Selasa, 23 September 2014

KARAKTER PEMIMPIN

KEPEMIMPINAN MENURUT ISLAM

Persoalan kepemimpinan tidak pernah selesai untuk dibahas selama manusia masih ada dan selama bumi masih utuh. Dunia ini akan kacau balau kalau seandinya tidak ada pemimpin yang akan diikuti oleh orang atau masyarakat baik itu dalam konteks masyarakat kecil sampai kepada masyarakat besar sapai kepada tataran Negara sampai pada tataran Internasional, sehingga dengan adanya pemimpin manusia akan bisa teratur, berjalan sesuai dengan kapasitasnya masing-masing dan dapat melaksanakan aktivitasnya dengan kata lain semua komponen yang ada dalam masyarakat bisa managemen. Setiap orang memiliki potensi untuk menjadi pemimpin baik itu pemimipin dalam rumah tangga, masyarakat atau Negara setiap manusia minimal harus bisa menjadi pemimpin diri sendiri.

Sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw : “setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya tentang apa yang dipimpinnya” Semakin banyak yang dipimpin, maka akan semakin besar pula tanggungjawabnya. Oleh karenanya, ada sebuah istilah umum yang tidak asing di telinga, “lebih baik menjadi pemimpin untuk diri sendiri”. 

Namun demikian bukan berarti dengan menjadi pemimpin bagi diri sendiri akan melepas tanggungjawab sebagai pemimpin. Karena setiap manusia dalam perjalanan hidupnya akan menemukan berbagai kemungkinan. Setiap manusia, normalnya, akan berkeluarga. Maka jadilah ia sebagai kepala keluarga. Islam sangat memperhatikan masalah kepemimpinan karena dalam sebuah perjuangan sangat membutuhkan dan mengutamakan mengutamakan jamaah.

Tetapi dalam kesempatan ini kita hanya terfokus pada pembahasan kepemimpinan dalam konteks masyarakat, daerah yang sesuai dengan karakter dan budaya yang dimiliki. Indonesia sebagai sebuah negara yang memiliki luas daerah dan batas daerah masing-masing yang terdiri dari banyak suku, karakter, cara berfikir, prilaku atau pun budaya yang berbeda-beda sesuai dengan daerahnya masing-masing. 

Tetapi dengan keberagaman itu masyarakat Indonesia bisa bersatu dan berdaulat karena memang bangsa kita disamping memiliki karakter, budaya, cara berfikir yang berbeda juga memiliki cara pandang yang sama terhadap kepentingan bangsa Indonesia itu sendiri yaitu Indonesia bersatu yang memiliki tujuan yang sama dan kepentingan yang sama untuk kemajuan bersama, sehingga terciptanya masyarakat madani dan masyarakat yang tnagguh dan bernmartabat. Walaupun demikian setiap daerah di Indonesia memiliki karakter tersendiri dan budaya tersendiri yang tidak bisa disamakan oleh siapapun dengan dengan daerah lainnya. Maka dengan mengikuti setiap karakter masing-masing daerah memerlukan sebuah strategi kepemimpinan yang sesuai dengan karakter dan budaya yang dimiliki. 

Dalam artian setiap pemimpin harus paham dan sedikit banyaknya harus tahu dengan kondisi, budaya, dan karakter masyarakat daerah yang dipimpin. Karena hal ini akan mepermudah langkah untuk menjalankan pemerintahan atau kepemiminan yang akan dijalankan. Sebagai contoh masyarakat jawa memiliki sifat sangat patuh terhadap sosok atau seorang yang dianggap memiliki keistimewaan atau ilmu yang lebih dari yang lain. Dengan karakter ini barangkali pemimpin bisa aja menerapkan kepemimpinan otoriter.

Dalam kesempatan ini penulis ingin memaparkan maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini yang jelas tidak akan pernah bermaksud untuk memaksakan pemikiran untuk diikiuti melainkan untuk dipahami dan memberikan pandangan menurut pandangan islam.

Definisi Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah proses mengarahkan perilaku orang lain kearah pencapaian suatu tujuan tertentu. Pengarahan dalam hal ini berarti menyebabkan orang lain bertindak dengan cara tertentu atau mengikuti arah tertentu. Wirausahawan yang berhasil merupakan pemimpin yang berhasil memimpin para karyawannya dengan baik. Seorang pemimpin dikatakan berhasil jika percaya pada pertumbuhan yang berkesinambungan, efisiensi yang meningkat dan keberhasilan yang berkesinambungan dari perusahaan.

Tugas Pemimpin

Seorang pemimpin cenderung menunjukkan pola-pola perilaku berikut :
  1. Merumuskan secara jelas peranan sendiri maupun stafnya
  2. Menetapkan tujuan yang sukar tapi dapat dicapai, dan memberitahukan orang-orang apa yang diharapkan dari mereka.
  3. Menentukan prosedur-prosedur untuk mengukur kemajuan menuju tujuan dan untuk mengukur pencapaian tujuan itu, yakin tujuan yang dirumusakan secara jelas dan khas.
  4. Melaksanakan peranan kepemimpinan secara aktif dalam merencanakan, mengarahkan membimbing dan mengendalikan kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada tujuan.
  5. Berminat mencapai peningkatan produktifitas.
Konsep Pemimpin Menurut Pandangan Islam

Surah Al-Baqarah ayat 30 dengan jelas menceritakan kisah diciptakannya manusia adalah untuk sebagai kholifah (pemimpin) di muka bumi . Allah Swt berfirman : “Sesungguhnya Aku (Allah) akan menciptakan kholifah di muka bumi…”(Al-baqorah : 30). Memimpin berarti mengemudikan dan mengarahkan. Seperti halnya mengemudikan kendaraan ada pengemudi dan ada penumpangnya. Pemimpin adalah pengemudi sedangkan penumpang adalah yang dikemudikan atau yang dipimpin. Baik atau buruknya yang dipimpin tergantung dari bagaimana si pengemudi mengendalikan kendaraannya. Sejahtera atau tidaknya suatu negara, tergantung dari kebijakan yang dilakukan oleh pemimpinnya. Sakinah atau tidaknya suatu keluarga, tergantung sikap kepala keluarganya. Mahmudah atau madzmumahnya akhlak seseorang, tergantung kepribadian seseorang itu sendiri. Disinilah letak tanggung jawab seorang pemimpin. Setiap pemimpin bertanggunjawab atas yang dipimpinnya.

Ketika ingin memulai suatu pembahasan ada baiknya kita melakukan suatu pendefinisian atas pokok bahasan kita. Pendefinisian ini membantu kita untuk memahami dan mensistematiskan alur pembahasan. Kepemimpinan berasal dari kata pemimpin, yang artinya adalah orang yang berada di depan dan memiliki pengikut, baik orang tersebut menyesatkan atau tidak. Ketika berbicara kepemimpinan maka ia akan berbicara mengenai prihal pemimpin, orang yang memimpin baik itu cara dan konsep, mekanisme pemilihan pemimpin, dan lain sebagainya. Terdapat ragam istilah mengenai Kepemimpinan ini, adanya yang menyebutkan Imamah dan ada Khilafah. Masing–masing kelompok Islam memiliki pendefinisian berbeda satu sama lain, namun ada juga yang menyamakan arti Khilafah dan Imamah.

Menurut Ali Syari’ati, secara sosiologis masyarakat dan kepemimpinan merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Syari’ati berkeyakinan bahwa ketiadaan kepemimpinan menjadi sumber munculnya problem-problem masyarakat, bahkan masalah kemanusiaan secara umum. Menurut Syari’ati pemimpin adalah pahlawan, idola, dan insan kamil, tanpa pemimpin umat manusia akan mengalami disorientasi dan alienasi.

Ketika suatu masyarakat membutuhkan seorang pemimpin, maka seorang yang paham akan realitas masyarakatlah yang pantas mengemban amanah kepemimpinan tersebut. Pemimpin tersebut harus dapat membawa masyarakat menuju kesempurnaan yang sesungguhnya. Watak manusia yang bermasyarakat ini merupakan kelanjutan dari karakter individu yang menginginkan perkembangan dirinya menuju pada kesempurnaan yang lebih.

Syarat-Syarat Kepemimpinan Dalam Islam

Kepemimpinan setelah Rasulullah SAW wafat, merupakan pemimpin yang memiliki kualitas spiritual yang sama dengan Rasul, terbebas dari segala bentuk dosa, memiliki pengetahuan yang sesuai dengan realitas, tidak terjebak dan menjauhi kenikmatan dunia, serta harus memiliki sifat adil.

Pemimpin setelah Rasul harus memiliki kualitas spiritual yang sama dengan Rasul. Karena pemimpin merupakan patokan atau rujukan umat Islam dalam beribadah setelah Rasul. Oleh sebab itu ia haruslah mengetahui cita rasa spritual yang sesuai dengan realitasnya, agar ketika menyampaikan sesuatu pesan maka ia paham betul akan makna yang sesungguhnya dari realitas (cakupan) spiritual tersebut. Ketika pemimpin memiliki kualitas spiritual yang sama dengan Rasul maka pastilah ia terbebas dari segala bentuk dosa.

Menurut Murtadha Muthahhari, umat manusia berbeda dalam hal keimanan dan kesadaran mereka akan akibat dari perbuatan dosa. Semakin kuat iman dan kesadaran mereka akan akibat dosa, semakin kurang mereka untuk berbuat dosa. Jika derajat keimanan telah mencapai intuitif (pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses penalaran) dan pandangan bathin, sehingga manusia mampu menghayati persamaan antara orang melakukan dosa dengan melemparkan diri dari puncak gunung atau meminum racun, maka kemungkinan melakukan dosa pada diri yang bersangkutan akan menjadi nol. Saya memahami apa yang dikatakan Muthahhari derajat keimanan telah mencapai intuitif dan pandangan bathin ini adalah sebagai telah merasakan cita rasa realitas spiritual. Dengan adanya kondisi telah merasakan cita rasa realitas spiritual, maka pastilah Rasulullah SAW dan Imam Ali Bin Abi Thalib beserta keturunannya tadi terbebas dari segala bentuk dosa.

Kondisi ini juga akan berkonsekuensi pada pengetahuannya yang sesuai dengan realitas dari wujud atau pun suatu maujud. Ketika pemimpin tersebut mengetahui realitas dari seluruh alam, maka pastilah ia tahu akan kualitas dari dunia ini yang sering menjebak manusia.

Kemudian seorang pemimpin haruslah juga memiliki sifat adil. Rasulullah SAW pernah berkata bahwa, ”Karena keadilanlah, maka seluruh langit dan bumi ini ada. Imam Ali Bin Abi Thalib mendefiniskan keadilan sebagai menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak. Keadilan bak hukum umum yang dapat diterapkan kepada manajemen dari semua urusan masyarakat. Keuntungannya bersifat universal dan serba mencakup. Ia suatu jalan raya yang melayani semua orang dan setiap orang. Penerapan sifat keadilan oleh seorang pemimpin ini dapat dilihat dari cara ia membagi ruang-ruang ekonomi, politik, budaya, dsb pada rakyat yang dipimpinnya. Misalkan tidak ada diskriminasi dengan memberikan hak ekonomi (berdagang) pada yang beragama Islam, sementara yang beragama kristen tidak diberikan hak ekonomi, karena alasan agama. Terkecuali memang dalam berdagang orang tersebut melakukan kecurangan maka ia diberikan hukuman, ini berlaku bagi agama apapun.

Jalaluddin Rakhmat dalam buku Yamani yang berjudul, filsafat Politik Islam, menyebutkan bahwa secara terperinci seorang faqih (pemimpin) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
  1. Aqahah, mencapai derajat mujtahid mutlak yang sanggup melakukan istinbath hukum dari sumber-sumbernya.
  2. ’Adalah : memperlihatkan ketinggian kepribadian, dan bersih dari watak buruk. Hal ini ditunjukkan dengan sifat istiqamah, al shalah, dan tadayyun.
  3. Kafa’ah : memiliki kemampuan untuk memimpin ummat, mengetahui ilmu yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat, cerdas, matang secara kejiwaan dan ruhani.
Islam menghendaki setiap pemimpin menjadi suri tauladan bagi rakyatnya. Seperti halnya Nabi Muhammad Saw yang diatuladani oleh umatnya. Tanpa akhlaknya yang luhur, Nabi Muhammad tidak akan disebut sebagai suri tauladan yang baik, sebagaimana difirmankan Allah Swt dalam Al-Quran. Sebagaimana ayat Al-Quran yang tertulis diawal, ada empat hal pokok yang menjadi acuan untuk menjadi seorang pemimpin sejati. Jika ke-empatnya dijalankan, maka seorang pemimpin akan menjadi pemimpin sejati. Empat hal itu menunjukkan hubungan yang seimbang antara pemimpin sebagai hamba ALLAH SWT dan sebagai makhluk.

Pemimpin mendirikan Sholat. Sholat adalah salah satu bentuk ibadah yang mencerminkan hubungan antara hamba dengan sang Kholik-nya (Allah Swt). Sholat menjadi ibadah yang paling utama untuk membangun hubungan antara hamba dan Kholiknya. Dengan mendirikan Sholat, berarti seorang pemimpin telah melaksanakan tanggungjawabnya sebagai hamba Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala-galanya.

Pemimpin menunaikan Zakat. Selain Sholat, Zakat juga merupakan salah satu ibadah yang diwajibkan dan termasuk dalam rukun Islam. Namun demikian ada perbedaan antara zakat dan sholat. Zakat mencerminkan jiwa pemimpin yang sensitif dengan persoalan sosial. Jika Sholat merupakan ibadah yang mencerminkan hubungan hamba dengan Kholik-nya saja, maka Zakat mencerminkan hubungan seorang hamba dengan kholiknya dan dengan hamba ALLAH yang lainnya baik itu yang seiman maupun yang tidak. Seorang pemimpin semestinya tanggap dengan kondisi dan persoalan yang dihadapai oleh masyarakat. Karena memang fungsi yang paling esensi dari seorang pemimpin itu terletak pada sifat sosial yang dimiliki. Karena sifat-sifat inilah yang memang telah dicerminkan oleh Rasulullah SAW terhadap semua makhluk ciptaan Tuhan tanpa pandang bulu melihat konteks dan status.

Pemimpin memerintahkan pada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Memerintahkan pada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran merupakan sebuah perintah Allah Swt kepada setiap hamba. Pemimpin harus memiliki jiwa yang tegas dalam mengeluarkan kebijakan, dan tentunya kebijakan itu tidak merugikan orang lain. Menegakkan amar makruf mungkin akan lebih mudah karena memang konteks ini hanya menyuruh orang untuk melakukan kebaikan, beribadah kepada Allah terlepas orang menerima atau tidak. Tetapi mencegah kemungkaran tidak semudah amar makruf, karena memang dalam konteks ini membutuhkan sebuah kekuatan, bekal yang mantap untuk mencegah kemungkaran, karena itulah seorang pemimpin harus tegas dan berani dalam menegakkan kebenaran dan sanggup menyuarakan kebernaran walaupun ada tekanan dari berbagai pihak yang tidak suka dengan kebenaran dan keamanan ditegakkan di tengah-tengah masyarakat.

Pemimpin menyerahkan kepada Allah atas kesudahan segala urusan. Poin terakhir ini tidak kalah penting dengan tiga point sebelumnya. Point ini menunjukan bahwa seorang pemimpin harus bertawakkal kepada Allah Swt. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, sedangkan Allah Swt yang mengabulkan usaha dan permintaannya. Oleh karenanya, setiap manusia tidak boleh sombong. Sesuatu yang dikehendaki tidak akan terjadi tanpa izin Allah Swt. Dengan memperhatikan empat hal tersebut, maka seorang pemimpin, baik pemimpin bagi orang lain maupun pemimpin untuk diri sendiri, harus bertaqwa kepada Allah Swt, memperhatikan keadaan yang dipimpin, bersikap tegas dalam kebajikan, dan bertawakkal kepada Allah Swt atas setiap usaha yang dilakukan dan disertai dengan.

Empat hal tersebut bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilaksanakan. Semuanya merupakan acuan yang mesti dilaksanakan oleh seorang pemimpin agar menjadi seorang pemimpin yang bertanggungjawab baik kepada orang lain, terlebih lagi kepada Allah Swt. Karena seorang pemimpin tidak hanya bertanggung jawab kepada yang dipimpin. Pemimpin juga bertanggungjawab kepada yang memberikan amanah tersebut yakni Allah Swt. Pemimpin yang hanya bertanggungjawab kepada manusia akan menjadi pemimpin yang “pincang”. Karena pada hakikatnya, posisi sebagai pemimpin adalah amanah yang Allah Swt berikan. Tidak semata-mata karena manusia. Manusia hanya wasilah. Maka pertanggungjawaban seorang pemimpin yang sesungguhnya adalah kepada Allah Swt. Sejahtera atau tidaknya warganegara, sakinah atau tidaknya sebuah keluarga, baik-burknya akhlak manusia, semuanya dipertanggungjawabkan kepada Allah Swt.

Disamping itu semua seorang pemimpin harus juga memiliki keahlian (skill) yang mesti termanifestasikan dalam diri seorang pemimpin. Skill yang mesti dimiliki seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya lain seorang pemimpin harus memiliki komunikasi yang verbal, dapat memeneg waktu dengan baik sehingga waktu tidak ada yang sia-sia, dapat memeneg pengambilan keputusan sehingga keputusan yang diambil tidak tergesa-tergesa dan keputusan tersebut memang tepat sesuai kebutuhan. Mengakui, menjelaskan dan memecahkan persolan yang dihadapi, dapat memotivasi dan mempengaruhi orang lain. Mendelegasikan wewenang, dapat menetapkan tujuan dan menjelaskan visi, memiliki kesadaran diri bahwa pemimpin memiliki tanggung jawab, membangun kerja tim yang solid, dan dapat memeneg konflik yang dihadapai sehingga tidak terjadi perpecahan dalam masyarakat.

Hukum-hukum Allah adalah suatu keniscayaan yang mengatur ummat manusia, yang membantu manusia dalam mencapai realitas kebahagiaan. Hukum-hukum Allah ditegakkan agar keadilan dan kebenaran dapat terjamah oleh orang-orang yang tertindas dan terdzalimi. Sekarang ini untuk terjaganya hukum-hukum Illahiah yang mengatur kehidupan umat manusia dan masyarakat, maka di butuhkan seorang pemimpin yang memiliki pengetahuan luas tentang hukum Allah dan keadilan, akhlak yang mulia, matang secara kejiwaan dan ruhani, kemampuan mengatur (mengorganisasi), dan memiliki pola hidup yang sederhana. Intinya pemimpin haruslah wujud dari hukum Islam itu.

Kriteria Pemimpin

Sebagai langkah awal dalam memahami pemimpin yang tepat untuk diperhatikan sebagai seorang calon-calon pemimpin adalah ada lima kriteria minimal yang harus dipenuhi yakni :
  1. Beriman, Pemimpin jangan hanya beriman ketika hanya berkampanye dengan mendatangi ulama-ulama, pesantren-pesantern atau lembaga keagamaan lainnya, tetapi ketika sudah menjadi seorang pemimpin lupa dengan komitmennya dan tidak mau tau dengan kondisi umat. Nilai-nilai luhur kepemimpinan yang diajarkan oleh Islam tidak akan bisa dijalankan kecuali oleh orang-orang yang benar-benar beriman bukan mukmin gadungan yang selalu berubah sesuai dengan arah angin kencang hanya untuk kepentingan pribadi atau golongan semata.
  2. Memiliki Keahlian (Skill), Seorang pemimpin yang ideal harus memiliki visi dan misi yang jelas dan realistis sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga memang memiliki kemampuan untuk memimpin dan membangun Sumatra utara yang bermoral dan bermartabat. Kemampuan atau keahlian merupakan syarat mutlak untuk menjalani amanah pemimpin. Rasulullah juga telah mengingatkan kita bahwa setiap pekerjaan itu harus diserahkan kepada ahlinya, jika tidak maka tunggu kita tinggal menunggu waktu kehancurannya (HR. Muslim).
  3. Bisa Diterima Dalam Masyarakat, Keahlian yang teruji ditambah dengan integgritas pribadi yang terpuji membuat seseorang menjadi mudah diterima ditengah-tengah masyarakat. Seseorang memiliki cacat di mata masyarakat tidak layak untuk menjadi seorang pemimpin terlebih berkaitan dengan masalah moral.
  4. Tidak Arogan, Otoriter, dan Mau Menerima Masukan, Seorang Pemimpin harus memiliki pandangan bahwa dirinya adalah pelayan bagi masyaraktnya. Hidupnya senantiasa menghabiskan hari-harinya untuk kepentingan masyarakat. Tidak sombong apalagi bergaya Fira’un.
  5. Berkualitas. Baik dari Segi Fisik, Mental dan Intelektual, Pengetahuan dan wawasan yang luas, mental dan fisik yang sehat sangat menentukan dan membantu seorang pemimipin dalam mejalani kepemimpinannya untuk memecahkan berbagai persolan yang dihadapi. Seorang pemimpin harus memiliki jenjang pendidikan yang telah dijalani untuk menunjukkan keintelektualitasnya. Rasulullah juga telah memberikan kita gambaran bahwa seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah Swt ketimbang seorang mukmin yang lemah.
Maka sudah jelas kiranya bahwa strategi yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dalam menjalani kepemimpinannya, agar nantinya roda kepemimpinan bisa berjalan dengan baik dan berhasil dengan banyak memberikan kontribusi dan dapat membangun masyarakat yang sejahtera, makmur dan bermartabat adalah dengan memnguasai konsep-konsep kepemimpinan yang Islami seperti yang dijelaskan di atas.

KEPEMIMPINAN JAWA

Kali ini kita coba angkat nilai kepemimpinan di budaya Jawa. Bukan bermaksud mengunggulkan satu budaya lebih tinggi dari budaya lain, tentunya. Tetapi hanya sebuah referensi. Bahwa di masa Orde Baru budaya Jawa pernah dijadikan ‘azimat’ penguasa (baca : Soeharto) dalam mengendalikan Indonesia waktu itu. Banyak idiom-idiom kejawaan yang ia gunakan untuk melakukan pembenaran. Padahal, maksud sebenarnya tentulah bukan itu.

Mikul dhuwur, mendhem jero’ atau harfiahnya setinggi-tinggilah kalau mengangkat, sedalalam-dalamnya kalau menimbun seringkali dipakai Soeharto untuk ‘membekukan’ lawan-lawan politiknya. Karena ungkapan inilah, Bapak Bangsa kita, Bung Karno, tidak pernah diadili. Statusnya diambangkan : tahanan politik, apa kesalahannya? Tahanan kriminal, apa kejahatannya ? Sukarno amat menderita di hari-hari terakhir hidupnya, di Wisma Yaso- Jakarta (sekarang Museum Satria Mandala). Diisolasi dan diputus dari sumber energi hidupnya, massa-rakyat.

Mungkin lain waktu kita angkat budaya kepemimpinan yang lain dari bumi nusantara yang begitu luas ini. Seperti, demokrasi asli Indonesia sebenarnya sudah jauh berurat akar di masyarakat Minang ketika memutuskan persoalan di masyarakat. Indonesia – dan dunia – sebetulnya harus berterima kasih kepada budaya Sumatera Barat ini. Tidak heran sebutlah Hatta, Muhammad Yamin, Sutan Sjahrir untuk menyebut tiga cendekia sekaligus pahlawan Indonesia yang lahir dari kultur demokratis Minang. Begitu juga bagaimana para pelaut Bugis yang gagah berani menaklukkan samudera, mewariskan kekerasan hati dan keteguhan sikap pada suku bangsa di daerah Celebes (Sulawesi) ini telah melahirkan Sultan Hasanuddin, Sang Ayam Jantan Dari Timur.

Masih banyak yang lain. Nah…kali ini, satu buku yang mengulas soal kepemimpinan Jawa ini yaitu “Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa” karya Thomas Wiyasa Bratawijaya, yang berjudul “Kepemimpinan Hasta Brata” akan kita sampaikan ke Sekarist yang terhormat sebagai referensi.

SIFAT DASAR KEPEMIMPINAN

Sifat dasar kepemimpinan ini selalu dilaksanakan oleh Sri Rama, raja
Pancawati, yang disebut “Hasta Brata”. Hasta artinya delapan. Brata artinya
perilaku atau sifat. Delapan sifat kepemimpinan tersebut adalah:
  1. Sifat MATAHARI, matahari mengeluarkan panas, penuh energi dan memberi sarana untuk hidup. Seorang pemimpin harus mampu memberi motivasi, semangat,kehidupan dan kekuatan kepada seluruh anak buahnya.
  2. Sifat BULAN, bulan bentuknya bulat indah, menarik hati dan bersifat menerangi di dalam kegelapan. Seorang pemimpin harus dapat menyenangkan, menarik hati dan memberi terang kepada anak buahnya.
  3. Sifat BINTANG, bintang mempunyai bentuk indah dan menjadi hiasan langit di waktu malam, serta alat penunjuk arah. Seorang pemimpin harus dapat memberi petunjuk, pengarahan dan bimbingan agar anak buahnya mampu menyelesaikan tugas dengan baik. Bintang adalah lambang ingat dan mengabdi kepada Tuhan. Seorang pemimpin harus bertaqwa kepada Tuhan.
  4. Sifat ANGIN, angin mempunyai sifat dapat mengisi setiap ruang yang kosong. Seorang pemimpin harus bertindak cermat dan teliti serta tidak segan-segan terjun langsung ke masyarakat. Selain itu, agar mampu membawa suasana menyenangkan.
  5. Sifat API, api bersifat membakar apa saja yang bersentuhan dengannya dan tegas. Jadi seorang pemimpin harus mampu bertindak tegas dan adil tanpa pandang bulu. Di samping tegas, seorang pemimpin harus mempunyai prinsip konsisten serta dapat menahan emosi atau mengendalikan diri.
  6. Sifat MENDUNG, mendung bersifat menakutkan, berwibawa, tetapi setelah berubah menjadi air atau hujan, dapat menyegarkan semua makhluk hidup. Seorang pemimpin harus menjaga kewibawaan dengan berbuat jujur, terbuka dan memberikan yang bermanfaat bagi anak buahnya.
  7. Sifat SAMUDERA, samudera mempunyai sifat luas dan dapat menampung apa saja yang masuk ke dalamnya. Juga bersifat rata. Jadi seorang pemimpin harus mempunyai pandangan luas, adil, mampu menerima berbagai macam persoalan, tidak boleh pilih kasih, dan membenci golongan apa pun. Di samping itu, seorang pemimpin harus berbesar jiwa dengan memaafkan kesalahan orang lain.
  8. Sifat BUMI, bumi mempunyai sifat teguh, sentosa dan apa yang ditanam akan menghasilkan yang bermanfaat untuk kehidupan. Jadi seorang pemimpin harus berteguh hati dan selalu mampu meberi anugerah kepada siapa saja yang berjasa.
PERAN KEPEMIMPINAN HASTA BRATA

Berbagai peran yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin agar mendapat dukungan secara mantap dan bertahan lama, hendaknya berpegang pada sifat kepemimpinan yang dijalankan oleh Sri Rama yang disebut Hasta Brata tadi. 

Seorang pemimpin harus dapat menjadi perhatian. Bila kepemimpinannya tidak baik, tidak jujur dan berbuat korupsi jelas tidak mungkin dan tidak perlu menjadi panutan. Perilaku pemimpin Jawa yang dapat menjadi panutan harus mampu berperan atau berfungsi sebagai:
  1. Komandan. Pemimpin harus mampu memerintah anak buahnya, bertindak tegas dan berani tampil ke depan. Ia harus berdisiplin diri sebelum mendisiplinkan anak buahnya, memberi arahan dan perintah disertai dengan petunjuk dan pedoman yang jelas. 
  2. Pelopor. Pemimpin harus kreatif, penuh inisiatif dan bila perlu tampil ke depan untuk membuka jalan dan mengatasi masalah yang timbul. Sebagai pelopor, pemimpin harus memiliki intelegensi yang cukup tinggi, cakap dan pandai mengatur strategi. 
  3. Bapak. Seorang pemimpin harus bijaksana dan adil. Pemimpin harus mengayomi anak buahnya, memberi harapan kehidupan yang bahagia dan menjamin kesejahteraan seluruh anak buahnya. Pemimpin harus mampu menciptakan suasana tenang, tentram dan damai sehingga anak buahnya dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Selain itu harus dapat membimbing anak buahnya agar dapat mandiri dan bekerja benar.
  4. Ibu. Seorang pemimpin harus memiliki rasa kasih sayang. Ia harus dapat menampung aspirasi, keluhan, laporan dan informasi dari anak buahnya untuk dianalisa sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan. 
  5. Guru. Seorang pemimpin dituntut mampu memberikan pendidikan, pengajaran dan pelatihan pada anak buahnya guna kaderisasi. Guru merupakan sumber ilmu, karenanya seorang pemimpin harus selalu belajar agar ilmu pengetahuannya berkembang dan mempunyai visi yang jauh ke depan. Sebagai guru, seorang pemimpin harus sabar dan dapat menilai secara obyektif hasil karya anak buahnya. 
  6. Pandita. Seorang pemimpin harus taat dalam menjalankan ibadahnya dan mendorong anak buahnya untuk melaksanakan ibadahnya sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Pemimpin harus menanamkan moral, nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku. 
  7. Sahabat. Seorang pemimpin tidak perlu menjaga jarak dengan menjauhkan diri dari anak buahnya. Sebagai sahabat, seorang pemimpin harus memiliki keakraban, tenggang rasa, berdialog dalam memecahkan masalah yang terjadi. Dengan keakraban, anak buah merasa dihargai sehingga timbul motivasi untuk bekerja lebih giat dan bersemangat. 
  8. Satria. Seorang pemimpin harus melindungi dan mau berkorban demi kebahagiaan anak buahnya. Yang terpenting dari seorang satria adalah rasa malu untuk berbuat curang, menyeleweng, melakukan korupsi dan menyalahgunakan wewenang. Inilah yang perlu dikembangkan sebagai pemimpin panutan.
TRILOGI KEPEMIMPINAN

Trilogi kepemimpinan ini sudah kita ketahui bersama, yaitu ajaran Ki Hadjar Dewantara yang sangat populer. Namun demikian dalam tulisan ini perlu saya ungkap secara sederhana. Isi trilogi tersebut adalah:
  1. Ing ngarsa sung tuladha, artinya sebagai seorang pemimpin harus dapat memberikan teladan baik terhadap anak buahnya yaitu dengan cara berdisiplin, jujur, penuh toleransi dan bertindak adil. 
  2. Ing madya mangun karsa, artinya dalam melaksanakan tugas bersama-sama anak buahnya, seorang pemipmpin harus mampu memberikan motivasi agar anak buahnya senang melaksanakan tugas dengan baik. Pemimpin tidak hanya memerintah saja tetapi ikut melaksanakan tugas bersama-sama dengan anak buahnya agar sasaran dan tujuan bersama dapat tercapai dengan baik dan memuaskan.
  3. Tut wuri handayani, artinya seorang pemimpin harus bisa mendelegasikan wewenang sesuai dengan kemampuan anak buahnya. Pemimpin harus memberikan kepercayaan penuh pada anak buahnya. Selama anak buahnya mampu melaksanakan tugas dengan baik, penui dedikasi dan tanggung jawab, maka pemimpin tinggal merestui saja.
Sayang sekali banyak orang mengartikan negatif pada ajaran yang begitu baik ini. Memang dalam penerapannya, banyak orang menyimpangkan trilogi kepemimpinan Jawa ini, sehingga berakibat melecehkan. Trilogi ini hanya ditulis derngan huruf-huruf yuang indah dengan bingkai mahal hanya sekedar penghias ruangan kantor saja. Tetapi dalam kenyataannya mereka menafsirkan secara sinis. Sebaiknya kita yang berbudaya tinggi bisa mengembalikan citra trilogi yang sebenarnya.

MEMAHAMI  DAN IMPLEMENTASI KEPEMIMPINAN JAWA 

Kepemimpinan (leadership) merupakan unsur yang sangat penting dalam membawa suatu bangsa kepada tataran peradaban tertentu. Dalam sejarahnya, hampir pasti suatu bangsa mencapai kemajuan karena adanya kepemimpinan yang baik. Dari panggung sejarah dunia kita melihat, misalnya bangsa Mongol menonjol karena adanya Jengis Khan, Yunani berkibar karena munculnya Iskandar Agung (Iskandar Zulkarnain), Arab menonjol karena munculnya Muhammad, dan sederet panjang pemimpin dengan karakter masing-masing.

Dalam tradisi Jawa sejak zaman dahulu sampai dengan sekarang, dikenal pemimpin-pemimpin dalam kurun waktu tertentu yang menonjol yang tentu saja juga dengan karakter masing-masing seperti Balitung, empu Sendok, Darmawangsa Teguh, Airlangga, Empu Bharada, Jayabhaya, Kertanegara, Gajah Mada, Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Fatahilah, Ki Juru Martani, Panembahan Senopati, Sultan Agung, Mangkubumi, Diponegara, dan lain-lain. Karakter pemimpin tersebut tentu saja berkaitan dengan situasi dan kondisi zamannya yang menuntut sikap tertentu.
Makalah ini mencoba memahami konsep-konsep kepemimpinan dalam budaya Jawa dan aplikasi praktisnya. Pemimpin dalam tulisan ini tidak selalu dalam artian pimpinan formal seperti raja, presiden, bupati, dan seterusnya, tetapi lebih condong kepada model kepemimpinan (leadership) serta tokoh pengendali kepemimpinan. Sebagai misal, pimpinan Majapahit bukanlah raja Majapahit, melainkan Gajah Mada yang berperan dalam pengendalian negara.

2. Ciri-ciri Kepemimpinan Jawa

Setiap jenis kepemimpinan memiliki ciri-ciri. Ciri-ciri tersebut akan berubah sesuai tuntutan zaman. Ciri kepemimpinan Jawa pun mengalami perubahan-perubahan. Menurut hemat saya, kepemimpinan dalam budaya Jawa memiliki beberapa ciri, yakni:
  1. Monocentrum
  2. Metafisis
  3. Etis
  4. Pragmatis
  5. Sinkretis
Monocentrum bermakna bahwa kepemimpinan berpusat pada figur yang tunggal. Kepemimpinan Jawa bersifat tunggal, yakni berpusat pada satu orang (monoleader/ monocentrum). Hal ini merupakan suatu kelemahan karena begitu seorang pemimpin lenyap, maka sistem mengalami kekacauan. Tampaknya sistem ini masih mendominasi kepemimpinan umumnya di Indonesia. Ciri ini ternyata merupakan suatu ciri yang universal pula di belahan dunia lain. Hampir setiap kepemimpinan ternyata memusat pada suatu tokoh. Surutnya seorang tokoh seringkali diikuti dengan pudarnya sistem kepemimpinan, sebagai misal kejayaan Majapahit sangat tergantung pada Gadjah Mada, kejayaan Mataram sangat terikat dengan Sultan Agung, dan dominasi Orde Baru sangat terkait dengan Suharto, serta dapat diteruskan dengan sejumlah kasus.

Dalam kepemimpinan Jawa, orang cenderung menonjolkan figur kepemimpinan daripada sistem kepemimpinan. Suatu lembaga, misalnya, setiap ganti pimpinan maka selalu ganti kebijakan sesuai ”selera” sang pemimpin. Gambaran ini juga tampak dalam gelar raja Jawa yang menggenggam semua aspek pemerintahan dari sosial dan pemerintahan dengan ungkapan ” berbudi bawa leksana, bau dendha nyakrawati”, amirul mukminin kalifatullah sayidin panatagama (pemurah laksana angin, yang menghukum dan menyempurnakan, pimpinan orang mukmin, wakil Allah di bumi, pimpinan yang mengatur agama).

Kepemimpinan Jawa juga bersifat metafisis, yakni selalu dikaitkan dengan hal-hal metafisik seperti wahyu, pulung, drajat, keturunan (nunggak semi), dan sebagainya. Seolah-olah, kemampuan memimpin bukan sebagai suatu capability, tetapi lebih condong sebagai miracle. Karena kepemimpinan bersifat metafisis, hampir-hampir tidak ada sistem rekruitmen pemimpin yang baik di negeri ini. Pemimpin muncul secara sporadis dan take for granted. Kadang-kadang di dalam menentukan pemimpin tidak ada penilaian track record dan quality (test kelayakan), andaikan ada sangat mendasar belaka. Dalam serat-serat Jawa pun hanya dicantumkan tentang karakter ideal seorang pemimpin, tetapi tidak ditunjukan ”bagaimana karakter itu dapat diproses”. Hal ini tergambar dalam konsep ”raja gung binatara ”. Gambaran tentang pengalaman metafisis para calon raja diuraikan panjang lebar oleh Berg (1974) dalam bukunya Penulisan Sejarah Jawa (terjemahan). Hal tersebut juga tergambar dalam serat-serat dalam tradisi Jawa (Poerbatjaraka, 1952).

Secara praktis, pandangan ini masih dianut oleh calon pemimpin-pemimpin di Jawa. Untuk mencalonkan dalam bursa kepemimpinan, banyak calon pemimpin melakukan ritual-ritual untuk mendapatkan kekuatan spiritual seperti memiliki/ membeli ”azimat”, tapa kungkum, meminta restu ”orang pintar”, ritual tertentu, dan lain-lain. Sementara itu, hal terkait dengan kapabilitasnya sering diabaikan.

Sementara itu, secara dramatis juga digambarkan oleh Ranggawarsita bahwa raja-raja di Jawa adalah keturunan dari Nabi Adam yang kemudian juga menurunkan dewa-dewa seperti Batara Guru dan Semar yang tampak dalam Paramayoga (Ranggawarsita, 1997). Khusus Semar, dianggap sebagai salah satu tanda turunnya wahyu sehingga siapapun yang diikuti Semar akan menjadi pemimpin yang baik (Subroto, 1957)
Nilai kepemimpinan Jawa bersifat etis, artinya apa yang diidamkan adalah sesuatu yang berdasar pada baik buruk, tetapi konsep aplikasi riil yang ditawarkan sama sekali tidak ditunjukan. Dengan kata lain, nilai-nilai yang disampaikan tidak disertai dengan semacam metode pencapaian.

Konsep-konsep kepemimpinan yang disampaikan tampaknya merupakan konsep-konsep yang sangat pragmatis. Hal ini, misal misal, tampak dalam Serat Tripama (Tiga Perumpamaan) dari lingkungan Mangkunegaran yang mengidolakan tiga tokoh kontroversial: .Sebagai misal, kehadiran tokoh Kumbakarna, Adipati Karna, dan Sumatri (Patih Suwanda) terkait erat dengan fakta historis Mangkunegaran yang eksis di pihak perlawanan, khususnya terhadap Kasunanan yang merupakan simbolisasi dari Pandawa (raja-raja Mataram menganggap dirinya keturunan Arjuna) (Sudardi, 1995). Keterkaitan simbolisasi tokoh ideal dengan fakta historis dapat dipahami dengan bagan berikut.

Tokoh Cerita Mangkunegara

Kumbakarna Tokoh yang setia kepada negara Mangkunegaran berjuang dengan dalih mencintai dinasti Mataram

Karna Setia pada Kurawa karena ditolong oleh Kurawa dan dijadikan Adipati, meskipun yang menolong adalah musuh adik-adiknya. Dalam sejarahnya, Mangkunegara adalah sentana Kartasura yang terbuang, ia dapat terangkat menjadi Adipati karena bantuan Belanda
Suwanda Patih yang setia pada Arjunasasrabahu dan dapat menyelesaikan pekerjaan Mangkunegara dalam sejarah selanjunya banyak membantu Belanda dalam menumpas pemberontakan sehingga menjadi.

Karena itu, dapatlah dipahami apabila konsep kepemimpinan dalam Tripama menampilkan tokoh-tokoh idealis yang kontroversial karena kedudukan Mangkunegara di zamannya dapat dikatagorikan sebagai tokoh yang kontroversial karena berani menentang Kasunanan. Munculnya idealisme terhadap tokoh-tokoh tersebut terkait aspek pragmatis, untuk membenarkan tindakan-tindakan Mangkunegara selama itu.

Kepemimpinan Jawa bersifat sinkretis, artinya konsep-konsep yang diambil adalah konsep-konsep yang berasal dari berbagai agama yang memiliki pengaruh pada pola pikir di Jawa, khususnya Islam dan Hindu. Pola pikir Islam biasanya disadap dari ajaran-ajaran sufi yang mengedepankan aspek wara’ (menjauhi kemewahan dunia) dan hidup sederhana sebagaimana para sufi yang meninggalkan kehidupan dunia untuk menuju kebahagiaan sejati (Sudardi, 2003). Hal ini tergambar pada idiom-idiom yang digunakan untuk pimpinan, khususnya raja.

Pengaruh Hindu Pengaruh Islam
  1. Gung Binatara (besar seperti dewa)
  2. Ambeg paramarta (bagaikan dewa) –konsep titisan Dewa
  3. Panatagama (penata agama),
  4. Herucokro (menyempurnakan pekerjaan) – sifat Wisnu
  5. Senapati ing alaga (hulubalang di medan laga) (sifat Indra)
  6. Hastabrata (ajaran Seri Rama) sifat Wisnu

Dasa darma raja (ajaran bagi para raja) 
  1. Ratu adil (raja yang adil)
  2. Kalifatullah (wakil Allah),
  3. Sayidin (yang dituakan/ dihormati)
  4. Mengerti halal haram (paham akan agama).
  5. Sederhana (kehidupan nabi)
  6. Loyal, tidak berwatak pedagang (cari untung) iklash
  7. Rendah hati (tawadhu’)
Kebenaran Etis, Kebenaran Dogmatis, dan Kebenaran Hakiki

Setap pemimpin membawa misi untuk memperjuangkan kebenaran. Setidaknya ada tiga jenis kebenaran yang mewarnai nilai-nilai yang terdapat di dalam budaya Jawa yang tercermin di dalam ajaran dan kisah-kisah simbolis dalam wayang.
Kebenaran etis ialah kebenaran yang dinilai berdasar etika, baik buruk seperti balas budi. Nilai yang dibawa oleh Karna adalah nilai etis ketika seseorang harus berperang dengan saudara-saudara ang karena ingin membalas budi kepada seseorang yang telah ”memuliakannya”. Kebenaran ini syah, tetapi akan menjadi dilematis ketika yang dibela adalah tokoh-tokoh yang berpihak kepada kejahatan.

Kebenaran dogmatis adalah kebenaran dalam rangka membenarkan suatu dogma, suatu keyakinan, atau suatu kepercayaan. Kebenaran model ini dilakukan oleh Kumbakarna ketika ia harus membela negaranya dengan prinsip membela tanah airnya yang diserang musuh. True or wrong is my country. Kebenaran ini dapat menimbulkan nilai heroisme yang tinggi. Tetapi Kumbakarna memasuki suasana tragis karena negaranya diserang akibat pimpinan negara melakukan suatu kejahatan. Situasi hati Kumbakarna terbelah antara membela negara dan membela kejahatan.

Termasuk kebenaran dogmatis adalah kebenaran otoriter, yakni kebenaran yang dipaksakan oleh otoritas kekuasaan. Dalam tradisi Jawa, kisah tragis terkait kebenaran otoriter ini adalah cerita antara Panembahan Senopati dan Mangir Wanabaya. Ketika Mangir Wanabaya datang ke panembahan Senopati lalu mau sujud kepada mertuanya, Mangir Wanabaya sebenarnya sudah berada dalam “kebenaran hakiki” yang didorong oleh kekuatan universal “cinta dan penghormatan”. Namun, sikap Panembahan Senopati yang kemudian membenturkan kepala Mangir Wanabaya ke watu gilang tidak lain karena ia menggenggam kebenaran otoriter bahwa Mangir Wanabaya seorang musuh yang mengancam kerajaannya.

Kisah pemakaman Mangir Wanabaya yang separuh berada di dalam makam karena diakui sebagai menantu dan separuh di luar makam karena diangga musuh adalah sebuah cacatan tentang tragedi manusia dalam memahami tingkatan kebenaran.
Kebenaran hakiki adalah kebenaran berdasarkan nilai-nilai yang hakiki (ultimate value), yakni nilai-nilai yang abadi dan universal di dalam tata kehidupan tanpa memandang darimana nilai itu berasal. Nilai ini tidak memihak.

Dalam Ramayana kebenaran hakiki tampak pada tokoh utama Rama yang berperang bukan semata-mata rebutan wanita, tetapi ia hadir sebagai titisan Wisnu yang akan “memayu hayuning bawana”. Hal ini terbaca oleh Wibisana yang justru menyeberang ke pihak Rama, seseorang yang sama sekali tidak ada kaitan darah. Perpindahan Wibisana ke pihak Rama adalah sesuatu yang dramatis karena tentu bukan perkara mudah baginya untuk diterima Rama karena Wibisana adalah adik tersayang Rawana, termasuk sentana Alengka. Kecurigaan sebagai mata-mata pasti akan muncul. Di piahk lain, bagi negaranya Wibisana adalah seorang pengkhianat. Namun, apa yang dlakukan Wibisana adalah suatu usaha memperjuangkan nilai-nilai kebenaran hakiki.

Tokoh Arjuna dalam Mahabharata adalah tokoh yang menyuarakan kebenaran hakiki tersebut. Arjuna melepaskan rasa pribadi ketika harus “menghabisi” orang-orang terhormat di matanya (kakek Bisma) dan kemudian harus menghadapi kakak sekandungnya, Karna. Timbul gundah di dalam hati Arjuna, tetapi kegundahan ini kemudian sirna dengan disampaikannya ajaran ilahiah oleh Krisna di dalam Baghawat Gita bahwa Arjuna berperang semata-mata menjalankan darma dalam rangka menghancurkan angkara murka di muka bumi, meskipun angkara itu melekat pada orang-orang terdekat dan dicintai.

Budaya Jawa adalah sebuah budaya yang telah melewati masa perkembangan yang panjang. Bukti-bukti arkeologi menunjukan bahwa sejak abad ke-4 (masa Tarumanegara di Jawa Barat), budaya Jawa telah memiliki kedudukan mantap dalam bentuk institusi dengan sistem yang baik. Kemudian abad ke-7 juga muncul Kalingga di Jawa Tengah. Masa perkembangan dari abad ke-4 sampai dengan abad ke-21 ini tentu mengalami perkembangan dan pasang surut dan tentu saja perubahan-perubahan.
Dewasa ini, model kepemimpinan Jawa telah lebur ke dalam model kepemimpinan nasional Indonesia. Sebagai suku bangsa terbesar, konsep-konsep Jawa sangat berpengaruh dalam dinamika sosial politik Indonesia. Bahkan, idiom-idiom Jawa seperti aja dumeh, gotong royong, rukun, tepa selira adalah contoh-contoh idiom Jawa yang sudah menasional. Dewasa ini

FALSAFAH KEPEMIMPINAN BANGSA DALAM PARIBASAN JAWA (Aksioma Budaya Yang Mulai Ditinggalkan)

Paribasan merupakan salah satu wujud kebudayaan masyarakat Jawa. Ia tidak hanya mampu memberikan gambaran tentang jati diri masyarakat Jawa, tentang simbol-simbol sosial yang mereka anut dalam beraktifitas, tapi juga tentang pegangan hidup mereka yang berwujud falsafah-falsafah kebatinan. Salah satunya adalah falsafah kepemimpinan. Sayangnya, faktor keterbatasan pemahaman masyarakat Jawa terhadap paribasan, menjadikan hasil budaya ini menjadi kurang bermakna. Ia seringkali ditempatkan hanya sebagai pernak-pernik budaya yang tidak memiliki peran signifikan dalam membangun masyarakat utamanya dalam kehidupan berpolitik. Akibatnya, ketika masyarakat Jawa mendapatkan kesempatan untuk memimpin, banyak diantara mereka menjadi salah arah dan akhirnya tersesat. Jika masyarakat Jawa yang diberi amanah untuk memimpin, kembali menengok akar budaya mereka salah satunya dengan berusaha meresapi makna-makna dibalik aksioma paribasan, niscaya, perilaku mereka akan terjaga dan krisis kepemimpinan yang terjadi pada bangsa ini akan berakhir. Kita tidak akan lagi mendapatkan pemimpin yang pinter nanging keblinger atau pemimpin yang lali marang asale di masa yang akan datang.

Pulau Jawa dikenal sebagai pulau yang makmur. Tanahnya yang gembur, landscapenya yang datar, penduduknya yang mayoritas terpelajar, serta seni budayanya yang tinggi menjadikan pulau jawa menjadi terkenal di hampir seluruh penjuru dunia.

Sejarah politik dan ekonomi pulau Jawa juga sangat cemerlang. Sejak dahulu kala, pulau Jawa menjadi pusat diplomasi internasional bagi banyak penduduk nusantara maupun penduduk dunia. Orang-orang Eropa, Afrika, India, Amerika, Asia Timur dan kaum-kaum manca lainnya seringkali melakukan perjalanan ke Pulau Jawa untuk melakukan berbagai macam kegiatan niaga, politik, dan diplomasi pemerintahan.

Jawa tidak hanya dikenal karena potensi pulaunya saja yang luar biasa. Masyarakat yang tinggal di pulau tersebutpun (atau yang kita kenal sebagai orang Jawa) juga sangat tersohor. Setelah rakyat Nusantara memproklamirkan kemerdekaannya dan berjanji untuk bersatu dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, masyarakat Jawa sebagai bagian dari masyarakat Nusantara selalu tampil terdepan dalam kepemimpinan nasional. Banyaknya pemimpin nasional dari suku Jawa inilah menjadikan suku Jawa terkenal. Ciri kepemimpinan nasionalpun banyak mendapat pengaruh oleh gaya kepemimpinan masyarakat Jawa (Purwadi, 2009).

Budaya Jawa yang dibawa pemimpin-pemimpin Jawa memberi pengaruh yang kuat pada karakter hidup bangsa Indonesia secara keseluruhan. Kita ambil contoh “Bhinneka Tunggal Ika,” kata-kata Mutiara yang dirangkai oleh Mpu Jawa yaitu Tantular, menjadi slogan nasional bangsa Indonesia. Beberapa slogan Jawa lainnya seperti ”jer basuki mawa beya,” “rawe-rawe rantas, malang-malang putung” dan ”Tut Wuri Handayani” (Hartatik et al, 2001) dikenal secara luas oleh bangsa Indonesia dan digunakan secara umum dalam dunia sosial maupun pendidikan.

a. Beberapa Konsep Kepemimpinan Jawa

Sebagai etnik terbesar, Jawa memiliki konsep-konsep (selanjutnya akan disebut sebagai falsafah). Falsafah-falsafah tersebut tersebar dalam berbagai dimensi kehidupan seperti etika dan tata karma pergaulan, hubungan orang tua dan anak, hukum, keadilan dan kebenaran, ilmu pengetahuan dan pendidikan, hubungan sosial, kekerabatan dan gotong royong, kepercayaan dan religiositas, kewaspadaan dan introspeksi dan masih banyak lagi. (Santoso, 2010). Diantara falsafah-falsafah tersebut, falsafah kepemimpinan adalah falsafah yang paling menonjol dan dikenal luas oleh masyarakat Nusantara. Ini tidak mengherankan mengingat masyarakat Jawa gemar memimpin dan ketika orang Jawa memimpin, mereka seringkali menyatakan menggunakan falsafah Jawa (entah benar atau salah) sebagai pedoman kepemimpinan mereka.

Terlepas apakah mereka benar-benar menggunakan falsafah tersebut dalam kepemimpinan mereka atau tidak, budaya Jawa memiliki banyak sekali falsafah tentang bagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik. Beberapa diantaranya adalah falsafah kepemimpinan astabratha, falsafah kepemimpinan tribrata, falsafah kepemimpinan Gajah Mada, falsafah kepemimpinan Sultan Agung yang diungkapkan lewat Serat Sastra Gendhing. Empat falsafah di atas dijadikan sebagai jalan hidup yang dipegang teguh. Falsafah-falsafah tersebut mencerminkan spiritualitas Jawa yang inspiratif dan berpengaruh besar pada pandangan hidup masyarakat Jawa secara umum.

Falsafah Astabratha adalah falsafah yang menganggap pemimpin harus memiliki watak adil merata tanpa pilih kasih (Ki Kasidi Hadiprayitno dalam Kompas, Sabtu, 16 Agustus 2008). Secara rinci konsep ini terurai dalam delapan (asta) watak: bumi, api, air, angin, angkasa, matahari, bulan, dan bintang atau dalam bahasa Jawa disebut bumi, geni, banyu, bayu, langit, surya,candra, dan kartika.

Falsafah Tri Bata memiliki tiga prinsip yaitu (1) rumongso melu handarbeni (merasa ikut memiliki), (2) wajib melu hangrungkebi (wajib ikut membela dengan ikhlas), dan (3)mulat sariro hangrasa wani (mawas diri dan memiliki sifat berani untuk kebenaran).Falsafah ini masih relevan diaplikasi di masa kini .

Falsafah kepemimpinan dari Gadjah Mada secara garis besar memuat tiga dimensi, yaitu (1)Spiritual, (2) Moral, dan (3) Manajerial. Dimensi Spiritual terdiri dari tiga prinsip, yaitu:wijaya yang berupa sikap tenang, sabar, bijaksana; masihi samasta bhuwana yang berwujud mencintai alam semesta; dan prasaja yang berbentuk sikap hidup sederhana. Dimensi Moralterdiri dari enam prinsip, yaitu: mantriwira yang berwujud berani membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan; sarjawa upasama yang berupa sikap rendah hati; tan satrisnayang berbentuk sifat tidak pilih kasih; sumantri yang berwujud sikap tegas, jujur, bersih, berwibawa; sih samasta bhuwana yang berbentuk kondisi dicintai segenap lapisan masyarakat dan mencintai rakyat; nagara gineng pratijna yaitu mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, golongan, dan keluarga. Dimensi Manajerial terdiri dari sembilan prinsip, yaitu: natangguan yaitu mendapat dan menjaga kepercayaan dari masyarakat; satya bhakti prabhu yaitu loyal dan setia kepada nusa dan bangsa; wagmiwagyaitu pandai bicara dengan sopan; wicaksaneng naya yaitu pandai diplomasi, strategi, dansiasat; dhirotsaha yaitu sikap rajin dan tekun bekerja dan mengabdi untuk kepentingan umum; dibyacitta yaitu lapang dada dan bersedia menerima pendapat orang lain; nayaken musuh dengan sikap menguasai musuh dari dalam dan dari luar; ambek paramartha yaitupandai menentukan prioritas yang penting, serta waspada purwartha yaitu sikap selalu waspada dan introspeksi untuk melakukan perbaikan.

Falsafah keempat adalah falsafah kepemimpinan Sultan Agung, yang diungkapkan lewat Serat Sastra Gendhing. Falsafah ini memuat tujuh amanah. Amanah pertama, swadana maharjeng tursita, menyebutkan bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki sosok intelektual, berilmu, jujur, dan pandai menjaga nama, mampu menjalin komunikasi atas dasar prinsip kemandirian. Kedua, bahni bahna amurbeng jurit, menyebutkan bahwa seorang pemimpin harus selalu berada di depan dengan memberikan keteladanan dalam membela keadilan dan kebenaran. Ketiga, rukti setya garba rukmi, menggarisbawahi bahwa seorang pemimpin harus memiliki tekad bulat menghimpun segala daya dan potensi guna kemakmuran dan ketinggian martabat bangsa. Keempat, sripandayasih krani, yaitu pemimpin harus memiliki tekad menjaga sumber-sumber kesucian agama dan kebudayaan, agar berdaya manfaat bagi masyarakat luas. Kelima, gaugana hasta, yaitu seorang pemimpin harus mengembangkan seni sastra, seni suara, dan seni tari guna mengisi peradapan bangsa. Keenam, stiranggana cita, yaitu seorang pemimpin harus memiliki keinginan kuat untuk melestarikan dan mengembangkan budaya, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan membawa obor kebahagiaan umat manusia. Ketujuh smara bhumi adi manggala, yaitu seorang pemimpin harus menjadi pelopor pemersatu dari berbagai kepentingan yang berbeda-beda dari waktu ke waktu, serta berperan dalam perdamaian di dunia .

Selain empat falsafah kepemimpinan di atas, terdapat falsafah kepemimpinan lain yang juga cukup menonjol. Falsafah ini adalah falsafah kelima yang muncul dari tradisi masyarakat, digunakan oleh masyarakat dan berlaku juga untuk masyarakat dalam bentuk unen-unen kang ajeg panganggone, mawa teges entar, ora ngemu surasa pepindhan (Ungkapan yang tetap pemakaiannya, dengan arti kias, tidak mengandung makna perumpamaan) (Padmosoekotjo dalam Sumarlam, 2006). Falsafah ini muncul dalam bentuk paribasan Jawa.

Meskipun muncul dari tradisi, namun kebenaran paribasan tidak diragukan lagi. Karena muncul dari tradisi masyarakat dan kebenarannya banyak yang membuktikan, maka dalam artikel ini digunakan istilah ”falsafah kepemimpinan aksiomal.” untuk merujuk pada paribasan. Falsafah kelima inilah yang akan didiskusikan pada bagian selanjutnya artikel ini.

b. Falsafah Kepemimpinan dalam Paribasan Jawa

Jawa adalah salah satu etnik yang memiliki kearifan lokal dalam kepemimpinan. Kepemimpinan dalam masyarakat Jawa mendapat perhatian yang tinggi karena terkait erat dengan nilai-nilai ideal yang berorientasi pada dunia supranatural. Ini dapat dilihat dari adanya pandangan-pandangan tradisional yang menganggap raja sebagai pemimpin sekaligus ”wakil/titisan” dewa. Sebagai seorang pemimpin dan wakil tuhan, tugas seorang pemimpin adalah menciptakan kehidupan yang harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan 

Meskipun nilai-nilai kepemimpinan ada di setiap budaya suku bangsa, tetapi nilai-nilai kepemimpinan Jawa memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan nilai-nilai yang ada pada suku bangsa lain yaitu nilai-nilai kepemimpinan tersebut diajarkan dan dipegang teguh di semua lapisan mayarakat, mulai dari tua, muda, laki-laki, perempuan, bangsawan dan rakyat jelata. Ajaran kepemimpinan ini terlihat jelas dalam berbagai bentuk ungkapan paribasan yang muncul dalam banyak interaksi sosial.

Di bawah ini terdapat beberapa paribasan Jawa yang menunjuk sikap positif seorang pemimpin. Paribasan tersebut dipaparkan di sini untuk menunjukkan betapa tingginya perhatian budaya Jawa terhadap kepemimpinan. Sebenarnya masih ada banyak paribasan yang menunjukkan sikap kepemimpinan yang baik, Namun karena terbatasnya waktu penulis serta halaman artikel ini, hanya 15 paribasan saja yang dipaparkan di sini.

a) Menghormati dan Menjaga Aib Pimpinan

”He that cannot obey cannot command” (orang yang mau mematuhi perintah atasan adalah orang yang akan sanggup untuk memimpin dengan kelak). Peribahasa bahasa Inggris ini mengajarkan pada kita bagaimana seorang bawahan seharusnya bersikap pada atasan. Falsafah dengan makna sejenis di atas juga ada dalam ajaran Jawa. Meskipun bunyinya tak sama, paribasan ”kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni, kena takon ning aja ngrusuhi” turut mengajarkan bagaimana seorang Jawa bersikap pada atasannya.

Paribasan tersebut mengajarkan bahwa bawahan harus dapat bekerjasama dengan atasan dan tidak boleh ”sok” apalagi mempermalukan atasan. Bawahan dapat saja cepat dan cekatan, tapi jangan mendahului pimpinan, bawahan dapat saja pintar, tapi jangan lantas menggurui pimpinan, boleh dapat saja bertanya tapi jangan sampai pertanyaannya tersebut kemudian menyudutkan pimpinan. Simpulannya, bawahan diharapkan untuk tidak bersikap dan bertindak yang dapat mempermalukan pimpinan, walau ia lebih mampu dari pimpinannya. Falsafah ini tidak dimaksudkan untuk menghambat karir seseorang dalam bekerja, tapi malah sebaliknya, akan melatih seorang calon pemimpin untuk belajar mendengarkan orang lain sebelum pada akhirnya ia memegang kekuasaan dan didengarkan oleh orang lain. Inilah kode etik atau norma yang harus di pahami oleh tiap anak buah atau seorang warga negara, demi menjaga citra pimpinan (presiden, gubernur, menteri, direktur) dan citra lembaga yang dipimpinnya.

Sayangnya, falsafah ”menghormati pimpinan” yang ada dalam paribasan ini sudah banyak dilupakan oleh masyarakat Jawa. Ini dapat dilihat dari banyaknya pemimpin (dari suku Jawa) dipermalukan, bahkan dimakzulkan oleh anak buahnya (yang juga dari suku Jawa), hanya karena pemimpin tersebut beda kepentingan, beda partai, dan beda idiologi. Padahal pemimpin yang dimakzulkan tersebut hanya berbuat beberapa kesalahan kecil dan belum berbuat banyak untuk melaksanakan amanah yang diembannya.

Selain falsafah ”kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni, kena takon ning aja ngrusuhi,” terdapat paribasan lain yang mengajarkan bagaimana seorang bawahan bersikap pada atasan. Paribasan Jawa yang berbunyi “mikul dhuwur mendem jero” adalah salah satu falsafah hidup Jawa yang bersifat umum namun dapat ditarik ke dalam ranah kepemimpinan. Paribasan ini mengajarkan seseorang untuk bisa mengangkat derajat dan martabat pimpinannya, entah itu pimpinan keluarga, masyarakat, tempat kerja ataupun lebih luas lagi. Bawahan harus dapat menutupi aib pimpinan tersebut, serta tidak membuka dan mengekpos aib tersebut kepada khalayak umum karena pada dasarnya, aib pimpinan adalah aibnya sendiri. Dengan membuka aib orang untuk tujuan jahat, akan mengundang karma, karena kelak, aibnya sendiri akan dibuka oleh orang lain (Santoso, 2010).

Dalam konteks masa kini, buka membuka aib pimpinan baik yang berasal dari Jawa maupun nonJawa sangat jamak dijumpai, entah dalam rangka untuk merebut posisi pimpinan tersebut, menghancurkan usaha yang dilakukannya, atau dengan tujuan politis. Bawahan, demikian mudah mengekspos aib pimpinan pada media dan karenanya situasi masyarakat seringkali menjadi tidak tenang.

b) Menempatkan Diri

Dalam masyarakat Jawa, terdapat falsafah kepemimpinan yang menjelaskan salah satu sifat baik dari seorang pemimpin yaitu pandai menempatkan diri. Falsafah ini berbunyi ”ajining diri saka pucuke lathi, ajining raga saka busana,” yang artinya, harga diri seseorang tergantung dari ucapannya dan kemampuan menempatkan diri sesuai dengan busananya (situasinya) (Subroto&Tofani, –.). Seseorang pemimpin, harus dapat menempatkan ucapan dan kepandaiannya, karena hal ini akan dapat mendatangkan penghargaan bagi dirinya. Seseorang pemimpin yang baik juga tidak berusaha mengintervensi dan memasuki dunia yang bukan dunianya. Sikap seperti ini dapat dikatakan sebagai sikap profesional.

Sayangnya, sikap ini agak jarang kita jumpai saat ini. Dalam bidang politik misalnya, sangat banyak orang Jawa yang memiliki posisi penting di pemerintahan atau parlemen seringkali mengeluarkan pernyataan tentang satu hal yang sebenarnya hal tersebut tidak ia ketahui secara jelas. Banyak orang Jawa muncul di TV dan mengeluarkan pernyataan yang dapat menimbulkan kebingungan bahkan kepanikan dalam masyarakat. Banyak pula orang Jawa yang sebenarnya tidak memiliki kompetensi apa-apa dalam sebuah bidang seperti dunia politik, namun karena ia mempunyai kekayaan, nekat menerjunkan diri dalam dunia tersebut. Dalam bidang hukumpun, banyak orang-orang Jawa yang tidak memiliki latar belakang hukum, seringkali mengintervensi peradilan dan karenanya kasus-kasus yang seharusnya selesai dengan cepat menjadi berbelit-belit.

c) Bersikap Tenang dalam Menghadapi Masalah

Filsafat kepemimpinan Jawa juga mengajarkan agar pemimpin bersifat tenang dan berwibawa, tidak terlalu terheran-heran pada suatu hal, tidak menunjukan sikap kaget jika ada hal-hal di luar dugaan, dan tidak boleh sombong (Santoso, 2010). Itulah arti dari paribasan aja gumunan, aja kagetan lan aja dumeh.

Sayangnya falsafah ini juga telah mulai ditinggalkan masyarakat Jawa. Ini dapat dilihat dari banyaknya pemimpin Jawa yang terlalu responsif dalam menyikapi suatu permasalahan, mudah emosi dan gemar melakukan perang lewat media hanya untuk merespon sesuatu yang sebenarnya jika didiamkan tidak membawa masalah apa-apa untuk dirinya, terlalu kagum dan terheran-heran dengan kemajuan bangsa lain dan dengan membabi-buta mengidolakan bangsa tersebut, namun di lain pihak, ketika diberi masukan akan menolak masukan itu karena kecongkakannya dan ketinggian hatinya.

d) Menjadi Teladan yang Baik

Terdapat sebuah paribasan yang mengajarkan hal ini yaitu paribasan ”kacang mangsa ninggala lanjaran”. Paribasan Jawa ini hampir serupa dengan peribahasa Indonesia yang berbunyi “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Paribasan ini menggambarkan bentuk hubungan darah antara anak dengan orang tuanya. Hubungan tersebut berbentuk adanya kesamaan sikap, sifat dan bentuk fisik.

Dalam konteks masyarakat berbangsa dan bernegara, pohon yang dimaksud adalah para pemimpin masyarakat dan buah yang jatuh adalah masyarat yang dipimpinnya. Kita meletakkan hubungan masyarat dengan para pemimpin seperti pola hubungan anak dengan orangtuanya. Jika para pemimpin jujur maka masyarat yang dipimpinnyapun ikut jujur. Jika para pemimpin bekerja keras memajukan bangsa, maka masyaratpun akan bekerja lebih keras untuk memajukan hidup mereka. Jika masyarat berbicara santun, itu semua karena masyarat dipimpin oleh pemimpin yang berlisan santun. Begitu seterusnya.

Dalam kenyataannya, pohon yang baik sangat jarang kita jumpai. Pohon yang buruk akhir-akhir ini telah banyak dikenali. Terbukti dari banyaknya pemimpin yang diungkap KPK dan aparat hukum lainnya, terlibat kasus tindak pidana penyalahgunaan kekuasaan baik itu dalam bentuk KKN atau kejahatan lainnya. Adalah wajar jika kemudian banyak masyarakat mencontoh pimpinan mereka untuk berbuat buruk sehingga hampir mustahil bagi kita di jaman ini untuk tidak menjumpai sebuah berita kejahatan di media massa setiap harinya.

Seorang pemimpin harus juga bersikap ”ing ngarso sung tulodho”, yaitu selain mampu membina, membimbing dan mengarahkan bawahannya, juga harus dapat memberi suri tauladan lewat sikap dan perbuatannya. Seorang pemimpin juga harus dapat ”ing madyo mangun karsa”, yaitu berada di tengah-tengah bawahannya dengan penuh gairah, memberi mereka semangat dan motivasi untuk berkerja lebih baik. Seorang pemimpin harus juga ”tut wuri handayani”, yaitu memberi pengaruh dan dorongan dari belakang kepada yang bawahannya, agar bawahan tersebut berani tampil dan maju dengan penuh tanggungjawab. Namun sayangnya, banyak diantara pemimpin Jawa, kurang mampu untuk mewujudkan sikap kepemimpinan tersebut.

e) Memiliki Sikap Dewasa dan Legawa

Sikap ini tersurat dalam paribasan ”addamara tanggal pisan kapurnaman.” Paribasan ini menggambarkan dua orang yang bertikai kemudian salah satu pihak mengadukan pihak yang lain ke pengadilan, namun selang beberapa waktu kemudian, perkara ini dibatalkan karena pihak pengadu memperoleh kesadaran, lebih baik perkara ini diselesaikan secara damai dan kekeluargaan daripada lewat pengadilan (Santoso, 2010).

Faktanya, jarang sekali pemimpin Jawa yang bertikai dan melanjutkan pertikaian tersebut ke meja hijau, selang beberapa lama mengakhiri pertikaian tersebut secara ikhlas lewat mediasi. Pertikaian biasanya berhenti ketika pengadilan telah memutuskan perkara. Kadang-kadang, meskipun perkara telah diputuskan, pertikaian tersebut tetap saja dilanjutkan, baik itu dalam bentuk banding atau dalam bentuk pengerahan massa.

f) Berani Berbuat Baik.

Sikap ini tersurat dalam paribasan ”bener ketenger, becik ketitik, ala ketara”. Paribasan ini mengingatkan bahwa semua perbuatan akan memperoleh ganjaran yang setimpal. Berbuat baik pada orang lain pasti akan mendapat balasan baik. Demikian juga perbuatan jelek, pasti akan menghasilkan dosa dan rasa malu jika ketahuan (Santoso, 2010).

Pada faktanya, karena negara ini demikian bermasalah dan sukar bagi masyarakat kita untuk membedakan mana orang baik dan mana orang yang jahat, banyak orang yang semula bermaksud melakukan perbuatan baik semisal berbuat jujur, menjadi urung niatnya untuk melakukan kejujuran tersebut. Terkadang, orang yang jujur tidak mendapat penghargaan, malah disingkirkan atau bahkan dilenyapkan.

g) Bersikap Adil

Sikap ini terdapat pada paribasan ”denta denti kusuma warsa sarira cakra”. Paribasan ini menggambarkan hakikat atau sifat asli dari keadilan menurut pandangan orang Jawa. Yang benar tidak dapat disalahkan, yang salah tidak boleh dibenarkan. Kejahatan bisa saja direkayasa menjadi kebaikan, tetapi hasilnya hanya bersifat sementara. Cepat atau lambat wujud kejahatan tersebut akan tampak sebagaimana aslinya. Yang salah kelihatan salah, yang benar tampak benar (Santoso, 2010).

Sayangnya, banyak orang Jawa di masa kini yang berusaha bersikap apatis terhadap dengan paribasan ini. Ketika kepentingan muncul, asalkan ada uang dan kekuasaan, yang benar dapat menjadi salah, yang salahpun dapat menjadi benar.

h) Bersedia untuk Mengalah

Sikap ini terdapat pada paribasan ”wani ngalah luhur wekasane”. Paribasan ini merupakan sebuah anjuran agar berani mengalah, memberikan tempat dan kesempatan pada orang lain sehingga tidak timbul konflik. Dengan mengalah, seseorang mungkin dapat menemukan hal-hal baru yang lebih bermanfaat.

Pada fakanya, sangat jarang dewasa ini kita jumpai pemimpin yang berani untuk mengalah. Mereka biasanya mengalah setelah pengadilan memutuskan siapa yang menang perkara. Faktor harga dirilah yang membuat mereka seperti itu.

i) Menjaga Kata-kata

Sikap ini terdapat pada paribasan ”aja ngomong waton, nanging ngomonga nganggo waton”. Paribasan ini merupakan ajakan untuk berbicara dengan hati-hati, tidak ”ngawur,” serta tidak melontarkan yang dapat memicu pertikaian (Subroto&Tofani, –). Isi pembicaraan harus ”berisi,” memiliki landasan kuat serta dapat dipertanggungjawabkan. Paribasan ini dipakai untuk memberi nasehat pada orang-orang yang suka menyebarkan kebohongan, menganggap salah hal-hal yang masih samar-samar, dan menjelek-jelekkan orang lain.

Faktanya, banyak pemimpin politik kita gemar mengumbar kata. Saling serang melalui media. Menjelek-jelekkan pemimpin lain yang bukan dari partai atau golongannya sehingga masyarakat menjadi kacau mendengarkan pertikaian-pertikaian tersebut.

j) Jangan Jumawa dan Merasa Serba Bisa

Sikap ini terdapat pada paribasan ”aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa”. Merasa dapat melakukan sesuatu tanpa pikir panjang dianggap sebagai sebuah sikap yang ceroboh. Merasa dapat berbuat sesuatu, tidaklah cukup membuktikan bahwa seseorang dapat berbuat sesuatu. Idealnya, seseorang harus punya pengalaman melakukan sesuatu hal dan berhasil, baru ia boleh menyatakan dirinya ”bisa” melakukan hal tersebut. Orang-orang yang merasa bisa melakukan sesuatu kemudian menyatakan bisa melakukan itu dan berani mengatakan ”bisa”, dapat dikatakan memiliki sifat buruk karena andaikata orang tersebut dipercaya melakukan sesuatu dan kemudian gagal karena ternyata ia tidak bisa, maka hal ini akan memalukan dan tentu saja merugikan banyak pihak.

Sayangnya orang-orang yang tidak gegabah untuk mengatakan bisa pada setiap amanah, sangat jarang kita jumpai. Apalagi amanah yang berhubungan dengan memimpin. Jika orang-orang jaman dahulu harus berfikir keras sebelum menerima sebuah amanah memimpin, orang-orang jaman sekarang akan langsung mengatakan ”bisa” tanpa berfikir apakah mereka benar-benar mampu melakukannya. Tidak hanya itu, ada banyak dari kita bahkan dengan sangat rela mengeluarkan sejumlah uang untuk dapat menjadi pemimpin.

k) Gemar Menyantuni Rakyat

Sikap ini terdapat dalam paribasan ”curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”. Paribasan ini merupakan gambaran dari sikap ideal hubungan pemimpin dengan bawahan. Sikap ideal ini ditandai dengan kondisi dimana pemimpin memahami aspirasi bawahan, mengenal dengan baik kondisi bawahan, dan mau menyantuni mereka dengan baik. Sikap pimpinan yang seperti inilah yang dapat menyebabkan bawahan bersedia berbakti dengan ikhlas kepada sang pemimpin tersebut.

Sikap menyantuni rakyat ini jarang ditujukkan oleh pemimpin kita. Kebanyakan sikap yang ditunjukkan adalah menyantuni parpol, kepentingan, diri sendiri dan keluarga. Inilah yang di kemudian hari banyak menyebabkan pemimpin Jawa tersandung masalah hukum.

l) Mencintai Kehidupan yang Rukun

Sikap ini terdapat dalam paribasan ”rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”. Ungkapan ini mengisyaratkan bagaimana sesungguhnya cita-cita hidup orang Jawa adalah dapat hidup secara damai dan rukun. Masyarakat Jawa tidak menyukai konflik karena pada dasarnya, konflik membawa banyak kemudhorotan.

Filsafah ini kontradiktif sekali dengan fakta yang terjadi di negeri ini. Banyak berita di media massa yang mengekspos perseteruan-perseteruan para pemimpin Jawa negeri ini dan menciptakan idiom-idiom baru dalam masyarakat seperti idiom perseteruan ”Cicak dan Budaya”, ”SBY dan Megawati”, ”Partai Koalisi Pemerintah dan Partai Oposisi” dan lain sebagainya. Idiom-idiom tersebut menunjukkan betapa tidak rukunnya orang Jawa.

m) Tanpa Pamrih

Sikap ini terdapat dalam paribasan ”sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Paribasan ini menyarankan agar orang Jawa tidak boleh perhitungan dalam bekerja. Orang Jawa harus mengutamakan kerja keras dan jangan terlalu berharap pada nilai materi yang didapat dari pekerjaan itu, karena pada dasarnya semakin serius kita bekerja dengan hasil yang baik, semakin tinggi pula penghargaan orang terhadap kerjakeras kita. Selain itu, pamrih dapat mendorong orang untuk menghalalkan segala cara dalam mewujudkan cita-citanya. Pamrih juga dapat membuat orang menjadi materialistik.

Sayangnya, seseorang yang bekerja tanpa pamrih telah menjadi barang langka dewasa ini, utamanya dalam birokrasi. Biasanya, para birokrat akan bekerja dengan semangat dan cepat jika ada imbalan, dan sebaliknya, akan bekerja ala kadarnya serta sangat lambat jika tidak ada imbalan.

n) Tidak Tergesa-gesa dalam Mengambil Keputusan

Sikap kepemimpinan yang baik ini terdapat dalam paribasan ”kebat kliwat, ngangsa marakaka brabala”. Paribasan ini mengingatkan rakyat Jawa (utamanya yang menjadi pemimpin) untuk tidak mengerjakan sesuatu dengan cepat namun tanpa kualitas, atau mengerjakan sesuatu dengan sesegera mungkin karena ingin mendapatkan keuntungan. Orang Jawa harus menggunakan perhitungan yang matang, sebab tanpa perhitungan yang matang hasil yang dicapai tidak akan memuaskan, bahkan mengundang mara bahaya (Santoso, 2010).

Sikap ini juga jarang sekali dimiliki pemimpin Jawa dewasa ini. Yang banyak adalah para pemimpin yang berlomba-lomba untuk sesegera mungkin menyelesaikan pekerjaan mereka demi memburu upah, tanpa memikirkan kualitas dan manfaat dari pekerjaan yang telah dilakukannya. Terkadang, mereka seringkali cepat-cepatan memutuskan perkara tanpa berpikir panjang. Ini semua terjadi karena sebenarnya mereka telah menerima ”amplop” dari salah satu pihak yang berperkara.

c. Gagalkah Kepemimpinan Jawa di Indonesia?

Seringnya orang Jawa memimpin bangsa Indonesia dengan kualitas pemerintahan yang kurang, menyebabkan beberapa bagian masyarakat (utamanya masyarakat yang nonJawa) menganggap gaya kepemimpinan Jawa gagal membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Bagian masyarakat ini juga menganggap, selama kepemimpinan Jawa, Indonesia tidak pernah keluar dari masalah kemiskinan, pengangguran, kekacauan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Konsep kepemimpinan titisan dewa dari orang Jawa yang antikritik, merasa benar sendiri dan merasa sebagai sumber kebenaran, dianggap sebagai penyebab munculnya sebuah kondisi dimana kelompok elit, pemimpin beserta kroninya berada di puncak kekuasaan dengan berbagai fasilitas yang mewah, sementara rakyat jelata berada di bawah dalam kondisi yang mengenaskan. Selain itu, gaya kepemimpinan Jawa yang elitis serta hanya terpaku pada satu lingkaran kekuatan, dianggap tidak beritikad baik pada rakyat karena selalu berusaha agar rakyat berada di bawah dan selamanya tetap di bawah. Dengan kondisi rakyat yang merana ini, rakyat akan selalu memerlukan lingkaran pimpinan mereka tersebut .

Kritik dari masyarakat nonJawa terhadap gaya kepemimpinan Jawa juga menyebut bahwa falsafah gajah mada nampaknya terlalu dipuja rakyat Jawa sehingga akan selalu menguntungkan pemimpin Jawa yang mendapatkan sokongan dari rakyat Jawa yang jumlahnya memang besar. Rakyat Jawa juga tidak perduli walaupun pemimpin tersebut seorang yang gagal. Yang penting mereka orang Jawa, tak perduli ratusan juta rakyat akan menderita karena salah dalam memilih pemimpin-pemimpin yang tidak ideal .

Kritik-kritik yang muncul di atas terhadap gaya kepemimpinan Jawa pada akhirnya mengerucut menjadi sebuah simpulan yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan Jawa telah gagal membangun negeri ini. Ini mungkin sebuah pernyataan apriori tertinggi untuk ditanggapi masyarakat Jawa berkaitan dengan gaya kepemimpinan mereka. Dalam konteks humaniora, ini jelas sangat menarik untuk didiskusikan.

Artikel ini ditulis tidak untuk mendukung atau menentang kritik-kritik yang muncul terhadap gaya kepemimpinan Jaya. Butuh studi yang demikian panjang untuk dapat menyelipkan sebuah simpulan dalam artikel ini yang dengan jelasnya menyatakan bahwa gaya kepemimpinan Jawa gagal atau sebaliknya sukses diterapkan di Republik ini. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan dan dikaji untuk dapat sampai pada simpulan tersebut.

Artikel ini hanya dapat memberikan sebuah hipotesis bahwa pada dasarnya, seburuk apapun gaya kepemimpinan sebuah suku, yang salah sebenarnya adalah individu suku tersebut, bukan falsafah kepemimpinannya. Tidak ada satupun falsafah kepemimpinan sebuah suku di Nusantara ini yang mengajarkan untuk menjadi pemimpin yang buruk. Semua falsafah kepemimpinan mengajarkan kebaikan. Hanya saja, dalam beberapa kasus, beberapa gelintir pemimpin yang berasal dari sebuah suku bangsa dijumpai melenceng dari jalan lurus falsafah kepemimpinannya. Karena pemimpin-pemimpin yang buruk ini muncul sebagai representasi suku bangsanya untuk kemudian menjadi pemimpin dari gabungan suku-suku bangsa yang ada di Nusantara, akhirnya keburukan individual pemimpin ini digeneralisasikan menjadi keburukan komunal. Suku bangsa yang direpresentasikan, beserta falsafah kepemimpinan yang dianutnyapun ikut pula mendapat predikat buruk. Padahal belum tentu demikian.

Sebagai contoh, karena fokus artikel ini adalah kepemimpinan Jawa, dan pada beberapa poin di atas dinyatakan bahwa kepemimpinan Jawa adalah buruk, maka kita tidak dapat menyatakan bahwa falsafah kepemimpinan Jawapun ikut buruk. Yang salah adalah individu penganut falsafah tersebut karena bisa jadi meskipun ia orang Jawa, ia tidak mengamalkan falsafah-falsafah tersebut, dan andaikata ia mengamalkan, ia mungkin mengamalkannya sepotong-sepotong atau dengan amalan yang penuh penyimpangan. Kita dapat melihat beberapa contoh tidak diamalkannya falsafah kepemimpinan Jawa (tentu saja dalam paribasan) pada beberapa kasus faktual kepemimpinan nasional berikut.

Keberpihakan Soekarno pada komunis telah menyebabkan hilangnya nyawa sekitar 1 juta nyawa anak bangsa secara sia-sia. Ia dapat dibilang gagal dalam perbaikan ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan, kesejahteraan rakyat dan keamanan karena terlalu fokus pada politik yang terlalu mengarah ke kiri. Ia tidak adil dalam berpihak. Dalam hal ini, Sukarno mungkin dapat dikatakan telah melupakan falsafah denta denti kusuma warsa sarira cakra. Sukarno juga memerangi dan membunuh para pengkritik (PRRI, Dewan Banteng, Natsir, Hamka dll.), dan bekerjasama dengan pihak yang merongrong negara (PKI) padahal yang jelas-jelas merongrong adalah PKI . Pemutarbalikan kenyataan tentang mana pihak yang buruk dan mana pihak yang baik oleh Sukarno sesuai dengan paribasan kunthul diunekaku dhandhang, dhandhang diunekake kuntul.

Keengganan Soeharto untuk memerangi musuh bangsa yang sebenarnya yaitu KKN, telah menjadikan bangsa dan negara ini menjadi miskin. Soeharto hanya tegas terhadap musuh-musuh politiknya. Ia ditengarai melenyapkan para pengkritiknya dengan cara menjadikan mereka narapidana politik atau dengan cara-cara lainnya. Ia juga diyakini oleh banyak berupaya melanggengkan kekuasaan di negeri dengan cara menyapu bersih orang-orang yang berani menentangnya. Ini cenderung identik dengan situasi melik ngendhong lali. Ia juga oleh sebagian besar masyarakat gagal dalam perbaikan ekonomi, serta gagal dalam menyantuni rakyat. Dalam konteks ini, nyata sekali ia tidak menerapkan paribasan curiga manjing warangka, warangka manjing curiga.

Keragu-raguan Gusdur secara tidak langsung dianggap telah menyebabkan kematian ratusan umat Islam di Poso. Gusdur tegas dalam melindungi kaum minoritas namun di lain pihak menzalimi hak-hak golongan mayoritas. Gusdur dikenal tidak suka diritik, merasa benar sendiri dan merasa sebagai sumber kebenaran . Hal yang paling menonjol dari Gusdur adalah seringnya ia mengeluarkan pernyataan yang kadang membingungkan seperti: anggota DPR bagaikan kumpulan anak-anak TK, Assalamu’alaikumboleh diganti dengan selamat pagi, dan pernyataan kontroversial lainnya. Terlepas benar atau tidaknya pernyataan tersebut dilontarkan Gusdur, kegemarannya membuat pernyataan provokatif jelas bertentangan dengan paribasan aja ngomong waton, nanging ngomonga nganggo waton. Selain hal di atas, Gusdur juga dikenal cepat dalam memutuskan masalah tanpa berpikir dengan cermat. Ini dapat dilihat dari usahanya untuk membekukan DPR yang pada akhirnya menurunkan Gusdur dari kursi kepresidenan. Keengganan Gusdur berpikir matang tidak sejalan dengan paribasan kebat kliwat, ngangsa marakaka brabala.

Kelalaian Megawati telah membuat BUMN dijual kepada asing dengan harga dan waktu yang tidak transparan. Ia juga dinilai tidak terlalu berhasil untuk memperbaiki ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan, mensejahterakan rakyat dan meningkatkan keamanan. Hal yang paling mencolok dari Megawati adalah keengganannya untuk mengakui kekalahannya dalam Pemilu oleh mantan bawahannya yaitu SBY. Inilah yang mengakibatkan Megawati dilabeli kesan minus karena secara kualitas tidak memiliki sifat wani ngalah luhur wekasane.

Keragu-raguan dan kelambanan SBY membuat kasus buaya vs cicak yang mengungkap berbagai kebobrokan di tanah air menjadi bertele-tele. Demikian pula kasus Century, BLBI, kriminalisasi KPK, kasus mafia pajak dan sebagainya. SBY tahu, jika ia secara terang-terangan bersikap tegas pada para koruptor dan kriminal lainnya, akan banyak lawan politik yang berusaha melawannya. SBY tidak berani bersikap bener ketenger, becik ketitik, ala ketara karena terlalu memikirkan akan image dan posisinya di masa depan.


Suku Jawa adalah suku yang besar. Dari suku ini seringkali lahir para pemimpin besar baik itu dimasa lalu, kini dan mungkin di masa yang akan datang. Suku ini ini dibimbing oleh budaya Jawa yang agung dan memiliki banyak sekali falsafah kepemimpinan yanag agung pula. Salah satunya falsafah kepemimpinan aksiomal dalam paribasan Jawa.

Paribasan tidak hanya mampu memberikan gambaran tentang jati diri masyarakat Jawa, tentang simbol-simbol sosial yang mereka anut dalam beraktifitas falsafah-falsafah kebatinan, tapi juga tentang konsep-konsep kepemimpinan. Sayangnya, faktor keterbatasan pemahaman masyarakat Jawa terhadap paribasan, menjadikan hasil budaya ini menjadi kurang bermakna. Ia seringkali ditempatkan hanya sebagai pernak-pernik budaya yang tidak memiliki peran signifikan dalam membangun masyarakat utamanya dalam kehidupan berpolitik. Akibatnya, ketika masyarakat Jawa mendapatkan kesempatan untuk memimpin, banyak diantara mereka menjadi salah arah dan akhirnya tersesat. Jika masyarakat Jawa yang diberi amanah untuk memimpin, kembali menengok akar budaya mereka salah satunya dengan berusaha meresapi makna-makna di balik aksioma paribasan, niscaya, perilaku mereka akan terjaga dan krisis kepemimpinan yang terjadi pada bangsa ini akan berakhir. Kita tidak akan lagi mendapatkan pemimpin yang pinter nanging keblinger atau pemimpin yang lali marang asale di masa yang akan datang.


CONTOH LEADERSHIP PUNAKAWAN ABDI KINASIH KESATRIA PENDHAWA LIMA
  • “Tanggap ing sasmita dan Limpat Pasang ing Grahita, dan Cakra-Manggilingan”
  • “Pinangka mrih hamemayu hayuning bawana”
“Puna” atau “pana” dalam terminologi Jawa artinya memahami, terang, jelas, cermat, mengerti, cerdik dalam mencermati atau mengamati makna hakekat di balik kejadian-peristiwa alam dan kejadian dalam kehidupan manusia. Sedangkan kawan berarti pula pamong atau teman. Jadi punakawan mempunyai makna yang menggambarkan seseorang yang menjadi teman, yang mempunyai kemampuan mencermati, menganalisa, dan mencerna segala fenomena dan kejadian alam serta peristiwa dalam kehidupan manusia. Punakawan dapat pula diartikan seorang pengasuh, pembimbing yang memiliki kecerdasan fikir, ketajaman batin, kecerdikan akal-budi, wawasannya luas, sikapnya bijaksana, dan arif dalam segala ilmu pengetahuan. Ucapannya dapat dipercaya, antara perkataan dan tindakannya sama, tidaklah bertentangan. Khasanah budaya Jawa menyebutnya sebagai “tanggap ing sasmita, lan limpat pasang ing grahita”. Dalam istilah pewayangan terdapat makna sinonim dengan apa yang disebut wulucumbu yakni rambut yang tumbuh pada jempol kaki. Keseluruhan gambaran karakter pribadi Ki Lurah Semar tersebut berguna dalam upaya melestarikan alam semesta, dan menciptakan kemakmuran serta kesejahteraan di bumi pertiwi.

Dalam cerita pewayangan Jawa, punakawan tersebut dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing memiliki peranan yang sama sebagai penasehat spiritual dan politik, namun masing-masing mengasuh tokoh yang karakternya saling kontradiksi.

Kelompok Ki Lurah Semar Badranaya

Kelompok ini terdiri Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong (Sunda:Cepot). Mereka menggambarkan kelompok punakawan yang jujur, sederhana, tulus, berbuat sesuatu tanpa pamrih, tetapi memiliki pengetahuan yang sangat luas, cerdik, dan mata batinnya sangat tajam. Ki Lurah Semar, khususnya, memiliki hati yang “nyegoro” atau seluas samudra serta kewaskitaan dan kapramanan-nya sedalam samudra. Hanya satria sejati yang akan menjadi asuhan Ki Lurah Semar. Semar hakekatnya sebagai manusia setengah dewa, yang bertugas mengemban/momong para kesatria sejati.

Ki Lurah Semar disebut pula Begawan Ismaya atau Hyang Ismaya, karena eksistensinya yang teramat misterius sebagai putra Sang Hyang Tunggal umpama dewa mangejawantah. Sedangkan julukan Ismaya artinya tidak wujud secara wadag/fisik, tetapi yang ada dalam keadaan samar/semar. Dalam uthak-athik-gathuk secara Jawa, Ki Semar dapat diartikan guru sejati (sukma sejati), yang ada dalam jati diri kita. Guru sejatimerupakan hakekat Zat tertinggi yang terdapat dalam badan kita. Maka bukanlah hal yang muskil bila hakekat guru sejati yang disimbolkan dalam wujud Ki Lurah Semar, memiliki kemampuan sabda pendita ratu, ludahnya adalah ludah api (idu geni). Apa yang diucap guru sejati menjadi sangat bertuah, karena ucapannya adalah kehendak Tuhan. Para kesatria yang diasuh oleh Ki Lurah Semar sangat beruntung karena negaranya akan menjadi adil makmur, gamah ripah, murah sandang pangan, tenteram, selalu terhindar dari musibah.

Tugas punakawan dimulai sejak kepemimpinan Prabu Herjuna Sasrabahu di negeri Maespati, Prabu Ramawijaya di negeri Pancawati, Raden Sakutrem satria Plasajenar, Raden Arjuna Wiwaha satria dari Madukara, Raden Abimanyu satria dari Plangkawati, dan Prabu Parikesit di negeri Ngastina. Ki Lurah Semar selalu dituakan dan dipanggil sebagaikakang, karena dituakan dalam arti kiasan yakni ilmu spiritualnya sangat tinggi, sakti mandraguna, berpengalaman luas dalam menghadapi pahit getirnya kehidupan. Bahkan para Dewa pun memanggilnya dengan sebutan “kakang”.

Kelompok punakawan ini bertugas :
  1. Menemani (mengabdi) para bendhara (bos) nya yang memiliki karakter luhur budi pekertinya. Tugas punakawan adalah sebagai “pembantu” atau abdi sekaligus “pembimbing”. Tugasnya berlangsung dari masa ke masa.
  2. Dalam cerita pewayangan, kelompok ini lebih sebagai penasehat spiritual, pamomong, kadang berperan pula sebagai teman bercengkerama, penghibur di kala susah.
  3. Dalam percengkeramaannya yang bergaya guyon parikena atau saran, usulan dan kritikan melalui cara-cara yang halus, dikemas dalam bentuk kejenakaan kata dan kalimat. Namun di dalamnya selalu terkandung makna yang tersirat berbagai saran dan usulan, dan sebagai pepelingakan sikap selalu eling dan waspadha yang harus dijalankan secara teguh oleh bendharanya yang jumeneng sebagai kesatria besar.
  4. Pada kesempatan tertentu punakawan dapat berperan sebagai penghibur selagi sang bendhara mengalami kesedihan.
  5. Pada intinya, Ki Lurah Semar dkk bertugas untuk mengajak para kesatria asuhannya untuk selalu melakukan kebaikan atau kareping rahsa (nafsu al mutmainah). Dalam terminologi Islam barangkali sepadan dengan istilah amr ma’ruf.
Adapun watak kesatria adalah: halus, luhur budi pekerti, sabar, tulus, gemar menolong, siaga dan waspada, serta bijaksana.

Kelompok Ki Lurah Togog

Kelompok ini terdiri tiga personil yakni: Ki Lurah Togog (Sarawita) dan Mbilung. Punakawan ini bertugas menemani bendhara-nya yang berkarakterdur angkara yakni para Ratu Sabrang. Sebut saja misalnya Prabu Baladewa di negeri Mandura, Prabu Basukarna di negeri Ngawangga, Prabu Dasamuka (Rahwana) di negeri Ngalengka, Prabu Niwatakawaca di negeri Iman-Imantaka dan beberapa kesatria dari negara Sabrangan yang berujud (berkarakter) raksasa; pemarah, bodoh, namun setia dalam prinsip. Lurah Togog disebut pula Lurah Tejamantri. Ki Togog dkk secara garis besar bertugas mencegah asuhannya yang dur angkara, untuk selalu eling danwaspadha, meninggalkan segala sifat buruk, dan semua nafsu negatif. Beberapa tugas mereka antara lain:
  1. Mereka bersuara lantang untuk selalu memberikan koreksi, kritikan dan saran secara kontinyu kepada bendhara-nya.
  2. Memberikan pepeling kepada bendhara-nya agar selalu eling danwaspadha jangan menuruti kehendak nafsu jasadnya (rahsaning karep).
Gambaran tersebut sesungguhnya memproyeksikan pula karakter dalam diri manusia (jagad alit). Sebagaimana digambarkan bahwa kedua kesatria di atas memiliki karakter yang berbeda dan saling kontradiktori. Maknanya, dalam jagad kecil (jati diri manusia) terdapat dua sifat yang melekat, yakni di satu sisi sifat-sifat kebaikan yang memancar dari dalam cahyo sejati(nurulah) merasuk ke dalam sukma sejati (ruhulah). Dan di sisi lain terdapat sifat-sifat buruk yang berada di dalam jasad atau ragawi. Kesatria yang berkarakter baik diwakili oleh kelompok Pendawa Lima beserta para leluhurnya. Sedangkan kesatria yang berkarakter buruk diwakili oleh kelompok Kurawa 100. walaupun keduanya masing-masing sudah memiliki penasehat punakawan, namun tetap saja terjadi peperangan di antara dua kelompok kesatria tersebut. Hal itu menggambarkan betapa berat pergolakan yang terjadi dalam jagad alit manusia, antara nafsu negatif dengan nafsu positif. Sehingga dalam cerita pewayangan digambarkan dengan perang Brontoyudho antara kesatria momongan Ki Lurah Semar dengan kesatria momongan Ki Togog. Antara Pendawa melawan Kurawa 100. Antara nafsu positif melawan nafsu negatif. Medan perang dilakukan di tengah Padhang Kurusetra, yang tidak lain menggambarkan hati manusia.

Makna di Balik Simbol Punakawan

1. Ki Lurah Semar (simbol ketentraman dan keselamatan hidup)

Membahas Semar tentunya akan panjang lebar seperti tak ada titik akhirnya. Semar sebagai simbol bapa manusia Jawa. Bahkan dalam kitab jangka Jayabaya, Semar digunakan untuk menunjuk penasehat Raja-raja di tanah Jawa yang telah hidup lebih dari 2500 tahun. Dalam hal ini Ki Lurah Semar tiada lain adalah Ki Sabdapalon dan Ki Nayagenggong, dua saudara kembar penasehat spiritual Raja-raja. Sosoknya sangat misterius, seolah antara nyata dan tidak nyata, tapi jika melihat tanda-tandanya orang yang menyangkal akan menjadi ragu. 

Ki Lurah Semar dalam konteks Sabdapalon dan Nayagenggong merupakan bapa atau Dahyang-nya manusia Jawa. Menurut jangka Jayabaya kelak saudara kembar tersebut akan hadir kembali setelah 500 tahun sejak jatuhnya Majapahit untuk memberi pelajaran kepada momongannya manusia Jawa (nusantara). Jika dihitung kedatangannya kembali, yakni berkisar antara tahun 2005 hingga 2011. Maka bagi para satria momongannya Ki Lurah Semar ibarat menjadi jimat;mung siji tur dirumat. Selain menjadi penasehat, punakawan akan menjadi penolong dan juru selamat/pelindung tatkala para satria momongannya dalam keadaan bahaya.

Dalam cerita pewayangan Ki Lurah Semar jumeneng sebagai seorang Begawan, namun ia sekaligus sebagai simbol rakyat jelata. Maka Ki Lurah Semar juga dijuluki manusia setengah dewa. Dalam perspektif spiritual, Ki Lurah Semar mewakili watak yang sederhana, tenang, rendah hati, tulus, tidak munafik, tidak pernah terlalu sedih dan tidak pernah tertawa terlalu riang. Keadaan mentalnya sangat matang, tidak kagetan dan tidakgumunan. Ki Lurah Semar bagaikan air tenang yang menghanyutkan, di balik ketenangan sikapnya tersimpan kejeniusan, ketajaman batin, kaya pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan. 

Ki Lurah Semar menggambarkan figur yang sabar, tulus, pengasih, pemelihara kebaikan, penjaga kebenaran dan menghindari perbuatan dur-angkara. Ki Lurah Semar juga dijulukiBadranaya, artinya badra adalah rembulan, naya wajah. Atau Nayantaka,naya adalah wajah, taka : pucat. Keduanya berarti menyimbolkan bahwa Semar memiliki watak rembulan (lihat thread: Pusaka Hasta Brata). 

Dan seorang figur yang memiliki wajah pucat, artinya Semar tidak mengumbar hawa nafsu. Semareka den prayitna: semare artinya menidurkan diri, agar supaya batinnya selalu awas. Maka yang ditidurkan adalah panca inderanya dari gejolak api atau nafsu negatif. Inilah nilai di balik kalimat wani mati sajroning urip (berani mati di dalam hidup). Perbuatannya selalu netepikodrat Hyang Widhi (pasrah), dengan cara mematikan hawa nafsu negatif. Sikap demikian akan diartikulasikan ke dalam sikap watak wantun kita sehari-hari dalam pergaulan, “pucat’ dingin tidak mudah emosi, tenang dan berwibawa, tidak gusar dan gentar jika dicaci-maki, tidak lupa diri jika dipuji, sebagaimana watak Badranaya atau wajah rembulan.

Dalam khasanah spiritual Jawa, khususnya mengenai konsep manunggaling kawula Gusti, Ki Lurah Semar dapat menjadi personifikasi hakekat guru sejati setiap manusia. Semar adalah samar-samar, sebagai perlambangguru sejati atau sukma sejati wujudnya samar bukan wujud nyata atau wadag, dan tak kasad mata. Sedangkan Pendawa Lima adalah personifikasi jasad/badan yang di dalamnya terdapat panca indera. 

Karena sifat jasad/badan cenderung lengah dan lemah, maka sebaik apapun jasad seorang satria, tetap saja harus diasuh dan diawasi oleh sang guru sejatiagar senantiasa eling dan waspadha. Agar supaya jasad/badan memiliki keteguhan pada ajaran kebaikan sang guru sejati. 

Guru sejati merupakan pengendali seseorang agar tetap dalam “laku” yang tepat, pener dan berada pada koridor bebener. Siapa yang ditinggalkan oleh pamomong Ki Lurah Semar beserta Gareng, Petruk, Bagong, ia akan celaka, jika satria maka di negerinya akan mendapatkan banyak malapetaka seperti : musibah, bencana, wabah penyakit (pageblug), paceklik. Semua itu sebagai bebendu karena manusia (satria) yang ditinggalkan guru sejati-nya telah keluar dari jalur bebener.

Jika ditinjau dari perspektif politik, kelompok Punakawan Ki Lurah Semar dan anak-anaknya Gareng, Petruk, Bagong sebagai lambang dari lembaga aspirasi rakyat yang mengemban amanat penderitaan rakyat. Atau semacam lembaga legislatif. Sehingga kelompok punakawan ini bertugas sebagai penyambung lidah rakyat, melakukan kritikan, nasehat, dan usulan. Berkewajiban sebagai pengontrol, pengawas, pembimbing jalannya pemerintahan di bawah para Satria asuhannya yakni Pendhawa Lima sebagai lambang badan eksekutif atau lembaga pemerintah. Dengan gambaran ini, sebenarnya dalam tradisi Jawa sejak masa lampau telah dikenal sistem politik yang demokratis.

2. Nala Gareng

Nala adalah hati, Gareng (garing) berarti kering, atau gering, yang berarti menderita. Nala Gareng berarti hati yang menderita. Maknanya adalah perlambang “laku” prihatin. Namun Nala Gareng diterjemahkan pula sebagai kebulatan tekad. Dalam serat Wedhatama disebutkan gumeleng agolong-gilig. Merupakan suatu tekad bulat yang selalu mengarahkan setiap perbuatannya bukan untuk pamrih apapun, melainkan hanya untuk netepikodrat Hyang Manon. Nala Gareng menjadi simbol duka-cita, kesedihan, nelangsa. Sebagaimana yang tampak dalam wujud fisik Nala Gareng merupakan sekumpulan simbol yang menyiratkan makna sbb:

Mata Juling:

Mata sebelah kiri mengarah keatas dan ke samping. Maknanya Nala Gareng selalu memusatkan batinnya kepada Hyang Widhi.

Lengan Bengkok atau cekot/ceko :

Melambangkan bahwasannya manusia tak akan bisa berbuat apa-apa bila tidak berada pada kodrat atau kehendak Hayng Widhi.

Kaki Pincang, jika berjalan sambil jinjit :

Artinya Nala Gareng merupakan manusia yang sangat berhati-hati dalam melangkah atau dalam mengambil keputusan. Keadaan fisik nala Gareng yang tidak sempurna ini mengingatkan bahwa manusia harus bersikap awas dan hati-hati dalam menjalani kehidupan ini karena sadar akan sifat dasar manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan.

Mulut Gareng :

Mulut gareng berbentuk aneh dan lucu, melambangkan ia tidak pandai bicara, kadang bicaranya sasar-susur (belepotan) tak karuan. Bicara dan sikapnya serba salah, karena tidak merasa percaya diri. Namun demikian Nala Gareng banyak memiliki teman, baik di pihak kawan maupun lawan. Inilah kelebihan Nala Gareng, yang menjadi sangat bermanfaat dalam urusan negosiasi dan mencari relasi, sehingga Nala Gareng sering berperan sebagai juru damai, dan sebagai pembuka jalan untuk negosiasi. Justru dengan banyaknya kekurangan pada dirinya tersebut, Nala Gareng sering terhindar dari celaka dan marabahaya.

3. Petruk Kanthong Bolong

Ki Lurah Petruk adalah putra dari Gandarwa Raja yang diambil anak oleh Ki Lurah Semar. Petruk memiliki nama alias, yakni Dawala. Dawa artinya panjang, la, artinya ala atau jelek. Sudah panjang, tampilan fisiknya jelek. Hidung, telinga, mulut, kaki, dan tangannya panjang. Namun jangan gegabah menilai, karena Lurah Petruk adalah jalma tan kena kinira, biar jelek secara fisik tetapi ia sosok yang tidak bisa diduga-kira. Gambaran ini merupakan pralambang akan tabiat Ki Lurah Petruk yang panjang pikirannya, artinya Petruk tidak grusah-grusuh (gegabah) dalam bertindak, ia akan menghitung secara cermat untung rugi, atau resiko akan suatu rencana dan perbuatan yang akan dilakukan. Petruk Kanthong Bolong, menggambarkan bahwa Petruk memiliki kesabaran yang sangat luas, hatinya bak samodra, hatinya longgar, plong dan perasaannya bolong tidak ada yang disembunyikan, tidak suka menggerutu dan ngedumel.

Dawala, juga menggambarkan adanya pertalian batin antara para leluhurnya di kahyangan (alam kelanggengan) dengan anak turunnya, yakni Lurah Petruk yang masih hidup di mercapada. Lurah Petruk selalu mendapatkan bimbingan dan tuntunan dari para leluhurnya, sehingga Lurah Petruk memiliki kewaskitaan mumpuni dan mampu menjadi abdi dalem(pembantu) sekaligus penasehat para kesatria.

Petruk Kanthong Bolong wajahnya selalu tersenyum, bahkan pada saat sedang berduka pun selalu menampakkan wajah yang ramah dan murah senyum dengan penuh ketulusan. Petruk mampu menyembunyikan kesedihannya sendiri di hadapan para kesatria bendharanya. Sehingga kehadiran petruk benar-benar membangkitkan semangat dan kebahagiaan tersendiri di tengah kesedihan. Prinsip “laku” hidup Ki Lurah Petruk adalah kebenaran, kejujuran dan kepolosan dalam menjalani kehidupan. Bersama semua anggota Punakawan, Lurah Petruk membantu para kesatriaPandhawa Lima (terutama Raden Arjuna) dalam perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan.

4. Bagong

Bagong adalah anak ketiga Ki Lurah Semar. Secara filosofi Bagong adalah bayangan Semar. Sewaktu Semar mendapatkan tugas mulia dari Hyang Manon, untuk mengasuh para kesatria yang baik, Semar memohon didampingi seorang teman. Permohonan Semar dikabulkan Hyang Maha Tunggal, dan ternyata seorang teman tersebut diambil dari bayangan Semar sendiri. Setelah bayangan Semar menjadi manusia berkulit hitam seperti rupa bayangan Semar, maka diberi nama Bagong. Sebagaimana Semar, bayangan Semar tersebut sebagai manusia berwatak lugu dan teramat sederhana, namun memiliki ketabahan hati yang luar biasa. Ia tahan menanggung malu, dirundung sedih, dan tidak mudah kaget serta heran jika menghadapi situasi yang genting maupun menyenangkan. Penampilan dan lagak Lurah Bagong seperti orang dungu. Meskipun demikian Bagong adalah sosok yang tangguh, selalu beruntung dan disayang tuan-tuannya. Maka Bagong termasuk punakawan yang dihormati, dipercaya dan mendapat tempat di hati para kesatria. Istilahnya bagong diposisikan sebagai bala tengen, atau pasukan kanan, yakni berada dalam jalur kebenaran dan selalu disayang majikan dan Tuhan.

Dalam pagelaran wayang kulit, kelompok punakawan Semar, Gareng, Petruk, Bagong selalu mendapatkan tempat di hati para pemirsa. Punakawan tampil pada puncak acara yang ditunggu-tunggu pemirsa yaknigoro-goro, yang menampilkan berbagai adegan dagelan, anekdot, satire, penuh tawa yang berguna sebagai sarana kritik membangun sambil bercengkerama (guyon parikena). Punakawan menyampaikan kritik, saran, nasehat, maupun menghibur para kesatria yang menjadi asuhan sekaligus majikannya. Suara punakawan adalah suara rakyat jelata sebagai amanat penderitaan rakyat, sekaligus sebagai “suara” Tuhan menyampaikan kebenaran, pandangan dan prinsip hidup yang polos, lugu namun terkadang menampilkan falsafah yang tampak sepele namun memiliki esensi yang sangat luhur. Itulah sepak “terjang punakawan” bala tengen yang suara hatinuraninya selalu didengar dan dipatuhi oleh para kesatria asuhan sekaligus majikannya.

Kepemimpinan Punakawan Kontroversial

Dalam cerita wayang sebagaimana kisah-kisah dalam legenda lainnya, terdapat kelompok antagonis. Dalam cerita wayang tokoh-tokoh antagonis berasal dari negri seberang atau Sabrangan. Punakawan Togog atau Tejamantri, Sarawita dan Mbilung merupakan punakawan kontroversif yang selalu membimbing tokoh pembesar antagonis, para “ksatria” angkara murka (dur angkara), hingga para pimpinan raksasa jahat. Sebut saja misalnya Prabu Dasamuka, Prabu Niwatakawaca, Prabu Susarma, hingga para kesatria dur angkara dari Mandura seperti Raden Kangsa dan seterusnya. Pada intinya Ki Lurah Togog dkk selalu berada di pihak tokoh antagonis, sehingga disebut sebagai bala kiwa. Namun demikian bukan berarti kelompok punakawan ini memiliki karakter buruk.

Ciri fisik Togog dkk memiliki mulut yang lebar. Artinya mereka selalu berkoar menyuarakan kebaikan, peringatan (pepeling) kepada majikannya agar tetap waspada dan eling, menjadi manusia jangan berlebihan. Ngono ya ngono ning aja ngono. Manusia harus mengerti batas-batas perikemanusiaan. Sekalipun akan mengalahkan lawan atau musuhnya tetap harus berpegang pada etika seorang kesatria yang harus gentle, tidak pengecut, dan tidak memenangkan perkelahian dengan jalan yang licik. Sekalipun menang tidak boleh menghina dan mempermalukan lawannya (menang tanpa ngasorake). Itulah ajaran Ki Lurah Togog dkk yang sering kali diminta nasehat dan saran oleh para majikannya. 

Namun toh akhirnya setiap nasehat, saran, masukan, aspirasi yang disampaikan Ki Lurah Togog dkk tetap saja tidak pernah digubris oleh majikannya mereka tetap setia. Ki Lurah Togog dkk walaupun menjabat posisi sentral sebagai penasehat, pengasuh dan pembimbing, yang selalu bermulut lantang menyuarakanpepeling, seolah peran mereka hanya sebagai obyek pelengkap penderita. Walaupun Ki Lurah Togog dkk selalu gagal mengasuh majikannya para kesatria dur angkara, hingga sering berpindah majikan untuk bersuara lantang mencegah kejahatan. 

Bukan berarti mereka tidak setia. Sebaliknya dalam hal kesetiaan sebagai kelompok penegak kebenaran, Ki Lurah togog patut menjadi teladan baik. Karena sekalipun sering dimaki, dibentak dan terkena amarah majikannya, Ki Lurah Togog dkk tidak mau berkhianat. Sekalipun selalu gagal memberi kritik dan saran kepada majikannya, mereka tetap teguh dalam perjuangan menegakkan keadilan. Dan lagi-lagi, mereka selalu dimintai saran dan kritikan, namun serta-merta diingkari pula oleh majikan-majikan barunya. Itulah nasib Togog dkk, yang mengisyaratkan nasib rakyat kecil yang selalu mengutarakan aspirasi dan amanat penderitaan rakyat namun tidak memiliki bargaining power. 

Ibarat menyirami gurun, seberapapun nasehat dan kritikan telah disiramkan di hati para “pemimpin” dur angkara, tak akan pernah membekas dalam watak para majikannya. Barangkali nasib kelompok punakawan Ki Lurah Togog dkk mirip dengan apa yang kini dialami oleh rakyat Indonesia. Suara hati nurani rakyat sulit mendapat tempat di hati para tokoh dan pejabat hingnusantara nagri. Sekalipun sekian banyak pelajaran berharga di depan mata, namun manifestasi perbuatan dan kebijakan politiknya tetap saja kurang populer untuk memihak rakyat kecil.

DAFTAR PUSTAKA;
Atmodarminto. tt. Babad Demak : Diwerdeni gandheng karo kamasarakatan lan Pancasila : Idiologi Negara Republik Indonesia (Cetakan I). Yogyakarta: Yayasan Penerbit Pesat.
Bastomi, Suwaji. 1995. Nanggap Wayang. Semarang: IKIP Semarang Press.
Berg, C.C. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Diterjemahkan S. Gunawan. Jakarta: Bhratara.
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Pardi Suratno, Pardi 2006. Sang Pemimpin. Yogyakarta: Adiwacana
Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1952. Kapustakan Djawi. Jakarta: Djambatan.
Ranggawarsita, R.Ng. 1997. Serat Paramayoga. Alih Aksara Kamajaya. Surakarta/Yogyakarta: Yayasan Mangadeg dan Centhini.
Salam, Solichin. 1960. Sekitar Walisanga. Kudus: Penerbit Menara.
Subroto, Raden Ayu H. Bangun. 1957. Serat Tumuruning Wahyu Maja. Djakarta: Penerbit Balai Pustaka.
Sudard, Bani. 1995. Legenda Pangeran Sambernyawa di Eks Karisidenan Surakarta (Laporan Penelitian dana Oral Tradition Association dan UNS).
Sudardi, Bani. 2003. Sastra Sufistik: Internalisasi Ajaran-ajaran Sufi dalam Sastra Indonesia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar