

HAKEKAT PERANG BARATAYUDHA

Dalam dunia pewayangan kita kenal cerita Baratayudha, yaitu peperangan antara Pandawa dengan Kurawa di medan perang yang dinamakan Padang Kurusetra. Perang jihad antara kekuatan napsu positif (Pandawa Lima) melawan napsu negatif (Kurawa dengan 100 pasukan) di arena perang kalbu (Padang Kurusetra). Ini merupakan peperangan yang maha berat dan merupakan sejatinya perang (jihad fi sabillillah) atau perang di jalan kebenaran.

Hakekat dari peperangan tersebut adalah merupakan pertarungan sengit antara napsu positif melawan nafsu negatif (setan). Bilamana napsu positif memenangkan niscaya kedamaian, ketentraman, kasih sayang akan diperolehnya, sebaliknya bilamana napsu negatif yang unggul maka muncullah keserakahan, katamakan, kebencian, kehancuran dan lain sebagainya. Terjadinya perang di Palestina merupakan salah satu bukti napsu negatip memegang kendali.

Salah satu cara untuk memenangkan pertarungan tersebut, tradisi budaya jawa mengajarkan laku tapa prihatin (puasa) guna memperoleh kemenangan dengan melalui tahapan seperti yang dikiaskan kedalam nada suara/bunyi instrument Gamelan Jawa. Kita mengenal diantara beberapa perangkat gamelan ada yang dinamakan Kempul, Kenong dan Bonang yang dapat menimbulkan bunyi, NENG, NING, NUNG, NANG.

Setelah mencapai tahapan Nang yang artinya menang, kemenangan yang berupa anugerah, kenikmatan dalam segala bentuknya serta meraih kehidupan sejati, kehidupan yang dapat memberi manfaat (rahmat) untuk seluruh makhluk dan alam semesta. Wilujeng dan rahayu widodo menjadi idaman setiap insan manusia,
Neng adalah syariatnya, Ning adalah tarekatnya, Nung adalah hakekatnya, Nang adalah makrifatnya. Ujung dari empat tahap tersebut adalah kodrat (Sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu).
Peperangan identik dengan kekerasan, namun dalam Hakikat Bratayudha arti perang disini akan tetap berhubungan dengan makna Kematian, karena arti kematian tersebut tidak bisa dipisahkan dari proses Peperangan…

Bratayuda yang mempunyai maksud dan makna yaitu ‘ Sakratul maut’, Kurawa mask kedalam Pandawa. Dan wilayah sebenarnya adalah Badan dan Sukma, dan inilah yang menyebabkan Kesempurnaan harus diusahakan, badan dan sukma, keluar masuknya nafas, lebur luluh masuk kedalam bandarullah…

Suyudana beserta seluruh balatentara mati, kemudian Sang Harjuna masuk ke negeri Ngastina berperang sebagai raja, namun sebenarnya Raden Pamadi hanya sebagai pelindung. Sesungguhnya yang menjadi Raja adalah Prabu Parikesit, yang abadi selamanya di negeriNgastina. Adapun maksud parikesit adalah seluruh nafas yang tanpa henti, menjadi sukmana …

Kesempurnaan badan dan sukma identik dengan kesempurnaan keluar masuknya nafas, karena nafas adalah titik hubung penting antara “diri” dengan tubuh, dan pengaturan nafas dapat membersihkan urat2 syaraf dan memeberikan daya kekuatan pada pusat tubuh yang halus…

Pada pengaturan nafas berhasil maka seseorang akan tenggelam akan tujuannya yaitu Tuhan…..Harjuna sebagai lambang Pengetahuan yan benar menghantarkan kesadaran diri berubah pada kesadaran akan Tuhan dalam nuansa Keabadian yang disebut Suksmana dan ini menjadi syarat kemunculan Insan Kamil karena merupakan Tujuan dari manusia dalam pendekatannya pada Tuhan…..

Baratayudha Dan Hakikat Hidup

Kisah Baratayudha mungkin tidak asing ditelinga kita namun adakah pelajaran yang kiranya dapat kita ambil dari peristiwa yang melegenda tersebut. Mahakarya itu begitu luar biasa dan pakem-pakem ceritanya ada dalam pementasan wayang kulit. Baratayudha tidak saja diyakini sebagai perang antara kebajikan melawan kemunkaran. Pandawa dari keluarga Pandu perlambang kebajikan dan Kurawa sebagi perlambang kejahatan di muka bumi. Intisari cerita juga penuh gambaran makna bahwa sejatinya perang saling membunuh dan membenci hanyalah mencelakai saudara sendiri sesama makhluk ciptaan-Nya. Pada akhirnya kebajikan pun yang akhirnya menuai kemenangan sejati, yaitu kemenangan bukan untuk menindas maupun menghina tetapi kemenangan yang benar-benar menyadarkan untuk selalu berani dalam berbuat kebaikan.

Perang Baratayuda juga mencerminkan ketetapan nasib dan kodrat sudah ditentukan sedari masa lalu, baik yang secara eksplisit ditorehkan dalam kitab Jitabsara maupun yang secara implisit hanya akan diketahui pada detik-detik berlangsungnya perang Baratayudha di Padang Kurusetra. Dikisahkan Prabu Krisna sebagai penasihat keluarga Pandawa berusaha melihat kitab Jitabsara untuk mengetahui nasib Pandawa dalam Baratayudha. Prabu Krisna melakukan meditasi untuk menembus khayangan Suralaya tempat bersemayam para dewa untuk melihat isi Kitab Jitabsara. Tujuan terbesarnya ingin membawa Kitab Jitabsara tetapi ia juga menyimpan misi lain untuk sedikit mengubah jalan cerita dalam kitab. Ia berubah menjadi kumbang dan menumpahkan tinta ketika Batara Narada akan menuliskan nasib Antareja dan Baladewa. Dalam beberapa versi diceritakan gelagat Krisna di kayangan tercium yang mengaku sebagai Sukma Wicara sehingga hampir mendapat hukuman.

Kitab itu berisi nama-nama ksatria dalam kubu kurawa dan pandawa yang gugur di medan perang. Dengan pengetahuan itu Prabu Krisna sebagai penasihat pandawa akan lebih mudah mengatur siasat perang. Setelah berhasil membawa Kitab Jitabsara Prabu Krisna sebenarnya sudah berusaha mengajak pihak kurawa untuk membatalkan Baratayudha. Tetapi itu semua juga tidak berhasil karena semua juga sudah tertulis dalam Kitab Jitabsara. Perang tetap akan terjadi, kemenangan juga sudah dipastikan dari pihak Pandawa. Kemenangan sudah didapatkan tetapi kodrat dan nasib harus tetap dijalani untuk menuju kemenangan tersebut.

Dalam kehidupan kita ini ada kiranya perlu menyadari bahwa kodrat kita termasuk nasib sejatinya juga sudah dituliskan sebelum manusia memiliki jasmani hadir di rahim ibundanya. Diri manusia sebelumnya telah bersumpah dan bersaksi sebagaimana Q.S. Al-Araf: 172, 
Dan ingatlah ketika Tuhan-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman),”Bukankah Aku ini Tuhanmu?” “Benar! Dan kami bersaksi. Tepatnya di baitul ma’mur (rumah sebagai tempat keinginan) manusia bersumpah untuk setuju menjadi wakil Allah di muka bumi.
Baitul ma’mur juga digunakan sang diri teken kontrak tentang kehidupan yang akan dialami di dunia ini. Mereka menyadari semua yang akan diembannya, kontrak hidup sengsara adapula kontrak menjalani hidup bahagia. Semua disetujui saja karena belum ada beban jasmani maupun hawa nafsu yang mempengaruhi. Lah, enggak enak dong yang dapet sengsara? Perlu disadari teken kontrak ini merupakan perjalanan kehidupan kita yang panjang. Perjalanan dengan mengemban tugas kita ini nantinya juga kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa “Inna lillahi wa inna ilayhi rojiun” Kita ini asal usulnya dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Di bumi kita menggunakan pakaian raga jasmani yang juga sudah ditentukan untuk bisa menjalani kehidupan sebaik-baiknya. Sengsara ataupaun bahagia jika tetap senantiasa mengingat Tuhan, menjalani semua ini lebih tenang.

Orang Jawa bilang “manungsa iku mung sakdermo nglakoni” ya seperti pandawa dan kurawa mereka harus menjalani Baratayuda di Padang Kurusetra ibarat perang kita di dunia untuk selalu berbuat baik dalam kondisi apapun. Selain itu ada kutipan “urip ki ming mampir ngombe” maka di bumi ini kita sedang mencari bekal untuk kehidupan berikutnya yang kekal. Dimana itu surga atau neraka? Bukan disana tempat yang kekal karena tidak mungkin ada yang melebihi kekalnya Sang Pencipta. Kehidupan kekal tentu saja yang “wa inna ilayhi rajiun”. Perkara surga dan neraka itu adalah hak prerogatif Allah. Dalam mencari bekal haruslah menjalani kodrat dengan sebaik-baiknya. Loh, bukannya nasib kita bisa berubah? Ya sangat bisa, kalau kita sudah menjalani kehidupan ini dengan baik, usaha maksimal dan mencari ridho Allah. Dalam Al-Fathihah “Iyya ka nabudu wa iyya ka nasta in” tentu masalah perubahan itu mudah bagi Allah kalu kita sudah beribadah dan memohon pertolongan hanya pada Allah, dan dengan “kun faya kun” semua kehendak-Nya terwujud seketika. Allah mengetahui segala sesuatu bahkan sebelum segala sesuatu itupun terjadi, bukankah Allah Maha Mengetahui.

Tugas kita sederhana, kita dahulu membuat rancangannya. Karena kita sendiri yang teken kontrak berdasarkan kesepakatan yang telah kita buat, maka kita diingatkan oleh Tuhan untuk tidak berlarut sedih apabila tidak berhasil dalam mengejar cita-cita, mengalami kegagalan, atau merasa sengsara dan sebaliknya untuk tidak terlalu bergembira menerima kebahagiaan.

Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Law Mahfuz) sebelum Kami menciptakanya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membangga-banggakan diri. (Q.S. Al-Hadid: 22-23)
Nah sudah semakin jelas, termasuk dalam terjemahan ayat di atas ada kalimat bahwa telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptkannya. Kalimatnya bukan berbunyi sebelum Aku menciptakannya. Kata “Aku” tentu hanya menunjuk kepada Tuhan tetapi ayat ini dalam bentuk “Kami”. Jadi jelas Allah melibatkan ciptaan-ciptaan lainnya agar yang tercatat itu terwujud dan sebelumnya sudah tercatat berdasarkan kesepakatan bersama. 

Ada orang yang mendapat bencana atau musibah dan ada yang beruntung tetapi kita semua juga harus mengerti petunjuk Allah ditegaskan dalam firman-Nya bahwa,
“Allah tidak membebani suatu jiwa diluar kesanggupannya. Sekarang ini ia hanya mendapatkan imbalan dari apa yang pernah ia usahakan, dan mendapatka siksaan dari kejahatan yang telah dilakukannya. (Q.S.Al-Baqarah: 286)”
“Kami tiada membebani seseorang kecuali sebatas kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada Kitab yang berbicara tentang kebenaran, dan mereka tidak dizalimi“ (Q.S. Al-Muminun: 62)
Semuanya semakin jelas tidak ada yang dirugikan, kita saat ini sedang menjalankan hasil dari kontrak itu sendiri. Kita sekarang juga diberi kesempatan untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan untuk bekal masa depan kita. Banyak yang terkadang tidak sadar telah mengkambinghitamkan Tuhan. Loh? Iya kalau hal itu baik tentu tidak masalah karena memang Tuhan kita maha segala kebaikan dan wajib bagi kita untuk selalu bersyukur. Lah kalau jelek ya jangan menyalahkan Tuhan, seharusnya kan begitu. Sering tanpa kita sadari menganggap datangnya musibah, bencana, dan ujian dari Tuhan. Tuhan kok disalah-salahkan, untung Tuhan kita maha pengasih, penyayang, lagi pengampun sehingga kita tetap bisa hidup dengan kasih dan lindungan-Nya.

Kembali ke apa yang dikisahkan dalam baratyudha, Prabu Krisna sangat berkeinginan mengetahui isi Kitab Jitabsara. Namun dari sana kita dapat belajar bahwa manusia tak perlu tahu apa yang telah kita tuliskan di masa yang lalu cukup melakoni hidup ini dengan usaha yang baik dan maksimal apabila ingin mengingat kembalilah kepada Kitab Suci Al-Quran. Al-Quran dan Hadist memberikan pegangan hidup kita di dunia untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Hal lain yang perlu diingat cobaan, musibah berupa bencana atau hal lain yang berupa kerusakan kehancuran tentu bukan dari Tuhan karena sudah jelas Tuhan tidak mungkin merusak atau bersifat tidak baik. Hanya saja itu merupakan ketetapan-ketetapan Allah apabila ada ketidakadilan dan suatu ketimpangan. Bukankah Allah Tuhanmu memiliki 99 nama “asmaul husna” dan kesemuanya nama-nama yang paling baik. Mengenai pernyataan yang sering kita dengar bahwa Tuhan sedang menguji kita, sebenarnya bila kita menyadari keagungan Tuhan tidak dengan ujian pun Tuhan sudah lebih tahu sampai sebatas mana kemampuan ciptaan-Nya.

Baratayudha dalam pewayangan apabila kita pahami tentu juga berhubungan dengan petuah-petuah. Dahulu wali khususnya Sunan Kalijaga menggunakan media wayang untuk berdakwah tujuannya menyesuaikan dengan budaya juga karena wayang memang cara penyampaian yang tepat bagi penduduk di Jawa. Hakikat kehidupan diajarkan agar kita dapat selalu sadar dalam menjalani kehidupan ini. Dengan kesadaran tentu manusia akan selalu “eling lan waspada”. Ada nasihat orang Jawa berbunyi “Trima Mawi Pasrah, Suwung Pamrih Tebih Ajrih; Langgeng Tan Ana Susah, Tan Ana Seneng, Anteng, Mantheng, Sugeng Jeneng.” Artinya, menerima dengan tawakkal, tiada pamrih, jauh dari takut; abadi tiada duka, tiada suka, tenang memusat, nama pun selamat. Ini merupakan ajaran dari R.M. Sosrokartono yang populer di Jawa.

Trima mawi pasrah bermakna menerima apa saja dengan pasrah dan tawakal. Untuk mengehilangkan rasa takut dan was-was, orang diminta untuk ikhlas tanpa pamrih apapun. Langgeng tan ana susah, tan ana seneng dapat diartikan sudah mencapai ketenangan batin yang abadi tanpa banyak dipengaruhi rasa senang maupun susah. Kesenangan maupun kesusahan ditekan sekecil mungkin sehingga tidak berpengaruh terhadap kehidupan. Anteng Mantheng, sugeng jeneng mengarah pada kehidupan yang tenang mampu memusatkan perhatian pada kebutuhan dengan baik jauh dari pengaruh nafsu duniawi yang berlebihan. Sehingga orang memiliki ketentraman hidup bisa tahan terhadap godaan yang datang setiap waktu serta tetap bekerja dengan baik dalam keadaan apapun.

Kresna, sang arsitek kemenangan Pandawa



Kresna sang raja Dwarawati dalam kisah pewayangan adalah titisan Dewa Wisnu yang bertugas melindungi Pandawa yang mana di dholimi pihak Kurawa dan memenangkannya dalam perang Baratayuda. Sebelum perang dimulai Kresna tampil sebagai duta Pandawa ke Astina dalam rangka menyelesaikan konflik perebutan kerajaan Astina. 

Misi yang diemban Kresna adalah agar tidak terjadi perang. Pandawa minta setengah wilayah Astina kepada kurawa, andaikata tidak diberikan Pandawa rela hanya menerima lima wilayah pedesaan yaitu Awisthala, Wrekashala, Waranawata, Makandi, dan Awasana. Bagaimanapun Pandawa tetap menempuh jalan damai. Namun Duryadana menolak mentah-mentah permintaan Kresna, bahkan dengan seluruh kekuatan Kurawa berusaha membinasakan Kresna. Dalam keadaan terdesak Kresna berubah menjadi raksasa dan akan menghancurkan Kurawa, namun Batara Narada mencegahnya dan menjelaskan bahwa menurut Serat Jitabsara perang Baratayuda harus terjadi. Akhirnya Kresna mengurungkan niatnya tersebut.

Sadar perang Baratayuda akan terjadi, dengan kepintarannya Kresna berusaha sedkit demi sedikit melemahkan posisi Kurawa antara lain dengan meminta Karna memihak Pandawa, namun merasa sadar bahwa dirinya berhutang budi kepada Kurawa dan lebih mementingkan Astina sekalipun Kurawa dipihak yang salah, Karna menolak permintaan Kresna tersebut. 

Demikian pula terhadap Baladewa kakaknya sendiri yang sebenarnya bersikap netral. Sadar sang kakak akan memihak Kurawa Kresna memohon Baladewa untuk bertapa di Grojogan sewu yang dijaga Setiyaki. Baladewa sendiri adalah satria yang senang melakukan tapa brata, dia tidak bisa menyaksikan keseluruhan berlangsungnya perang Baratayuda dan baru muncul disaat diakhir episode perang tersebut ketika Bima bertarung melawan Duryudana.

Dalam perang Baratayuda, Kresna memihak Pandawa. Ia dipilih Arjuna sebagai penasehat yang mana Kresna tidak diperbolehkan mengeluarkan senjata untuk berperang langsung dengan pihak Kurawa, sementara pasukannya yang berjumlah besar dipilih Duryudana menjadi bagian dari pasukan Kurawa. 

Pilihan yang dijatuhkan Duryudana membuat Sengkuni marah kepada Duryudana baginya apalah arti pasukan yang besar jika tidak melibatkan pengatur strategi yang ulung sekaliber Kresna. Kresna pada waktu perang memposisikan diri sebagai kusir kereta Arjuna. Kresna juga memantapkan hari Arjuna yang masih ragu-ragu melihat orang-orang yang dihormatinya seperti Bisma dan Durna berada dipihak Kurawa. Arjuna mendapatkan lawan yang sepadan yaitu Karna yang tak lain kakak tertuanya sendiri. Kereta Karna dikemudikan mertuanya sendiri yaitu Prabu Salya. 

Prabu Salya sebenarnya tidak ingin Baratayuda terjadi sehingga dalam mengemudikan kereta Karna ia setengah hati sampai pada suatu ketika roda kereta Karna terjerembab dalam tanah. Mengetahui hal tersebut Kresna menyuruh Arjuna segera melepaskan senjata Pasopati. Pada awalnya Arjuna tidak mau karena hal tersebut bukan tindakan ksatria. Namun Kresna menjelaskan bahwa Karna salah satu orang yang membunuh Abimanyu, putra Arjuna, maka Arjuna segera melepaskan anak panah Pasopati mengenai leher Karna yang mengakibatkan kematian Karna. Arjuna sebenarnya menyesali tindakannya tersebut. Prabu Salya sendiri tewas ditangan Puntadewa. Ketika Prabu Salya maju ke medan perang, Pandawa kewalahan menghadapi Candrabirawa ilmu Prabu Salya berupa kemampuan memanggil raksasa yang apabila terluka oleh musuhnya jumlah bertambah banyak. 

Kresna yang tahu bahwa ilmu itu hanya bisa dihadapi orang suci hati dan sabar seperti Puntadewa maka ia segera menyuruh Puntadewa menghadapinya. Puntadewa sendiri sebenarnya tidak mau karena dalam Baratayuda ia tidak akan turun gelanggang. Pada saat itu arwah Resi Bagaspati masuk ke tubuh Puntadewa bermaksud mengambil Candrabirawa miliknya. Puntadewa yang telah dirasuki kemudian melempar Jimat Kalimasada dan mengenai dada Prabu Salya. Prabu Salya akhirnya gugur.

Tindakan Kresna meskipun terkesan kejam namun demi kemenangan Pandawa, ia lakukan yaitu ketika melihat Antasena anak Bima. Antasena mempunyai kesaktian yang luar biasa, ia bisa membunuh seseorang dengan cara menjilat bekas telapak kakinya di tanah. Tentunya Kresna melihat apabila hal tersebut dilakukan Antasena dalam mengalahkan lawannya akan berbahaya, bisa jadi yang dijilatnya tersebut bekas telapak kaki pihak Pandawa sendiri. Kresna kemudian menyuruh Antasena menjilat sebuah bekas telapak kaki. Namun Antasena tidak sadar kalau yang dijilatnya bekas telapak kakinya sendiri. Akhirnya Antasena mati dengan cara tersebut.

Duryudana juga terpedaya kepintaran Kresna. Hampir selesainya perang Dewi Gandari, ibu para Kurawa sedih mendengar hampir seluruh anaknya tewas dan hanya tersisa Duryudana. Dewi Gandari yang selama menjadi ibu para Kurawa selalu menutup matanya, bisa memberikan kekuatan yang dahsyat kepada Duryudana. Kekuatan tersebut berasal dari kedua matanya yang ia tutup. 

Jika kekuatan tersebut dilimpahkan kepada tubuh Duryudana, maka ia akan kebal terhadap berbagai macam serangan. Ia menyuruh Duryudana agar mandi dan menghadapnya dalam keadaan telanjang. Ketika Duryudana ingin menghadap ibunya, ia berpapasan dengan Kresna . Kresna mencela dan mengejek Duryodana yang mau datang ke hadapan ibunya sendiri dalam keadaan telanjang. Karena malu, Duryudana menutupi bagian bawah perutnya, termasuk bagian pahanya. Begitu membuka matanya, Dewi Gandari hanya bisa memberikan kekuatannya ke bagian tubuh Duryudana yang tidak tertutup.

Dipenghujung perang Baratayuda terjadilah pertarungan bersenjatakan gada yang hebat antara Bima dan Duryudana. Pertarungan berlangsung imbang tidak ada yang kelihatan kalah sedikitpun. Melihat hal tersebut Kresna yang tahu titik lemah Duryudana segera memberi tahu kepada Arjuna tentang hal tersebut. Kemudian Arjuna mengisyaratkan agar Bima memukul bagian paha sebelah kiri. Mendapat isyarat tersebut Bima segera memukul paha sebelah kiri Duryudana. 

Duryudana langsung terkapar tak berdaya dan menjadi bulan-bulanan Bima. Pada saat itu Baladewa yang selama Baratayuda disembunyikan Kresna muncul dan marah terhadap Bima yang dianggap tidak tahu aturan bertarung dengan gada bahkan berniat menghabisi Bima dengan Nenggala senjatanya. Melihat hal itu Kresna bertindak meredakan amarah kakaknya dan menjelaskan meskipun Bima dianggap melanggar aturan main namun supaya diingat bagaimana perlakuan Kurawa terhadap Pandawa yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap Pandawa dan juga hak singgasana Hastinapura yang tidak diberikan meskipun satu jengkal tanahpun. 

Akhirnya kemarahan Baladewa mereda dan dia pulang. Sementara itu Duryudana yang sedang sekarat bersumpah serapah terhadap Kresna yang dianggap biang kekalahan Kurawa. Kresna menjawab bahwa itu semua akibat ulah Kurawa sendiri. Akhirnya Duryudana tewas dan berakhirlah perang Baratayuda.

Kematian Angkawijaya

Adalah putra Raden Parta, maksuda nama angka berarti akal, jaya adalah kemenangan…angka wijaya dibunuh oleh Jayajatra. Akalnya yang baik hilang terlebih dahulu, jika sudah mengerti tentang akal, Jayajatra adalah ‘kepastian’ atau kemenangan(yang membunuh akal ).

Kerajaan jayajatrayang bernama Sindu Kalangan adalah sesuatu yang menyebarkan nafas ke seluruh tubuh, dalam konteks ini penyebaran ini dilakukan oleh darah dengan dorongan denyut nadi dari jantung. Dan sebagai tujuannya adalah memfungsikan organ2 diseluruh tubuh, denyut yang yang mendorong darah ini membawa zat yang ada dalm udara yang dihirup daam nafas setelah terlebih dahulu diolah.

Dalam konteks akal dapat dijabarkan sebagai otak, yang didalamnya terdapat perlengkapan2 untuk berintuisi maupun berpikir sehingga disebut berakal, dan ini yang disebut kinerja akal, tetapi sehebat apapu akal tidak akan bisa berfungsi, tanpa adanya zat2 yang menopang keberadaannya yang disalurkan oleh darah dengan dorongan denyut nadi….pengertian kepastian adalah dipastikan bahwa Akal sangat akan bergantung pada denyut Jantung…

Kematian Jayajatra

Kerajaannya adalah Sindu Kalangan, yang bermakna ” Menang “, inilah yang menyebarkan nafas ke seluruh tubuh. Terbunuhnya adipati ( angkawijaya ) oleh jayajatra menyebabkan Parta marah. Hilang nafasnya jika sudah muncul insan kamil yaitu sejenis ‘sabda’ yang ada dalam manusia…inilah kematian jayajatra…diibaratkan nafas yang masih berhubungan erat dengan denyut yanbg menyalurkannya, nafas tidak akan sampai pada seluruh organ tubuh tanpa perantara darah dengan denyut nadi dan denyutpun di hidupkan oleh nafas ini…

Kematian Gatotkaca

Nama lainnya adalah Arimbatmaja, dibunuh oleh raja Ngawangga yang disebabkan oleh senjata panah ( kunta )…yang dalam bahasa arab artinya ‘Alif’, yang artinya “jadi”, sira adalah ‘sir’, kemudian berkumpul menjadi satu…Arti Gatotkaca adalah sesuatu yang ada di angkasa. Pada waktu yang akan datang, saat manusia mati, sesuatu ( mardum = ma’dum / tiada) yang jatuh diangkasa tersebut jatuh ke martabat keempat…menunjukkan keberadaan sesuatu hal yang jika dibandingkan keberadaan mutlak harus ada ( Tuhan ), barang ini tidak ada. Suatu barang itu ada karena keberadaannya diciptakan…seseorang yang menyampaikan pendapat kepada orang lain secara lisan dalam prosesnya harus melalui resonansi diudara ( gelombang rambat) sehingga sampai pada pendengar, jadi gatotkaca diistilahkan sebagai mandum kang aneng tawang adalah ucapan-ucapan…sedangkan senjata Kunta milik Karna…Kun bermakna jadilah dan ta adalah kamu ( jawa kuno ) …Kata kun adalah merupakan sabda Tuhan yang menandakan adanya Dunia Perintah dan Dunia Penciptaan. Ruh manusia ada karena diperintah dan dicitakan dengan sabda Kun.

Ruh itu benar2 sederhana dan tidak dapat dibagi menjadi bagian2, sehingga ia dimiliki oleh Dunia Perintah. Badan merupakan campuran dan dapat dibagi2, ia dimiliki dunia penciptaan. Kata Kun menyiratkan ketetapan Tuhan sedangkan sir berarti “landasan jiwa”…Kunta dapat diinterprestasikan sebagai “ketetapan Tuhan sebagai landasan jiwa” atau perintah Sang Hyang Suksma…sehingga gatotkaca sebagai makhluk harus tunduk pada perintah Tuhan, sehingga kematian membawa dia kembali kemartabat keempat, kealam arwah yang termasuk dalam martabat penciptaan….yang termasuk didalamnya adalah alam arwah, misal(alam ide), ajsam( alam kebendaan )…merupakan martabat terendah tetapi sekaligus juga paling tinggi diantara martabat2 berujud akal, yang mengandung manifestasi absolut. Martabat tersebut adalah Insan…Inilah ketetapan Tuhan sebagai landasan jiwa, mendasari dan menentukan penguasaan atau penerimaan dan penyerapan ucapan ( gatotkaca) orang lain yang didengar melalui telinga ( karna ).

Kematian Karna

Kematian Raja Ngawangga ( Karna ) disebabkan oleh Raden Pamadi dengan menggunakan panah Pasopati, pasopati bermakna tanda kematian yang berarti hilangnya pendengaran telinga. Karna mati langsung diambil oleh yang punya. Dan raden pamadi adalah merupakan simbol dari kematian karna…

Sebagai alat pendengaran karna tidak lebih hanya penghalang bagi pendengaran raja ( sukma luhur ), da kita melihat raja suyudana adalah sukma luhur…dan ini mengandung makna bahwa sukma luhur atau ruh yang harus terbebaskan dari pengaruh keduniawian, termasuk teling yang harus mendukung tugas ruh yaitu harus mendengarkan hal-hal yang bersifat mendukung demi kebebasan ruh.

Kematian Prabu Salya

Kematian Raja Mandaraka diakibatkan oleh senjata kalimasada, yang bermakna hilangnya pikiran, sehingga mati pula alam insan (manusia). Prabu salya dapat digambarkan sebagai sukma purba yang menjadi pikiran, berkuasa di mandaraka yang sebenarnya adalah hati

Dalam konteks hati ada 2 makna….pertama disebut jantung, dan kedua adalah bersifat spiritual, yaitu wadah untuk menerima rahmat Tuhan, dan ini memiliki persepsi sebagai pengetahuan, ma’rifah. Dan didalam hati ini bersemayam Rahsa, yang berbeda dengan rasa biasa( perasaan dalam badan ). Dibagian paling rahasia(halus) dalam hati manusia dinamakan Sirr, dalam konteks mistik islam adalah merupakan tempat penyatuan mistik, dan disebut juga Tahta Kesadaran
Dan simbol pikiran mengingatkan kembali pada Akal yang membedakan adalah bahwa akal berhubungan dengan otak dan pikiran berhubungan dengan hati sebagai kesadaran

Kematian Prabu Salya dimaknai sebagai musnahnya kesadaranyang berarti pula musnahnya alam insan (manusia)…Inilah yang merupaka sebuah posisi pentingnya kesadaran, karena ketika kesadaran hilang artinya sifast sebagai manusiapun lenyap.

Kematian Dursasana

Dursasana mati sebabnya adalah Pancanaka, makna Dursasana adalah penyebaran kekuatan, sedangkan pancanaka adalah kelima yag sejati dan kuku yang tajam, tajam tidak mengenal tempat, empat mata angin tersebari, jika usnah gerakan dunia akan terhenti

Kiblat papat ( 4 mata angin ) atau s45p/ empat arah mata angin dan kelima satu titik pusat yang akhirnya melahirkan pasaran lima yaitu Legi, Pahing, Pon, Kliwon, Wage yang masing2 dihubungkan dengan fungsi,warna dan sifat…..dan warna2 inilah itulah adalah saudara ( inilah yang akan keliatan dalam jagat walikan/ dunia yang baka )…saudara2 itu adalah benda yang keluar bersama dirinya, yaitu air ketuban ( kakang kawah), plasenta (ari2), darah dan talipusat…dan dalam sosok Bima ini dilambangkan menjadi pola kainnya, poleng bang bintulu sehingga untuk mempertebal kekuatannya karena selalu disertai sedulur papatnya. Ada konsep juga yang menyebutnya sebagai, 4 nafsu yaitu lawammah, amarah, sufiah, muthmainah…..dan ini semuanya yang membuat manusia memiliki keinginan dan bertindak demi keinginan itu dan nafsu itu dihidupi oleh ruh

Ruh menyuburkan jiwa (nafs), dan jiwa melahirkan aktivitas2 badaniah didunia yang terlihatr. Ruha dianggap sebagai dimensi yang paling bercahaya dari manusia yang paling dekat pada Tuhan, disebut juga akal, dan salah satu sifat kenabian adalah memberi petunjuk, dalam mikrokosmos petunjuk melekat pada akal, maka akal adalah analog mikrokosmik nabi

Dan dari sini sisi terang dari simbol rasul yaitu adalah nabi yang disebut juga akal, ruh, atau cahaya…yang bisa menerangi ke segala arah, tajam dan meyilaukan, dapat dilihat dari tempat manapun, cahaya ini menghidupi jiwa2, nafsu2 yang digambarka di 4 arah mata angin dari pancer…bila jiwa2 yang sebagai dasar lahirnya akitivitas badaniah ini musnahmaka pergerakan dunia ( mikro/badan) akan berhenti, artinya aktivitas badan /tenaga tubuh sangat tergantung dari jiwa /nafsu yang dihidupi oleh ruh ( pancanaka )

Kematian Wiku Dahyang Durna

Maknanya adalah nafsu ‘muthmainah’. Bertahta di negeri Ngatas Angin. Daerah kekuasaannya adalah kemunculan nafas di hidun. Pembunuhnya adalah Dhustajumena berasal dari dhusta, artinya ‘pencuri’ (dan) jumena artinya ‘menurut pada kalbu’. Hilang kekhawatiranmu. Jika sudah tumbuh (kemantapan itu maka) akan menjadi habis kekhawatiranmu.

Nafsu sendiri merupakan angkara, khusus nafsu muthmainah bisa menimbulkan watak loba, misal berpuasa tanpa batas kemampuan, tetapi ini berbeda dengan kultur sufisme di dunia arab yang menjelaskan bahwa muthmainah harus dipelihara karena bermakna ‘jiwa yag tentram’ …..sebetulnya kalo di jawa memang penjelasannya lebih terperinci bahwa muthmainah merupakan martabat langit ke 4 sedangkan yang perlu digapai adalah langit ke 7 mi’raj…

Kematian Sengkuni

Sengkuni di Plasajenar, bima satya yang membunuhnya, dan kematiannya disebabkan oleh senjata Pancanaka. Arti Sengkuni adalah ‘ucapan kata2 kotor yang disengaja ketika mengumpat’. Suaranya hilang masuk kedalam wilayah Ilahi…

Pancanaka adalah memiliki arti 4 nafsu dan 1 ruh. Ruh yang menguasai nafsu inilah yang menhubungkan dimensi Tuhan dan manusia dengan perantara Sirr. Kata2 kotor yang disengaja adalah ungkapan kekecewaan atau kemarahan seseorang karena keadaan tidak sesuai dengan yang diinginkan…dan keadaan perasaan yang tidak menentu ini terjadi dalam hati dan diistilahkan sebaga ‘Hawa’…

Tokoh Bima sendiri memberikan simbol tersendiri pada masyarakat jawa dengan ilustrasi2 sebagai figur kasar, perkasa, penolong dan guru tanpa guru atau bahkan sebagai penolong dan pengruwat.

Seluruh gejala dari tubuh adalah tanda aktivitas nafsu, termasuk ungkapan kekecewaan itu, dan nafsu itu dikuasai ruh, dan ruh merupakan perantara bagi manusia untuk masuk kedalam wilayah Ilahi dengan demikian kematian Sengkuni bermakna musnahnya aktivitas ungkapan kekecewaan yang akan memalingkan hati dari ketetapan Ilahi.

Kematian Seta, Untara, Wrasangka

Ini dibunuh oleh Resi Bisma, arti ketiganya adalah sbb; Seta adalah ‘ nafsu yang tak muncul’, Untara adalah ‘ keingina di hati’, Wrasangka adalah ‘ keingina untuk berusaha’…arti wrasangka adalah berawal dari Muhkamat yang muncul, kemudian sirna jika sudah muncul Amatdiyah

Ketiga tokoh ini melambangkan ke 3 nafsu selain muthmainah. Kemunculan nafsu2 ini di hubungkan dengan Amatdiyah, Dalam penjabarannya dapat di babarkan bahwa Hyang sukma- Ruh idlafi – Ilapat atau Allah- Nur Muhammad-sirr…dan disinilah istilah Nur Muhammad menunjukkan sebagi ruh penghubung, yang menghubungkan kesatuan mutlak dengan segala sesuatu yang ada menjadi satu kesatuan. Keempat nafsu yang diwakili wrasangka dihidupi oleh ruh. Ini menandakan sifat ketergantungan nafsu dari ruh, sehingga kemunculannya diawali oleh munculnya ‘Muhammad’ sebagai ruh idhafi. Dan menunjukkan Bisma memiliki fungsi yang sama dengan Dhusthajumena yaitu membunuh atau menguasai nafsu…

Kematian Resi Bisma

Adapun Resi Bisma, Srikandhi yang membunuhnya…sesungguhnya sirmu menerangkan bahwa kamu telah ditolong oleh guru sejatimu. Peristiwa ini sepertinya sir mengadu kepada Nur Muhammad yang menjadi awal mula kehidupan. Musnahlah seluruh bala tentara Kurawa.
Hati atau rasa memiliki objek ruh, ruh berhubungan dengan Tuhan, bertempat di lokus bernama sirr, ada didalam hati, disebut ruh muhammad. Dalam prosesnya penciptaan dunia dikenal adanya istilah ” Hakikat Muhammad ” disebut juga “Nur Muhammad” yaitu Cahaya pra-Penciptaan yang merupakan awal penciptaan. Ruha dalam dunia sastra suluk jawa adalah objek ‘rahsa’ atau rahasia’ dan inilah sarana berkontak dengan Tuhan, dan merupakan ruh kehidupan yang mengalir dari Tuhan tanpa dipisahkan darinya.

Jadi Srikandhi dalam arti sirr, merupakan sarana guru sejati untuk menguasai hati, dan membunuh bisma hanya sebagai sarana bagi sukma Dewi Amba untuk menyatu kembali dengan bisma untuk pergi bersama ke surga…

Kematian Burisrawa

Beliau dijabarkan sebagai ipar raja Ngastina ( Prabu Suyudana), dan dalam perang Baratayudha digambarkan Burisrawa berhadapan dengan Wresniwira(Harya Sentyaki), burisrawa berarti ‘manusia buruk tanpa ilmu’, keadaan samar menyelimuti. Sentyaki terkungkung kalah dan Raja Dwarawati, Sri Kresna yang merasa iba mengedipkan mata pada Raden Pamadi yang segera melepaskan panag pasopati dan mengenai tengkuk burisrawa, patah dan mati dan maknanya adalah Seseorang yang pulang pada Kegelapan, akhirnya terjadilah kematian.

Digambarkan disini bahwa Burisrawa adalah manusia yang tidak memiliki ‘Ilmu’ yang dijabarkan sebagai bukan hanya intelektual tetapi lebih kepada ilmupengetahuan yang ada hubungannya dengan praktek kehidupan, terutama memahami diri sendiri, kebenaran tentang hidup dan kematian, cara mencari dan menemukan Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan….sifat bodoh yang harus diganti dengan sifat kesempurnaan.

Sehingga dengan memahami keilmuan tersebut kita dapat diharapkan bertindak tanpa nafsu, dan buahnya adalah Keselamatan Moksa ( bentuk meditasi berjalan )…dan ini dapat menjauhkan seseorang dari bahaya neraka …dan hanya orang yang taat dan saleh yang mampu memandang pemeliharaan dunia sebagai sebuah peniruan aktivitas tanpa nafsu dari Tuhan dapat dengan segera membenarkan aksi keberlanjutan…inilah atas dasar ketaatan religius. Dalam kejadian Burisrawa yang mati tanpa pengetahuan yang benar, tidak akan sampaipada paraning dumadi tujuan kehidupan, karena ia tidak tahu jalan kepulangan kepada Tuhan.

Kematian Sentyaki

Mudah, tertimpa jasad. Jasad keluarga utama yang berarti sesungguhnya adalah kematian seseorang dengan cara yang tidak tepat. Sanak famililah yang memberikan teriakan, mengingatkan jalan (agar dapat) lepas bebas karena didunia berguru pada isi dunia…kalo dalam ragam budaya seperti acara selamat kematian; hari ke1, ke3, ke 7, 40 hari, 1000 hari yang dalam acaranya ada sebuah permintaan maaf atas kesalahan2 dan beban yang belum diselesaikan.

Sentyaki mengisyaratkan kematian yang tidak sempurna, misal akibat kecelakaan dan hali ini disebabkan oleh kebodohan ( sentyaki terkungkung oleh burisrawa/kebodohan), dan biasanya memerlukan sanak famili untuk menunjukkan jalan ke arah Tuhan…

Kematian Suyudana…

Berarti ‘Sukma Luhur’, berkerajaan di Ngastina yang bermakna Rumah akhir Jaman yang direbut oleh Bima dan Parta. Sang Prabu bersahabat dengan kerajaan hitam, kuning, merah dan putih yang berada disekeliling Ngastina. Pada waktu dulu sang Prabu sangat marah mengukuhi kerajaan ngastina yang kemudian direbut Pandawa, artinya bahwa kebanyakan manusia, bukan tanpa halangan jika ingin mati. Ngastina sebebnarnya rumah akhir jaman bagi Pandawa dengan nama lain Bandarullah. Hanya tinggal Sri Nara Nata Kurupati yang masih hidup. Ia di bunuh oleh Bayu suta. Sukma luhur itu sebenarnya sangat lain, yang memerintah dan menerangi kemunculan Rububiyah. Rumahnya saja sudah bagus maka Pandawa masuk negeri ngastina…

Sukma luhur idebtik dengan ruh, sedangkan seluruh nafsu dihidupi oleh ruh, dan tergantung adanya ruh. Ruh adalah obyek rasa atau hati, ruh memiliki tempat dihati. Ngastina identik dengan hati/rasa, pada akhirnya hati di kuasai oleh pengetahuan/kesadaran tertinggi ( bima dan parta) yaitu ilmu yang menyangkut wilayah keIlahian. Ketika hati bersih dari segala macam kotoran, ruh menantikan kehadiran sumber pengetahuan sejati (rububiyah) kuasa ilahi (bima). Setelah ruh benar2 diterangioleh rububiyah kemudian ruh memasuki dunia fana, dan yang menjadi tujuannya hanyalah Allah semata (bandarullah)

Perang

Pengartian perang dalam baratayudha masih berhubungan dengan makna kematian, karena arti kematian tidak dapat dipisahkan dari proses peperangan, kadangkala peperangan identik dengan kekerasan…

Arti bratayudha atau bratapupuh yaitu ‘Sakratul Maut’…yang mengisyaratkan proses penyatuan badan dan sukma, dan penyatuan ini harus diusahakan sehingga sempurna, dan kesempurnaan badan dan sukma identik dengan kesempurnaan keluar masuknya nafas. Nafas adalah titik hubung penting antara diri dengan tubuh, pengaturan nafas digunakan untuk membersihkan urat2 syaraf dan memeberikan daya kekuatsn pada pusat tubuh yang halus. Dan bila pernafasan ini sempurna maka seseorang akan dapat menghantarkan diri pada keadaan kesadaran diri akan Tuhan dalam nuansa keabadian ( sukmana) dan inilah yang menjadi prasyarat munculnya Insan Kamil…artinya kita kembali pada fitrah kita sebagai manusia pada saat penciptaan, manusia ideal yang di tetapkan oleh Tuhan…..

ABDI

Pandawa memiliki abdi yang dinamakan Punakawan yang berjumlah 4 dan berfungsi sebagai penasihat perjalanan. Pandawa tidak akan pernah berhasil tanpa para penasihat itu…dan Pandawa disebut Bandarullah yang dapat ditafsirkan dengan ‘Allah sebagai Tujuan’…Allah menyediakan jalan untuk berjalan kearahNya, dan jalan itu adalah :

SEMAR…( cahaya)

Dalam proses Ketuhanan, cahaya adalah ciptaan pertama yang disebut Nur Muhammad, dan dari sinilah bibit alam raya muncul dan sbg sumber bibit maka disini belum ada ukuran. Cahaya ini adalah hakikat alam raya, seseorang tidak mengerti hakikat dirinya pasti akan sulit menemukan sumbernya, tempat asalnya, dan begitu pula sebaliknya, maka sebagai tugasnya, hakikat inilah yang menuntun manusia untuk memiliki tujuan yang jelas bagi hidupnya yaitu ” Ilahi “.

Gareng…(hati yang bersih)

Prilaku adalah hal yang paling menentukan keberhasilan atau usaha dan kewaspadaan pada hal2 yang akan terjadi disertai perhitungan matang dalam bertindak, ketelitian menentukan pilihan dan kecermatan menentukan langkah adalah hal2 yang membawa diri kita pada kemantapan hati. Dengan hati mantap dan bersih ini, diri dapat bertindak secara tepat dan benar.

Petruk…( ikhlas )

Sifat ikhlas ini ada dalam hati, dan ini menandakan sifat bebas dari perasaan pamrih dan bersedia melepaskan sikap individualistis dan mencocokan diri dalam keselarasan agung alam semesta. Arah yang sama juga di tunjukkan dalam sifat rila yaitu keanggupan untuk melepaskan hak milik, kemampuan dan hasil2 pekerjaan sendiri bila itu menjadi tuntutan tangging jawab atau nasib. Ikhlas dan rila harus disadari sebagai kekuatan yang positif, bukan sebagai menyerah kalah karena menyerahkan dalam penuh pengertian…

Bagong…( tindakan khusus )

Salah satu sikap positif adalah bertindak…dan dari sisi mistik, tindakan khusus yang meliputi puasa atau tirakat untuk bertujuan mendapatkan sesuatu, dalam hal cita2 batin yang positi dan orang ini akan mengerahkan segala daya upaya untuk mencapainya. Orang yang banyak melakukakn tindakan ini akan memiliki pola perilaku yang sama, walaupun dia tidak melakukan laku. Pola yang terbentuk adalah usaha yang keras, konsentrasi, kecermatan, atau ketelitian dan kesabaran, dan ini mendorong prilaku tindakan khusus memiliki keistimewaan yang orang lain tidak banyak memiliki, yaitu sikap keras berusaha, cermat, teliti, penuh, kepasrahan, dll

Jadi masalah kematian dalam suluk bratayudha adalah menyangkut kematian tokoh yang menyimbolkan salah satu unsur dari manusia, seperti sbb;

  1. Akal/ pikiran ( Angka Wijaya )
  2. Kesadaran ( Prabu Salya )
  3. Tenaga ( Dursasana )
  4. Nafsu ( Dahyang Durna, Seta, Untara dan Wrasangka )
  5. Hati ( Dhusthajumena, Bisma )
  6. Kekecewaan/ emosi ( Sengkuni )
  7. Kebodohan ( Burisrawa )
  8. Cara Kematian ( Sentyaki )
  9. Ruh dalam hubungannya dengan Kedirian ( Suyudana)
Inilah kira2 gambaran dari Suluk Bratayuda semoga bisa bermanfaat untuk menjadikan kita sebagai manusia yang lebih baik

MAKNA PERANG BHARATAYUDA DAN PERUBAHAN

Sebagai kelanjutan dari tulisan "DUNIA PEWAYANGAN DAN KEKUASAAN ORDER BARU" yang mengupas idealisme etika JAWA dalam pewayangan yang berkenaan dengan masyarakat dan pimpinan ideal maupun kekuasaan, "wayang purwo / kulit" sebagai pengertian simbolik bagi penulis tetap merupakan sumber yang tidak pernah kering untuk suatu refleksi kekinian. Kali ini penulis ingin mengajak pembaca mengupas makna simbolik dari perang Bharatayuda yaitu bagian dari Mahabharata yang mengisahkan perang saudara antara Pendawa Lima dan Kurawa (mereka adalah sama-sama cucu dari Bhegawan Abiyasa) untuk mengambil kembali kerajaan Indraprasta / Amartapura yang dikuasai oleh Hastina-pura dikarenakan kalah judi. 

Pendawa Lima merasa sudah melunasi hukumannya dibuang di hutan selama 12 (duabelas) tahun, dan satu tahun dalam penyamaran, tetapi Kurawa mempertahankan dan menuduh Pandawa Lima gagal melaksanakan hukumannya. (Dalam "wayang purwo / kulit" agak sedikit ada kerancuan bahwa penyebab peperangan disebabkan Pendawa Lima ingin mendapatkan hak Hastina-pura yang dititipkan oleh Panduwinata - ayah Pendawa Lima, yang pada saat itu raja Hastinapura - kepada kakaknya yang buta Destrarata - ayah Kurawa).

Dalam episode Bharatayuda, di dalamnya terdapat kisah "Bhagawatgita" yaitu kisah awal dari Bharatayuda ketika Arjuna merasa sangat tidak bersemangat untuk berperang melawan Kurawa dikarenakan musuh yang dihadapi masih saudara sendiri bahkan di antara musuh yang harus dihadapi adalah para sesepuh yang sangat dihormati yaitu Resi Bisma, Pendita Durna dll. Arjuna merasa kenapa harus berperang untuk memperebutkan kerajaan, kalau perlu biarlah Kurawa menguasai kerajaan. Sri Kresna memberikan nasihat kepada Arjuna bahkan terpaksa memperlihatkan wujud Wisnu yang sebenarnya untuk meyakinkan Arjuna bahwa : Peperangan Bharatayuda bukan sekedar perang melawan saudara sendiri tapi adalah peperangan suci yang harus dilaksanakan oleh Ksatria Utama sebagai dharmanya / kewajibannya untuk melenyapkan keangkaramurkaan dan kebatilan dimuka bumi. 

Sri Kresna kemudian juga mengajarkan kepada Arjuna makna hidup, asal kehidupan, dan akhir kehidupan yang mengalir dalam perwujudan Wisnu yang sebenarnya yang dituliskan dalam kisah Bhagawatgita (yang juga menjadi salah satu kitab suci pemeluk agama Hindu).

Dalam interpretasi perang Bharatayuda dalam kisah "wayang purwo/kulit" banyak versi sesuai dengan peresapan masing-masing penggemar ataupun pengamat "wayang purwo / kulit" yang pada hakekatnya bisa dikatagorikan dalam simbolik berupa perubahan yang bersifat micro (dalam diri manusia sendiri) dan perubahan yang bersikap macro (dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara).

Arti simbolik yang bersifat micro (dalam diri manusia secara individu) Pengertian simbolik perang Bharatayuda dalam diri manusia adalah peperangan dalam diri manusia dalam rangka mengatasi dirinya antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk. Adalah peperangan yang tiada henti selama hidup dari seseorang sebagai individu untuk mencari nilai budi luhur dan melaksanakan dalam tindakan nyata sehari-hari yang melawan pengaruh buruk yang bersifat kesenangan yang bisa merusak diri dan lingkungannya.

Bharatayuda sebagai simbol pertarungan / pergulatan etika baik dan buruk dalam diri manusia: Peperangan dalam diri manusia adalah hakekatnya perang saudara, karena apabila manusia menginginkan sifat baik yang terpancar dalam kehidupannya dia harus berani membunuh sifat buruk dalam dirinya yang berarti membunuh sebahagian dari dirinya. 

Betapa sakitnya seseorang yang harus membunuh sifat dalam dirinya yang bersifat kesenangan yang merusak seperti "ma-lima" (lima M) yaitu (madon, madat, maling, main, mabuk yang artinya madon berarti - kesenangan dengan wanita/ sex diluar pernikahan, madat - kesenangan dengan candu / ganja / ecstacy / heroin / ataupun sejenisnya, maling - kesenangan memiliki hak / kepunyaan orang lain, main - kesenangan berjudi, mabuk - kesenangan minum minuman keras). 

Kalau seseorang sudah terlanjur mempunyai kesenangan seperti tadi yang merupakan sifat buruk dalam dirinya, seseorang memerlukan sikap sebagai Arjuna yang harus berani melakukan perang Bharatayuda, untuk membunuh sebahagian dari dirinya yang bersifat buruk, betapa hal itu sangat berat dan terasa menyakitkan. Dan apabila sifat Ksatria Utama yang memenangkan peperangan dalam diri seseorang,dia mampu mengatasi dirinya untuk tidak berbuat yang kurang terpuji dan berbudi luhur dalam perbuatan nyata untuk dirinya maupun untuk masyarakat sekelilingnya. Kemenangan dalam peperangan ini sebetulnya perubahan yang nyata dari sifat manusia tersebut dari manusia yang kurang terpuji sifat2-nya menjadi manusia yang terpuji sifat2-nya.

Bharatayuda sebagai simbol cara kematian seseorang sesuai dengan karma/ akibat perbuatannya: Dalam kehidupan seseorang selalu diuji keberpihakan-nya terhadap nilai-nilai budi luhur atau kecenderungannya terpengaruh oleh perbuatan buruk. Dalam masyarakat modern yang makin heterogen dan dengan makin terbukanya pengaruh berbagai budaya dari luar kadang2 agak sulit untuk mengenali dengan cepat dan mengambil garis lurus ataupun garis pemisah antara perbuatan etika moral yang terpuji maupun yang kebalikannya yang kadang agak sulit bagi kita menarik garis hitam putih. 

Tapi kalau kita mengkaji lebih lanjut kisah / lakon dalam "wayang purwo/kulit" hal tersebut bukan sesuatu yang tidak terdeteksi dalam kisah tokoh- tokohnya yang selalu bergulat dalam perbuatan yang terpuji maupun kurang terpuji bahkan terhadap tokoh2 yang di-ideal-kan seperti tokoh Pendawa Lima dan Sri Kresna. Hal ini adalah suatu indikasi alamiah ketidaksempurnaan manusia.

"Wayang purwo/kulit" mengajarkan suatu budaya yang sangat bijaksana berkaitan dengan ketidak sempurnaan manusia dengan menciptakan tokoh punokawan yaitu Semar, Petruk, Gareng, Bagong yang selalu memberikan peringatan terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh para raja dan ksatria.

Kalau punokawan ini secara simbolik diartikan sebagai "rakyat" dan inilah secara nyata sistem demokrasi dimana kelemahan dan ketidaksempurnaan manusia dicoba diatasi dengan melaksanakan sistem yang saling mengingatkan (check and balance ataupun social control) antara pihak pimpinan / raja, para ksatria, sistim peradilan, dan rakyatnya.

Sistem ini menuntut semua pihak rela menerima koreksi / kritik dari pihak yang lain, dan budaya "wayang purwo/kulit" memberi contoh yang gamblang bahwa Semar maupun punokawan selalu mengingatkan raja / ksatria yang peringatannya / kritiknya diterima dan diperhatikan oleh raja dan para ksatria.

Beberapa contoh kisah pewayangan yang menggambarkan ketidak sempurna-an sifat2 dari tokoh yang dianggap sebagai tauladan :
  1. Yudistira/Puntodewo yang terkenal kejujurannya dan kebijaksanaannya sebagai seorang raja ternyata dia mempunyai kelemahan yang sangat fatal yaitu kesenangannya dengan judi yang kelemahan tersebut dimanfaatkan oleh Kurawa dengan arsiteknya Patih Sengkuni sehingga membawa kesengsaraan keluarganya bahkan sampai dengan negaranya, saudara2-nya, bahkan istrinya - Dewi Drupadi - dipakai sebagai barang taruhan dan sempat sangat dipermalukan didepan umum oleh Dursasono - salah satu dari Kurawa, dan akhirnya membawa Pendawa Lima harus menjalani hukuman dibuang ditengah hutan selama duabelas tahun dan melakukan penyamaran selama satu tahun.
  2. Arjuna yang sangat pandai dan sakti ternyata punya kelemahan terhadap wanita yang membawanya dia terkenal kalau dengan istilah sekarang sebagai "Don Yuan" (biarpun beberapa pakar pewayangan hal ini diartikan sebagai simbol kegandrungan Arjuna akan ilmu pengetahuan sehingga dia selalu berguru kepada Bhegawan dan mengawini anak perempuannya yang diartikan / disimbolkan sebagai menguasai ilmu dari sang Bhegawan
  3. Sri Kresna yang terkenal bijaksana dan dikatakan sebagai titisan Wisnu ternyata kurang mampu mendidik anaknya dan terlalu memanjakan anaknya yang akhirnya membawa pada karma kematiannya melalui seorang pemburu yang tanpa sengaja memanah kakinya - yang anak panahnya berasal dari perbuatan / kesombongan anaknya Samba (Mohon ber-hati-hati bagi yang merasa menjadi raja - dan saya tidak yakin kalau beliau membaca Internet, dan saya yakin bahwa pembantu- pembantu dekatnya pasti ada yang membaca Internet dan pasti tidak berani mengingatkan sang raja - dan yang memanjakan anak- anaknya menjadi orang yang serakah dan angkara murka bahkan Sri Kresna yang titisan dewa tidak bisa lepas dari karma akibatnya).
Contoh-contoh di atas masih bisa diperpanjang dengan tokoh2 seperti Abimanyu (anak Arjuna) yang membohongi istrinya, Gatutkaca (anak Werkudoro) yang memunuh pamannya sendiri, Resi Bisma yang membunuh wanita yang mencintainya, Prabu Salyo yang membunuh mertuanya, dan yang lain2-nya yang pada suatu saat dalam kehidupannya pernah melakukan perbuatan yang kurang terpuji yang balasan karma dari perbuatan buruknya terjadi pada perang Bharatayuda dan ini menjadi suatu interpretasi simbolik lainnya dari makna perang Bharatayuda secara micro (pada individu) yaitu : peperangan terakhir dari manusia menghadapi karma hidupnya, yaitu cara kematiannya adalah cermin dari seluruh cara dan perilaku seluruh kehidupannya baik ataupun buruk.

Arti simbolik yang bersifat macro (dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara)

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara manusia sebagai individu juga selalu diuji keberpihakan seseorang terhadap kelompok yang punya nilai-nilai luhur dan kelompok yang cenderung terpengaruh oleh perbuatan buruk. Dalam masyarakat modern yang makin heterogen dan dengan makin terbukanya suatu negara dari pengaruh-pengaruh berbagai budaya dari luar sebagai suatu dampak globalisasi kadang- kadang agak sulit untuk mengenali dengan cepat dan mengambil garis lurus ataupun garis pemisah antara kelompok- kelompok yang memperjuangkan suatu etika moral yang terpuji maupun yang kebalikannya.

Kalau melihat contoh- contoh seperti Yudistira /Puntodewo, Arjuna, dan Sri Kresna seperti tersebut di atas jelas bahwa sebagai manusia mereka tetap mempunyai sifat alamiah tentang ketidak-sempurna-an manusia. Walaupun secara umum atau bisa juga dikatakan bahwa sebagian besar perilaku yang diperbuat bisa dijadikan contoh walaupun tidak lepas dari cacat dan cela. Dengan segala cacat dan cela sebagai individu, secara kelompok mereka mempunyai suatu ciri utama yaitu mengemban tugas Pemimpin maupun Ksatria Utama yang harus selalu menegakkan kebenaran dan memerangi kelompok yang angkara murka. 

Dan dari zaman ke zaman selalu saja akan muncul seorang Pemimpin yang memimpin kelompoknya untuk memerangi kezaliman yang merugikan masyarakat/rakyat banyak ataupun pihak2 yang lemah dan tak berdaya. Dan nyata2 bahwa setiap Pemimpin akan mengalami dilema seperti Arjuna yang ragu2 untuk menjalankan perannya untuk menegakkan kebenaran apabila yang dihadapi adalah para Pimpinan bangsanya sendiri, bahkan diantaranya adalah para tokoh yang dihormati seperti Resi Bisma, Adipati Karno yang oleh keterikatan historis (walaupun sebetulnya mereka tidak sependapat dengan kelakuan Duryudono sebagai raja kelompok Kurawa) ataupun dengan sejuta alasan lainnya berpihak kepada yang tidak benar. 

Dan perang Bharatayuda adalah simbol peperangan yang mungkin bisa timbul didalam masyarakat apabila muncul kelompok yang menjunjung tinggi etika berbudi luhur yang melaksanakan perang suci menghadapi kelompok yang zalim dan angkaramurka agar terjadi perubahan yang nyata menuju suatu tata masyarakat yang lebih baik.

Bahwa pada akhirnya Pendawa Lima memutuskan untuk melaksanakan suatu perang Bharatayuda bukanlah suatu proses atau keputusan yang mudah, Pendawa Lima secara nyata telah menjalankan usaha mencegah agar perang Bharatayuda jangan terjadi dengan misi perdamaian - yang terakhir adalah lakon / cerita "Kresno Duto" yang mengutus Sri Kresna untuk menyelesaikan masalah secara damai yang akhirnya malah menimbulkan kemarahan yang sangat dari Sri Kresna yang hampir saja menghancur-luluhkan seluruh kerajaan Hastinapura. 

Secara simbolik bisa diartikan bahwa kezaliman dan keangkara-murkaan itu semacam candu/ecstacy, sekali kita didalamnya sulit kita bisa dengan mudah menjadi sadar dengan sendirinya, harus ada pihak2 yang berani memerangi dan menghancurkannya. 

Diceritakan bahwa perang Bharatayuda adalah perang yang "gegirisi" atau sangat menakutkan-tidak ada satupun perang yang tidak menakutkan yang akan meminta banyak korban-dimana akhirnya semua seratus Kurawa dan segala Ksatria yang membantunya habis terbunuh, juga dari sisi Pendawa Lima tidak ada anak2 Pendawa Lima yang bisa lolos dari maut. Kemenangan dari Pendawa Lima harus dibayar sangat mahal walaupun akhirnya Hastinapura bisa menjadi negara yang adil makmur setelah segala keangkamurkaan Kurawa bisa dimusnahkan. "Jer basuki mawa bea" adalah suatu pepatah Jawa yang artinya - untuk mencapai suatu tujuan selalu ada biayanya. 

Indikasi masyarakat Indonesia saat ini sangat memprihatinkan yaitu suatu kondisi yang apabila tidak dicermati ataupun disadari terutama oleh pendukung Orde Baru - dikarenakan posisinya yang memegang kekuasaan dan kekuasaan apabila berciri angkaramurka sama dengan ketagihan candu / ecstacy yang punya ciri: sekali kita di dalamnya sulit kita bisa dengan mudah menjadi sadar dengan sendirinya - yang bisa menimbulkan suatu situasi radikal para kelompok yang merasa terpanggil untuk melaksanakan pembaharuan yang bisa mengidentifikasikan ebagai kelompok moralis / kelompok pro-demokrasi menghadapi pemerintahan yang zalim yang telah menjalankan Pemilu yang tidak adil, pemerintahan yang penuh korupsi dan kolusi, yang tentaranya menembaki rakyatnya sendiri, melakukan manipulasi undang2 dan peraturan yang menguntungkan kelompoknya, yang anak-anak sang pemimpin ikut campur dalam urusan berusaha dan bernegara seperti layaknya pangeran2 kerajaan dsb. 

Lambat atau cepat apabila tidak diatasi secara bijaksana bukan sesuatu yang tidak mungkin bisa terjadi perang Bharatayuda dibumi kita tercinta, walaupun kita semua tidak menginginkan, dan adalah sangat alami barangkali juga sebagai hukum alam bahwa selalu akan muncul kelompok moralis yang dengan segala resikonya untuk memerangi pihak yang dianggap menyimpang dari tindakan yang jujur dan terpuji dari waktu ke waktu.

Makna Wani Ngalah Dhuwur Wekasane

Terjemahan harafiah dari Wani Ngalah Dhuwur Wekasane adalah Berani Mengalah, justru Akan Mendapatkan Sesuatu Yang Lebih Sesudahnya. Nilai ini menunjukkan bahwa mengalah bukan berarti kalah, namun justru dengan mengalah menunjukkan bahwa seseorang tersebut memiliki kebesaran hati, sebagai sifat dan watak seorang pemenang.

Gambaran nilai ini tercermin dalam tokoh pewayangan dari kesatria Pandawa, Yudistira. Yudistira adalah anak pertama dari Puntadewa yang memiliki watak yang sangat halus. Dari penampakan luar, Yudistira adalah seorang kesatria yang sangat lugu, serta memiliki sikap untuk mengalah terhadap musuh sekalipun. Yudistira juga terkesan tidak memiliki kekuatan ataupun kesaktian, sebagaimana halnya tercermin dalam tokoh Werkudoro, Arjuna, maupun Nakula dan Sadewa.

Namun, dari sisi inilah seorang Yudistira menjadi seorang kesatria pilih tanding dalam konteks perang Baratayudha, antara Pandawa dan Kurawa. Suatu ketika, di penghujung akhir perang Baratayudha, setelah hampir semua kesatria Kurawa meninggal dunia dalam perang, maka ada kesatria sepuh dari Kurawa yang sebelumnya tak mau berperang dengan para Pandawa, namun karena alasan patriotic, maka tampillah Prabu Salya. Seorang kesatria yang memiliki kesaktian sangat luar biasa. Setiap darah prabu Salya keluar, maka akan menjelma prabu-prabu Salya baru dengan kekuatan yang sama. 

Hampir semua kesatria Pandawa dibuat putus ada, sehingga Kresna membujuk Yudistira untuk maju berperang untuk menghadapi Prabu Salya. Tatkala bertemu dengan Prabu Salya, Yudistira tidak tega melepaskan anak panah ke tubuh Prabu Salya dan justru malah melepaskan anak panah ke arah tanah. Namun justru dengan anak panah yang menyentuh tanah inilah kemudian Yudistira mampu mengalahkan Prabu Salya.

Dalam konteks resolusi konflik, proses penyelesaian masalah justru akan bisa digali manakala ada fihak yang berkonflik mau menurunkan derajat tuntutan atau bahkan mengalah dengan memberikan konsesi bagi pihak lain untuk mendapat mendapatkan konsesi yang lebih. Konsep yang demikian dikenal dengan strategi Yielding, di mana fihak yang berkonflik membuka proses negosiasi dengan memberikan kesempatan fihak lain mendapatkan konsesi terlebih dahulu, sehingga pada akhirnya pembicaraan tentang konflik yang sebelum direpresentasikan dengan penggunaan kekerasan berubah dengan instrument dialog.

Strategi Yielding dalam proses negosiasi sedemikian substantif untuk membuka kebuntuan konflik. Strategi yielding memang membutuhkan kedewasaan politik dan budaya, sebab ada kecenderungan yang menafsirkan mengalah sebagai bentuk negosiasi yang lembek, yang memungkinkan fihak lawan justru semakin menekan dan meminta konsesi yang tidak proporsional. Seperti halnya pepatah Jawa mengatakan, “dikhei ati ngrogoh rempelo” (diberi hati namun malah minta lebih, yakni meminta jantung). Tanpa kedewasaan dan kemampuan berkomunikasi yang baik dengan fihak internal maupun eksternal, strategi Yielding sering dianggap kontraproduktif.

PERANG BHARATAYUDHA; Nafsu Paling Menghancurkan

PRABU DRUPADA

PRABU DRUPADA yang waktu mudanya bernama Arya Sucitra, adalah putra Arya Dupara dari Hargajambangan, dan merupakan turunan ke tujuh dari Bathara Brahma. Arya Sucitra bersaudara sepupu dengan Bambang Kumbayana/Resi Durna dan menjadi saudara seperguruan sama-sama berguru pada Resi Baratmadya. Untuk mencari pengalaman hidup, Arya Sucitra pergi meninggalkan Hargajembangan, mengabdikan diri ke negara Astina kehadapan Prabu Pandudewanata. Arya Sucitra menekuni seluk beluk tata kenegaraan dan tata pemerintahan. Karena kepatuhan dan kebaktiannya kepada negara, oleh Prabu Pandu ia di jodohkan/dikawinkan denganDewi Gandawati, putri sulung Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandarini dari negara Pancala. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh tiga orang putra masing-masing bernama; Dewi Drupadi, Dewi Srikandi dan Arya Drestadyumna. Ketika Prabu Gandabayu mangkat, dan berputra mahkota Arya Gandamana menolak menjadi raja, Arya Sucitra dinobatkan menjadi raja Pancala dengan gelar Prabu Drupada. Dalam masa kekuasaanya, Prabu Drupada berselisih dengan Resi Durna, dan separo dari wilayah negara Pancala direbut secara paksa melalui peperangan oleh Resi Durna dengan bantuan anak-anak Pandawa dan Kurawa. Di dalam perang besar Bharatayuda, Prabu Drupada tampil sebagai senapati perang Pandawa. Ia gugur melawan Resi Durna terkena panah Cundamanik.

RESI DURNA

RESI DURNA yang waktu mudanya bernama Bambang Kumbayana adalah putra Resi Baratmadya dari Hargajembangan dengan Dewi Kumbini. Resi Durna mempunyai saudara seayah seibu bernama: Arya Kumbayaka dan Dewi Kumbayani. Resi Durna berwatak; tinggi hati, sombong, congkak, bengis, banyak bicaranya, tetapi kecakapan, kecerdikan, kepandaian dan kesaktiannnya luar biasa serta sangat mahir dalam siasat perang. Karena kesaktian dan kemahirannya dalam olah keprajuritan, Resi Durna dipercaya menjadi guru anak-anak Pandawa dan Kurawa.

Resi Durna mempunyai pusaka sakti berwujud keris bernama Cundamanik dan panah Sangkali (diberikan kepada Arjuna). Resi Durna menikah dengan Dewi Krepi, putri Prabu Purungaji, raja negara Tempuru, dan memperoleh seorang putra bernama Bambang Aswatama. Resi Durna berhasil mendirikan padepokan Sokalima setelah berhasil merebut hampir setengah wilayah negara Pancala dari kekuasaan Prabu Drupada. Dalam peran Bharatayuda Resi Durna diangkat menjadiSenapati Agung Kurawa, setelah gugurnya Resi Bisma.

Resi Durna sangat mahir dalam siasat perang dan selalu tepat menentukan gelar perang. Resi Durna gugur di medan pertempuran oleh tebasan pedang Drestajumena, putra Prabu Drupada, yang memenggal putus kepalanya. Konon kematian Resi Durna akibat dendam Prabu Ekalaya raja negara Paranggelung yang arwahnya menyatu dalam tubuh Drestajumena.

Pelajaran Berharga ;
  1. “Sapa sing nggawe mesthi nganggo”, siapa menanam mengetam “ngundhuh wohing pakarti”. Perbuatan jahat pada orang lain akan menjadi bumerang, kembali membuat malapetaka pada diri sendiri. Tampaknya nukilan dari falsafah hidup Kejawen ini merupakan rumus alam (baca; kodrat alam/kodrat Tuhan). Bagaimanapun Durna sudah pernah merebut separoh wilayah kekuasaan dan membunuh Prabu Drupada. Maka kematian Resi Durna berada di tangan sang Drestajumena yakni putra Prabu Drupada sendiri. Sebenarnya Drestajumena secara kalkulasi tidak akan mungkin mengalahkan Resi Durna, karena kesaktiannya belum ada apa-apanya jika dibanding Resi Durna. Namun Hyang Widhi telah memenuhi rumus “sapa nggawe nganggo dan ngunduh wohing pakarti” apapun jalannya Resi Durna mati di tangan Drestajumena setelah tubuhnya dirasuki roh Prabu Ekalaya. Sudah menjadi kodrat alam, malapetaka (wohing pakarti) datang menimpa diri sendiri, tidak mesti dari pihak korban atau orang yang dijahati, namun bisa datang dari pihak lainnya lagi. 
  2. Resi Durna sebagai figur yang memiliki watak dualisme, atau berkepribadian ganda. Di satu sisi ia membuat huru-hara, di sisi lain mendidik para kesatria Pandawa dari tlatah kebenaran. Namun ia akhirnya mati “ngunduh wohing pakarti” alias karena ulahnya sendiri.
  3. Ilmu ibarat pisau bermata dua, dapat dimanfaatkan untuk kebaikan maupun kejahatan tergantung manusianya.
  4. Resi Durna dengan Prabu Drupada adalah saudara sepupu yang dahulu bernaung dalam satu perguruan, namun Prabu Drupada memanfaatkan ilmunya untuk kebaikan (amr ma’ruf nahi mungkar) sementara Resi Durna lebih banyak memanfaatkannya untuk keburukan dan membela kekuatan jahat.
  5. Dalam peperangan fisik semisal Perang Bharata Yudha, dalam konteks riil ambil contoh antara Yahudi dan Palestina, merupakan perang saudara yang memperebutkan wilayah atau daerah kekuasaan sebagaimana dalam cerita perang Baratayudha antara senopati perang Drupada melawan senopati perang Durna.
  6. Sebagai peringatan kepada umat manusia untuk berhati-hati terhadap 3 macam nafsu negatif paling berbahaya yang dapat menghancurkan hubungan tali persaudaraan baik dalam hubungan internal keluarga, pertemanan atau pergaulan, berbangsa dan bernegara yakni ; nafsu cari benarnya sendiri, nafsu keinginan berkuasa, dan nafsu penguasaan harta (warisan). Terutama terhadap orang-orang terdekat masih saudara sendiri. Jika terjadi perang (saudara) akan menjadi perang yang sangat keji dan kejam. Terlebih lagi perang tersebut diwarnai dalih membela kebenaran, antara kekuatan “putih” dan “hitam. Akibatnya adalah kehancuran dahsyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar