Rabu, 27 Agustus 2014

MERAIH KASAMPURNANING URIP

Siapa sejatinya diri kita sebagai manusia ? Pertanyaan ini sederhana, dapat dikemukakan jawaban paling sederhana, maupun jawaban yang lebih rumit dan rinci. Jawaban masing-masing orang tidak bisa diukur secara benar-salah. Cara menjawab siapa diri manusia hanya akan mencerminkan tingkat pemahaman seseorang terhadap kesejatian Tuhan. Hal ini sangat dipermaklumkan karena berkenaan dengan eksistensi Tuhan sendiri yang begitu penuh dengan misteri besar. Upaya manusia mengenali Sang Pencipta, ibarat jarum yang menyusup ke dalam samudra dunia. Yang hanya mengerti atas apa yang bersentuhan dengannya. Itupun belum tentu benar dan tepat dalam mendefinisikan. Tuan memang lebih dari Maha Besar. Sedangkan manusia hanya selembut molekul garam. Begitulah jika diperbandingkan antara Tuhan dengan makhlukNya. Namun begitu kiranya lebih baik mengerti dan memahamiNya sekalipun hanya sedikit dan kurang berarti, ketimbang tidak samasekali.

Secara garis besar dalam diri manusia memiliki dua unsur entitas yang sangat berbeda. Dalam pandangan ekstrim dikatakan dua unsur pembentuk manusia saling bertentangan satu sama lainnya. Tetapi kedua unsur tidak dapat dipisahkan, karena keduanya sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Terpisahnya di antara kedua unsur pembentuk manusia akan merubah eksistensi ke-manusia-an itu sendiri. Yakni di satu sisi terjadi kerusakan/pembusukan dan di sisi lain keabadian. Umpama batu-baterai yang memiliki dua dimensi berbeda yakni fisiknya dan energinya. Kedua dimensi itu menyatu menjadi eksistensi batu-baterai berikut fungsinya. Dua unsur dalam manusia yakni; immaterial dan material, metafisik dan fisik, roh dan jasad, rohani dan jasmani, unsur Tuhan dan unsur bumi (unsur gaib dan unsur wadag). Marilah kita urai satu persatu kedua unsur pembentuk eksistensi manusia tersebut.

Unsur Bumi

Jasad manusia wujudnya disusun berdasarkan unsur-unsur material bumi (air, tanah, udara, api). Unsur air dan tanah dalam tubuh terurai secara alami melalui proses ilmiah (rumus ilmu pengetahuan manusia) dan rumus alamiah (yang sudah berproses melalui rumus-rumus buatan Tuhan). Unsur tanah dan air yang sudah berproses akan berubah bentuk dan wujudnya sebagai bahan baku utama jasad yang terdiri dari empat unsur yakni ; daging, tulang, sungsum dan darah. Sedangkan unsur udara akan berproses menjadi kegiatan bernafas, lalu berubah menjadi molekul oksigen dalam darah dan sel-sel tubuh. Unsur api akan menjadi alat pembakaran dalam proses produksi jasad, tenaga, energi magnetis, dan semua energi yang terlibat dalam memproses atau mengolah unsur tanah dan air menjadi bahan baku jasad.

Jasad wadag menurut istilah barat sebagai body atau corpus, merupakan wadah atau bungkus unsur Tuhan dalam diri manusia. Unsur wadah tidak bersifat langgeng (baqa’), sebab unsur wadah terdiri dari bahan baku bumi, maka ia terkena rumus mengalami kerusakan sebagaimana rumus bumi.

Unsur Tuhan

Sebaliknya, unsur Tuhan bersifat kekal abadi tidak terjadi rumus kerusakan. Unsur Tuhan (Zat Tuhan) dalam tubuh manusia diwakili oleh metafisik manusia yakni unsur roh (spirit atau spiritus). Roh merupakan derivasi unsur Tuhan yang paling paling akhir dan paling erat dengan bahan baku metafisik manusia (Baca Posting; Mengungkap Misteri Tuhan). Danspirit diartikan sebagai roh, ruh atau sukma. Roh bersifat suci (roh kudus/ruhul kuddus), tidak tercemar oleh “polusi” dan kelemahan-kelemahan duniawi. Karakter roh adalah berkiblat atau berorientasi kepada martabat kesucian Tuhan. Arti kata roh sangat berbeda dengan entitas jiwa (soul), hawa atau nafas (nafs), animus atau anemos (Yunani), dalam bahasa Jawa apa yang lazim disebut nyawa. Sekalipun berbeda istilah, tetapi memiliki makna yang nyaris sama.

Pertemuan Unsur Bumi dan Unsur Tuhan

Dalam tubuh manusia terdiri atas dua unsur besar yakni unsur bumi dan unsur Tuhan. Di antara kedua unsur tersebut terdapat “bahan penyambung”, dalam literatur barat disebut soul atau jiwa (yang ini terasa kurang pas), Islam; nafs, Yunani; anemos, dan dalam bahasa Indonesia;hawa, Jawa; nyawa (badan alus). Hawa, jiwa, anemos, soul, atau nyawamerupakan satu entitas yang kira-kira tidak berbeda maknanya, berfungsi sebagai media persentuhan atau “lem perekat” antara roh (spirit) dengan jasad (body/corpus). Hawa, nafs, anemos, soul, jiwa, nyawa bermakna sesuatu yang hidup (bernafas) yang ditiupkan ke dalam corpus (wadah atau bungkus).

Dalam khasanah hermeneutika dan bahasa yang ada di nusantara tampak simpang siur dan tumpang tindih dalam memaknai jiwa, sukma, roh, dan nyawa. Ini sekaligus membuktikan bahwa memahami unsur Tuhan dalam diri manusia memang tidak sederhana dan semudah yang disebutkan. Karena obyeknya bersifat gaib, bukan obyek material. Cara pandang dan penafsiran dari sisi yang berbeda-beda, menimbulkan konsekuensi beragamnya makna yang kadang justru saling kontradiktif. Dengan alasan tersebut akan saya paparkan lebih jelas pemetaan tentang jiwa atau hawa dari sudut pandang budi-daya yang diperoleh melalui berbagai pengalaman obyek metafisika, dan intuisi, agar lebih netral dan mudah dipahami oleh siapa saja tanpa membedakan latar belakang agama. Dengan asumsi tersebut diperlukan perspektif yang sederhana namun mudah dipahami. Kami akan memaparkan melalui perspektif Javanism ataukejawen, dengan cara penulisan yang sederhana dan “membumi”.

Hubungan Unsur Tuhan dengan Unsur Bumi dalam Laku Prihatin

Setiap bayi lahir memiliki tingkat kesucian yang dapat diumpamakan sebagai kertas putih bersih. Kesucian berada dalam wahana nafs atauhawa yang masih bersih belum tercemar oleh “polusi” keduniawian. Hawa/nyawa/nafs diuji bolak-balik di antara dua kutub; yakni kutub jasmaniah yang berpusat di jasad (corpus) dan kutub ruhaniyah yang berpusat pada roh (spirit). Unsur roh bersifat suci dan tidak tersentuh oleh kelemahan-kelemahan material duniawi (dosa). Roh suci sebagai “utusan” Tuhan dalam diri manusia yang dapat membawa ketetapan/pedoman hidup. Sehingga roh dapat berperan sebagai obor yang memancarkan cahaya (spektrum) kebenaran dari Tuhan. Dalam perspektif Jawa roh suci (utusan Tuhan) tidak lain adalah apa yang disebut sebagai Guru Sejati.Guru Sejati tampil sebagai juru nasehat untuk hawa, jiwa atau nafs.

Hawa Nafsu ; Ibarat Satu Keping Mata Uang

Hawa (nafs) atau jiwa yang tunduk kepada roh suci (guru sejati) akan menghasilkan hawa (nafs) yang disebut nafsu positif –meminjam istilah Arab— sebagai an-nafs al-muthmainah.. Sebaliknya jiwa atau hawa yang tunduk pada keinginan jasad disebut sebagai nafsu negatif. Nafsu negatif terdiri tiga macam; nafsu lauwamah (kepuasan biologis; makan, minum, tidur dst), nafsu amarah (amarah/angkara murka), dan nafsusufiyah (mengejar kenikmatan psikis; contohnya seks, sombong, narsism, gemar dipuji-puji). Hawa memiliki dua kutub nafsu yang bertentangan ibarat satu keping mata uang yang memiliki dua sisi. Akan tetapi kedua sisi tidak dapat dipisahkan atau dilihat secara berbarengan. Apabila kita ingin menampilkan gambar angka, maka letakkan nilai nominal di sisi atas, sebaliknya jika kita berkehendak melihat gambar burung kita letakkan gambar angka di bawah. Apabila seseorang mengaku bisa melihat kedua sisi satu keping mata uang dalam waktu yang sama, maka seseorang dikatakan berjiwa munafik alias kehidupan yang palsu hanya berdasarkan pengaku-akuan bohong.

Manusia Bebas Memilih

Pada setiap bayi lahir, Tuhan telah menciptakan hawa dalam keadaan putih/suci. Manusia memiliki kebebasan menentukan apakah hawa nafsunya akan berkiblat kepada kesucian yang bersumber pada roh suci (ruhul kuddus), atau sebaliknya ingin berkiblat kepada kemungkaran jasad/raga (unsur duniawi). Apabila seseorang berkiblat pada kemungkaran akan menjadi seteru Tuhan dan memiliki konsekuensi (dosa/karma/hukuman) yang akan dirasakan kelak setelah menemui ajal (akhirat), bisa juga dirasakan sewaktu masih hidup di dunia. Maka peranan semua agama yang ada di muka bumi adalah pendidikan yang ditujukan kepada hawa/nafs/jiwa manusia agar selalu berkiblat kepada rumus Tuhan atau qodratullah. Sumber dari ilmu dan “rumus Tuhan” (qodratullah) bisa kita temukan dalam “perpustakaan” atau gudang ilmu yang terdekat dengan diri kita, yakni roh suci (Ruhul-Kuddus/Guru-Sejati/Sukma-Sejati/Rahsa-Sejati).

Kadang kala Tuhan Maha Pemurah menganugerahkan seseorang untuk mendapat “bocoran soal” akan rahasia “ilmu Tuhan” melalui pintu hati (qalb) yang di sinari oleh cahyo sejati (nurullah). Yang lazim disebut sebagai ungkapan dari (hati) nurani. Petunjuk dari Tuhan ini diartikan sebagai wirayat, wahyu, risalah, sasmita gaib, ilham, wisik dan sebagainya.Dalam posting ini kami tidak membahas model dan macam petunjuk Tuhan tersebut.

Laku Prihatin adalah Jihad Sejati

“Penundukan” roh terhadap hawa nafsu negatif adalah penundukkan terhadap segala yang berhubungan dengan material (syahwat) atau kenikmatan ragawi. Dengan kata lain yakni penundukan unsur “Tuhan” terhadap unsur bumi. Dalam ilmu Jawa dikatakan sebagai jiwa yang tunduk pada kareping rahsa / rasa sejati (kehendak Guru Sejati/kehendak Tuhan), serta meredam rahsaning karep (kemauan hawa nafsu negatif). Segenap upaya yang mendukung proses “penundukan” unsur Tuhan terhadap unsur bumi dalam khasanah Jawa disebut sebagai laku prihatin. Dengan laku prihatin, seseorang berharap jiwanya tidak dikendalikan oleh keinginan jasad. Maka di dalam khasanah spiritual Kejawen, laku prihatinmerupakan syarat utama yang harus dilakukan seseorang menggapai tingkatan spiritualitas sejati. Seperti ditegaskan dalam serat Wedhatama (Jawa; Wredhotomo) karya KGPAA Mangkunegoro IV; bahwa ngelmu iku kalakone kanthi laku. Laku prihatin dalam istilah Arab sebagai aqabah, yakni jalan terjal mendaki dan sulit, karena seseorang yang menjalani laku prihatin harus membebaskan diri dari perbudakan syahwat dan hawa nafsu yang negatif. Di mana ia sebagai sumber kenikmatan keduniawian. Maka apa yang disebut sebagai Jihad yang sesungguhnya adalah perang tanding di medan perang dalam kalbu antara tentara Muslim nafsu positif melawantentara Amerika nafsu negatif. Disebut kemenangan dalam berjihad apabila seseorang telah berhasil “meledakkan bom” di pusat kekuasaansetan (hawa nafsu negatif) dalam hati kita. “Bahan peledaknya” bernama C4 dan TNT laku prihatin dan olah batin (wara’ dan amr ma’ruf nahi munkar).

Target Utama dalam “Berjihad” (Laku Prihatin)

Perjalanan spiritual dalam bentuk laku prihatin, mempunyai target membentuk hawa nafsu positif atau nafsul muthmainnah. Karena si nafsatau hawa tersebut telah stabil dalam koridor rumus Tuhan (qodrat atauqudrah diri) atau dalam bahasa sansekerta lazimnya disebut sebagaiswadharma. Roh yang berada pada tataran pencapaian ini, dalam bahasa Ibrani, ruh disebut sebagai syekinah yang diturunkan ke dalam kalbu dan berhasil merebut (amr) kebaikan (ma’ruf). Jika hawa tidak berdaya karena kuatnya arus nafsu negatif yang dimasukkan jasad lewat pintu panca indera, maka kepribadian manusia dikuasai oleh “milisi” kekuatan batin yang oleh Freud diberi nama ego. Ego cenderung berkiblat pada jasad (duniawi). Maka sudah menjadi tugas hawa (id) untuk membangkang dari keinginan ego agar supaya membelot kepada kekuatan hawa positif (super ego). Hasilnya maka manusia dapat dikendalikan sesuai dengan kodrat dirinya sebagai khalifah Tuhan. Jadilah manusia yang tetap berada pada orbitNya (qodrat/rumus Tuhan), yakni apa yang dimaksud menjadi titah jalma menungsa kang sejati, yaiku nggayuh kasampurnaning gesang,(untuk meraih) sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu.

Sangat terasa bahwa Tuhan sungguh lebih dari Maha Adil, setiap manusia tanpa kecuali dapat menemukan Tuhan melalui pintu nafs, jiwa, atau hawanya masing-masing, karena Tuhan telah membekali jiwa manusia akan kemampuan menangkap sinyal-sinyal suci dari Hyang Mahasuci. Sinyal suci yang diletakkan di dalam rahsa sejati (sirullah) dan roh sejati (ruhullah). Sudah merupakan rumus (Tuhan), apabila seseorang dapat meraih dharma-nya atau kodrat-dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan, maka kehidupannya akan selalu menemui kemudahan. Sebaliknya hawa nafsu negatif (setan) senantiasa menggoda hawa/nafs manusia agar supaya hawanya berkiblat kepada unsur bumi.

Menjadi Pribadi yang Menang

Sepanjang hidup manusia selalu berada di dalam arena peperangan “Baratayudha/Brontoyudho” (jihad) antara kekuatan nafsu positif (Pendawa Lima) melawan nafsu negatif (100 pasukan Kurawa). Perang berlangsung di medan perang yang bernama “Padang Kurusetra” (Kalbu). Peperangan yang paling berat dan merupakan sejatinya perang (jihad fi sabilillah) atau perang di jalan kebenaran.

Kemenangan Pendawa Lima diraih tidak mudah. Dan sekalipun kalah pasukan Kurawa 100 selamanya sulit dibrantas tuntas hingga musnah. Maknanya sekalipun hawa nafsu positif telah diraih, artinya hawa nafsu negatif (setan) akan selalu mengincar kapan saja si hawa lengah. Kejawenmengajarkan berbagai macam cara untuk memenangkan peperangan besar tersebut. Di antaranya dengan laku prihatin untuk meraih kemenangan melalui empat tahapan yang harus dilaksanakan secara tuntas. Empat tahapan tersebut dikiaskan ke dalam nada suara salah instrumen Gamelan Jawa yang dinamakan Kempul atau Kenong dan Bonang yang menimbulkan bunyi; Neng, Ning, Nung, Nang.
  1. Neng; artinya jumeneng, berdiri, sadar atau bangun untuk melakukan tirakat, semedi, maladihening, atau mesu budi. Konsentrasi untuk membangkitkan kesadaran batin, serta mematikan kesadaran jasad sebagai upaya menangkap dan menyelaraskan diri dalam frekuensi gelombang Tuhan.
  2. Ning; artinya dalam jumeneng kita mengheningkan daya cipta (akal-budi) agar menyambung dengan daya rasa- sejati yang menjadi sumber cahaya nan suci. Tersambungnya antara cipta dengan rahsa akan membangun keadaan yang wening. Dalam keadaan “mati raga” kita menciptakan keadaan batin (hawa/jiwa/nafs) yang hening, khusuk, bagai di alam “awang-uwung” namun jiwa tetap terjaga dalam kesadaran batiniah. Sehingga kita dapat menangkap sinyal gaib dari sukma sejati.
  3. Nung; artinya kesinungan. Bagi siapapun yang melakukan Neng, lalu berhasil menciptakan Ning, maka akan kesinungan (terpilih dan pinilih) untuk mendapatkan anugrah agung dari Tuhan Yang Mahasuci. Dalam Nung yang sejati, akan datang cahaya Hyang Mahasuci melalui rahsa lalu ditangkap roh atau sukma sejati, diteruskan kepada jiwa, untuk diolah oleh jasad yang suci menjadi manifestasi perilaku utama (lakutama). Perilakunya selalu konstruktif dan hidupnya selalu bermanfaat untuk orang banyak.
  4. Nang; artinya menang; orang yang terpilih dan pinilih (kesinungan), akan selalu terjaga amal perbuatan baiknya. sehingga amal perbuatan baik yang tak terhitung lagi akan menjadi benteng untuk diri sendiri. Ini merupakan buah kemenangan dalam laku prihatin. Kemenangan yang berupa anugrah, kenikmatan, dalam segala bentuknya serta meraih kehidupan sejati, kehidupan yang dapat memberi manfaat (rahmat) untuk seluruh makhluk serta alam semesta. Seseorang akan meraih kehidupan sejati, selalu kecukupan, tentram lahir batin, tak bisa dicelakai orang lain, serta selalu menemukan keberuntungan dalam hidup (meraih ngelmu beja).
Neng adalah syariatnya, Ning adalah tarekatnya, Nung adalahhakekatnya, Nang adalah makrifatnya. Ujung dari empat tahap tersebut adalah kodrat (sastrajendra hayuning Rat pangruwating diyu)

HATI NURANI

Setiap pribadi mampu berdiri sebagai mandireng pribadi, yakni pribadi yang memiliki kemandirian dalam menentukan mana dan apa yang paling tepat, paling baik dilakukan. Bukankah nilai manusia terletak pada kejernihan isi kalbu atau suara hati nuraninya ?!! Nurani merupakan kesadaran aku akan tanggung jawab dan kewajiban aku sebagai makhluk bernama manusia dalam situasi yang sungguh-sungguh konkrit dan tepat. Itulah salah satu alasan mengapa suara hati nurani idealnya selalu dipatuhi dan diikuti. Hati nurani atau dalam terminologi Jawa disebut sebagai ALUSING PANDULU atau kehalusan daya cipta, yakni kekuatan yang atau kemampuan perasaan hati nurani untuk meraba, merasakan, membedakan, dan menentukan pilihan dan keputusan hidup. Alusing pandulu merupakan pangkal dari otonomi dan kemerdekaan batin setiap individu, sehingga melahirkan sikap kemandirian pribadi. Sumber kekuatan setiap orang berada di dalam hati nuraninya sendiri-sendiri. Sementara itu untuk mengidentifikasi apakah suatu tindakan termasuk baik atau buruk merupakan tanggungjawab setiap individu. Namun hanya nalar yang telah memiliki cara befikir terbuka atau open minded, yakni pemikiran terbuka dan bebas menentukan pilihan dan keputusan mana yang paling tepat……
Menurut pendapat saya, yang disebut ilmu itu ialah segala sesuatu yang tidak kelihatan oleh mata. Umpamanya, Demak dari sini tidak tampak, akan tetapi Demak itu ada. Itulah yang disebut ilmu. Adapun pernyataan yang kedua, di mana tempat hid…up itu, jawabannya, hidup itu uninong ananung. Pertanyaan yang ketiga, siapa yang mengajak tidur, jawabannya menurut saya, yang mengajak tidur itu tirta nirmaya.” “Yaitu air hayat kata Arabnya. Air hidup itulah yang dulu dicari Sang Sena dan disebut air prawita dalam bahasa Hindu-Budha. Adapun tempatnya di uning unong uninong aning.” Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 16-17 melihat pupuh ini angan kita melayang dengan Dewa Ruci…Saya semakin sadar, perjalanan ini belum apa-apa. Ibarat mendaki gunung, saya masih berada di lereng yang landai…puncak masih nun jauh di sana. Walau begitu…saya gembira karena puncak itu sudah mulai terlihat dan semakin yakin jalan mana yang harus ditempuh.

Nurani, matahati, atau alusing pandulu, apapun namanya, memang modal berharga bagi setiap manusia, sekaligus merupakan “keajaiban” yang sering disepelekan. Saya bersyukur kepada Sang Pemberi Hidup, karena berkesempatan merasakan gelapnya hidup tanpa bimbingan nurani…walau sehari-hari demikian akrab dengan kata Allah dan kalimat-kalimat relijius,. Lebih bersyukur lagi, karena kini saya mulai menapaki hidup yang lebih berkesadaran diterangi cahaya dari dalam diri. Kedamaian menjadi lebih mudah digapai..lebih tepatnya, mulai menjadi bagian dari keseharian…walau sejuta badai menghantam.

Ternyata, ajaran kedamaian ini telah tumbuh demikian subur di negeri ini, dilestarikan oleh para cerdik cendekia, para empu, para pujangga. Ajaran demikian, di satu sisi berkesuaian dengan semesta negeri ini, dan pada saat yang sama, selaras dengan kebenaran universal yang tumbuh di negeri manapun.

Sungguh sayang….kebanyakan kita seringkali terpedaya, menganggap bahwa ajaran kedamaian dan kebenaran universal hanya muncul di satu titik…di Jazirah Arab..semata-mata karena memang di sana pernah lahir seorang nabi yang agung. Repotnya, kita lalu terpesona oleh mereka yang secara lahiriah dan kultural mirip dengan sang nabi agung itu….padahal tak sepenuhnya mewarisi kebijaksanaannya. Maka, lengkaplah penderitaan…kita abaikan ajaran agung dari negeri leluhur, untuk menerima “ajaran distortif” dari mereka yang disangka sebagai pewaris nabi…..

Mari kita terus berjuang…mengembalikan negeri ini pada jalur yang semestinya…mengajak seluruh anak negeri untuk kembali pada jatidiri, kembali pada sebuah formula kesuksesan yang telah terbukti. Tentu saja, tanpa mesti menjadi chauvinis. Sebaliknya, kita menjadi manusia yang bangga pada jatidiri, saat yang sama, terbuka pada kebajikan yang ditawarkan siapapun, dari manapun……
Sejenak kita mengingat Dewa Ruci…. DAN KITA HARUS BENAR2 PAHAM
Kang Petruk Tralala….. penerno nek aku salah yo kang….

SERAT DEWARUCI

Kidung Dhandhanggula

Arya Sena duk puruhita ring, Dhang Hyang Druna kinen ngulatana, toya ingkang nucekake, marang sar…iranipun, Arya Sena alias Wrekudara mantuk wewarti, marang negeri Ngamarta, pamit kadang sepuh, sira Prabu Yudistira, kang para ri sadaya nuju marengi, aneng ngarsaning raka.

Artinya : Arya Sena ketika berguru kepada, Dhang Hyang Druna disuruh mencari, air yang mencyucikan, kepada badannya, Arya Sena alias Wrekudara pulang memberi kabar, kepada negeri Ngamarta, mohon diri kepada kakaknya, yaitu Prabu Ydistira, dan adik-adiknya semua, ketika kebetulan di hadapan kakaknya.

Arya Sena matur ing raka ji, lamun arsa kesah mamprih toya, dening guru piduhe, Sri Darmaputra ngungun amiyarsa aturing ari, cipta lamun bebaya, Sang Nata mangungkung, Dyan Satriya Dananjaya, matur manembah ing raka Sri Narpati, punika tan sakeca.

Artinya : Arya Sena berkata kepada Kakanda Raja, bahwa ia akan pergi mencari air, dengan petunjuk gurunya, Sri Darmaputra heran mendengar kata adiknya, memikirkan mara bahaya, Sang Raja menjadi berduka, Raden Satriya Dananjaya, berkata sambil meyembah kepada Kanda Raja, bahwa itu tidak baik.

Inggih sampun paduka lilani, rayi tuwan kesahe punika, boten sakeca raose, Nangkula Sadewaku, pan umiring aturireki, watek raka paduka, Ngastina Sang Prabu, karya pangendra sangsara, pasthi Druna ginubel pinrih ngapusi, Pandawa sirnanira.

Artinya : Sudahlah jangan diizinkan, adinda (Wrekudara) itu pergi rasanya itu tidak baik, Nakula dan Sadewa, juga menyetujui kata-kata Dananjaya, sifat kakanda tuanku, yang tinggal di Ngastina, hanya ingin menjerumuskan ke dalam kesengsaraan, tentu Druna dibujuk agar medustai, demi musnahnya Pandawa.

Arya Sena miyarsa nauri, ingsun masa kenaa den ampah prapteng tiwas ingsun dhewe, wong nedya amrih putus, ing sucine badanireki, Sena sawusnya mojar, kalepat sumebrung, sira Prabu Darmaputra, myang kang rayi tetiga ngungun tan sipi, lir tinebak wong tuna.

Artinya : Arya Sena mendengar itu lalu menjawab, aku tak mungkin dapat ditipu dan dibunuh, karena ingin mencari kesempurnaan, demi kesucian badan ku ini, setelah berkata begitu, Sena lalu segara pergi, Sang Prabu Darmaputra, dan ketiga adiknya sangat heran, bagaikan kehilangan sesuatu.

Tan winarna kang kari prihatin, kawuwusa Sena lampahira, tanpa wadya among dhewe, mung braja kang tut pungkur, lampah mbener amurang margi, prahara munggeng ngarsa gora reh gumuruh, samya giras wong padesan, ingkang kambuh kaprunggul ndarodog ajrih mendhak ndhepes manembah.

Artinya : Tak terkisahkan keadaan yang ditinggalkan dalam kesedian, diceritakanlah perjalanan Sena, tanpa kawan hanya sendirian, hanyalah sang petir yang mengikutinya dari belakang, berjalan lurus menentang jalan, angin topan yang menghadang di depan terdengar gemuruh riuh, orang-orang desa bingung, yang bertemu di tengah jalan gemetar katakutan sambil menyembah.

Ana atur segah tan tinolih, langkung adreng prapteng Kurusetra, marga geng kambah lampahe, glising lampahira sru, gapura geng munggul kaeksi, pucak mutyara muncar, saking doh ngenguwung, lir kumembaring baskara, kuneng wau kang lagya lampah neng margi, wuwusen ing Ngastina. 

Artinya : Kesediaan yang sudah disanggupi tak mungkin ditolehnya, sangat kuat tekatnya untuk menuju hutan Kurusetra, jalan besar yang dilaluinya, sungguh cepat jalanya, pintu gerbang tampak dari kejauhan, puncaknya seperti mutiara berbinar-binar, dari jauh seperti pelangi, bagaikan matahari kembar, sampai di sini dulu kisah perjalanan Arya Sena Wrekudara, sekarang dikisahkan keaadaan di negeri Ngastina.

Dihadapan Allah, semua umat manusia adalah satu didalam kutukan dosa, telah menjadi hamba dosa, condong dan bernafsu berbuat dosa sebagai warisan turun-temurun, dan memang nyatanya semua manusia pernah melakukan dosa, entah dia seorang nabi…, seorang imam ataupun orang biasa. Tabiat dosa ini menjalar ke seluruh manusia sejak ia dilahirkan. Seorang bayi meski belum berbuat dosa, namun ia sudah mempunyai tabiat dosa. Seorang anak kecil meski tidak ada yang mengajari berbohong , dia dapat berbohong dengan sendirinya, meski tidak ada yang mengajarinya memukul, ia dapat memukul, marah, mau menang sendiri dan seterusnya. Inilah yang disebut “dosa waris” yaitu tabiat dosa yang diturunkan dari Adam manusia pertama.

Namun ada banyak salah-paham mengenai istilah Dosa Asal atau yang kadang disebut Dosa Waris ini. Ada kalangan yang sering mengkritisi Kristianitas mengidentikkannya sebagai transfer-muatan dosa dari nenek-moyang ke anak-cucu. Misalnya, banyak teman-teman Muslim yang memahami dosa-asal ini sebagai dosa yang pertama yang “segepok” dari Adam itu terturun “segepok” pula kepada anak-cucunya. Akibatnya dirasakan tidak masuk akal, bahwa setiap bayi yang terlahir sudah membawa hutang-waris, walau ia belum berbuat dosa apapun!

Itulah proto-type yang salah kaprah dari kalangan yang sering memaksakan makna teologis-kristiani secara dangkal, dan menurut pengertian mereka sendiri. Andaikata itu benar maksudnya, tentulah akan lebih tidak masuk akal bahwa kita-kita yang hidup di ujung zaman ini akan ketimpaan ratusan/ribuan/jutaan gepok dosa-asal kumulatif dari ratusan generasi sejak kejatuhan Adam! Dosa asal atau yang dikenal dengan dosa waris ini tidak ada hubungannya dengan pemindahan muatan dosa dari siapa saja, melainkan merupakan penjalaran imbasan kultur dosa Adam yang diturunkan kepada seluruh peradaban umat manusia sejak Adam dikutuk dan diusir dari Taman Eden.

Manusia di dunia meski telah tercemar dengan dosa, masih diberi bekal oleh Allah di Sorga dengan hati-nurani. Manusia bukan robot, bagaimanapun manusia diciptakan dengan “image” Allah /Hati-nurani manusia tak pernah mati, kecuali manusia berubah menjadi mati, atau berubah menjadi arca batu tanpa spirit. Sejahat apapun dia, hati-nurani mengetuknya, mengadilinya. Hati-nurani menjadi kriteria untuk mengembalikannya ke “jalan yang benar” bila ia tersesat. Maka tak heran, agama-agama duniapun menganalisanya sebagai “suara Tuhan” yang berbisik dalam hati kita.

“Sentuhan pada hati” itulah hati-nurani. Ketika kita hati kita tergerak melihat orang jompo miskin dan lemah, pengemis cacat, orang tak bersalah dituduh salah, orang hidup hendak dihukum mati. Darimana kita tahu rasa manisnya gula, indahnya pemandangan di pantai? Yaitu dengan mencicipinya, merasakannya, mengalaminya. Bukan dengan membaca artikel tentang gula, membaca karangan tentang pantai. Hati-nurani menyangkut rasa dan empati, hati-nurani terasa juga termasuk ketika kita memungut sampah yang tercecer dan memasukan ke tempat sampah untuk menjaga kebersihan di bumi ini. Hati-nurani sebenarnya bekerja dalam keadaan apa saja, ketika dalam keadaan marah-pun kita dapat menahan untuk tidak berkata-kata kotor dan berbuat jahat karena ketukan hati-nurani. Walaupun kadang kita pun dapat mengabaikan “suara-hati” ini, namun pasti ada saatnya hati-nurani akan menggedor dengan kencang pintu hati kita, dan kita tak akan mampu menutup telinga untuk hal itu.
  1. Beninging ati atau kejernihan kalbu. Antara suara hati dan nalar manusia selalu terjadi dialog, tarik menarik, bahkan masing-masing saling “berperang” untuk berebut pengaruh dan otoritas. Jika kekuatan keduanya berimbang gejalanya dapat… kita rasakan pada saat terjadi kebimbangan dan keragu-raguan. Atau sikap ambigu, dan dualisme. Sementara itu, jika nalar memenangkan jadilah pribadi yang hanya mengandalkan kemampuan rasio semata. Sehingga bagi dirinya banyak sekali hal-hal di luar nalar yang dengan segera ia tepis sebagai sesuatu yang tidak ada, omong kosong atau ngoyoworo. Hal-hal gaib dianggap sebagai sesuatu yang non-sense, dan di luar logika. Maka gaib pun dianggap omong kosong. Menurut saya pribadi, gaib pun ternyata sangat logis dan masuk akal. Jika ada hal gaib yang dianggap tidak masuk akal, ada dua kemungkinan yakni, pertama; benar-benar dongeng atau mitologi yang digaib-gaibkan. Kemungkinan kedua, nalar kita belum cukup menerima informasi akan rumus-rumus yang ada dan berlaku di dimensi gaib. Sementara itu beninging ati atau weninging tyas, akan tercipta manakala dialog, tarik-menarik, dan peperangan antara suara hati nurani dengan nalar berhenti sejenak. Saat itulah hati kita menjadi jernih, karena saat itu hati menjadi bebas merdeka dari segala bentuk “penjajahan” nalar yang seringkali terkooptasi oleh kepentingan pribadi, persepsi atau penilaian diri terhadap suatu obyek, serta ilusi dan imajinasi. Dalam dimensi lebih luas hati pun menjadi bebas dari kepentingan politik, kekuasaan, egoisme aliran, dan segala macam keinginan yang belum tercapai. Cara menghentikan dialog dan tarik-menarik antara hati dan nalar adalah dengan cara “mengalir mengikuti aliran air” atau (tapa ngeli). Yakni hidup dalam sikap kepasrahan. Konsentrasi pasrah bukan pada proses berusaha atau saat berikhtiar, karena kepasrahan demikian ini merupakan konsep hidup yang salah kaprah. Pasrah yang dimaksud adalah pasrah akan ketentuan besar-kecil hasilnya akhir. Sementara itu dalam menjalani prosesnya step by step kita tak boleh pasrah, tetapi harus berusaha secara maksimal, sekuat tenaga dan pikiran kita. Ada pepatah bola mengatakan,”Bermainlah bola secara cantik, soal menang kalah itu bukanlah urusan kita. Bila kalahpun, tetap akan menjadi “kesebelaasan” yang disegani dan dihormati orang lain. Jangan konsentrasi pada hasil akhir, tetapi konsentrasilah pada proses. Hal ini menjadi salah satu kiat sukses dalam olah semedi atau meditasi. Bila anda berkonsentrasi pada hasil, maka yang terjadi nalar kita akan dipenuhi oleh angan-angan.
  2. Sirnaning kekarepan atau sirnanya rahsaning karep. Atau lenyapnya semua maksud jahat, keburukan, dan tindakan hina-aniaya. Hal ini berkaitan dengan perilaku dan perbuatan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Jangan sampai kita menyakiti hati orang lain, baik sadar apalagi tanpa sadar. Jangan sampai mencelakai, merugikan, menyerobot hak orang lain. Untuk menuntun perilaku demikian diperlukan sebuah kesadaran kosmologis yakni sikap eling dan waspada........Ojo Dumeh.. Ojo Gumunan.. Eling lan Waspodo.. Ojo Dumeh.. Ojo Gumunan.. Eling lan Waspodo.. Sang Hyang Ismaya.. Semar.. Kaki Semar selalu mengajarkan dan menasehati anak cucunya sikap Paugeraning Urip adalah dengan Kata sesanti atau Petuah Ć¢OJO DUMEH.. OJO GUMUNAN.. ELING LAN WASPODO.. Petuah tersebut sepertinya sudah menjadi satu paket yang berkaitan erat dari beliau dalam menjalani kehidupan di dunia ini..
  3. ‎Lereming pancadriya atau ketenangan panca indera. Ketenangan panca indera. Dalam spiritual Jawa dikenal sebagai Babakan Howo Songo atau babahan hawa (nafsumu), kosongno (bersihkanlah/kendalikanlah hawa nafsumu).  Dapat pula diartikan 9 lu…bang pancaindera -2 lubang telinga, 2 lubang hidung, 2 lubang mata, 1 lubang kemaluan, 1 lubang anus, dan 1 lubang mulut = 9 lobang kesemuanya menjadi pintu masuk hawa nafsu hendaknya dikendalikan atau “dikosongkan”. Keberhasilan mengendalikan panca indera akan memperoleh ketenangan pancaindera. Sebaliknya, kegagalan lereming pancadriya seseorang akan tersiksa dalam kegelisahan panjang oleh karena gejolak nafsu syahwat , nafsu makan, nafsu tidur , dan banyaknya karep atau kemauan yang diinginkan sulit bersyukur nafsu angkara Penyakit Hati ; panasten, suka panas hatinya, mudah iri hati, drengki, serba pamrih, congkak, sombong, takabur, egois. Emosi yang Labil ; tersinggungan, mudah sedih, mudah marah, kagetan, gumunan, nafsu halus gede ndase, gemar dipuji, pamrih pahala. Pola bekerjanya panca indra yang lebih dominan dalam merespon obyek kehidupan justru akan mengaburkan getaran atau bisikan nurani. Salah-salah, getaran nafsunya dianggap sebagai getaran nurani. Sementara itu lereming pancadira akan mengistirahatkan bekerjanya otak. Hal ini seperti halnya kita melakukan olah semedi atau meditasi….
  4. ‎Jatmikaning solah bawa atau perilaku lahir dan batin yang santun. Perilaku lahiriah (solah) merupakan refleksi dari perilaku batin (bawa). Jatmikaning solah bawa, merupakan wujud kekompakan perilaku yang melibatkan empat unsur yakni; hat…i, ucapan, pikiran dan perbuatan atau tindakan nyata. Berbekal dengan hati yang jernih akan mampu menuntun nalar kita supaya lebih cermat dalam menyeleksi mana yang baik dan mana yang buruk. Selanjutnya bermodalkan kecermatan nalar dapat mengendalikan keinginan, dan memilah memilih serta mempertimbangkan secara arif dan bijak terhadap sesuatu yang dipikirkan, diucapkan, dan diperbuat. Solah dan bawa yang keluar dari nurani memiliki karisma besar sehingga dapat menselaraskan apa yang ada di sekelilingnya dengan apa yang diinginkan dan diharapkan. Dengan kata lain, jatmikaning solah bawa, menebarkan aura yang kuat, bagaikan medan magnet yang akan menyedot segala sesuatu yang senyawa dan sejenis. Kebaikan dan keburukan akan terkumpul dalam kumparan yang sejenis, terkonsentrasi dalam kelompoknya masing-masing. Maka kebaikan akan berbalas dengan kebaikan yang berlipat. Welas asih akan berbalas kasih sayang yang berlimpah ruah. Kejahatan akan berbalas kejahatan berlipat. Limpahan itu bagaikan suara yang bergema, terucap dengan memantul. Sebagaimana pernah saya singgung dalam Laksita Jati beberapa waktu yang lalu… Begitulah rumus-rumus yang terjadi dalam hukum alam semesta. Pribadi yang menghayati jatmikaning solah bawa gerak-gerik, tingkah laku, watak wantun, sifat tabiatnya selalu enak dilihat dan membuat nyaman di hati (nuju prana). Pribadi yang pembawaan sifatnya selalu nuju prana bagai gayung bersambut, di mana-mana selalu menciptakan ketentraman, kenyamanan, kebahagiaan bagi orang di sekelilingnya. Selalu membuat enak di hati, kinaryo karyenak ing tyas sesama.
Perilaku nuju prana menjadikan pribadi yang penuh aura positif. Jika wanita maka inner-beauty-nya akan memancar kuat dari dalam sanubari. Jika seorang pria perilakunya selalu anggawe reseping pancadriya. Barangkali hal ini ada kaitannya, mengapa seseorang dengan tingkat spiritual yang sudah mapan dan matang akan memancarkan daya tarik yang kuat, terlebih terhadap lawan jenis. Selanjutnya kita sebut sebagai goda. Resiko menjadi besar, apabila libidonya tidak tersalurkan dengan penuh tanggungjawab, baik tanggungjawab terhadap diri pribadi, keluarga, maupun tanggungjawab publik. BAGI YANG BELUM TAU SERAT LAKSITA JATI bisa membuka wedaran beberapa hari yang lalu….

WIRID LAKSITA JATI

Ilmu yang mengajarkan tata cara menghargai diri sendiri, dengan “laku” batin untuk mensucikan raga dari nafsu angkara murka (amarah), nafsu mengejar kenikmatan (supiyah), dan nafsu serakah (lauwamah). Pribadi membangun raga yang suci dengan menjadikan raga sebagai reservior nafsul mutmainah. Agar supaya jika manusia mati, raganya dapat menyatu dengan “badan halus” atau ruhani atau badan sukma.

Hakikat kesucian, “badan wadag” atau raga tidak boleh pisah dengan “badan halus”, karena raga dan sukma menyatu (curigo manjing warongko) pada saat manusia lahir dari rahim ibu. Sebaliknya, manusia yang berhasil menjadi kalifah Tuhan, selalu menjaga kesucian (bersih dari dosa), jika mati kelak “badan wadag” akan luluh melebur ke dalam “badan halus” yang diliputi oleh kayu dhaim, atau Hyang Hidup yang tetap ada dalam diri kita pribadi, maka dilambangkan dengan “warongko manjing curigo”. Maksudnya, “badan wadag” melebur ke dalam “badan halus”. Pada saat manusia hidup di dunia (mercapada), dilambangkan dengan “curigo manjing warongko”; maksudnya “badan halus” masih berada di dalam “badan wadag”. Maka dari itu terdapat pribahasa sebagai berikut:

“Jasad pengikat budi, budi pengikat nafsu, nafsu pengikat karsa (kemauan), karsa pengikat sukma, sukma pengikat rasa, rasa pengikat cipta, cipta pengikat penguasa, penguasa pengikat Yang Maha Kuasa”.

Sebagai contoh :

Jasad jika mengalami kerusakan karena sakit atau celaka, maka tali pengikat budi menjadi putus. Orang yang amat sangat menderita kesakitan tentu saja tidak akan bisa berpikir jernih lagi. Maka putuslah tali budi sebagai pengikat nafsu. Maka orang yang sangat menderita kesakitan, hilanglah semua nafsu-nafsunya; misalnya amarah, nafsu seks, dan nafsu makan. Jika tali nafsu sudah hilang atau putus, maka untuk mempertahankan nyawanya, tinggal tersisa tali karsa atau kemauan. Hal ini, para pembaca dapat menyaksikan sendiri, setiap orang yang menderita sakit parah, energi untuk bertahan hidup tinggalah kemauan atau semangat untuk sembuh. Apabila karsa atau kemauan, dalam bentuk semangat untuk sembuh sudah hilang, maka hilanglah tali pengikat sukma, akibatnya sukma terlepas dari “badan wadag”, dengan kata lain orang tersebut mengalami kematian. Namun demikian, sukma masih mengikat rasa, dalam artian sukma sebenarnya masih memiliki rasa, dalam bentuk rasa sukma yang berbeda dengan rasa ragawi. Bagi penganut kejawen percaya dengan rasa sukma ini. Maka di dalam tradisi Jawa, tidak boleh menyianyiakan jasad orang yang sudah meninggal. Karena dipercaya sukmanya yang sudah keluar dari badan masih bisa merasakannya. Rasa yang dimiliki sukma ini, lebih lanjut dijelaskan karena sukma masih berada di dalam dimensi bumi, belum melanjutkan “perjalanan” ke alam barzah atau alam ruh.

Rahsa atau rasa, merupakan hakikat Dzat (Yang Maha Kuasa) yang mewujud ke dalam diri manusia. Dzat adalah Yang Maha Tinggi, Yang Maha Kuasa, Tuhan Sang Pencipta alam semesta. Urutan dari yang tertinggi ke yang lebih rendah adalah sebagai berikut;
  1. Dzat (Dzatullah) Tuhan Yang Maha Suci, meretas menjadi;
  2. Kayu Dhaim (Kayyun) Energi Yang Hidup, meretas menjadi;
  3. Cahya atau cahaya (Nurullah), meretas menjadi;
  4. Rahsa atau rasa atau sir (Sirrullah), meretas menjadi ;
  5. Sukma atau ruh (Ruhullah).
No 1 s/d no 5 adalah retasan dari Dzat, Tuhan Yang Maha Kuasa, maka ruh bersifat abadi, cahaya bersifat mandiri tanpa perlu bahan bakar. Ruh yang suci yang akan melanjutkan “perjalanannya” menuju ke haribaan Tuhan, dan akan melewati alam ruh atau alam barzah, di mana suasana menjadi “jengjem jinem” tak ada rasa lapar-haus, emosi, amarah, sakit, sedih, dsb. Sebelum masuk ke dimensi barzah, ruh melepaskan tali rasa, kemudian ruh masuk ke dalam dimensi alam barzah menjadi hakikat cahaya tanpa rasa, dan tanpa karsa. Yang ada hanyalah ketenangan sejati, manembah kepada gelombang Dzat, lebur dening pangastuti.

KONSEP ARWAH PENASARAN

Sebaliknya ruh yang masih berada di dalam dimensi gaibnya bumi, masih memiliki tali rasa, misalnya rasa penasaran karena masih ada tanggungjawab di bumi yang belum terselesaikan, atau jalan hidup, atau “hutang” yang belum terselesaikan, menyebabkan rasa penasaran. Oleh karena itu dalam konsep Kejawen dipercaya adanya arwah penasaran, yang masih berada di dalam dimensi gaibnya bumi. Sehingga tak jarang masuk ke dalam raga orang lain yang masih hidup yang dijadikan sebagai media komunikasi, karena kenyataan bahwa raganya sendiri telah rusak dan hancur. Itulah sebabnya mengapa di dalam ajaran Kejawen terdapat tata cara “penyempurnaan” arwah (penasaran) tersebut.

JALAN SETAPAK MERAIH KESUCIAN
(Jihad/Perang Baratayudha/Perang Sabil)

Mati penasaran, kebalikan dari mati sempurna. Dalam kajian Kejawen, mati dalam puncak kesempurnaan adalah mati moksa atau mosca atau mukswa. Yakni warangka (raga) manjing curigo (ruh). Raga yang suci, adalah yang tunduk kepada kesucian Dzat yang terderivasi ke dalam ruh. Ruh suci/roh kudus (ruhul kuddus) sebagai retasan dari hakikat Dzat, memiliki 20 sifat yang senada dengan 20 sifat Dzat, misalnya kodrat, iradat, berkehendak, mandiri, abadi, dst. Sebaliknya, ruh yang tunduk kepada raga hanya akan menjadi budak nafsu duniawi, sebagaimana sifat hakikat ragawi, yang akan hancur, tidak abadi, dan destruktif. Menjadi raga yang nista, berbanding terbalik dengan gelombang Dzat Yang Maha Suci. Oleh karena itu, menjadi tugas utama manusia, yakni memenangkan perangBaratayudha di Padang Kurusetra, antara Pendawa (kebaikan yang lahir dari akal budi dan panca indera) dengan musuhnya Kurawa (nafsu angkara murka). Perang inilah yang dimaksud pula dalam ajaran Islam sebagai Jihad Fii Sabilillah, bukan perang antar agama, atau segala bentuk terorisme.

Adapun ajaran untuk menggapai kesucian diri, atau Jihad secara Kejawen, yakni mengendalikan hawa nafsu, serta menjalankan budi (bebuden) yang luhur nilai kemanusiannya (habluminannas) yakni ; rela (rilo), ikhlas (legowo), menerima/qonaah (narimo ing pandum), jujur dan benar (temen lan bener), menjaga kesusilaan (trapsilo) dan jalan hidup yang mengutamakan budi yang luhur (lakutama). Adalahpitutur sebagai pengingat-ingat agar supaya manusia selalu eling atau selalu mengingat Tuhan untuk menjaga kesucian dirinya, seperti dalam falsafah Kejawen berikut ini :

jagad bumi alam kabeh sumurupo marang badan, badan sumurupo marang budi, budi sumurupo marang napsu, napsu sumurupo marang nyowo, nyowo sumurupo marang rahso, rahso sumurupo marang cahyo, cahyo sumurupo marang atmo, atmo sumurupo marang ingsun, ingsun jumeneng pribadi”

(jagad bumi seisinya pahamilah badan, badan pahamilah budi, budi pahamilah nafsu, nafsu pahamilah nyawa, nyawa pahamilah karsa, karsa pahamilah rahsa, rahsa pahamilah cahya, cahya pahamilah Yang Hidup, Yang Hidup pahamilah Aku, Aku berdiri sendiri (Dzat).

Artinya, bahwa manusia sebagai derivasi terakhir yang berasal dari Dzat Sang Pencipta harus (wajib) memiliki kesadaran mikrokosmis dan makrokosmis yakni “sangkan paraning dumadi” serta tunduk, patuh dan hormat (manembah) kepada Dzat Tuhan Pencipta jagad raya.

Selain kesadaran di atas, untuk menggapai kesucian manusia harus tetap berada di dalam koridor yang merupakan “jalan tembus” menuju Yang Maha Kuasa. Adalah 7 perkara yang harus dicegah, yakni;

  1. Jangan ceroboh, tetapi harus rajin sesuci.
  2. Jangan mengumbar nafsu makan, tetapi makanlah jika sudah merasa lapar.
  3. Jangan kebanyakan minum, tetapi minum lah jika sudah merasa haus.
  4. Jangan gemar tidur, tetapi tidur lah jika sudah merasa kantuk.
  5. Jangan banyak omong, tetapi bicara lah dengan melihat situasi dan kondisi.
  6. Jangan mengumbar nafsu seks, kecuali jika sudah merasa sangat rindu.
  7. Jangan selalu bersenang-senang hati dan hanya demi membuat senang orang-orang, walaupun sedang memperoleh kesenangan, asal tidak meninggalkan duga kira.
Demikian pula, di dalam hidup ini jangan sampai kita terlibat dalam 8 perkara berikut;
  1. Mengumbar hawa nafsu.
  2.  Mengumbar kesenangan.
  3. Suka bermusuhan dan tindak aniaya.
  4. Berulah yang meresahkan.
  5. Tindakan nista.
  6. Perbuatan dengki hati.
  7. Bermalas-malas dalam berkarya dan bekerja.
  8. Enggan menderita dan prihatin.
Sebab perbuatan yang jahat dan tingkah laku buruk hanya akan menjadi aral rintangan dalam meraih rencana dan cita-cita, seperti digambarkan dalam rumus bahasa berikut ini;
  1. Nistapapa; orang nista pasti mendapat kesusahan.
  2. Dhustalara; orang pendusta pasti mendapat sakit lahir atau batin.
  3. Dorasangsara; gemar bertikai pasti mendapat sengsara.
  4. Niayapati; orang aniaya pasti mendapatkan kematian.
PERBUATAN, PASTI MENIMBULKAN “RESONANSI”

Demikian lah, sebab pada dasarnya perilaku hidup itu ibarat suara yang kita kumandang akan menimbulkan gema, artinya apapun perbuatan kita kepada orang lain, sejatinya akan berbalik mengenai diri kita sendiri. Jika perbuatan kita baik pada orang lain, maka akan menimbulkan “gema” berupa kebaikan yang lebih besar yang akan kita dapatkan dari orang lainnya lagi. Hal ini dapat dipahami sebagaimana dalam peribahasa;

Barang siapa menabur angin, akan menuai badai,
Siapa menanam, akan mengetam,
Barang siapa gemar menolong, akan selalu mendapatkan kemudahan,
Barang siapa gemar sedekah kepada yang susah, rejekinya akan menjadi lapang.
Orang pelit, pailit
Pemurah hati, mukti

PERILAKU TAPA BRATA
Idealnya, setiap orang sepanjang hidupnya dapat melaksanakan “tapa brata” atau mesu-budi, menahan hawa nafsu, yg mempunyai kesamaan dengan hakikat puasa seperti di bawah ini;
  1. Tapa/puasanya badan/raga; harus anoraga; rendah hati; gemar berbuat baik.
  2. Tapa/puasanya hati; nerima apa adanya; qonaah; tak punya niat/prasangka buruk, tidak iri hati.
  3. Tapa/puasanya nafsu; ikhlas dan sabar dalam menerima musibah, serta memberi maaf kepada orang lain.
  4. Tapa/puasanya sukma; jujur.
  5. Tapa/puasanya rahsa; mengerem sembarang kemauan, serta kuat prihatin dan menderita.
  6. Tapa/puasanya cahya; eneng-ening; tirakat atau bertapa dalam keheningan, kebeningan, dan kesucian.
  7. Tapa/puasanya hidup (gesang); eling (selalu ingat/sadar makro-mikrokosmos) dan selalu waspada dari segala perilaku buruk.
Selain itu, anggota badan (raga) juga memiliki tanggungjawab masing-masing sebagai wujud dari hakikat puasa atau tapa brata ;
  1. Tapa/puasanya netro/mata; mencegah tidur, dan menutup mata dari nafsu selalu ingin memiliki/menguasai.
  2. Tapa/puasanya karno/telinga; mencegah hawa nafsu, enggan mendengar yang tak ada manfaatnya atau yang buruk-buruk.
  3. Tapa/puasanya grono/hidung; mencegah sikap gemar membau, dan enggan “ngisap-isap” keburukan orang lain.
  4. Tapa/puasanya lisan/mulut; mencegah makan, dan tidak menggunjing keburukan orang lain.
  5. Tapa/puasanya puruso/kemaluan; mencegah syahwat, tidak sembaranganngentot/rakit/ngewe/senggama/zina.
  6. Tapa/puasanya asto/tangan; mencegah curi-mencuri, rampok, nyopet, korupsi, dan tidak suka cengkiling; jail dan menyakiti orang lain.
  7. Tapa/puasanya suku/kaki; mencegah langkah menuju perbuatan jahat, atau kegiatan negatif, tetapi harus gemar berjalan sembari “semadi” yakni berjalan sebari eling lan waspodo.
Tapa/maladihening/mesu budi/puasa seperti di atas dapat diumpamakan dalam gaya bahasa personifikasi, yang memiliki nilai falsafah yang sangat tinggi dan mendalam sbb;

Katimbang turu, becik tangi. Katimbang tangi, becik melek. Katimbang melek, becik lungguh. Katimbang lungguh, becik ngadeg. Katimbang ngadeg, becik lumakuo”.

(Daripada tidur lebih baik bangun. Daripada bangun lebih baik melek. Daripada melek lebih baik duduk. Daripada duduk lebih baik berdiri. Daripada berdiri lebih baik melangkah lah)

Untuk meraih kesempurnaan dalam melaksanakan tata laku di atas, hendaknya setiap langkah kita selalueling dan waspada. Agar supaya setelah menjadi manusia pinunjul tidak menjadi sombong dan takabut, sebaliknya justru harus disembunyikan semua kelebihan tersebut, dan tidak kentara oleh orang lain, sehingga setiap jengkal kelemahan tidak memancing hinaan orang lain. Untuk itu manusia pinunjulharus;
  1. Solahbawa, harga diri, perbuatan, harus selalu di jaga
  2. Keluarnya ucapan harus dibuat yang mendinginkan, menyejukkan, dan menentramkan lawan bicara
  3. Raut wajah yang manis, penuh kelembutan dan kasih sayang.
Inilah sejatinya tata krama dalam ajaran Kejawen. Kesempurnaan dalam melaksanakan langkah-langkah di atas, seyogyanya menimbang situasi dan kondisi, menimbang waktu dan tempat secara tepat, tidak asal-asalan. Karena sekalipun “isi”nya berkualitas, tetapi bungkusnya jelek, maka “isi”nya menjadi tidak berharga. Dengan kata lain, jangan mengabaikan (dugoprayoga) duga kira, bagaimana seharusnya yang baik. Sebab sesempurnanya manusia tetap memiliki kekurangan atau kelemahan, sehingga manakala kelemahan dan kekurangan tersebut diketahui orang lain tidak akan menjadi “batu sandungan”. Seperti dalam ungkapan sebagai berikut;
  1. Kusutnya pakaian; tertutup oleh derajat (harga diri) yang luhur.
  2. Terpelesetnya lidah, tertutup oleh manisnya tutur kata.
  3. Kecewanya warna, tertutup oleh budi pekerti.
  4. Cacadnya raga, tertutup oleh air muka yang ramah.
  5. Keterbatasan, tertutup oleh sabar dan bijaksana.
Oleh karena itu, meraih kesempurnaan dalam konteks ini diartikan kesempurnaan dalam melaksanakantapa brata. Kegagalan melaksanakan tapa brata, dapat membawa manusia kepada zaman “paniksaning gesang” tidak lain adalah nerakanya dunia, seperti di bawah ini;
  1. Zamannya kemelaratan, dimulai dari perilaku boros
  2. Zamannya menderita aib, dimulai dari watak lupa terlena, tanpa awas.
  3. Zamannya kebodohan, dimulai dari sikap malas dan enggan.
  4. Zamannya angkara, dimulai dengan sikap mau menang sendiri
  5. Zamannya sengsara, dimulai dari perilaku yang kacau.
  6. Zamannya penyakit, diawali dari kenyang makan.
  7. Zamannya kecelakaan, diawali dari perbuatan mencelakai orang lain.
Sebaliknya, “ganjaraning gesang” atau “surganya dunia”, lebih dari sekedar kemuliaan hidup itu sendiri, yakni; 
  1. Zamannya keberuntungan, awalnya dari sikap hati-hati, tidak ceroboh.
  2. Zamannya kabrajan, awalnya dari budi luhur dan belas kasih.
  3. Zamannya keluhuran, awalnya dari giat andap asor, sopan santun.
  4. Zamannya kebijaksanaan, awalnya dari telaten bibinau.
  5. Zamannya kesaktian (kasekten), awalnya dari puruita dan tapabrata.
  6. Zamannya karaharjan (ketentraman-keselamatan), awalnya dari eling dan waspada.
  7. Zamannya kayuswan (umur panjang), awalnya sabar, qonaah, narimo, legowo, tapa.
SHALAT/SEMBAHYANG DHAIM

Sebagai tulisan penutup, Sabdalangit berusaha memaparkan garis besar TAPA BRATA, agar supaya mudah diingat dan gampang dicerna bagi para pembaca yang masih awam tentang ajaran Kejawen.

Selain dipaparkan di atas, sejalan dengan bertambahnya usia, seyogyanya hidup itu sembari mencari ciptasasmita, “tuah” atau petunjuk yang tumbuh jiwa yang matang dan dari dalam lubuk budi yang suci. Pada dasarnya, tumbuhnya budipekerti (bebuden) yang luhur, berasal dari tumbuhnya rasa eling, tumbuhnya kebiasaan tapa, tumbuhnya sikap hati-hati, tumbuhnya “tidak punya rasa punya”, tumbuhnya kesentausaan, tumbuhnya kesadaran diri pribadi, tumbuhnya “lapang dada”, tumbuhnya ketenangan batin, tumbuhnya sikap manembah (tawadhu’). Pertumbuhan itu berkorelasi positif atau sejalan dengan usia seseorang.

Akan tetapi, jika semakin lanjut usia seseorang akan tetapi perkembangannya berbanding terbalik, mempunyai korelasi negatif, yakni justru memiliki tabiat dan karakter seperti anak kecil, ia merupakan produk topobroto yang gagal. Untuk mencegahnya tidak lain harus selalu mencegah hawa nafsu, serta mengupayakan dengan sungguh-sungguh untuk meraih kesempurnaan ilmu. Begitu pentingnya hingga adalah “wewarah” yang juga merupakan nasehat yang hiperbolis, sbb;

ageng-agenging dosa punika tiyang ulah ilmu makripat ingkang magel. Awit saking dereng kabuko ing pambudi, dados boten superep ing suraosipun”

Bagi yang sudah lulus, dapat menerima semua ilmu, tentu akan menemui kemuliaan “sangkan paran ing dumadi”. Siapa yang sunguh-sungguh mengetahui Tuhannya, sesungguhnya dapat mengetahui di dalam badanya sendiri. Siapa yang sungguh-sunggun mengetahui badannya sendiri, sesungguhnya mengetahui Tuhannya. Artinya siapa yang mengetahui Tuhannya, ia lah yang mengetahui semua ilmukajaten (makrifat). Siapa yang sunguh-sungguh mengetahui sejatinya badannya sendiri, ia lah yang dapat mengetahui akan hidup jiwa raganya sendiri. Kita harus selalu ingat bahwa hidup ini tidak akan menemui sejatinya “ajal”, sebab kematian hanyalah terkelupasnya isi dari kulit. “Isi” badan melepas “kulit” yang telah rusak, kemudian “isi” bertugas melanjutkan perjalanan ke alam keabadian. Hanya raga yang suci yang tidak akan rusak dan mampu menyertai perjalanan “isi”. Sebab raga yang suci, berada dalam gelombang Dzat Illahi yang Maha Abadi.

Maka dari itu, jangan terputus dalam lautan “manembah” kepada Gusti Pangeran Ingkang Sinembah. Agar supaya menggapai “peleburan” tertinggi, lebur dening pangastuti; yakni raga dan jiwa melebur ke dalam Cahaya yang Suci; di sanalah manusia dan Dzat menyatu dalam irama yang sama; yakni manunggaling kawulo gusti. Dengan sarana selalu mengosongkan panca indra, serta menyeiramakan diri pada Sariraning Bathara, Dzat Yang Maha Agung, yang disebut sebagai “PANGABEKTI INGKANG LANGGENG” (shalat dhaim) sujud, manembah (shalat) tanpa kenal waktu, sambung-menyambung dalam irama nafas, selalu eling dan menyebut Dzat Yang serba Maha. Adalah ungkapan;

“salat ngiras nyambut damel, lenggah sinambi lumampah, lumajeng salebeting kendel, ambisu kaliyan wicanten, kesahan kaliyan tilem, tilem kaliyan melek.

(sembahyang sambil bekerja, duduk sambil berjalan, berjalan di dalam diam, membisu dengan bicara, bepergian dengan tidur, tidur sembari melek).

Jika ajaran ini dilaksanakan secara sungguh-sungguh, berkat Tuhan Yang Maha Wisesa, setiap orang dapat meraih kesempurnaan Waluyo Jati, Paworing Kawulo Gusti, TIDAK TERGANTUNG APA AGAMANYA.


WIRID SALOKA JATI

Wirit Saloka Jati digelar sebagai upaya para leluhur bangsa kita untuk menjabarkan keadaan jati diri kita. Sebagaimana kebiasaan leluhur nenek moyang kita, dengan tujuan agar supaya “kawruh lan ngelmu” lebih mudah dipahami para generasi penerus bangsa maka digunakanlah sanepa,saloka, kiasan, perumpamaan, dan perlambang. Dalam acara ritual atau upacara tradisi; perlambang, saloka, dan sanepa ini diwujudkan ke dalam ubo rampe atau syarat-syarat yang terdapat dalam sesaji.

Serat ini menggelar arti dari kalimat kiasan (saloka), yakni perumpamaan mengenai suatu makna yang dimanifestasikan dalam bentuk peribahasa. Mulai dari eksistensi yang dicipta-Yang mencipta, eksistensi jiwa, sukma, hingga eksistensi akal budi. Yang akan meneguhkan keyakinan kepada Gusti Pengeran (Tuhan Yang Mahamulia). Peribahasa dalam terminologi Jawa sebagai “pasemon” atau kiasan. Kiasan diciptakan sebagai pisau analisa, di samping memberi kemudahan pemahaman akan suatu makna yang sangat dalam, rumit dicerna dan sulit dibayangkan dengan imajinasi akal-budi. Berikut ini saloka yang paling sering digunakan dalam berbagai wacana falsafah Kejawen.
  1. Gigiring Punglu; Gigiring mimis; Merupakan perumpamaan akan ke-elokan Zat Tuhan. Yakni perumpamaan hidup kita, tanpa titik kiblat dan tanpa tempat, hanya berada di dalam hidup kita pribadi.
  2. Tambining Pucang; Menunjukkan ke-elokan Zat Tuhan, ke-ada-an Tuhan itu dibahasakan bukan laki-laki bukan perempuan atau kedua-duanya. Dan bukan apa-apa, seperti apa sifat sebenarnya, terproyeksikan dalam sifat sejatinya hidup kita pribadi.
  3. Wekasaning Langit; batas langit ; umpama batas jangkauan pancaran cahaya. Yakni pancaran cahaya kita. Sedangkan tiadanya batas jangkauan cahaya, menggambarkan keadaan sifat kita.
  4. Wekasaning Samodra tanpa tepi; berakhirnya samodra tiada bertepi; maksudnya ibarat batas akhir daya jangkauan rahsa atau rasa (sirr). Mengalir sampai ke dalam sejatinya warna kita.
  5. Galihing Kangkung; galih adalah bagian kayu yang keras atau intisari di dalam pohon) galihnya pohon kangkung (kosong); maksudnya, perumpamaan ke-ada-an sukma, yang merasuk ke dalam jasad kita. Ada namun tiada.
  6. Latu sakonang angasataken samodra; bara api setungku membuat surut air samodra. Menggambarkan keluarnya nafsu yang bersinggasana di dalam pancaindra, dapat membuat sirna segala kebaikan.
  7. Peksi miber angungkuli langit; burung terbang melampaui langit. Menggambarkan kekuatan akal budi kita yang bersemayam di dalam penguasaan nafsu, namun sesungguhnya akal budi mampu mengalahkan nafsu.
  8. Baita amot samodra; perahu memuat samodra; baita atau perahu kiasan untuk badan kita, sedangkan samodra merupakan kiasan untuk hati kita. Secara fisik hati berada di dalam jasad. Tetapi secara substansi jasad lah yang lebih kecil dari hati.
  9. Angin katarik ing baita ; angin ditarik oleh perahu. Menggambarkan pemberhentian nafas kita dalam jasad, sedangkan keluarnya nafas dari dalam jasad kita pula. Dalam jagad besar, prinsip fisika merumuskan angin lah yang menarik atau mendorong perahu. Sebaliknya dalam jagad kecil, rumus biologis maka badan lan yang menarik angin. Ini menggambarkan prinsip imbal balik jagad besar dan jagad kecil.
  10. Susuhing angin ; sarangnya angin. Menggambarkan terminal sirkulasi nafas kita berada dalam jantung.
  11. Bumi kapethak ing salebeting siti; bumi ditanam di dalam tanah. Menggambarkan asal muasal jasad kita berasal dari tanah, kelak pasti akan kembali (terkubur) menjadi tanah.
  12. Mendhet latu adadamar (mengambil bara sambil membawa api); ataulatu wonten salebeting latu (bara di dalam bara); atau latu binesmi ing latu (bara terbakar oleh bara); menggambarkan badan kita berasal dari bara api, selalu mengeluarkan api, keadaan untuk menggambarkan sumber dan keluarnya hawa nafsu kita.
  13. Barat katiup angin; atau angin anginte prahara; angin tertiup angin. menggambarkan wahana yang menghidupkan badan kita berasal dari udara, selalu mengeluarkan udara, yakni nafas kita.
  14. Tirta kinum ing toya (air tertelan oleh air), atau ngangsu rembatan toya (menimba dengan air); atau toya salebeting toya (air di dalam air); menggambarkan badan kita berasal dari air, selalu dialiri dan mengalirkan air, maksudnya darah kita.
  15. Srengenge pinepe, atau kaca angemu srengenge; matahari terjemur, kaca mengandung matahari; artinya bahwa adanya cahaya karena sinar dari sang surya. Surya itu sendiri berada di dalam cahaya. Hal ini menggambarkan keadaan indera mata atau netra kita ; mata itu seperti matahari, namun mata dapat melihat karena selalu disinari oleh sang surya.
  16. Wiji wonten salabeting wit (biji berada dalam pohon); dan wit wonten salebeting wiji (pohon berada di dalam biji) ; dinamakan pula “peleburan papan tulis”. Menggambarkan keadaan bahwa ZAT Tuhan berada dalam wahana makhluk, dan makhluk berada dalam wahana Tuhan (Jumbuhing kawula-Gusti).
  17. Kakang barep adhine wuragil ; kakaknya sulung, adiknya bungsu. Menggambarkan martabat insan kamil, keadaan sejatinya diri kita. Hakekat kehidupan kita sebagai “akhiran” dan sekaligus sebagai “awalan”. Pada saat manusia lahir dari rahim ibu merupakan awalkehidupannya di dunia, sekaligus akhir dari sebuah proses triwikramaatau tiga kali menitisnya “Dewa Wisnu” menjadi manusia melewati 4 zaman; kertayuga, tirtayuga, dwaparayuga, kaliyuga/mercapadha/bumi. Sedangkan ajal, merupakan akhir dari kehidupan (dunia), namun ajal merupakan awal dari kehidupan baru yang sejati, azali abadi.
  18. Busana kencana retna boten boseni, atau busana wrasta tanpa seret. Gambaran jasad yang dibungkus kulit sebagai “busana”. Kita tidak pernah bosan biarpun tidak pernah ganti “busana” atau kulit kita. Kulit merupakan “busana” pelindung dari tubuh kita.
  19. Tugu manik ing samodra ; menggambarkan daya cipta yang terus menerus berporos hingga pelupuk mata. Daya cipta akal budi manusia jangkauannya umpama luasnya samodra namun konsentrasinya terfokus pada mata batin.
  20. Sawanganing samodra retna; pemandangan intan samodra. Menggambarkan pintu pembuka kepada keadaan Tuhan. Tabir pembuka hakekat Zat. Yakni “babahan hawa sanga” atau sembilan titik yang terdapat di dalam diri manusia sebagai penghubung kepada Zat Maha Kuasa. Disebut juga kori selamatangkeb; melar-mingkupnya marasatau membuka-menutupnya mulut).
  21. Samodra winotan kilat ; samodra berjembatan kilat. Dalam Islam disebut jembatan “siratal mustaqim”. Menggambarkan pesatnya yatmasampai pada ngabyantaraning Hyang Widhi. Adapula yang mengartikan “jembatan kilat”, sebagai perlambang keluarnya ucapan mulut manusia.
  22. Bale tawang gantungan ; rumah atau tempatnya langit bergantung. Dalam terminologi Islam disebut arsy atau aras kursi atau kursi kekuasaan Tuhan. Namun bukan dibayangkan sebagai singgasana yang diduduki Tuhan bertempat di atas langit (ke 7), imajinasi demikian justru memberhalakan Tuhan sebagaimana makhlukNya saja. Dalam konteks ini, aras atau tawang gantungan adalah perumpamaan kekuasaan, yang menjadi “wajah” Tuhan. Hakekatnya sebagai “balai sidang” Zat, keberadaannya di dalam kepala dan dada. Sedangkankursi, atau dilambangkan bale, merupakan perumpamaan singgasana (palenggahan) Zat. Letaknya ada di otak dan jantung. Singkatnya, kepala dan dada sebagai tawang gantungan, sedangkan otak dan jantung sebagai bale-nya.
  23. Wiji tuwuh ing sela; biji tumbuh di atas batu. Dalam termonologi Islam diistilahkan laufhulmahfudz loh-kalam. Loh/laufhul itu artinya papan atau tempat, sedangkan al makhfudz berarti dijaga/kareksa. Maknanya adalah tempat yang selalu dijaga Tuhann. Yakni hakekat dari “sifat” Zat yang terletak di dalam jasad yang selalu dijaga “malaikat” Kariban. Malaikat merupakan perlambang dari nur suci(nurullah) atau cahyo sejati. Cahyo sejati menjadi pelita bagi rasa sejati atau sirr. Sedangkan loh-kalam artinya bayangan atau angan-angan Zat letaknya di dalam budi, tumbuhnya angan-angan, dijaga oleh malaikat Katiban. Malaikat katiban adalah pralambang dari sukma sejati yang selalu menjaga budi agar tidak mengikuti nafsu.
  24. Tengahing arah; titik tengahnya arah. Ibarat mijan atau traju. Yakni ujung dari sebuah senjata tajam. Menggambarkan hakekat dari neraca (alat penimbang) Zat. Traju terletak pada instrumen pancaindra yakni; netra (penglihatan), telinga (pendengaran), hidung (pembauan), lidah dan kulit (perasa). Dalam pewayangan dilambangkan sebagai Pendawa Lima; Yudhistira, Bima/Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Makna untuk menggambarkan panimbang (alat penimbang) hidup kita yang berada pada pancaindra.
  25. Katingal pisah ; terkesan pisah. Menggambarkan keadaan antara Zat (Pencipta) dengan sifatnya (makhluk) seolah-olah terpisah. Sejatinya antara Zat dengan sifat tak dapat dipisahkan. Sebab biji dapat tumbuh tanpa cangkok. Sebaliknya cangkok tidak tumbuh bila tanpa biji. Biji menggambarkan eksistensi Tuhan, sedangkan cangkok menggambarkan eksistensi manusia. Kiasan ini menggambarkan hubungan antara kawula dengan Gusti. Walaupun seolah eksis sendiri-sendiri, namun sesungguhnya manunggal tak terpisahkan dalam pengertian “dwi tunggal” (loroning atunggil).
  26. Katingal boten pisah; tampak tidak terpisah. Menggambarkan solahdan bawa. Solah adalah gerak-gerik badan. Bawa atau krenteg adalah gerak-gerik batin. Solah dan bawa tampak seolah tidak terpisah, namun keduanya tergantung rasa. Solah merupakan rahsaning karep(nafsu/jasad), sedangkan bawa merupakan kareping rahsa (pancaran Zat sebagai rasa sejati). Keduanya dapat berjalan sendiri-sendiri. Namun demikian idealnya adalah Solah harus mengikuti Bawa.
  27. Katingal tunggal ; tampak satu. Menggambarkan zat pramana (mata batin), dengan sifatnya yakni netra (mata wadag) tidaklah berbeda. Artinya, penglihatan mata wadag dipengaruhi oleh mata batin.
  28. Medhal katingal ; Menggambarkan keluarnya sifat hakekat (Tuhan) ke dalam zat sifat (makhluk), yakni ditandai dengan ucapan lisan menimbulkan suara.
  29. Katingal amedhalaken ; menggambarkan keluarnya nafas. Sedangkan kenyataannya menghirup atau memasukkan udara, yang seolah-olah mengeluarkan.
  30. Menawi pejah mboten kenging risak ; bila mati tidak boleh rusak. Ibarat sukma dengan raga. Bila raga rusak, sukmanya tetap abadi. Dalam terminologi Islam disebut alif muttakallimun wakhid. Sifat yang berbicara sepatah tanpa lisan. Berupa kesejatian yang berada dalam sukma, yakni roh kita sendiri.
  31. Menawi karisak mboten saget pejah ; bila dirusak tidak bisa mati. Perumpamaan untuk hubungan nafsu dan rasa. Walaupun nafsu dapat kita dikendalikan, namun rasa secara alamiah tidak dapat disirnakan. Karena rasa dalam cipta masih terasa, terletak dalam rahsa/sirr kita pribadi. Berhasil menahan nafsu dapat diukur dari perbuatannya; raganya tidak melakukan pemenuhan nafsu, tetapi rasa ingin memenuhi kenikmatan jasad tetap masih ada di dalam hati. Saloka ini untuk memberi warning agar kita waspadha dalam “berjihad” melawan nafsu diri pribadi. Karena kesucian sejati baru dapat diraih apabila keingingan jasad (rahsaning karep) sudah sirna berganti keinginanrahsa sejati (kareping rahsa).
  32. Sukalila tega ing pejah ; sukarela dan tega untuk mati. Menggambarkan orang mau mati, dengan menjalani tiga perkara;pertama, sikap senang seperti merasa akan mendapat kegembiraan di alam kasampurnan. Kedua, rela untuk meninggalkan semua harta bendanya dan barang berharga. Ketiga, setelah tega meninggalkan semua yang dicinta, disayang dan segala yang memuaskan nafsu dan keinginan, semuanya ditinggal. Mati di sini berarti secara lugas maupun arti kiasan. Orang yang berhasil meredam hawa nafsu dan meraih kesucian sejati hakekatnya orang hidup dalam kematian. Sebaliknya orang yang selalu diperbudak nafsu hakekatnya orang yang sudah mati dalam hidupnya. Yakni kematian nur atau cahaya sejati.
Semua yang disebut; besar, luas, tinggi, panjang, lebih, ialah bahasa yang digunakan untuk mengumpamakan keadaan Tuhan. Sebaliknya, semua yang disebut kecil, sempit, rendah, pendek, kurang, dan seterusnya ialah bahasa yang dugunakan untuk menggambarkan “sifat” yakni wujudnya kawula (manusia).

Gambaran menyeluruh namun ringkas mengenai keadaan Zat-sifat (kawula-Gusti) sebagaimana “cangkriman” berikut ini;

bothok banteng winungkus ing godhong asem kabiting alu bengkong”

Bothok : sejenis pepesan untuk lauk, terdiri dari parutan kelapa, bumbu-bumbu, lalu dibungkus daun pisang dan dikukus. Bothok berbeda denganpepes atau pelas, cirikhasnya ada rasa pedas. Campurannya menentukan nama bothok, misalnya campur ikan teri, menjadi bothok teri. Lamtoro, menjadi bothok lamtoro. Udang, menjadi bothok udang. Adonan bothok lalu dibungkus dengan daun pisang. Dan digunakan potongan lidi sebagai pengunci lipatan daun pembungkus.

Nah, dalam pribahasa ini bahan untuk membuat bothok adalah hewan banteng. Sehingga namanya menjadi bothok banteng. Dibungkus dengan daun asem jawa, yang sangat kecil/sempit. Sedangkan tusuk penguncinya menggunakan alu semacam lingga terbuat dari kayu sebagai alat tumbuk padi. Alu itu panjang dan lurus, namun alu di sini bengkok. Jadi mana mungkin digunakan sebagai bothok.

Cangkriman di atas adalah pribahasa yang menggambarkan keadaan yang tampak mustahil jika dipahami hanya menggunakan akal budi saja. Bothok banteng maknanya adalah menggambarkan adanya Zat, yang tidak lain adalah kehidupan kita pribadi. Godhong asem ; menggambarkan keadaan “sifat” yakni sebagai bingkai kehidupan kita, kenyataan dari beragamnya manusia. Alu bengkong, menggambarkan afngal semua, yakni pekerti hidup kita. Singkatnya, berdirinya hidup kita ini asisinglon warna kita, tampak dari solah dan bawa. Selain makna di atas, bothok banteng diartikan pula sebagai air mani. Godhong asem, adalah kiasan untuk per-empu-an. Alu bengkong adalah kiasan untuk purusa, yakni kemaluan laki-laki.


WIRID PURBA JATI

Seluruh manusia, dalam benaknya memiliki rasa keingintahuan tentang wujud Tuhan. Maka lazim lah manusia membayangkan bagaimana gambaran keadaan Tuhan itu sebenarnya. Dalam beberapa agama samawi, menggambarkan keadaan Tuhan adalah “ranah terlarang” atau ruang lingkup yang musti dihindari, tidak menjadi pembahasan dengan obyek Dzat secara datail dan gamblang. Dengan alasan bahwa Tuhan sebagai Dzat yang amat sangat sakral. Maka menggambarkan keadaan Dzat Tuhan pun manusia dianggap tidak akan mampu dan akan menemui kesalahan persepsi, yang dianggap beresiko dapat membelokkan pemahaman. Hal itu wajar karena menggambarkan Tuhan secara vulgar dapat mengakibatkan konsekuensi buruk. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi “pembendaan” Tuhan sebagai upaya manusia mengkonstruksi imajinasinya secara konkrit. Maka atas alasan tersebut terdapat asumsi bahwa upaya manusia menggambarkan keadaan Tuhan denga cara apapun pasti salah. Namun demikian, lain halnya dengan agama-agama “bumi” dan ajaran atau kearifan-kearifan lokal yang berusaha menggambarkan keadaan Tuhan dengan cara arif dan hati-hati. Manusia berusaha menjelaskan secara logic dalam asas hierarchis, sesuai dengan kemampuan nalar, akal budi, dan hati nurani yang dimiliki manusia. Ditempuh melalui “laku” spiritual dan olah batin yang mendalam dan berat serta mengerahkan kemampuan akal budi (mesu budi).

PIJAKAN SASMITA

Dzat adalah mutlak, Jumenengnya Dzat Maha Wisesa kang Langgeng Ora Owah Gingsir, dalam bahasa Timteng lazimnya disebut Qadim, yang azali abadi. Kalimat ini mempunyai maksud berdirinya “sesuatu tanpa nama” yang ada, mandiri dan paling berkuasa, mengatasi jagad raya sejak masih awang-uwung. Di sebut maha kuasa artinya, Dzat yang tanpa wujud, berada merasuk ke dalam energi hidup kita. Tetapi banyak yang tidak mengerti dan memahami, karena keber-ada-annya lebih-lebih samar, tanpa arah tanpa papan (gigiring punglu), tanpa teman, tanpa rupa, sepi dari bau, warna, rupa, bersifat elok, bukan laki-laki bukan perempuan, bukan banci. Dzat dilambangkan sebagai “kombang anganjap ing tawang” kumbang hinggap di awang-awang, hakekatnya tersebutlah “latekyun”, oleh karena keadaan yang belum nyata. Artinya, hidup adalah sifat dari Hyang Mahasuci, menyusup, meliputi secara komplet atas jagad raya dan isinya. Tidak ada tempat yang tanpa pancaran Dzat. Seluruh jagad raya penuh oleh Dzat, tiada celah yang terlewatkan oleh Dzat, baik “di luar” maupun “di dalam”. Dzat menyusup, meliputi dan mengelilingi jagad raya seisinya. Demikianlah perumpamaan keber-ada-an Pangeran (Tuhan) Yang Mahasuci, ialah yang terpancar di dalam hidup kita pribadi.

Dzat merupakan sumber dari segala sumber adanya jagad raya seisinya. Retasan dari Dzat Yang Mahasuci dalam mewujud makhluk ciptaanNya, dapat digambarkan dalam alur yang bersifat hirarkhis sebagai berikut; 

Dzat; Hyang Mahasuci, Maha Kuasa, Dzatullah; sumber dari segala sumber adanya jagad raya dan seluruh isinya.

“NalikĆ„ awang-awang – uwĆŗng-uwung, dĆØrĆØng wĆ³ntĆŖn punĆ„pĆ„ punĆ„pĆ„, Hyang MĆ„hĆ„ KawĆ„sĆ„ manggĆØn wĆ³ntĆŖn satĆŖngahĆ­ng kawĆ³ntĆŖnan, nyĆ­ptĆ„ dumadĆ³sĆ­ng pasthi. WĆ³ntĆŖn swantĆŖn ambĆŖngĆŗng ngĆŖbĆŖgi jagad kadĆ³s swantĆŖnĆ­ng gĆŖnthĆ„ kĆŖkĆŖlĆŖng. Ingriku wĆ³ntĆŖn cahyĆ„ pacihang gumĆŖbyar mungsĆŖr bundĆŖr kadĆ³s antigĆ„ (tigan) gumandhĆŗl tanpĆ„ canthĆØlan. Ɖnggal dipĆŗn astĆ„ dĆ©nĆ­ng Hyang MĆ„hĆ„ KawĆ„sĆ„, dipĆŗn pujĆ„ : lalu meretaslah Kayyun.

Kayu/kayyun; yang hidup/atma/wasesa, menjadi perwujudan dari Dzat yang sejati, memancarkan energi hidup. Kayun yang mewujud karena “disinari” oleh Dzat sejati. Dilambangkan sebagai kusuma anjrah ing tawang, yakni bunga yang tumbuh di awang-awang, dalam martabatnya disebut takyun awal, kenyataan awal muasal. Segala yang hidup disusupi dan diliputi energi kayu/yang hidup.

Cahaya dan teja, nur, nurullah; pancaran lebih konkrit dari kayun. Teja menjadi perwujudan segala yang hidup, karena “disinari” kekuasaan atma sejati. Dilambangkan sebagai tunjung tanpo telogo, bunga teratai yang hidup tanpa air. Berbeda dengan api, cahaya tidak memerlukan bahan bakar. Cahaya mewujud sebagai hakikat pancaran dari yang hidup. Di dalam cahaya tidak ada unsur api (nafsu) maka hakikat cahaya adalah jenjem-jinem, ketenangan sejati, suci, tidak punya rasa punya. Hakikatnya hanyalah sujud/manembah yang digerakkan oleh energi hidup/kayun, yakni untuk manembah kepada Dzat yang Mahasuci. Dalam martabatnya disebut takyunsani, kenyataan mewujud yang pertama. Ruh yang mencapai kamulyan sejati, di dalam alam ruh kembali pada hakikat cahaya. Sebagai sifat hakekat “malaikat”.
Rahsa, rasa, sir, sirullah; sebagai perwujudan lebih nyata dari cahaya. Sumber rahsa berasal dari terangnya cahaya sejati. Dilambangkan isine wuluh wungwang, artinya tidak kentara; tidak dapat dilihat tetapi dapat dirasakan. Maka dalam martabat disebut akyansabitah. Ketetapan menitis, menetes, dalam eksistensi sebagai sir. Yakni menetes/jatuhnya cahaya menjadi rasa.
Roh, nyawa, sukma, ruh, ruhullah. Sebagai perwujudan dari hakekat rasa. Sebab dari terpancarnya rasa sejati, diumpamakan sebagai tapaking kuntul nglayang. Artinya, eksistensi maya yang tidak terdapat bekas, maka di dalam martabat disebut sebagai akyankarijiyah. Rasa yang sesungguhnya, keluar dalam bentuk kenyataan maya. Karena ruh diliputi rahsa, wujud ruh adalah eksistensi yang mempunyai rasa dan kehendak, yakni kareping rahsa; kehendak rasa. Tugas ruh sejati adalah mengikuti kareping rahsa atau kehendak rasa, bukan sebaliknya mengikuti rasanya kehendak (nafsu). Ruh sejati/roh suci/ruhul kuddus harus menundukkan nafsu. 

Nepsu, angkara, sebagai wujud derivasi dari roh, yang terpancar dari sinar sukma sejati. Hakikat nafsu dilambangkan sebagai latu murup ing telenging samudra. Nafsu merupakan setitik kekuatan “nyalanya api” di dalam air samudra yang sangat luas. Artinya, nafsu dapat menjadi sumber keburukan/angkara (nila setitik) yang dapat “menyala” di dalam dinginnya air samudra/sukma sejati nan suci (rusak susu sebelanga). Disebut pula sebagai akyanmukawiyah, (nafsu) sebagai kenyataan yang “hidup” dalam eksistensinya. Paradoks dari tugas roh, apabila nafsu lah yang menundukkan roh, maka manusia hanya menjadi “tumpukan sampah” atau hawa nafsu angkara. Mengikuti rasanya keinginan (rahsaning karep).
Akal-budi, disebut juga indera. Keberadaan nafsu menjadi wahana adanya akal-budi. Dilambangkan sebagai kudha ngerap ing pandengan, kudha nyander kang kakarungan. Akal-budi letaknya di dalam nafsu, diibaratkan sebagai “orang lumpuh mengelilingi bumi”. Adalah tugas yang amat berat bagi akal-budi; yakni menuntun hawa nafsu angkara kepada yang positif/putih (mutmainah). Sehingga diumpamakan wong lumpuh angideri jagad; orang lumpuh yang mengelilingi bumi. Disebut juga akyanmaknawiyah. Kemenangan akal-budi menuntun hawa nafsu ke arah yang positif dan tidak merusak, maka akan melahirkan nafsu baru, yakni nafsul mutmainah. 

Jasad/badan/raga. Merupakan perwujudan paling konkrit dari ruh (mahujud), dan retasan berasal dari derivasi terdekatnya yakni panca indera sejati. Jasad menjadi wahana adanya sifat. Jasad menjadi bingkai sifat, diumpamakan sebagai kodhok kinemulan ing leng. Kodhok personifikasi dari sifat manusia yang rendah, karena cenderung mengikuti hawa nafsu (rasaning karep), diselimuti oleh liang/rumah kodhok; liang adalah personifikasi dari jasad. Sifat-sifat manusia yang masih tunduk oleh jasad, merupakan gambaran Dzat sifat yang masih terhalang dan dikendalikan oleh sifat ke-makhluk-an. Sifat-sifat Dzat Tuhan dalam diri manusia masih diliputi oleh sifat kedirian manusia. Sebaliknya, pencapaian kemuliaan hidup manusia dilambangkan sebagai kodhok angemuli ing leng, kodok menyelimuti liangnya, apabila jasad keberadaannya sudah “di dalam”. Artinya hakekat manusia sudah diliputi oleh sifat Dzat Tuhan.

SISTEMATIKA MENUJU DZAT


Ketetapan jasad ditarik oleh akal
Ketetapan akal ditarik oleh nafsu
Ketetapan nafsu ditarik oleh roh
Ketetapan roh ditarik oleh sir
Ketetapan sir ditarik oleh nur
Ketetapan nur ditarik oleh kayun
Ketetapan kayu/kayun ditarik oleh Dzat

TANGGA UNTUK “BERTEMU” TUHAN (PARANING DUMADI)

Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa manusia memiliki dua kutub yang saling bertentangan. Di satu sisi, kutub badan kasar atau jasad yang menyelimuti akal budi sekaligus nafsu angkara. Jasad (fisik) juga merupakan tempat bersarangnya badan halus/astral/ruh (metafisik), di lain sisi. Manusia diumpamakan berdiri di persimpangan jalan. Tugas manusia adalah memilih jalan mana yang akan dilalui. Tuhan menciptakan SEMUA RUMUS (kodrat) sebagai rambu-rambu manusia dalam menata hidup sejati. Masing-masing rumus memiliki hukum sebab-akibat. Golongan manusia yang berada dalam kodrat Tuhan adalah mereka yang menjalankan hidup sesuai rumus-rumus Tuhan. Setiap menjalankan rumus Tuhan akan mendapatkan “akibat” berupa kemuliaan hidup, sebaliknya pengingkaran terhadap rumus akan mendapatkan “akibat” buruk (dosa) sebagai konsekuensinya. Misalnya; siapa menanam; mengetam. Rajin pangkal pandai. (lihat dalam Wirayat Laksita Jati). 

Tugas manusia adalah menyelaraskan sifat-sifat kediriannya ke dalam “gelombang” Dzat sifat Tuhan. Dalam ajaran Kejawen lazim disebut manunggaling kawula gusti; dua menjadi satu, atau dwi tunggal. Kodrat manusia yang lahir ke bumi adalah mensucikan jasad, jasad yang diliputi oleh Dzat sifat Tuhan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut;

“jasad dituntun oleh keutamaan budi, budi terhirup oleh hawanya nafsu, nafsu (rahsaning karep) diredam oleh kekuasaan sukma sejati, sukma diserap mengikuti rasa sejati (kareping rahsa), rahsa luluh melebur disucikan oleh cahaya, cahaya terpelihara oleh atma (energi yang hidup), atma berpulang ke dalam Dzat, Dzat adalah qadim ajali abadi”.

Hidayat Serat Jati

Nasehat ke-1 Adanya Dzat.

(Sesungguhnya tidak ada apa pun ketika masih sunyi hampa belum ada sesuatu, yang paling awal adanya adalah AKU, sesungguhnya yang Maha Suci meliputi sifatKU, menyertai namaKU, menandakan perbuatanKU).
Nasehat di atas menunjukkan kepada kita bahwa pada mulanya alam semesta ini tidak ada, semuanya masih sunyi hampa (awang-uwung), yang paling dahulu ada adalah AKU (Allah). Jadi tidak ada sesuatu pun yang mendahului adanya AKU (Allah), dalam ajaran agama Islam biasa disebut bahwa Allah bersifat Qidam (Dahulu tidak ada yang mendahului), dan AKU (Allah) adalah sumber dari segala sesuatu.. 

Nasehat ke-2 Tempat Dzat.

Sesungguhnya AKU (Allah) adalah dzat yang maha kuasa yang kuasa menciptakan segala sesuatu, jadi seketika, sempurna berasal dari kuasaKU (Allah), di situ telah nyata tanda perbuatanKU yang sebagai pembuka kehendakKU, yang pertama AKU menciptakan Kayu bernama Sajaratulyakin tumbuh di dalam alam yang sejak jaman azali (dahulu) dan kekal adanya. Kemudian Cahya bernama Nur Muhammad, berikutnya Kaca bernama Mir’atulhayai, selanjutnya Nyawa bernama Roh Idhofi, lalu Lentera (damar) bernama ‘Kandil’, lalu Permata (sesotya) bernama Darah, lalu dinding pembatas bernama Hijab. Itu sebagai tempat kekuasaanKU (Allah).

Nasehat di atas menunjukkan pada kita bahwa AKU (Allah) merupakan dzat yang maha kuasa yang kuasa menciptakan segala sesuatu hanya dengan satu sabda saja yaitu KUN, maka seketika jadi (FA YAKUN), semua ciptaannya sempurna sebagai pertanda perbuatan (af’al)KU (Allah).
  1. Diciptakan adalah Pohon (kayu) bernama SajaratulYakin, mungkin yang dimaksudkan adalah sajaratulkaun (pohon kejadian) yang merupakan awal dan asal mula penciptaan.
  2. Diciptakan Cahaya yang diberi nama Nur Muhammad. Menurut beberapa ahli, nur muhammad ini merupakan bibit alam semesta. Nur Muhammad dimaksudkan adalah bukan sebagai cahaya dari muhammad, nabinya orang Islam, melainkan secara bahasa berarti cahaya yang terpuji, sehingga dikatakan semua ciptaan pasti berasal dari nur muhammad ini, mengandung nur muhammad. Hal itu pula yang mengisyaratkan adanya pemahaman bahwa dalam tingkatan tertentu kebenaran hanyalah satu, adanya ajaran-2 yang berbeda setelah mencapai tahap tertentu ternyata sama belaka, karena bersumber dari dari Cahaya yang terpuji, cahaya kebenaran, yaitu Nur Muhammad.
  3. DAllah menciptakan Kaca bernama Miratulhayai (Cermin Kehidupan atau Cermin Malu), dimana ada sebagian ahli yang mengatakan bahwa setelah diciptakannya Cermin ini, Nur Muhammad akhirnya dapat melihat wujudnya, yang mengakibatkan dirinya bergetar hebat dan berkeringat, dari tetesan keringat inilah makhluk hidup berasal.
  4. Diciptakan Nyawa yang diberi nama Roh Idhofi.
  5. Diciptakan Lentera yang diberi nama Kandil.
  6. Diciptakan Permata diberi nama Darah
  7. Diciptakan dinding pembatas antara kehidupan fisik dan non fisik, antara yang kasar dan halus, yang disebut hijab. Hijab ini sendiri dalam keilmuan banyak jenisnya, (insya allah suatu saat akan saya bahas juga).
Nasehat ke-3 Keadaan Dzat

Sesungguhnya manusia itu rahsaKU dan AKU itu rahsanya manusia, karena AKU menciptakan Adam berasal dari empat perkara, bumi, api, angin, air. Itu sebagai perwujudan sifatKU, di sana AKU tempatkan lima perkara, nur, rahsa, roh, nafsu, budi. Itulah sebagai perwujudan wajahKU yang maha suci.
Nasehat ke-3 menerangkan bahwa manusia diciptakan sebagai ‘rahsa’ (bukan rasa, sebab antara rasa dan rahsa dalam keilmuan jawa berbeda) dari Allah, dan Allah itu sebagai ‘rahsa’ dari manusia. Yang dimaksud adalah bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambaranNya atau menurut citraNya, seperti pernah saya kemukakan bahwa pada tubuh manusia tertulis huruf ALLAH, yaitu : (terlihat saat mengangkat kedua tangan, seperti dalam takbiratul ihram, membaca allahu akbar)

  1. alif sebagai garis dari ujung jari tangan kanan turun hingga ke ujung jari kaki kanan,
  2. lam pertama dari ujung jari tangan kanan turun melalui bahu kanan dan naik ke puncak kepala,
  3. lam kedua dari puncak kepala turun melalui bahu kiri dan naik hingga ujung jari tangan kiri,
  4. ha sebagai garis dari ujung jari tangan kiri turun hingga ujung jari kaki kiri.
  5. Dan manusia diciptakan berasal dari empat unsur yang merupakan gambaran sifatNya yaitu bumi, api, angin dan air.
  6. Bumi dalam tubuh kita terwujud pada hal-2 yang bersifat kedagingan, dan dibagi menjadi dua hal yaitu yang merupakan unsur dari bapak berupa tulang, otot, kulit dan otak, dan unsur dari ibu berupa daging, darah, sungsum dan jerohan.
  7. Api dalam tubuh menjadikan empat nafsu yaitu aluamah, amarah, supiyah dan mutmainah.
  8. Aluamah berwatak suka terhadap makanan, sifatnya membangkitkan kekuatan badan
  9. Amarah berwatak suka marah, emosi, sifatnya membangkitkan kekuatan kehendak (bhs jawa : karep)
  10. Supiyah berwatak keinginan, keterpesonaan, keinginan memiliki, bersifat membangkitkan kekuatan pikir berupa akal
  11. Mutmainah berwatak kesucian dan ketenangan, bersifat membangkitkan kekuatan untuk berpantang (bhs jawa : tarakbrata)
  12. Angin dalam tubuh kita terwujud dalam empat hal yaitu napas, tannapas, anapas dan nupus.
  13. Napas merupakan ikatan badan fisik, bertempat di hati suwedhi, yaitu jembatan hati, berpintu di lisan
  14. Tannapas merupakan ikatan hati, bertempat di pusar, berpintu di hidung
  15. Anapas merupakan ikatan roh, berpintu di telinga
  16. Nupus merupakan ikatan rahsa, bertempat di hati puat yang putih yaitu jembatan jantung, berpintu di mata.
  17. Air dalam tubuh menjadikan empat elemen roh yaitu roh hewani, roh nabati, roh rabbani dan roh nurrani.
  18. Roh hewani, menumbuhkan kekuatan badan
  19. Roh nabati menumbuhkan rambut, kuku, dan menghidupkan budi
  20. Roh rabbani menumbuhkan rahsa (dzat hamba)
  21. Roh nurrani menumbuhkan cahaya.
  22. Setelah empat unsur alam terbentuk dalam tubuh manusia, kemudian Allah menempatkan pula lima hal yaitu dzat hamba (jawa : mudah) sebagai gambaran wajahNya yaitu nur, rahsa, roh, nafsu dan budi.
  23. Nur, merupakan terangnya cahya, jika mewakili Dzat Yang Maha Suci dapat menerangi lahir batin
  24. Rahsa, rasa jika mewakili Dzat Yang Maha Suci dapat menumbuhkan daya ketenteraman di lahir batin
  25. Roh, penglihatan roh jika mewakili Dzat Yang Maha Suci menjadikan penguasaan sempurna
  26. Nafsu, kekuatan nafsu jika mewakili Dzat Yang Maha Suci menumbuhkan kekuatan kehendak yang sentosa
  27. Budi, penciptaan budi jika mewakili Dzat Yang Maha Suci menumbuhkan daya cipta yang sentosa.
Oleh karena itulah beberapa orang mengatakan bahwa manusia mempunyai sifat-2 Tuhan dan juga mempunyai kesucian wajah Tuhan.

Nasehat ke-4 Pembukaan tahta dalam baitulmakmur

Sesungguhnya AKU bertahta dalam baitulmakmur, itu rumah tempat pestaKU, berdiri di dalam kepala Adam. Yang pertama dalam kepala itu ‘dimak’ yaitu otak, yang ada di antara otak itu ‘manik’ di dalam ‘manik’ itu budi, di dalam budi itu nafsu, di dalam nafsu itu suksma, di dalam suksma itu rahsa, di dalam rahsa itu AKU, tidak ada Tuhan selain hanya AKU, dzat yang meliputi keberadaan yang sesungguhnya.
Nasehat ini menyatakan bahwa Allah bertahta atau bersinggasana di dalam baitul makmur, yang berada di dalam kepala manusia. Barangkali kalau memakai bahasa orang-2 reiki yang dimaksud dengan baitul makmur adalah cakra mahkota yang ada di puncak kepala. Di dalam kepala manusia terdapat otak. Di antara otak itu sendiri terdapat lapisan-2 sebagai berikut :
  • Yang pertama ‘manik’
  • Di dalam manik terdapat budi
  • Dalam budi terdapat nafsu
  • Dalam nafsu terdapat suksma
  • Dalam suksma terdapat rahsa
  • Dalam rahsa terdapat AKU (Allah)
  • Dan sesungguhnya tidak ada Tuhan selain hanya AKU (Allah), dzat yang meliputi segalanya.
Nasehat ke-5 Pembuka tahta dalam baitul mukarram

Sesungguhnya AKU bertahta dalam baitulmukarram, itu rumah tempat laranganKU, berdiri di dalam dada adam. Yang ada di dalam dada itu hati, yang ada di antara hati itu jantung, dalam jantung itu budi, dalam budi itu jinem, yaitu angan-2, dalam angan-2 itu suksma, dalam suksma itu rahsa, dalam rahsa itu AKU. Tidak ada Tuhan kecuali hanya AKU dzat yang meliputi keberadaan yang sesungguhnya.
Dalam nasehat ini Allah menyatakan bahwa diriNya bertahta di baitul muharram yang menjadi tempat larangan, berada di dalam dada manusia. Mungkin yang dimaksud adalah cakra jantung. Disebutkan bahwa di dalam dada manusia itu terdapat susunan sebagai berikut :
  • Pertama hati (kalbu)
  • Di antara hati terdapat jantung,
  • Di dalam jantung ada budi
  • Di dalam budi ada angan-2
  • Di dalam angan-2 ada suksma
  • Di dalam suksma ada rahsa
  • Di dalam rahsa ada AKU
Di atas dikatakan bahwa jantung terdapat di antara hati. Yang dimaksud dengan hati ini bukanlah lever atau hati secara fisik, melainkan hati secara maknawi, karena pada diri manusia ada terdapat lebih dari satu hati, yang menurut keilmuan ada yang namanya hati puat, hati suwedhi, dll.
Kembali di wejangan ke-5 ini ditegaskan bahwa tidak ada Tuhan selain AKU (Allah), dzat yang meliputi keberadaan sesungguhnya (kahanan jati). Mengapa itu perlu ditegaskan, karena untuk menghindari salah pengertian bagi mereka yang telah mendapatkan wejangan ini, jangan sampai karena merasa bahwa AKU (Allah) bertahta di kepala dan di dala manusia, lalu manusia tersebut mengaku dirinya sebagai Tuhan, atau menjadi bagian dari Tuhan. Jika itu yang terjadi, maka manusia tsb telah jauh tersesat.

Nasehat ke-6 Pembuka tahta dalam baitulmuqaddas

Sesungguhnya AKU bertahta di dalam baitul muqaddas, itu rumah tempat kesucianKU, berdiri di penis/alat kelamin (konthol) adam. Yang ada di dalam penis itu buah pelir (pringsilan), di antara pelir itu nutfah yaitu mani, di dalam mani itu madi, di dalam madi itu wadi, di dalam wadi itu manikem, di dalam manikem itu rahsa, di dalam rahsa itu AKU. Tidak ada Tuhan kecuali AKU dzat yang meliputi keberadaan sesungguhnya, berdiri di dalam nukat gaib, turun menjadi johar awal, di situ keberadaan alam ahadiyat, wahdat, wahidiyat, alam arwah, alam misal, alam ajsam, alam insan kamil, jadinya manusia sempurna yaitu sejatinya sifatKU.
Nasehat ini menyatakan bahwa ALLAH bertahta di baitul muqaddas atau baitul maqdis yang merupakan tempat suciNYA yang berada di alat kelamin manusia yang tersusun atas hal-2 sebagai berikut :
  • Pertama pelir, yang berisi nutfah atau mani
  • Madi yang merupakan sari dari mani
  • Wadi sebagai sari dari madi
  • Manikem sebagai sari dari wadi
  • Di dalam manikem ada rahsa
  • Di dalam rahsa ada AKU.
Di sini disebutkan pula bahwa manusia sempurna adalah sebagai perwujudan sifatNYA dan terbentuk melalui tujuh tahapan alam yang dilaluinya, biasa dikenal dengan istilah martabat pitu atau martabat tujuh yaitu
  • Pertama alam ahadiyah
  • Kedua wahdat
  • Ketiga wahidiyah
  • Keempat arwah
  • Kelima misal
  • Keenam ajsam
  • Ketujuh insan kamil (manusia sempurna).

Nasehat ke-7 Penetapan iman sentosa

AKU menyaksikan bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali hanya AKU dan AKU menyaksikan sesungguhnya muhammad itu adalah utusanKU.
Dalam nasehat ini Allah menyatakan kesaksianNya yang ditujukan kepada makhluk ciptaanNya, bahwa tidak ada tuhan lain kecuali hanya Dia semata, dan muhammad adalah benar-benar rasul atau utusanNya.

Nasehat ke-8 Sahadat / kesaksian

AKU menyaksikan pada DzatKU sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali AKU, dan menyaksikan AKU sesungguhnya muhammad itu utusanKU. Sesungguhnya yang bernama Allah itu badanKU, rasul itu rahsaKU, muhammad itu cahayaKU. AKUlah yang hidup tidak bisa mati, AKUlah yang ingat tidak bisa lupa, AKUlah yang kekal tidak bisa berubah dalam keberadaan yang sesungguhnya, AKUlah waskita, tidak ada tersamar pada sesuatu pun. AKUlah yang berkuasa berkehendak, yang kuasa bijaksana tidak kurang dalam tindakan, terang sempurna jelas terlihat, tidak terasa apa pun, tidak kelihatan apa pun, kecuali hanya AKU yang meliputi alam semua dengan kuasa (kodrat)KU.

Nasehat ini merupakan penutup yang berupa sahadat atau penyaksian. Nasehat pertama sampai dengan kedelapan merupakan satu rangkaian yang tidak boleh diputus, sebab jika terputus maka pemahamannya akan berkurang.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar