Rabu, 10 Juli 2013

HAKIKAT KESEMPURNAAN PUASA

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah swt yang telah memberikan kesempatan kita untuk bertemu dengan bulan suci Ramadan untuk yang kesekian kalinya. Namun harus kita ketahui bahwa Ramadan yang menemui kita kali ini bukanlah Ramadan yang datang pada tahun-tahun sebelumnya. Bulan Ramadan merupakan bulan yang mempunyai banyak keistimewaan yang tidak dimiliki oleh sebelas bulan lainnya. Salah satu keistimewaan bulan Ramadan adalah diwajibkannya puasa di bulan ini bagi orang-orang yang beriman.

Puasa yang secara sederhana dapat kita ertikan “menahan diri”. Iaitu menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Yang dimaksud membatalkan puasa di sini bukan hanya membatalkan ibadahnya secara hukum, akan tetapi juga mencakup hal-hal yang membatalkan hakekat, tujuan dan membatalkan pahalanya. Kalau puasa dimaknai hanya menahan diri dari yang membatalkan ibadahnya secara hukum, maka hal ini tidak seberat ketika dimaknai menahan diri segala yang membatalkan hakikat, tujuan dan pahala puasa.

Puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum serta memasukkan benda ke dalam salah satu lubang angggota tubuh kita, akan tetapi lebih dari itu, puasa bererti menahan diri dari segala yang membatalkannya secara hukum juga menahan diri dari segala sesuatu yang dibenci oleh Allah baik lahir maupun batin, Nabi Muhammad saw bersabda ”Betapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa kecuali rasa lapar daan dahaga”. Hal inilah yang menunjukkan bahwa hakikat puasa bukan hanya menahan diri dari lapar, dahaga dan bersetubuh. 

Imam al-Ghazali dalam buku yang berjudul Cahaya di Atas Cahaya menyatakan “Kesempurnaan puasa adalah dengan mencegah segenap anggota badan dari segala hal yang tidak disenangi oleh Allah. Seharusnya kita juga menjaga mata dari melihat hal-hal yang tidak disenangi oleh Allah, menjaga lisan dari mengucapkan hal-hal yang tidak bermakna, menjaga telinga dari mendengarkan, hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala. Orang yang mendengar adalah teman si pembicara, yang kerananya dia juga dikategorikan sebagai orang yang mengumpat. Begitu juga kita harus mengawal seluruh anggota badan sebagaimana engkau menjaga perut dan kemaluan”.

Berkaitan dengan hal di atas banyak sekali hadits Rasulullah yang menerangkan diantaranya: ”Lima hal dapat membatalakan puasa, yaitu berbohong, mengadu domba, bersumpah palsu, dan memandang dengan syahwat.” Nabi juga bersabda”Puasa adalah perisai, maka jika salah seorang dari engkau berpuasa janganlah dia berkata buruk, melakukan maksiat, dan berpura-pura bodoh. Jika ada orang yang mahu membunuh atau mencercanya, maka dia harus mengatakan bahwa aku sedang berpuasa.” Dalam hadits lain Rasulullah bersabda ”Barang siapa tidak meninggalkan kata-klata kotor dan perbuatan keji, maka usahanya meninggalkan makan dan minum tidak berarti bagi Allah.”

Dari hadis-hadis di atas Imam Al- Nawawi dalam kitab Syarah Bidayatul Hidayah Al-Ghazali memberikan kesimpulan bahwa kesempurnaan puasa adalah dengan mencegah segenap anggota badan dari segala hal yang tidak di senangi oleh Allah, iaitu dosa. Itulah puasa orang-orang saleh yang kemudian disebut dengan puasa khusus. Kesempuranaan puasa akan tercapai dengan lima hal. 

Pertama, 

Menjaga mata dari melihat hal-hal yang tidak disenangi Allah dan segala hal yang dapat melengahkan diri dari mengingat-Nya. Rasulullah bersabda: ”Pandangan adalah salah satu panah beracun iblis terkutuk”. Barang siapa yang tidak melihat hal-hal tersebut karena takut kepada Allah niscaya Allah akan memberinya keimanan yang manisnya dapat dirasakan dalam hatinya. 

Kedua, 

Menjaga lisan dari mengucapkan hal-hal yang tidak bermakna. Hal-hal yang bermakna adalah segala hal yang berkitan dengan keselamatan manusia di akhirat dan keperluan hidupnya yang dapat menyenangkannya dari rasa lapar, menghapus dahaga, menutup aurat dan kepeperluan-keperluan pokok lainnya. 

Ketiga, 

Menjaga telinga dari hal-hal yang diharamkan Allah swt. Orang yang mendengar adalah teman si pembicara. Sebab segala hal yang haram diucapkan, juga haram untuk di dengar. 

Keempat, 

Berbuka puasa dengan makanan yang halal. Puasa yang berfungsi menahan diri dari barang yang halal tidak akan bermakna bila ditutup dengan berbuka makanan yang haram. Orang yang melakukan hal demikian seperti orang yang membangun sebuah istana kemudian menghancurkannya. 

Kelima, 

Ketika berbuka tidak makan terlalu banyak jika kita hanya memindahkan makan kita pada pagi atau siang hari ke malam hari, maka puasa kita tidak bermanfaat. Artinya, di antara etika puasa adalah tidak makan terlalu kenyang, terutama pada waktu berbuka. Hal ini berkaitan dengan sisi pengaruh puasa, yaitu melemahkan (baca; mengendalikan) syahwat yang merupakan tempat berjalannya syaitan di dalam tubuh sejalan dengan aliran darah kita. Oleh karena itu barang siapa yang berbuka dengan kadar yang berlebihan dihukumkan seperti orang yang tidak berpuasa, karena ia belum mampu mengendalikan sahwatnya untuk makan. 

Untuk mendapatkan kesempurnaan puasa kita tidak cukup hanya dengan menjaga anggota badan bagian luar (zahir) dari hal-hal yang tidak disenangi Allah, kita juga harus menjaga anggota batin, yaitu hati. Maksiat batin juga harus kita nyahkan, karena juga akan merusak kesucian makna puasa. Sumber utama maksiat ini adalah hati. Kita harus membersihkan penyakit-penyakit hati seperti, sombong, ujub, congkak, iri, dengki, riya’ (pamer) dan berbagai penyakit hati lainnya yang dapat mengurangi atau bahkan membatalkan tujuan puasa. Penyakit-penyakit ini nampaknya sangat sederhana, padahal sangat berbahaya karena dapat membakar amal baik kita sebagaimana bara api yang memakan kayu yang sudah kering. Jadi untuk mendapat kesempurnaan puasa marilah kita hindari penyakit-penyakit ini dengan cara dengan mencari sebab-sebab penyaki itu dan menyedari akibat-akibat negatif yang akan ditimbulkanya. Terapinya harus dilakukan dengan latihan terus-menerus untuk membersihkan dan mengembalikan manusia kepada fitrahnya yaitu suci. Karena pada hakekatnya kewajiban kita hanyalah mempertahankan kesucian yang telah dianugerahkan Allah kepada kita sejak kita dilahirkan. Ubat penyakit-penyakit itu tidak dijual di kedai atau doktor praktek. Penyakit-penyakit ini berasal dari dalam diri kita, dan ubatnya pun berada dalam diri kita.

Begitu banyak rintangan yang dihindari oleh orang yang berpuasa agar ia benar-benar sampai tujuan puasa, yaitu membentuk peribadi yang bertaqwa. Taqwa yang secara lughawi (bahasa) mengacu pada pengertian tentang orang-orang yang memeliharanya. Jadi sangatlah wajar jika banyak hal yang harus dijauhi olah orang yang berpuasa, karena sesuai tujuannya iaitu agar menjadi orang yang memelihara dan terpelihara. Terpelihara dirinya, baik dirinya peribadi ataupun lingkungan dari tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan tuntutan dan ajaran agama ataupun terpelihara dirinya dalam kontek sosial, kontek yang lebih luas. 

Namun balasan yang disiapkan Allah bagi orang yang berpuasa lebih besar dan lebih banyak daripada rintangan dan godaan yang dihadapi ketika menjalankannya. Begitu besarnya balasan yang dijanjikan Allah, tiada seorangpun yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits qudsi yang artinya ”Setiap satu kebaikan digandakan sepuluh hingga tuju ratus, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku akan mengganjarnya sendiri”. Hal ini berarti balasan yang akan diberikan Allah tidak ditentukan ukurannya.

Semuga kita dapat menjalankan puasa dengan sempurna agar puasa kita dapat diterima di sisi Allah, sehingga kita mendapatkan predikat pribadi yang bertaqwa juga mendapatkan redho dan balasan yang telah disiapkan-Nya.

Hakekat & Rahasia Puasa

Puasa adalah Pencegahan dan Peninggian

Semoga Allah menolong Anda! Ketahuilah, bahwa puasa (shawm) adalah pencegahan dan pengangkatan. Orang mengatakan, “Siang telah mencapai ketinggian penuhnya (shama)” ketika ia sudah mencapai titik tertingginya. (Penyair) Imru’l-Qays berkata:

Ketika siang mencapai ketinggiannya (shama) dan panasnya demikian kuat,

Yaitu, siang mencapai keluasannya yang terpenuh. Itu disebabkan puasa mempunyai suatu derajat yang lebih tinggi dibandingkan semua amal ibadah lain yang disebut ”puasa” (shawm). Allah meninggikannya dengan penolakan bahwa ia seperti amal ibadah lain sebagaimana akan kita bahas. Ia menolak kepemilikannya kepada hamba-hamba-Nya meski mereka menyembah-Nya dengannya [puasa] itu dan menisbatkan puasa kepada Diri-Nya. Bagian afirmasinya adalah bahwa Dia memberi pahala kepada orang yang digambarkan olehnya dengan tangan-Nya meskipun Dia menghubungkan puasa kepada Diri-Nya ketika Dia menyatakan bahwa ia [puasa] tidak seperti [ibadah] yang lain itu.

Berpuasa adalah Tiada-Tindakan, Bukan Tindakan

Pada kenyataannya, puasa adalah tiada-tindakan, bukan tindakan. Penafian keserupaan adalah sifat negatif. Karena itu, hubungan antara puasa dan Allah diperkuat. Allah Yang Mahakuasa berkata tentang Diri-Nya, Laytsa kamitslihî syai’un (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia) (QS asy-Syûrâ: 11). Ia menolak bahwa ada sesuatu yang menyerupai-Nya, dan, dengan demikian, tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya dengan bukti-bukti logis dan dengan Syari’ah. An-Nasa’i meriwayatkan bahwa Abu Umamah berkata, ”Aku datang ke Rasulullah saw dan berkata, ”Berikan kepadaku sesuatu yang saya dapat mengambilnya Anda.” Ia berkata, ”Anda harus puasa. Tidak ada sesuatu pun yang menyerupainya.” Ia menolak bahwa ia seperti amal ibadah lain yang ditentukan bagi hamba-hamba Allah.

Siapa pun yang mengetahui bahwa ia merupakan sifat negatif—karena ia mengandung penundaan berbagai hal yang melanggarnya—mengetahui secara mutlak bahwa tidak ada sesuatu yang menyerupainya (puasa) karena ia tidak memiliki sumber yang digambarkan dengan eksistensi yang dipahami. Inilah alasan kenapa Allah berkata, “Puasa adalah milik-Ku.” Senyatanya, ia bukan ibadah ataupun tindakan. Diperbolehkan untuk menerapkan nama ”tindakan” (action) kepadanya, seperti halnya penggunaan ungkapan maujud(‘existent’) dapat diterapkan kepada Allah. Kita paham, itu dibolehkan sekalipun penisbatan wujud kepada Dia, yang eksistensinya sama dengan esensi-Nya, yang tidak sama penisbatan wujud kepada kita. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.

Setiap perbuatan putra Adam adalah miliknya kecuali puasa. Ia milik Allah.

Kutipan Hadis Profetik

Muslim meriwatkan di dalam Shahih-nya bahwa Abu Hurairah melaporkan dari Rasulullah bahwa Allah berfirman, ”Setiap perbuatan putra Adam miliknya kecuali puasa. Itu adalah milik-Ku, dan Aku membayarnya kembali untuk itu. Puasa adalah perisai (penjagaan). Ketika salah seorang dari kalian mempunyai satu hari puasa, maka seharusnya ia tidak berbicara cabul maupun keras; dan jika seseorang berusaha mengutuknya atau berkelahi dengannya, biarkan dia berkata, ’Saya sedang berpuasa.’ Demi Zat yang di tangan-Nya jiwa Muhammad, bau mulut orang yang berpuasa lebih sedap bagi Allah dibandingkan bau harum misik. Orang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan yang di dalamnya [ia] bergembira: ketika ia berbuka puasa, ia gembira; dan ketika ia bertemu Tuhannya, ia bergembira dalam puasanya.” (Muslim, 13: 163)

Kepuasan dari Orang yang Puasa Terletak pada Keterikatannya pada Tingkatan Penafian Keserupaan

Ketahuilah, karena Nabi menolak bahwa ada sesuatu yang menyerupai puasa, seperti yang disebutkan dalam hadis dari an-Nasa’i, dan ”Allah tidak mempunyai sesuatu yang menyerupai-Nya”, orang yang puasa menemui Tuhannya digambarkan sebagai ”[orang] yang tidak mempunyai sesuatu yang menyerupainya”. Ia melihat-Nya dengannya [puasa], dan Dia adalah Yang Melihat sekaligus Yang Dilihat (the Seer-Seen). Inilah alasan mengapa Nabi saw berkata, “Ia gembira dalam puasanya” dan bukan “Ia gembira dalam menemui Tuhannya.” Kebahagiaan tidak menggembirakan pada dirinya sendirinya; ia dibuat untuk bergembira dengannya. Siapa saja yang mempunyai Allah sebagai penglihatannya ketika ia melihat dan merenungkan-Nya, [ia] hanya melihat dirinya dengan melihat-Nya.

Pelaku puasa bergembira karena mempunyai tingkatan penafian keserupaan. Ia gembira ketika berbuka puasa di dunia ini karena itu [buka puasa] memberi jiwa binatangnya haknya, karena pada hakikatnya [jiwa hewani] mencari makanan. Ketika seorang ’arif melihat bahwa jiwa binatangnya membutuhkan makanan dan melihat bahwa ia ada karena nutrisi yang diberikan kepadanyanya, maka ia memenuhi haknya yang telah Allah wajibkan kepadanya dan menempatkan kedudukan makhluk yang digambarkan sebagai hak. Ia memberi dengan tangan Allah sebagaimana Ia melihat Allah di dalam pertemuan dengan mata Allah. Inilah alasan mengapa ia gembira ketika berbuka puasa sebagaimana ia gembira dalam puasanya ketika ia berjumpa Tuhannya.

Puasa adalah Sifat Shamadiyyah dan al-Haqq adalah Tebusannya

Penjelasan dari apa dikandung dalam hadis ini:

Hamba digambarkan sebagai melakukan puasa dan berhak diberi nama “orang yang puasa” (shaim) oleh sifat ini. Setelah mengafirmasi puasanya, kemudian Allah mengeluarkannya [sifat itu] darinya dan menisbatkannya kepada Diri-Nya. Dia berfirman, ”Puasa adalah milik-Ku,” yakni, sifat ash-shamadiyyah. Ia adalah keterputusan dari makanan. ”Ia hanya milik-Ku, sekalipun Aku sudah menggambarkan kepadamu dengannya. Aku menggambarkan kepadamu dengan suatu kualifikasi keterputusan terbatas tertentu, bukan dengan keterputusan (tanzih) yang keagungan-Ku berhak atasnya. Aku berfirman, ’Aku menebusnya dengan itu.’” Allah menebus puasanya pelaku puasa ketika dialihkan kepada Tuhannya dan ia menemui-Nya dengan suatu sifat yang tidak seperti lainnya: yakni puasa, karena ”Zat yang tidak mempunyai sesuatu yang menyerupai-Nya” hanyalah [bisa] dilihat oleh orang yang tidak mempunyai sesuatu yang menyerupai-Nya. Hal ini seperti teks dari Abu Thalib al-Makki, salah seorang guru para ahli dzawq. ”Balasannya, ialah pada siapa diketemukan (barang yang hilang) dalam karungnya, maka dia sendirilah balasannya (tebusannya) (QS Yusuf: 75) Itulah sesuatu yang diwajibkan oleh ayat ini dalam keadaan ini.

Perbedaan antara Penafian Keserupaan dari Allah dan dari Puasa

Lalu beliau [Nabi saw] berkata, ”Puasa adalah perisai [penjagaan],” dan [ini] adalah perisai sebagaimana Dia berfirman, Bertakwalah kepada Allah (QS al-Baqarah: 194), yaitu menjadikan-Nya sebagai suatu perisai dan [ia] juga menjadi perisai bagi-Nya. Dia menempatkan puasa di dalam posisi-Nya ketika bertindak sebagai perisai. ”Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia”,dan puasa tidak memiliki keserupaan di antara amal ibadah lainnya. Siapa pun tidak mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang menyerupai puasa. Sesuatu itu adalah masalah keabadian atau eksistensi. Puasa adalah tidak-berbuat (non-action). Ia adalah intelijibel non-maujud dan sifat negatif. Puasa tidak mempunyai keserupaan. Ini adalah perbedaan antara sifat Allah di dalam peniadaan persamaan dan cara yang puasa dijelaskan olehnya.

Pelaku Puasa Dilarang Berbuat Cabul, Berteriak, dan Bertengkar

Kemudian, Pemberi-hukum [Allah] menempatkan larangan-larangan pada pelaku puasa. Larangan itu adalah tidak-berbuat dan sifat negatif. Dia berfirman, “maka ia semestinya tidak berbicara cabul maupun berteriak.” Dia tidak memerintahkan kepadanya suatu perbuatan, tetapi melarang itu ia digambarkan oleh tindakan-tindakan tertentu. Puasa adalah tidak-berbuat, sehingga hubungan antara puasa dan apa yang Dia larang kepada pelaku puasa adalah sah. Kemudian Dia memerintahkan agar ia [pelaku puasa] berkata kepada orang yang mencelanya atau bertengkar dengannya, ”Saya sedang berpuasa,” yaitu, saya sedang meninggalkan perbuatan yang sedang Anda lakukan ini, suka bertengkar atau pengecam, kepada saya. Atas perintah Tuhannya, ia memutuskan dirinya dari perbuatan ini. Ia melaporkan bahwa ia tidak berbuat, yaitu, ia tidak mempunyai sifat melaknat atau berjuang bagi yang mengecam dan memeranginya.

Bau Mulut Pelaku Puasa Di Sisi Allah

Lalu ia [Nabi] bersumpah, “Demi Zat yang memegang jiwa Muhammad di tangan-Nya, napas busuk dari pelaku puasa…” Ini adalah bau mulut yang busuk dari pelaku puasa yang hanya ada melalui pernapasan. Ia menghembuskan kata-kata baik yang dengannya ia diperintahkan. Kata-kata ini adalah: “Aku sedang berpuasa.” Kata-kata ini dan setiap napas dari pelaku puasa adalah ”lebih sedap di hari Kebangkitan,” hari ketika orang-orang dihidupkan kembali untuk Tuhan semesta alam, ”di sisi Allah.” Ia menggunakan nama [Allah] yang menggabungkan semua Nama [Allah] dan ia menggunakan nama yang tidak ada sesuatu pun yag menyerupainya karena hanya Allah yang dinamai oleh nama ini. Ini selaras dengan puasa itu sendiri yang tidak ada sesuatu pun menyerupainya.

Ia berkata, “lebih sedap dibanding bau harum misik.” Bau misik (bau harum dari zat kelenjar rusa jantan) adalah satu keadaan eksistensial yang dicandra oleh bau. Orang yang mempunyai struktur yang seimbang menikmatinyanya. Bau harum dari napas yang busuk dianggap lebih semerbak di sisi Allah dibandingkan dengan misik, karena penyifatan persepsi bau harum kepada Allah tidak menyerupai persepsi bau harum kepada pencium. Kita menemukannya tidak sedap, sementara di sisi-Nya napas ini lebih mulia ketimbang bau harum misik. Ini merupakan ruh yang digambarkan yang tidak ada sesuatupun menyerupainya sebagaimana Ia menggambarkannya. Bau harum ini [puasa] tidak seperti bau harum itu [puasa]. Bau harum pelaku puasa datang dari respirasi atau hembusan napas. Bau harum misik tidak muncul dari respirasi misik. Ibn ‘Arabi dengan Musa ibn Muhammad al-Qabbab di Menara Masjidil Haram Makkah

Sesuatu yang seperti ini terjadi ini kepadaku. Aku sedang bersama Musa ibn Muhammad al-Qabbab di menara Masjidil Haram Makkah di pintu Hazawwara. Saat itu, azan sedang dikumandangkan. Ia mempunyai beberapa makanan yang berbau sangat kuat yang tercium oleh setiap orang. Aku mendengar dalam sebuah hadis Nabi, bahwa para malaikat merasa tersinggung dengan bau menyengat yang datang dari anak-anak Adam. Maka itu, adalah terlarang mendekati mesjid-mesjid dengan bau bawang putih, bawang perai, dan bawang bombay. Aku begadang dan memutuskan untuk menyuruh orang itu untuk memindahkan makanan itu dari mesjid demi para malaikat. Kemudian aku menyaksikan Allah Yang Mahakuasa dalam sebuah mimpi, yang di dalam mimpi itu, Dia berfirman kepadaku, ”Jangan katakan kepadanya tentang makanan itu. Baunya di sisi-Ku tidak seperti baunya di sisimu.” Pagi-pagi, ia datang kepada kami seperti biasanya. Aku berkata kepadanya apa yang telah tersingkap [kepadaku]. Ia menangis dan bersujud kepada Allah karena rasa syukur. Lalu ia berujar kepadaku, ”Guruku, kendati demikian, adab dengan syariah adalah lebih baik,” dan ia memindahkan makanan itu dari mesjid. Semoga Allah merahmatinya.

Hakikat Surgawi Berlawanan dengan Aroma-aroma Busuk

Struktur-struktur alamiah yang logis pada diri manusia dan malaikat bebas dari bau-bau busuk yang tidak sedap karena daya sengat yang mereka rasa sebagai akibat dari ketiadaan keselarasan. Aspek al-Haqq di dalam bau-bau yang busuk hanya bisa dirasakan oleh Allah dan siapa saja yang mempunyai disposisi untuk menerimanya di antara binatang dan manusia yang mempunyai sifat alamiah binatang itu. Ini bukan kasus di sisi malaikat. Inilah alasan kenapa ia berkata, ”di sisi Allah”. Sepanjang pelaku puasa adalah seorang manusia dengan struktur yang sempurna, ia tidak menyukai napas yang busuk dari perbuatan puasa pada dirinya dan orang lain.

Apakah setiap makhluk dengan struktur sempurna menyadari Tuhan mereka sebentar atau dalam penyaksian sehingga mereka secara mutlak merasa bau-bau busuk sebagai yang menyedapkan? Kami belum mendengar hal ini. Kami katakan ”secara mutlak” karena beberapa struktur tidak menyukai aroma misik dan bunga mawar, terutama struktur yang panas. Sesuatu yang didapati menyengat bukanlah menyenangkan untuk orang yang dengan struktur ini. Inilah alasan kenapa kami berkata ”secara mutlak” karena kebanyakan struktur-struktur menemukan misik, mawar dan semacamnya yang harumnya semerbak. [Ini] merupakan struktur jarang, yaitu, tidak biasa, yang menemukan bau-bau yang menyengat ini sebagai yang menyenangkan.

Aku tidak mengetahui apakah Allah telah mengaruniakan kepada siapa saja persepsi persamaan bau harum karena tidak ada bau busuk di sisi-Nya. Kami belum merasakan diri kami sendiri dan itu belum dipancarkan kepada kami bahwa siapa pun merasakan hal itu. Lebih dari itu, diriwayatkan bahwa manusia sempurna dan para malaikat menemukan bau-bau busuk yang menyengat ini. Hanya Allah yang merasakannya sebagai hal yang menyenangkan. Ini terpancar. Aku juga tidak tahu kasus apa di sisi binatang di luar manusia mengenai hal itu. Karena, Allah tidak menetapkanku dalam wujud seekor binatang selain manusia ketika Dia menetapkanku dalam bentuk-bentuk para malaikat-Nya. Kadang-kadang. Allah mengetahui yang terbaik.

Pintu Haus yang dengannya Pelaku Puasa Memasuki Surga

Berdasarkan pengertiannya, syari’ah telah mendedahkan berpuasa dengan kesempurnaan yang di atasnya tidak ada kesempurnaan. Ini disebabkan Allah memberinya suatu pintu khusus dengan nama khusus yang menuntut kesempurnaan. Ia disebut “pintu orang yang dahaga”. Pelaku puasa memasukinya. Pemuasan dahaga adalah suatu derajat tingkat kesempurnaan di dalam [perbuatan] minum. Setelah haus terpuaskan, peminum itu tidak menerima apa pun lagi untuk diminum. Setiap kali ia menerima, maka ia tidak terpuaskan, entah ini adalah negeri di tengah negeri golongan-golongan binatang ataukah bukan.

Muslim meriwayatkan, dari hadis Sahl ibn Sa’d bahwa Rasulullah berkata, ”Ada sebuah pintu di surga yang disebut ’Pintu Dahaga’. Para pelaku puasa memasukinya pada hari Kebangkitan. Tidak ada seorang pun kecuali mereka yang akan memasukinya. Dikatakan [kepada mereka], ’Di manakah para pelaku puasa?’ dan mereka akan memasukinya. Ketika yang terkakhir dari mereka sudah memasukinya, pintu itu akan terkunci dan tidak ada orang lain akan memasukinya.”

Sesuatu tidak disebutkan berkaitan dengan salah satu perbuatan ibadah yang wajib atau yang haram kecuali puasa. Dengan ’pintu dahaga’, Dia menjelaskan bahwa mereka memperoleh sifat kesempurnaan dalam perbuatan karena mereka digambarkan oleh sesuatu yang tidak memiliki keserupaan seperti yang telah kami katakan sebelumnya. Pada kenyataannya, siapa saja yang yang tidak memiliki keserupaan, adalah [orang] yang sempurna. Para pelaku puasa termasuk di antara para arif yang memasukinya di sini.

Rahasia Puasa

Sebagai Muslim sejati, kedatangan dan kehadiran Ramadhan yang mulia pada tahun ini merupakan sesuatu yang amat membahagiakan kita. Betapa tidak, dengan menunaikan ibadah Ramadhan, amat banyak keuntungan yang akan kita peroleh, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak.

Disinilah letak pentingnya bagi kita untuk membuka tabir rahasia puasa sebagai salah satu bagian terpenting dari ibadah Ramadhan. Ada lima rahasia puasa yang bisa kita buka untuk selanjutnya bisa kita rasakan kenikmatannya dalam ibadah Ramadhan.

1. Menguatkan Jiwa

Dalam hidup, tak sedikit kita dapati manusia yang didominasi oleh hawa nafsunya, lalu manusia itu menuruti apapun yang menjadi keinginannya meskipun keinginan itu merupakan sesuatu yang bathil dan mengganggu serta merugikan orang lain. Karenanya, di dalam Islam ada perintah untuk memerangi hawa nafsu dalam arti berusaha untuk bisa mengendalikannya, bukan membunuh nafsu yang membuat kita tidak mempunyai keinginan terhadap sesuatu yang bersifat duniawi. Manakala dalam peperangan ini manusia mengalami kekalahan, malapetaka besar akan terjadi karena manusia yang kalah dalam perang melawan hawa nafsu itu akan mengalihkan penuhanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Tuhan yang benar kepada hawa nafsu yang cenderung mengarahkan manusia pada kesesatan. Allah memerintahkan kita memperhatikan masalah ini dalam firman-Nya yang artinya: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya.” (QS 45:23)

Dengan ibadah puasa, maka manusia akan berhasil mengendalikan hawa nafsunya yang membuat jiwanya menjadi kuat, bahkan dengan demikian, manusia akan memperoleh derajat yang tinggi seperti layaknya malaikat yang suci dan ini akan membuatnya mampu mengetuk dan membuka pintu-pintu langit hingga segala do’a-nya dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya: “Ada tiga golongan orang yang tidak ditolak do’a mereka : orang yang berpuasa hingga berbuka, pemimpin yang adil dan do’a orang yang dizalimi.” (HR. Tirmidzi)

2. Mendidik Kemauan

Puasa mendidik seseorang untuk memiliki kemauan yang sungguh-sungguh dalam kebaikan, meskipun untuk melaksanakan kebaikan itu terhalang oleh berbagai kendala. Puasa yang baik akan membuat seseorang terus mempertahankan keinginannya yang baik, meskipun peluang untuk menyimpang begitu besar. Karena itu, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menyatakan: Puasa itu setengah dari kesabaran.

Dalam kaitan ini, maka puasa akan membuat kekuatan rohani seorang muslim semakin prima. Kekuatan rohani yang prima akan membuat seseorang tidak akan lupa diri meskipun telah mencapai keberhasilan atau kenikmatan duniawi yang sangat besar, dan kekuatan rohani juga akan membuat seorang muslim tidak akan berputus asa meskipun penderitaan yang dialami sangat sulit.

3. Menyehatkan Badan

Disamping kesehatan dan kekuatan rohani, puasa yang baik dan benar juga akan memberikan pengaruh positif berupa kesehatan jasmani. Hal ini tidak hanya dinyatakan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, tetapi juga sudah dibuktikan oleh para dokter atau ahli-ahli kesehatan dunia yang membuat kita tidak perlu meragukannya lagi. Mereka berkesimpulan bahwa pada saat-saat tertentu, perut memang harus diistirahatkan dari bekerja memproses makanan yang masuk sebagaimana juga mesin harus diistirahatkan, apalagi di dalam Islam, isi perut kita memang harus dibagi menjadi tiga, sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk air dan sepertiga untuk udara.

4. Mengenal Nilai Kenikmatan

Dalam hidup ini, sebenarnya sudah begitu banyak kenikmatan yang Allah berikan kepada manusia, tapi banyak pula manusia yang tidak pandai mensyukurinya. Dapat satu tidak terasa nikmat karena menginginkan dua, dapat dua tidak terasa nikmat karena menginginkan tiga dan begitulah seterusnya. Padahal kalau manusia mau memperhatikan dan merenungi, apa yang diperolehnya sebenarnya sudah sangat menyenangkan karena begitu banyak orang yang memperoleh sesuatu tidak lebih banyak atau tidak lebih mudah dari apa yang kita peroleh.

Maka dengan puasa, manusia bukan hanya disuruh memperhatikan dan merenungi tentang kenikmatan yang sudah diperolehnya, tapi juga disuruh merasaakan langsung betapa besar sebenarnya nikmat yang Allah berikan kepada kita. Hal ini karena baru beberapa jam saja kita tidak makan dan

minum sudah terasa betul penderitaan yang kita alami, dan pada saat kita berbuka puasa, terasa betul besarnya nikmat dari Allah meskipun hanya berupa sebiji kurma atau seteguk air. Disinilah letak pentingnya ibadah puasa guna mendidik kita untuk menyadari tinggi nilai kenikmatan yang Allah berikan agar kita selanjutnya menjadi orang yang pandai bersyukur dan tidak mengecilkan arti kenikmatan dari Allah meskipun dari segi jumlah memang sedikit dan kecil. Rasa syukur memang akan membuat nikmat itu bertambah banyak, baik dari segi jumlah atau paling tidak dari segi rasanya, Allah berfirman yang artinya: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS 14:7)

5. Mengingat dan Merasakan Penderitaan Orang Lain

Merasakan lapar dan haus juga memberikan pengalaman kepada kita bagaimana beratnya penderitaan yang dirasakan orang lain. Sebab pengalaman lapar dan haus yang kita rasakan akan segera berakhir hanya dengan beberapa jam, sementara penderitaan orang lain entah kapan akan berakhir. Dari sini, semestinya puasa akan menumbuhkan dan memantapkan rasa solidaritas kita kepada kaum muslimin lainnya yang mengalami penderitaan seperti di Kashmir, Chechnya, Afghanistan, Irak, Palestina dan sebagainya.

Oleh karena itu, sebagai simbol dari rasa solidaritas itu, sebelum Ramadhan berakhir, kita diwajibkan untuk menunaikan zakat agar dengan demikian setahap demi setahap kita bisa mengatasi persoalan-persoalan umat yang menderita. Bahkan zakat itu tidak hanya bagi kepentingan orang yang miskin dan menderita, tapi juga bagi kita yang mengeluarkannya agar dengan demikian, hilang kekotoran jiwa kita yang berkaitan dengan harta seperti gila harta, kikir dan sebagainya.

Allah berfirman yang artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoakan untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS 9:103)

Sambut dengan Gembira

Karena rahasia puasa merupakan sesuatu yang amat penting bagi kita, maka sudah sepantasnyalah kalau kita harus menyambut kedatangan Ramadhan tahun ini dengan penuh rasa gembira sehingga kegembiraan kita ini akan membuat kita bisa melaksanakan ibadah Ramadhan nanti dengan ringan meskipun sebenarnya ibadah Ramadhan itu berat.

Kegembiraan kita terhadap datangnya bulan Ramadhan harus kita tunjukkan dengan berupaya semaksimal mungkin memanfaatkan Ramadhan tahun ini sebagai momentum untuk mentarbiyyah (mendidik) diri, keluarga dan masyarakat kearah pengokohan atau pemantapan taqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesuatu yang memang amat kita perlukan bagi upaya meraih keberkahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi bangsa kita yang hingga kini masih menghadapi berbagai macam persoalan besar. Kita tentu harus prihatin akan kondisi bangsa kita yang sedang mengalami krisis, krisis yang seharusnya diatasi dengan memantapkan iman dan taqwa, tapi malah dengan menggunakan cara sendiri-sendiri yang akhirnya malah memicu pertentangan dan perpecahan yang justeru menjauhkan kita dari rahmat dan keberkahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Puasa Syariat, Thoriqoh dan Hakikat

Puasa Syariat adalah menahan diri dari makan dan minum, dan dari berhubungan suami isteri di siang hari. Sedangkan Puasa Thoriqoh itu, mengekang

seluruh tubuhnya dari hal-hal yang diharamkan, dilarang dan dicela, seperti ujub, takabur, bakhil dan sebagainya secara lahir maupun batin. Karena semua itu bisa membatalkan puasa thoriqoh.

Puasa syariat itu ada batas waktunya. Sedeangkan Puasa thoriqoh senantiasa abadi tak terbatas seumur hidupnya. Itulah yang disabdakan oleh Rasulullah saw:

“Betapa banyak orang berpuasa tetapi puasanya tidak lebih melainkan hanya rasa lapar…” (Hr. Ibnu Majah dan Al-Hakim).

Karena itu disebutkan, betapa banyak orang berpuasa tetapi ia justru berbuka, dan betapa banyak orang yang berbuka (tidak puasa) namun ia berpuasa. Yakni menahan anggota badannya dari dosa-dosa, menahan diri dari menyakiti manusia secara fisik, seperti firman Allah Ta’ala dalam hadits Qudsy: “Puasa itu untuk Ku dan Aku sendiri yang membalas pahala puasa.” (Hr. Bukhori) “Bagi orang yang berpuasa mendapatkan dua kegembiraan: kegembiraan ketika berbuka, dan kegembiraan ketika memandang Keindahan Ku.”

Bagi Ulama syariat dimaksud dengan berbuka adalah makan ketika matahari maghrib, dan melihat bulan di malam Idul Fitri. Sedangkan ahli thoriqoh menegaskan bahwa berbuka itu akan diraih ketika masuk syurga dengan memakan kenikmatan syurga, dan kegembiraan ketika memandang Allah swt. Yaitu ketika bertemu dengan Allah Ta’ala di hari qiyamat nanti, dengan pandangan rahasia batin secara nyata. Sedangkan Puasa Hakikat adalah puasa menahan hati paling dalam dari segala hal selain Allah Ta’ala, menahan rahasia batin (sirr) dari mencintai memandang selain Allah Ta’ala seperti disampaikan dalam hadits Qudsy: “Manusia itu rahasiaKu dan Aku rahasianya.”

Rahasia itu bermula dari Nurnya Allah swt, hingga ia tidak berpaling selain Allah Ta’ala. Selain Allah Ta’ala, tidak ada yang dicintai atau disukai dan tak ada yang dicari baik di dunia maupun di akhirat. Bila terjadi rasa cinta kepada selain Allah gugurlah puasa hakikatnya. Ia harus segera mengqodho puasanya, yaitu dengan cara kembali kepada Allah swt dan bertemu denganNya. Sebab balasan Puasa Hakikat adalah bertemu Allah Ta’ala di akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar