Jumat, 11 November 2011

CARA ALAMIAH HINDARI KEBIASAAN SUNTIK INSULIN PENDERITA DM

Diabetes melitus kini menjadi salah satu penyakit degeneratif yang banyak diderita masyarakat. Bahkan, untuk usia di atas 45 tahun, diabetes melitus sudah menjadi penyebab kematian kedua setelah stroke. Pengobatan pengidap diabetes melitus identik dengan insulin. Namun, sesungguhnya, menurut Ketua Pengurus Besar Persatuan Diabetes Indonesia Dr dr Achmad Rudijanto SpPD K-EMD, mengatur pola makan dan gaya hidup sehat bisa menghindarkan ketergantungan pada suntikan insulin. Tentu saja asalkan fungsi pankreas masih baik dan tidak terjadi resistensi pada insulin yang diproduksi pankreas. Kadar glukosa darah pun harus dijaga stabil sesuai target.

Pada dasarnya, kata Ketua Persadia Cabang Surabaya Prof dr Agung Pranoto MSc SpPD K-EMD, sejak kecil manusia bergantung pada insulin. Organ mungil bernama pankreas ini bertugas memproduksi insulin untuk memproses asupan glukosa sebagai sumber energi. Ketika pankreas mogok dan tidak memproduksi insulin, misalnya dipaksa bekerja terlalu keras karena asupan terlampau banyak, glukosa terbuang melalui air seni.
Masalahnya, kata dr Rudi yang juga pengajar Divisi Endokrin Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, umumnya pankreas pasien yang datang ke dokter sudah 50 persen rusak. Ini terjadi akibat keterlambatan mendeteksi diabetes melitus.

Tidak serta-merta

Sebagai penyakit degeneratif, diabetes melitus tidak datang tiba-tiba. Fungsi tubuh tentu tidak serta-merta menurun. Namun, gejala awalnya bisa dikatakan tidak ada. Kalaupun ada, masyarakat kerap menganggapnya sebagai tanda-tanda sehat.

Ketika kadar glukosa darah 250-300 mg/l, menurut Agung, umumnya tidak ada gejala (asimptomatik). Manusia dinyakan sehat bila kadar glukosa darah saat puasa di bawah 100 mg/l, sedangkan untuk dua jam setelah makan di bawah 140 mg/l. Seseorang menderita diabetes melitus bila kadar glukosa darah puasanya lebih dari 125 mg/l dan kadar glukosa darah setelah makannya lebih dari 200 mg/l.

Gejala klasik diabetes melitus adalah banyak minum, banyak buang air kecil, dan berat badan turun. Gejala klasik ini kerap disalahartikan sebagai tanda sehat. Padahal, berat badan menurun bukan akibat diet berhasil, melainkan akibat pankreas mulai rusak, tiada insulin diproduksi untuk mengolah glukosa dalam darah, dan lemak cadangan dibakar untuk energi.

Terakhir, diabetes melitus sudah parah dan menimbulkan berbagai komplikasi seperti gangguan ereksi, stroke dan lumpuh, penurunan kemampuan melihat, gagal ginjal, dan luka di kaki.

Semestinya, kata Agung Pranoto yang juga Wakil Kepala Pusat Diabetes dan Nutrisi RSU dr Soetomo Surabaya, diabetes bisa dideteksi sebelum ada gejala. Penyembuhan lebih cepat, bahkan mungkin diabetes melitus bisa ditunda selama-lamanya. Penggunaan suntikan insulin dan obat juga bisa dihindari.

Tahap pertama untuk mengenali diabetes sebelum memunculkan gejala adalah mengidentifikasi kelompok manusia yang rentan terhadap penyakit ini. Orang yang gemuk termasuk remaja dengan obesitas, bertekanan darah tinggi, pernah melahirkan bayi dengan bobot lebih dari 4 kilogram, merokok, atau memiliki garis keturunan diabetes berisiko tinggi terhadap penyakit ini. Tanda lain untuk resistensi pada insulin adalah kapalan di tengkuk serta kumis tipis yang kadang muncul pada perempuan.

Identifikasi ini hanya bisa dilakukan pada diabetes melitus tipe II atau diabetes melitus yang disebabkan proses imun merusak pankreas. Adapun diabetes melitus tipe I disebabkan kelainan bawaan pada fungsi pankreas. Karenanya, diabetes melitus tipe I bisa terdeteksi sejak kecil.

Prediabetes

Ketika gaya hidup orang dari kelompok berisiko diabetes melitus kurang sehat (kerap mengonsumsi produk siap saji, kurang olahraga, dan biasa merokok), kadar glukosa darah bisa meningkat. Ketika kadar glukosa puasa 100-125 mg/l dang kadar glukosa setelah makan berkisar 140-199 mg/l, seorang sudah dikategorikan prediabetes atau selangkah lagi menjadi penderita. Di tahapan ini, perbaikan pola hidup harus dilakukan.
Pola makan diatur sesuai kebutuhan. Latihan jasmani dilakukan secara teratur selama 30-45 menit untuk 4-5 kali seminggu. Berat badan perlu dikendalikan sesuai indeks masa tubuh normal.

Terakhir, kontrol harus dilakukan teratur. Beberapa indikator yang perlu diperhatikan, tambah Rudi, adalah berat badan, kadar glukosa darah, tekanan darah, dan profil kolesterol darah.
Bila mengacu pada kedokteran barat, diabetes melitus tidak dapat disembuhkan. Sebaliknya, kedokteran timur menilai kesembuhan sebagai hilangnya gejala, dan itu dapat diwujudkan. Apa lagi perbedaan pandangan barat dan timur tentang diabetes?

Studi populasi yang dilakukan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) tahun 2005 menemukan, jumlah pengidap diabetes melitus (DM) tipe II di Indonesia mencapai peringkat keempat setelah India (31,77 juta), Cina (20,8 juta), dan Amerika Serikat (17,7 juta). Di Indonesia, diabetesi terhitung sekitar 8,6 juta orang.

Tentu ini masalah serius. Selain obat, yang terpenting bagi pasien, yakni merancang kembali pola hidup, terutama pola makan dan olahraga. Ada yang bisa mempertahankan kualitas hidup hanya lewat diet. Tak sedikit pula yang bergantung pada obat maupun insulin sepanjang hidup.
Di sisi lain, teknik pengobatan tradisional atau kuno juga makin merebak, termasuk untuk mengatasi diabetes. Teknik penyembuhan yang sudah digunakan selama ribuan tahun ini lebih memanfaatkan khasiat tanaman untuk obat (herbal) serta penyeimbangan energi pada organ.

Lima Pilar Terapi

Sebenarnya apa yang membedakan kedokteran modern (barat) dan timur (tradisional) dalam menyikapi penyakit kencing manis? Menurut pandangan kedokteran modern, diabetes adalah sekumpulan gejala yang ditandai meningkatnya kadar gula darah hingga melebihi batas normal.

Menurut Prof. Askandar Tjokroprawiro, Sp.PD, keadaan ini terjadi akibat tubuh kurang insulin, baik secara absolut maupun relatif. Absolut artinya insulin tidak diproduksi sama sekali oleh sel beta di pankreas. Relatif artinya insulin masih diproduksi meski hanya sedikit.
Penyakit yang bersifat menahun, kronis, dan menyerang pria maupun wanita ini ditandai oleh munculnya rasa haus, sering kencing, banyak makan tetapi berat badan menurun, gatal-gatal, kesemutan, kulit kering, dan badan lemah.

Ada dua kelompok DM, tipe 1 dan 2. DM tipe 1 umumnya timbul pada anak-anak dan pasien tergantung suntikan insulin dari luar karena pankreas sama sekali tidak membuat insulin. DM tipe 2 tak tergantung insulin. Kebanyakan timbul pada kalangan usia 40-an tahun ke atas.
Menurut kedokteran modern, DM pada dasarnya tak bisa disembuhkan. Sejak awal pasien harus diingatkan untuk mencegah kemungkinan timbulnya komplikasi kronis, berupa gangguan ginjal, jantung, mata, stroke, sampai disfungsi ereksi, melalui gaya hidup sehat dan wajar.
Pilar utama pengelolaan DM dalam kedokteran modern antara lain perencanaan makan, latihan jasmani, asupan obat hipoglikemik, penyuluhan, dan pemantauan mandiri kadar glukosa darah atau urin.

Kelima pilar ini memiliki tujuan utama, mengontrol dan menormalkan kadar gula darah. Kelima pilar mesti dijalankan seumur hidup untuk mengulur waktu agar komplikasi tidak berlangsung serentak dan cepat.

Melenyapkan Gejala

Pandangan kedokteran timur mengenai diabetes, dalam hal ini diwakili oleh pengobatan tradisional Cina (Traditional Chinese Medicine-TCM), sebagai xiao ke. Xiao artinya menghabiskan (cairan), ke berarti haus.
Ada empat gejala xiaoke, yang dikenal dengan tiga tambah satu kurang. Gejala ini persis gejala DM, yakni nafsu makan meningkat, penderita selalu ingin minum (rasa haus meningkat), dan banyak kencing (pengeluaran cairan bertambah). Yang terakhir, berat badan bekurang.

Dr. Wiliam Adi Teja, MD, MMed., spesialis penyakit dalam lulusan Universitas Beijing, Cina, menyatakan sindroma xiaoke dibagi menjadi tiga, xiao atas, tengah, dan bawah.
Termasuk xiao atas kalau gejala yang dominan adalah banyak minum. Dikategorikan xiao tengah bila gejala yang dominan banyak makan, xiao bawah jika gejala yang dominan adalah banyak kencing. Apabila semua gejala dominan, semua kategori masuk.

Sindroma xiaoke atas terjadi karena gangguan pada paru, xiaoke tengah disebabkan adanya gangguan limpa dan lambung, dan xiaoke bawah akibat gangguan ginjal. Menurut Dr. Wiliam, faktor penyebab xiaoke adalah kurangnya yin pada ginjal, paru, limpa, dan lambung, sehingga organ tersebut seperti terbakar dan akibatnya menghabiskan cairan (xiaoke).
Dalam kedokteran barat, fokus terapi DM pada pengontrolan gula darah atau penambahan insulin. Pada TCM, fokusnya menghilangkan gejala dengan sasaran utama organ penyebabnya.

Gejala haus berlebihan, banyak minum, sering kencing, badan lemah, ujung lidah merah, lidah berselaput tipis warna kuning, nadi cepat dan kuat misalnya merupakan manifestasi buruknya fungsi paru. “Jadi, bagian inilah yang diperbaiki,” ujar Dr.Wiliam.
Gejala cepat lapar, nafsu makan meningkat, badan kurus, sembelit, lidah kering, haus, sering minum dan kencing juga merupakan manifestasi adanya panas dan api pada lambung yang menyebabkan pencernaan lebih cepat bekerja dari biasanya. Karena itu, lambung juga jadi sasaran pengobatan.
“Kita bahkan tidak peduli apakah gula darahnya naik atau turun. Kita juga tidak perhatikan soal menambah insulin atau tidak. Yang penting fokus pada perbaikan organ,” tuturnya.

Tak Perlu Pantang

Dalam kedokteran modern pasien cenderung diberi obat seumur hidup dan  suntikan insulin (penderita DM tipe I). Pada TCM, langkah yang sering diambil adalah memberikan ramuan herbal untuk tonifikasi dan tusukan jarum (akupuntur) untuk mengembalikan fungsi organ. “Sampai gejala itu menghilang, yang artinya organ berfungsi secara seimbang kembali,” ujar Dr.Wiliam.

Tindakan penusukan jarum pada kedokteran modern merupakan langkah kontradiktif karena pasien sebenarnya tak boleh terluka. Namun, menurut Dr. Wiliam, jarum akupuntur yang dipakai tidak akan melukai pasien. “Jarumnya lembut dan tipis sekali,” katanya.

Separah apa pun diabetesnya, kedua terapi itulah yang dijalankan. “Perbedaannya terletak pada titik-titik jarum yang diterapkan dan ramuannya. Tidak setiap kasus diberi ramuan sama dan tusukan jarum yang sama. Setiap kasus memiliki ukuran, jenis ramuan juga titik-titik tusukan tersendiri. Jadi, memang tidak mudah dan rumit,” paparnya.
Selain ramuan dan akupuntur, mirip kedokteran modern, pasien juga diminta memperhatikan hal lain seperti makan dan aktivitas fisik. Bedanya, pasien tidak dianjurkan berpantang apa pun, termasuk gula.

“Makan seperti biasa, tetap beraktivitas, menjaga perilaku dan emosi. Asal tidak berlebihan, nggak masalah,” ujar dokter yang berpraktik di Utomo Chinese Medical Center, di Jl. Pinangsia Raya, Jakarta Barat ini.

Soal kesembuhan, menurut Dr. Wiliam, agak berbeda dengan pandangan kedokteran modern yang menyatakan DM tidak bisa disembuhkan. Dalam TCM, konsep sembuh didasarkan pada hilangnya gejala.

Jadi, bila beragam gejala xiaoke hilang, artinya persoalan pada organ yang terkait sudah tidak perlu dikhawatirkan. Bila gejala itu muncul lagi, berarti sakitnya kambuh. “Itu hal wajar. Semua penyakit bisa muncul lagi atau kambuh, seperti kalau lengan kita patah. Bukan tidak mungkin lengan ini akan patah lagi, ‘kan?” katanya. (fn/km/cbn) www.suaramedia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar