Kamis, 03 Oktober 2013

MAKNA CUPUK MANIK ASTAGINA - AJARAN SUNAN KALIJAGA

Salah satu peninggalan dari nenek moyang kita, yang perlu diuraikan agar menjadi pedoman hidup menuju masyarakat yang sejahtera adalah Asta-abrata. Asta artinya delapan, brata artinya tindakan. Jadi, Asta-brata dapat diartikan sebagai delapan macam tindakan. Asta-brata ini diambil dari inti sari wasiat Cupu Manik Asta Gina, atau pegangan hokum bagi para dewa. Konon dengan berpegang pada hokum ini, para dewa dapat memimpin umat manusia menuju kesejahteraan dan kedamaian.

Kalau setiap orang, terutama para pemimpin, berpegang pada asta-brata, maka masyarakat yang sejahtera tidak mustahil terwujud di bumi ini. Adapun asta-brata secara mudah dan jelas digambarkan atau diwujudkan dalam rupa : 
  1. Wanita: wanita,
  2. Garwa; jodoh
  3. Wisma : rumah
  4. Turangga : kuda tunggangan
  5. Curiga : keris, atau senjata
  6. Kukila : burung berkutut
  7. Waranggana : ronggeng- penari wanita
  8. Pradangga : gamelan-bebunyian berirama
Orang atau pemimpin yang utama harus memiliki (mengalami) delapan hal tersebut diatas.Banyak orang yang salah paham, berusaha mempunyai delapan rupa tersebut dalam wujud sebenarnya. Hal demikian ini takkan terwujud. Sesungguhnya delapan hal tersebut sekadar kiasan, dan bukan berarti setiap orang harus memiliki barangnya, tetapi memiliki atau mengalami arti dan wangsitnya. 

Wanita, artinya seorang perempuan, yang elok dan cantik, siapapun yang melihat pasti ingin memilikinya. Maka yang dimaksud dengan wanita ini adalah suatu keindahan, sebuah cita-cita yang tinggi. Agar cita-cita itu dapat tercapai, maka orang perlu berusaha sekuat tenaga, belajar, tirakat dan sebagainnya, sebagaimana seorang pemuda yang ingin menggaet dan memiliki gadis cantik. 

Garwa, artinya jodoh, suami istri, yang sehati. Garwo sering diartikan sigaraning nyawa, belahan jiwa, jiwa satu dibelah dua atau dua badan satu nyawa. Jadi garwa mengandung arti bahwa setiap orang harus dapat menyesuaikan diri, bisa bergaul dengan siapapun, semua orang dianggap sebagai kawan, hidup rukun dan damai, mencintai sesama, tidak membeda-bedakan orang. Semuanya dianggap sebagai garwa, teman sehidup semati. 

Wisma, artinya rumah. Rumah adalah tempat berlindung memiliki ruangan yang luas berpetak-petak untuk menyimpan aneka macam barang. Semuannya dapat dimasukkan kedalam rumah. Demikianlah, setiap orang hendaknya bersifat rumah, yakni dapat menerima siapapun dan membutuhkan perlindungan, sanggup menyimpan dan mengatur segala sesuatu, pun dapat mengeluarkan pikiran dan bertindak bijaksana dan teratur menurut tempat, waktu dan kedaannya. 

Turangga, berarti kuda tunggangan, yang kuat dan bagus. Kuda tunggangan bisa berlari cepat, bisa berlari pelan, bisa berjalan sambil menari-nari. Sebaliknya kuda tunggangan juga bisa berlari cepat dengan arah yang tak menentu, bisa terguling kedalam jurang, tergantung orang yang memegang tali kekang. Demikian halnya diri: badan jasmaniah, panca indra dan nafsu kita merupakan kuda tunggangan. Sedangkan jiwa adalah pengendaranya. Bila jiwa dapat menguasai, mengatur dan mengekang diri, maka pergaulan hidup kita akan teratur dengan baik. Sebaliknya, bila jiwa tak dapat menguasai diri, maka hidup kita akan seperti kuda tunggangan yang liar, berlari kesana kemari dan akhirnya tergelincir. 

Curiga, artinya keris, senjata tajam yang dipuja-puja. Maka perlulah tiap orang terutama para pemimpin memiliki persenjataan hidup yang lengkap, kepandaian, keuletan, ketangkasan dan lain-lain. Begitu pula pikiran harus tajam, mampu menebak dengan dengan tepat, agar dapat bertindak tepat pula untuk kebahagiaan masyarakat. 

Kukila, artinya burung, burung berkutut yang dipelihara di Jawa, untuk didengarkan suaranya, yang merdu, enak didengar, menentramkan sanubari. Demikianlah, setiap kata yang keluar dari mulut hendaknya enak didengar, lemah lembut, menentramkan orang yang mendengarkannya. Setiap kata yang keluar harus tegas dan bersifat memperbaiki dan membangun, agar siapapun yang mendengar bisa terpikat dan mengindahkannya. 

Waranggana, artinya tandak atau ronggen, untuk pandangan waktu menari. Pada zaman dewa-dewa, ini disebut Lenggot-bawa. Peraturannya seperti ini : seorang warangga menari di tengah kerumunan orang, bersama seorang lelaki yang ikut menari. Diempat penjuru ada penari laki-laki yang menari, seakan-akan ikut menggoda si waranggana agar memalingkan mukanya dari yang lelaki yang tengah menari. 

Maknah gambaran di atas adalah: dalam usaha meraih cita-cita yang muliah ( waranggana), pasti akan banyak kita jumpai godaan yang mencoba menghalang-halangi pencapaian cita-cita tersebut.


Filosofi Dibalik Cupu Manik Astagina

Apa sebenarnya Cupu Manik Astagina? Jika kita cari akan banyak tulisan yang menerangkan bahwa Cupu Manik Astagina merupakan ajaran Sunan Kalijaga agar masyarakat sejahtera. Asta berarti delapan, yang berarti ada delapan ajaran. Kedelapan hal tersebut adalah wanita, garwa ‘jodoh’, wisma ‘rumah’,turangga ‘kuda tunggangan’, curiga ‘keris’ atau ‘senjata’, kukila ‘burung berkutut’,waranggana ‘ronggeng-penari wanita’, pradangga ‘gamelan-bebunyian berirama’.

Tulisan ini tidak akan menjelaskan makna Cupu Manik Astagina dari sisi ajaran Sunan Kalijaga kembali, melainkan akan mencari makna Cupu Manik Astagina yang kisahnya dapat dibaca dalam Anak Bajang Mengiring Angin karya Sindhunata.

Awalnya, Cupu Manik Astagina itu dimiliki oleh Retna Anjani, anak Resi Gotama. Dalam penglihatan Resi Gotama, isi Cupu tersebut adalah segala isi jagad raya yang indah sekali. Cupu yang ternyata cupu wasiat itu adalah milik pada dewa. Di negeri para malaikat dewa-dewa mandi dengan air kehidupan dari permata-permata mendung. Ketika dewa ingin membawa air tersebut, mereka tidak menemukan wadahnya, maka para malaikat memberkan cupu dan digunakanlah untuk menyimpan air itu. 

Setelah ditanya, ternyata cupu tersebut berasal dari ibunya, Dewi Windradi dengan pesan agar cupu itu tidak ketahuan ayah dan saudaranya. Resi Gutama pun menyelidiki asal muasal cupu itu. Dewi Windradi tetap tidak bicara. Ternyata, cupu itu pemberian Batara Surya ketika Dewi Windradi berkasih-kasihan dengannya. Perbuatannya bukan semata-mata karena nafsu, melainkan karena ia melihat kasih yang diberi Batara Surya terhadap penderitaannya. Kala itu, Batara Surya meramalkan bahwa cupu itu akan membawa penderitaan pada keturunannya demi perubahan dunia. 

Karena Dewi Windradi tetap diam, marahlah Resi Gotama dan dengan lantang ia menyebut dan berubahlah ibu Anjani menjadi tugu batu. Resi Gotama yang terbakar cemburu, melempar tugu batu itu ke seberang lautan, tugu batu itu jatuh ke tanah Alengka. Guwarsa dan Guwarsi berebutan ingin memiliki cupu itu. Resi Gotama melempar ke udara. Tutupnya terjatuh dan menjadi Telaga Nirmala di Ayodya dan cupu yang berisi air jatuh di hutan belantara menjadi Telaga Sumala. 

Mereka bertiga, Anjani, Guwarsa dan Guwarsi mengejar cupu tersebut. Sesampainya di telaga Guwarsa dan Guwarsi masuk ke dalam air dan berubahlah mereka manjadi kera. Nama mereka pun berubah menjadi Subali dan Sugriwa. Anjani yang menyusul setelahnya, membasuh diri dengan air tersebut dan ia pun berubah menjadi kera. Mereka bertiga bersedih pun ayahnya dan seluruh jagad raya. Akhirnya, mereka bertapa. Anjani menjalankan tapa paling berat. Suatu kali ia diberi daun jati malela. Ia mengandung dan melahirkan Anoman.

Berikut penjelasan Resi Gotama akan Cupu Manik Astagina tersebut.
“Putriku, benda ajaib ini adalah Cupu Manik Astagina, yang merupakan air kehidupan yang berasal dari permata permata mendung. Dalam air kehidupan itulah berada jagad raya sebelum dirusak oleh dosa manusia, di dalam air kehidupan itu jiwa jiwa ilahi hidup dalam keseimbangan serupa keindahan aneka warna. Itulah sebabnya kau tidak mendengar jeritan manusia atau kicauan burung atau gaung suara serigala yang merindukan sesuatu yang belum dimilikinya”.
Secuil kisah di atas, jika dibaca langsung dari novel Sindhunata terasa begitu sarat makna. Perbuatan Guwarsa Guwarsi yang menginginkan cupu yang bukan milik mereka berakibat buruk. Mereka ingin memiliki dunia jika mereka memiliki Cupu Manik Astagina. Sebagaimana dalam tulisan Sindhunata,
“...kesaktian itu tidak dapat direbut, kesaktian itu tidak dapat datang dengan sendirinya. Kesaktian itu lahir dari usaha manusia yang mau berusaha dan bertapa. Kaumau merebut kesaktian itu, tapi kini akhirnya kesaktian itu justru mencampakkanmu menjadi kera.” 
Walaupun, sebenarnya Cupu Manik Astagina itu milik Anjani, dikatakan dalam kisah Anak Bajang Mengiring Angin belumlah saatnya ia memiliki cupu itu. Wujud mereka bertiga sebagai kera, makhluk yang hina adalah karena dosa-dosa, perbuatan yang mereka lakukan karena dilingkupi hawa nafsu. Namun, dibalik wujud kera itu tersimpan pesan bahwa raga kita di dunia ini tidaklah penting yang penting adalah apa yang ada di dalamnya. Semakin menjadi buruk secara fisik, semakin membuat kita, manusia, menyadari bahwa kita tidak ada apa-apanya dibandingkan Sang Pencipta. Dengan berwujud sebagai kera, seluruh kesombongan yang ada, sebagaimana Anjani yang digambarkan nan cantik jelita, kemudian sirna. Kesombongan itu dapat dikalahkan dengan kerendahan hati. Mereka un semakin menyadiri diri sebagai titah, dalam rupa kera.
“Anakku, kera adalah titah yang merindukan kesempurnaan manusia. Ia paling dekat pada bentuk seorang manusia. Untuk itulah, ia selalu berprihatin, supaya lekas diangkat kesempurnaanya. Janganlah kau anggap itu semuanya sebagai ketidak adilan, tetapi rasakanlah sebagai kerinduan akan kesempurnaan. Dan berbahagialah kau, Anakku, karena kerinduan itulah yang menciptakan kerendahan hati dan memberi harapan akan sesuatu yang belum dimilki yaitu kesempurnaan. Lebih berbahagia kamu daripada mereka yang sudah berada dalam kepenuhan akan kesempurnaan tapi kemudian mencampakkan kepenuhan itu kepada dosa dosa yang diperbuatnya.”
Air dalam cupu tersebut yang bercampur dalam Telaga Sumala artinya air suci itu telah bercampur dengan air duniawi. Itu merupakan petanda bahwa dalam dunia yang sarat dosa masih ada air kehidupan, harapan, yang menolong makhluk di dunia untuk dapat mencapai keilahian. 
“Anakku, kau mengira hanya dengan budimu kau dapat mencapai kebahagiaan yang abadi. Kau lupa bahwa hanya dengan pertolongan yang Ilahi, baru kau dapat mencapai cita cita mulia. Manusia memang terlalu percaya pada kesombongannya, lupa bahwa kesombonganya hanyalah setitik air dilautan kelemahannya yang dapat menenggelamkan dirinya. Dan ingatlah pula, air kehidupan permata mendung itu pun sudi bercampur dengan air duniawi yang belum sempurna. Air suci itu menderita, tapi dari penderitaannya itulah dunia akan memperoleh kebahagiannya.” 

1 komentar:

  1. Kemungkinan besar ini ada hubungannya dg lebak cawene pd uga wangsit siliwangi, dimana budak angon sementara bertempat tinggal. Cawene dari pancawedani = 5 air sapulidi yaitu sanghyang sasana mahaguru atau sebuah peninggalan yg serba lebih dari seluruh dunia sebagai sumber untuk seluruh manusia. Lembah cawene menghasilkan mutiara yg suci yaitu; bwah/bumi, paksa/air, huning/angin/udara, temen/api, dan daek/matahari/usaha.
    Kira2 sprti itu singkatnya yg menggambarkan segala sesuatu itu hasil usaha seperti inti uraian cupu manik astagina.

    BalasHapus