Kamis, 21 Agustus 2014

FILSAFAT ISLAM TENTANG TEORI JIWA

A. Teori Jiwa Ibn Bajjah

Ibn Bajjah tidak pernah memberikan definisi jiwa sebagaimana lazimnya pada filosof Islam yang mendahuluinya. Dalam masalah jiwa, aktif (‘aql fa’al) sebagai jalan memperoleh ma’rifat yang dapat mengantarkan kepada kebahagiaan.  Menurut Ibn Bajjah, anggapan yang menyatakan bahwa “materi itu tidak bisa bereksistensi tanpa adanya bentuk, sedangkan bentuk bisa bereksistensi dengan sendirinya, tanpa harus ada materi”. Anggapan ini adalah keliru. Karena materi dapat bereksistensi tanpa harus ada bentuk. Ia berpendapat jika materi berbentuk, maka ia akan terbagi menjadi materi dan bentuk dan begitu seterusnya tak terbatas. Ia menyatakan bahwa bentuk pertama merupakan suatu bentuk abstrak yang bereksistensi dalam materi yang dikatakan sebagai tidak mempunyai bentuk.

Setiap manusia memiliki satu jiwa, walaupun keadaannya selalu berubah dan berubah dari janin menjadi anak, selanjutnya menjadi dewasa dan tua. Jiwa adalah penggerak bagi manusia, dan untuk itu, ia mempergunakan dua jenis alat yaitu jasmani dan rohani. Alat jasmani ada yang berupa buatan (shina’i) dan ada yang berupa alamiah (thabi’i), seperti tangan dan kaki. Diantara alat alamiah ialah apa yang disebut oleh Ibn Bajjah “pendorong naluri” (al-harr al-gharizi) yang terdapat pada setiap makhluk yang berdarah. Juga disebut “roh naluri” dari segi alat daya penggerak, yakni bentuknya, penggerak pertama. Dari alat ini juga disebut alat rohani. 
Pada setiap manusia ada tiga penggerak yang seolah-olah berada pada tingkat yang serupa, yaitu: daya makan yang bersifat kecenderungan (an-nuzu’iyyah), daya menumbuhkan dan berkembang yang inderawi (hissiyyah) dan daya khayal. Filsafat Ibn Bajjah tentang jiwa pada prinsipnya didasarkan pada filsafat Al-Farabi dan Ibn Sina.

B. Teori Jiwa Ibn Sina 

Ibn Sina berjuang sekuat tenaga untuk membuktikan adanya jiwa, yang disangganya dengan berbagai bukti yang akurat, dan mendahului bukti perasaan yang dikemukakan oleh para pemikir modern. Sebagai bukti yang orisinal yakni bukti orang terbang diangkasa. Intinya, bahwa jika kita membayangkan seseorang yang sehat jasmani dan intelek kemudian wajahnya ditutup hingga tidak bias melihat apa-apa dan dibiarkan terbang diudara dimana ia tidak merasakan gesekan apa-apa, maka dakam kondisi yang demikian ini ia tidak ragu bahwa ia ada. Indera maupun fisiknya tidak berperan apa-apa dalam menetapkan keberadaannya, tetapi ia dituntun oleh aspek lain yang non-fisik yakni jiwa.

Setelah menetapkan adanya jiwa, Ibn Sina berusaha untuk mengetahui dan menjelaskan hakikatnya. Untuk itu, pertama-tama, ia mengulang-ulang pernyataan Aristoteles yang kondang itu bahwa “Jiwa itu merupakan kesempurnaan aksiomatik bagi jiwa spontanitas”. Jadi, jiwa itu adalah bentuk tubuh, padahal bentuk itu akan sirna dengan sirnanya materi yang ditempatinya. Oleh sebab itu, Ibn Sina harus berpendapat bahwa jiwa adalah substansi-spiriual. Dikatakan substansi, karena ia bisa berdiri sendiri dan ada dengan sendirinya. Dikatakan spiritual, karena ia bisa mempersepsi kategori-kategori. Sedangkan kategori-kategori tidak mungkin ada didalam jiwa maupun tubuh disini sesekali Ibn Sina cenderung kearah Platonisme, walaupun ia berpendapat bahwa jiwa itu pada dasarnya adalah substansi dan bentuk jika dilihat dari hubungannya dengan tubuh. Seolah-olah ia hendak memadukan Aristoteles dan Plato, walaupun perpaduan ini sulit dilakukan.

Akhirnya, ia membuktikan keabadian jiwa dengan pembuktian yang mengingatkan kita kepada pembuktian Plato dalam Paidhon, karena ia berpendapat bahwa jiwa adalah substansi sederhana. Substansi sederhana tidak akan hancur setelah ia ada, karena ia tidak membawa serta didalam dirinya faktor-faktor yang menyebabkannya. Jiwa juga lebih istimewa daripada tubuh dan adanya mendahului adanya tubuh. Jiwa tidak akan hancur dengan hancurnya tubuh. Akhirnya, jiwa termasuk alam akal yang tidak ada pada benda dan jiwa universal yang sama sekali tidak bisa hancur, dan benda-benda yang mirip dengannya maka akan kekal sekekal jiwa itu sendiri. Menurutnya jiwa itu dijadikan pada setiap kali badan yang bisa memakainya, dan dengan demikian, badan yang baru menjadi milik jiwa dan alatnya pula.

1) Dalil Wujud Jiwa

Ibn Sina telah memberikan sejumlah dalil tentang adanya jiwa karena “orang yang ingin mendeskripsikan sesuatu sebelum lebih dulu sebelum membuktikan adanya, maka ia –katanya- dalam pandangan para hukama telah menyimpang dari cara berhujjah untuk kejelasan”. Pembuktian wujud jiwa yang dikemukakan Ibn Sina merupakan pembuktian yang lebih kuat, bila dibandingkan dengan pembuktian yang telah diusahakan oleh ahli pikir sebelumnya (Plato, Aristoteles, Al-Farabi) . Ia mengedepankan 4 dalil diantara dalil terpenting yang dikemukakan ialah:
a) Dalil Kelangsungan
Dalil ini dikemukakan atas dasar perbandingan jasad dan jiwa. Jasad selalu mengalami berbagai perubahan, pergantian dan sebagainya karena ia terdiri dari bagian-bagian yang juga mengalami hal-hal yang serupa. Adapun jiwa, ia tetap tidak mengalami atau perubahan seperti itu. 

b) Dalil Manusia Terbang

Kesimpulan dalil ini adalah seandainya ada orang yang menciptakan sekaligus dalam bentuk dan wujud yang lengkap sempurna, tapi matanya ditutup, sehingga tidak dapat melihat sesuatu, dan ia diletakkan diawang-awang (udara kosong), tidak ada suatu apapun yang menyentuhnya, sehingga ia tidak merasakan apa-apa. Anggota badannya dipisahkan, tidak saling menyentuh. Dalam keadaan demikian, ia tetap yakin wujud diri atau dzatnya, sedangkan ia tidak dapat mengetahui adanya bagian anggota badannya dan juga yang lain diluar dirinya. Dan jika dalam keadaan ini, ia dapat mengkhayalkan ada tangannya atau anggota badan lainnya, maka ia tidak mengkhayalkannya sebagai bagian dari dirinya dan syarat bagi wujud dirinya. Ini berarti, bahwa wujud jiwa adalah berbeda dengan wujud jisim, malah bukan jisim, dan yang bersangkutan mengetahui dan merasakannya. 

c) Dalil Alami

Dalil ini didasarkan pada fenomena gerak yang oleh Ibn Sina dibagi dua: gerak paksaan (Qasriyyah) dan gerak kehendak (Iradiyyah). Kedua jenis gerak ini tidak bersumber dari jisim. Gerak paksaan dari sebab luar dan menggerakannya, sedangkan gerak kehendak ada yang terjadi karena hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas kebawah, dan ada juga yang terjadi karena bertentangan dengan hukum alam, seperti orang yang berjalan diatas bumi yang seharusnya ia tidak bisa bergerak karena berat tubuhnya. Demikian pula halnya burung yang terbang diudara yang seharusnya ia jatuh kebawah, tapi tidak. Adanya gerak yang demikian mengharuskan adanya “penggerak khusus” yang berbeda dengan unsur-unsur jisim yang bergerak. Penggerak ini disebut jiwa.

2) Definisi jiwa

Semua kerja dan aktifitas, baik yang bersifat nabati, hewani, dan insani menurut Ibn Sina berasal dari daya-daya yang berbeda dengan jisim. Daya-daya ini dipandang sebagai “kesempurnaan” karena dengannya, tetumbuhan dan hewan beralih dari wujudnya yang berpotensial menjadi aktual. Dengan demikian ia mendefinisikan jiwa sebagai kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis”.
  1. Jiwa nabati adalah “kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis dari segi melahirkan, tumbuh dan makan”.
  2. Jiwa hewani adalah “kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis dari segi mengetahui yang persial (juz’iy) dan bergerak dengan iradah”.
  3. Jiwa insani adalah “kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis dari segi melakukan perbuatan yang ada dengan ikhtiar pikiran dan mengambil kesimpulan (istimbath) dengan nalar, dan dari segi mengetahui hal-hal yang menyeluruh (kulliy)”.
3) Hakikat jiwa

Ibn Sina bermaksud untuk menetapkan hakikat jiwa sebagai sesuatu yang berbeda secara esensial dengan jasad, sehingga ia mengatakan, jiwa adalah jauhar (substansi) rohani yang berdeda dengan jasad. Hancurnya jasad tidak membawa pada hancurnya jiwa (roh).

4) Asal-usul dan Keabadian jiwa

Dalam masalah asal-usul jiwa, Ibn Sina mengemukakan dua pendirian yang berbeda. Ia mengatakan, jiwa baru terjadi setelah badan siap menerimanya, dan badan itu merupakan wawasan dan alat jiwa. Dalam hal ini, ia dengan tegas menyanggah adanya jiwa sebelum badan. Para filosof telah berpendapat bahwa kebahagiaan yang hak ialah jiwa merambah jalannya menuju ke esensi-esensi spiritual yang mutlak dan menjadi bagian dari Alam Atas, sehingga terlukislah didalam dirinya gambar-gambar abstrak dan aturan-aturan yang logis bagi semua. Jiwa itu abadi, karena ia merupakan Zat (Substansi) rohani yang tidak tersusun. Kedudukan jiwa sebagai form bagi badan, tidak berarti bahwa jiwa itu musnah dengan musnahnya yang lain.

5) Daya-daya Jiwa

Setiap manusia memiliki satu jiwa, dan setiap jiwa memiliki beberapa daya. Dalam melaksanakan fungsinya, jiwa mempergunakan jasad sebagai alatnya, seperti melihat dengan mata, mendengar dengan telinga, berpikir dengan otak dan sebagainya. 
Ibn Sina membuktikan teorinya yang dikenal dengan bukti kontinuitas yaitu bahwa pada masa ini terkandung masa lampau dan menyiapkan masa yang akan datang. 

C. Teori Jiwa Al-Kindi

1. Jiwa Manusia

Jiwa manusia berasal dari jiwa dunia. Masalah jiwa dalam pemikiran al-Kindi tidak terlepas dari apa yang telah digariskan oleh aristoteles. Dalam hal ini, ia mengemukakan dua definisi jiwa yang jelas bersumber dari Aristoteles. Menurut al-kindi, jiwa adalah “kesempurnaan pertama bagi jisim alami yang memiliki kehidupan secara potensial”. Dan pada tempat lain ia mengatakan jiwa adalah “kesempurnaan jisim alam yang organis yang menerima kehidupan”. Perbedaan kedua definisi tersebut hanya redaksional tidak pada pengertian. Artinya jiwa merupakan kesempurnaan esensial bagi jisim yang tanpanya jisim tidak berfungsi sama sekali. Jisim akan binasa jika telah ditinggalkan jiwa. 

adapun hakikat jiwa al-Kindi menegaskan bahwa jiwa itu “jauhar tunggal (jauhar basith) berciri Ilahi lagi rohani, tidak panjang, tidak dalam dan tidak lebar”. Ia menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa manusia sebaaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk. Materi ialah badan dan bentuk ialah jiwa manusia.

2. Daya-daya Jiwa

Menurut al-Kindi daya-daya jiwa ada dua jenis daya yang besar, yakni daya inderawi (al-Quwwah al-Hissiyyah) dan daya akali (al-Quwwah al-‘Aqliyyah). Diantara kedua daya tersebut ada daya sebagai perantara yaitu: daya membentuk dan daya menyimpan, daya makan, daya tumbuh, daya marah dan daya keinginan.
  1. Daya Mengindera,Daya ini ada alatnya yang berwujud panca indera. Penginderaan yang diinderawi adalah suatu kesatuan dalam jiwa dan “semua yang diinderawi itu selalu mempunyai materi”. Dan bentuk-bentuk material yang parsial itu saja yang terletak dibawah pengamatan indera.
  2. Daya Membentuk, Suatu daya yang membuat atau mengadakan bentuk-bentuk parsial dari sesuatu tanpa materi, yakni dengan menghilangkan materinya dari indera kita”.
  3. Daya Menyimpan, Daya ini menyimpan atau memelihara bentuk-bentuk yang disampaikan oleh daya membentuk.
  4. Daya marah, Daya ini disebut juga daya mengalahkan, yakni dengan menggerakkan manusia sewaktu-waktu, sehingga ia terdorong untuk melakukan hal-hal yang benar.
  5. Daya Keinginan, Daya ini mendorong manusia sewaktu-waktu untuk memenuhi keinginan dan hawa nafsunya
  6. Daya Memikir, Daya ini berfungsi untuk mengetahui bentuk-bentuk suatu yang terlepas dari materi, yakni bentuk-bentuk yang abstrak. Artinya mengetahui jenis dan macamnya, tidak bentuk parsial. 

D. Teori Jiwa Al-Farabi
  1. Pengertian dan Asal JiwaMenurutnya manusia adalah materi dan forma, materi adalah jasad dan forma adalah jiwa. Sebagaimana materi tidak dapat dipisahkan dengan forma, begitu pula jasad tidak dapat berpisah dengan jiwa. Yakni kedua unsur ini membentuk suatu kesatuan esensial. Atas dasar ini, Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah “kesempurnaan pertama bagi benda alami yang organis lagi mempunyai hidup dalam bentuk potensial”. Jiwa adalah wujud “kesempurnaan pertama” karena wujud jiwa itu merupakan kehormatan dan kesempurnaan bagi jasad yang memang tidak dapat berfungsi tanpa adanya jiwa. Adapun yang dimaksud “yang mempunyai hidup dalam bentuk potensial” ialah karena jiwa bukanlah jauhar (substansi) hakiki yang berdiri sendiri pada insan dan yang turun dari alam idea lalu bertempat tinggal dalam jasad serta membuatnya hidup.
  2. Keabadian jiwa, Jiwa itu merupakan jauhar rohani yang berdiri sendiri maka hubungannya dengan jasad bersifat aksidental, sehingga kefanaan jasad tidak menimbulkan kefanaan jiwa. Namun demikian Al-Farabi mengakui keabadian jiwa, ia mempunyai paham tersendiri dalam masalah ini karena ia menolak keabadian perorangan seperti yang diajarkan dalam agama.
  3. Daya-daya JiwaSetiap manusia mempunyai satu jiwa. Inilah pendapat Aristoteles yang juga dianut oleh Al-Farabi. Dan setiap jiwa itu mempunyai sejumlah daya yang umumnya terdiri dari daya penggerak dan daya mengetahui.
1. Daya penggerak, terdiri dari:
  • Daya menumbuhkan yang juga terdapat pada tetumbuhan, hewan dan manusia. Daya ini bertujuan menumbuhkan makhluk hidup, memelihara kelestariannya serta menjamin kelangsungan jenisnya. Dari daya ini lahir daya makan, memelihara, mengasuh, melahirkan.
  • Daya kerinduan yang menimbulkan keinginan pada manusia untuk mencari yang digemari atau menjauhkan diri dari yang dibenci. Sehingga lahirlah benci, suka persahabatan, permusuhan dan sebagainya.
2. Daya mengetahui, terdiri dari:
  • Daya pengindera, daya ini terdiri dari indera lahir melalui panca indera sebagai alatnya dan oleh indera yang mengetahui apa yang tidak diketahui oleh panca indera. Pada hakikatnya mengetahui hanya oleh jiwa.
  • Daya khayal, daya ini berfungsi untuk memelihara citra inderawi setelah pengenderaan belalu.
  • Daya berpikir, daya ini berfungsi untuk memikirkan objek pemikiran, yakni hal-hal yang abstrak. Daya ini bercabang pada daya amali. 
3. Daya berpikir, daya ini yang mendorong untuk berpikir secara teoteris dan praktis. 

E. Teori Jiwa Ibn Maskawaih

Beliau berpendapat bahwa jiwa itu adalah jauhar rohani yang kekal, tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Jiwa itu akan menerima balasan di akhirat nanti. Menurutnya faktor yang membedakan jiwa manusia dan jiwa binatang adalah adanya potensi akal dalam jiwa manusia. Jiwa yang tidak dapat dibagi-bagi itu tidak mempunyai unsur, sedangkan unsur-unsur hanya terdapat pada materi. Namun demikian, jiwa dapat menyerap materi yang kompleks dan nonmateri yang sederhana. Dalam hal ini Ibn Maskawaih berpendapat bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan di akhirat hanya dialami oleh jiwa saja.

F. Teori Jiwa Al-Ghazali

1. Definisi dan asal-usul jiwa

Al-ghazali tidak banyak menyimpang dari apa yang telah digariskan oleh Al-Farabi, terutama Ibn Sina. Ia membedakan tiga jenis jiwa: jiwa nabatiyyah, jiwa hayawaniyyah, dan jiwa insaniyyah.
  1. Jiwa nabatiyyah adalah “kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan jenisnya”.
  2. Jiwa hayawaniyyah adalah “kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis dari segi mengetahui hal-hal yang kecil dan bergerak dengan iradah”.
  3. Jiwa insaniyyah adalah “kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis dari segi melakukan perbuatan dengan ikhtiar akali dan istinbath dengan pikiran, dan dari segi mengetahui hal-hal yang umum”.
Al-Ghazali menolak konsepsi Aristoteles yang menafsirkan jiwa sebagai forma (shurah) bagi jasad, karena forma akan hancur dengan hancurnya jasad. Jiwa adalah jauhar rohani yang berbeda dengan jasad.
Demikian pula ia menolak konsepsi Plato yang mengatakan bahwa jiwa telah ada lebih dulu di alam idea sebelum turun kedalam jasad, meskipun ia menyetujui pendapatnya tentang jiwa sebagai jauhar rohani yang berbeda secara esendial dengan jasad.

2. Dalil dan Hakikat Jiwa
  1. Dalil agama, semua titah Tuhan ditujukan kepada jiwa yang dapat memahaminya, bukan pada jasad. Sekaligus menunjukan bahwa jiwa itu berbeda dengan jasad. Kendati rasa sakit pada jasad, maka itu karena jiwa. Seperti susah, menyesal dan kesepian.
  2. Dalil Kelangsungan Wujud Diri, “Anda mengetahui bahwa jasad anda, sejak anda ada, tidak berganti. Diketahui bahwa jasad dan sifatnya semua berganti. Jika tidak berganti, maka tidak perlu makan, karena makan itu berganti apa yang rusak pada jasad. Jadi, jiwa anda bukan sekali-kali jasad dan sifat-sifatnya”.
  3. Dalil Orang Terbang, “Jika ada orang sehat, bebas dari penyakit, tidak tersentuh oleh arus udara dan suatu yang lain, sehingga anggota dan bagian-bagian anda tidak saling menyentuh dan merasa, dan anda berada diudara bebas, maka dalam hal ini, anda tidak melupakan wujud dan hakikat anda. Bahkan juga dalam tidur anda. Semua orang yang mempunyai kecerdasan ... akan tahu bahawa ia adalah jauhar, bebas dari materi dan sifat-sifatnya, dan dirinya tidak terpisah darinya”.

Banyak dalil yang dikemukakan oleh al-Ghazali sebagai bukti bahwa jiwa itu jauhar rohani, baik yang berdasarkan syara’.

3. Hubungan Jiwa dan Jasad

Manusia berasal dari unsur jiwa yang berasal dari alam amr dan unsur jasad yang berasal dari alam materi (alam syahadah). Dari itu jiwa sangat berbeda dengan jasad, tapi antara keduanya terdapat hubungan yang sangat erat, sehingga tidak mungkin salah satunya bertindak tanpa yang lain. Dalam hal ini jiwa adalah pengendali jasad, dan jasad adalah alatnya. Menurutnya kedudukan jiwa dalam jasad seperti kedudukan walikota dalam kotaprajanya. Jasad adalah kerajaan jiwa dimana daya-dayanya merupakan buruh dan pekerja. Daya berpikir seperti penasehat, dan daya nafsu seperti pelayan yang membawa makanan ke kota.


4. Keabadian Jiwa
Al-Ghazali telah mengemukakan dua dalil tentang keabadian jiwa: dalil syar’i dan dalil akal. Adapun dalil syar’i antara lain firman Allah yang artinya: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh pada jalan Allah itu mati, tetapi mereka hidup, mendapat rezeki dari Tuhannya dengan karunia yang diberikan-Nya kepada mereka”.(Q.S. Ali Imron: 169). Adapun dalil akal, maka pada umumnya al-Ghazali mengambil dari Ibn Sina, antara lain:
  1. Ketunggalan jiwa, menurutnya kefananan itu adalah terurainya apa yang tadinya tersusun. Oleh karena jiwa itu pada hakikatnya tunggal, tidak terdiri dari unsur-unsur, maka tentunya tidak terurai, sehingga ia tidak fana dan kekal.
  2. Kebebasan jiwa dari jasad, dalil ini berdasarkan pada hubungan jiwa dengan jasad. Hubungan ini menurutnya bukan hubungan semestinya dan bukan pula hubungan sebab-akibat, sehingga tidak mesti jika jasad rusak maka jiwa juga harus rusak. Jasad sudah nyata rusaknya, sedangkan jiwa adalah jauhur rohani, bukan materi dan forma, sehingga ia tidak mungkin rusak karena rusak itu bukan sifatnya.
5. Daya-daya Jiwa
  1. Daya penggerak, Daya ini merupakan dorongan untuk bergerak terhadap hal-hal yang dirindui, sehingga dilakukannya, atau terhadap hal-hal yang tidak disenangi atau ditakuti, sehingga dijauhinya. Pada daya ini terdapat dua hal yaitu dorongan dan gerak untuk berbuat.
  2. Daya Mengetahui, Daya ini ada dua bagian yaitu daya lahir dan daya batin. Lahir adalah panca indera, batin adalah khayal, tafakkur, hafalan, ingatan. 
G. Teori Jiwa Ibn Thufail

Jiwa manusia adalah makhluk yang tertinggi martabatnya. Menurut Ibn Thufail jiwa adalah bukan jisim dan bukan pula suatu daya dalam jisim. Dari itu jiwa akan kekal setelah badan hancur karena kematian. Jiwa berada dalam tiga keadaan:
  1. Jiwa yang telah mengenal Tuhannya sebelum mengalami kematian dan selalu ingat dan mengarah pikirannya kepada kebesaran dan keagungannya tanpa melupakan-Nya sampai datang ajalnya. Dalam keadaan ini, jiwa akan kekal dalam kebahagiaan, kelezatan dan kenikmatan yang abadi.
  2. Jiwa yang telah mengenal Tuhan, tetapi telah melupakan-Nya dengan melakukan berbagai maksiat. Jiwa ini akan kekal dalam kesengsaraan yang terus menerus dan azab yang tidak putus-putus.
  3. Jiwa yang tidak pernah mengenal Tuhannya selama hidup di bumi ini, maka ia akan berakhir halnya seperti hewan yang melata.
Kebahagiaan abadi bagi jiwa adalah dengan berhubungan atau bermusyawarah kepada Allah secara terus menerus sejak dari kehidupan di bumi sampai kehidupan abadi.

H. Teori Jiwa Ibn Rusydi

Manusia terdiri dari dua unsur yaitu materi dan forma, jasad adalah materi dan jiwa adalah forma. Ibn Rusydi membuat definisi jiwa disebut sebagai “kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis”. Jiwa disebut “kesempurnaan awal” untuk membedakan dengan kesempurnaan lain yang merupakan pelengkap darinya, sedangkan disebut “organis” untuk menunjukan kepada jisim yang terdiri dari anggota-anggota. Bagi jasad, jiwa itu merupakan kesempurnaan pertama yang membuat dapat hidup dan berfungsi. Dengan demikian, jiwa akan memperoleh kesempurnaan-kesempurnaan lain melalui alat atau anggota badan.

Jenis jiwa menurutnya ada lima, yaitu:
  1. Jiwa nabati, jiwa ini merupakan kesempurnaan jisim nabati yang meliputi daya makan, daya tumbuh, daya melahirkan.
  2. Jiwa perasa, jiwa ini hanya terdapat pada hewan dengan lima daya yang disebut panca indera.
  3. Jiwa khayal, merupakan daya yang menahan dalam dirinya apa yang diinderawi setelah ia hilang dari pengamatan. Proses ini lebih sempurna pada saat indera dalam keadaan pasif, seperti tidur.
  4. Jiwa berpikir, jiwa ini adalah daya yang mengetahui makna-makna yang abstrak, terlepas dari kaitan materi. Jiwa ini hanya terdapat pada manusia.
  5. Jiwa kecenderungan, jiwa ini adalah daya yang membuat hewan cenderung kepada yang disenangi dan menjauhkan diri dari yang menyakiti. Jiwa ini melekat pada jiwa perasa dan khayal dan terdapat pada hewan dan manusia. 


I. Teori Jiwa Ar-Razi
Jiwa Universal

Alam ini diciptakan Tuhan dengan suatu tujuan. Semula ia tidak berkehendak untuk menciptakannya, namun kemudian kehendak itu ada. Kalau demikian tentu ada yang mendorongnya. Sudah barang tentu pendorong itu sendiri harus abadi bisa merupakan sebab dari yang hidup tetapi dungu. Karena menyadari kebodohannya jiwa tertarik pada benda agar data memperoleh kesenangan material.

Disaat jiwa mendekat pada tubuh, tubuh meronta, melihat nasib jiwa yang tragis ini kemudian Tuhan berkenan menolongnya dengan jalan membentuk alam ini dalam susunan yang kuat sehingga roh dapat memperoleh kesenangan material didalamnya. Setelah itu Tuhan menciptakan manusia dari substansi ketuhanan-Nya kemudian diciptakan akal. Fungsi akal adalah menyadarkan manusia bahwa dunia yang dihadapinya sekarang ini bukanlah dunia yang sesungguhnya. Menurutnya dunia yang sesungguhnya itu dapat dicapai dengan filsafat. Oleh karena itu siapa yang belajar filsafat akan mengerti dunia yang sebenarnya serta memperoleh pengetahuan selamanya akan tetap berada didunia sebelum disadarkan oleh filsafat. 

J. Teori Jiwa Ikhwan Al-Shafa

Jiwa manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembangannya jiwa manusia banyak dipengaruhi materi yang mengitarinya. Agar jiwa tidak kecewa dalam perkembangannya, maka jiwa dibantu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa untuk berkembang. Manusia selain mempunyai indera zahir, juga memiliki indera batin yang berfungsi mengolah hal-hal yang ditangkap oleh indera zahir sehingga melahirkan konsep-konsep.

Dalam tubuh manusia, jiwa memiliki tiga fakultas:

  1. Jiwa tumbuhan, Jiwa ini dimiliki oleh semua makhluk hidup: tumbuhan, hewan, dan manusia. Jiwa ini terbagi dalam tiga daya: makan, tumbuh dan reproduksi.
  2. Jiwa hewan, Jiwa ini hanya dimiliki oleh hewan dan manusia. Ia terbagi dalam dua daya: penggerak dan sensasi (persepsi dan emosi)
  3. Jiwa manusia, Jiwa ini hanya dimiliki manusia. Jiwa ini menyebabkan manusia berpikir dan berbicara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar