Senin, 07 Juli 2014

KHALWAT

Pada dasarnya fitrah adalah sama, bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT memiliki nurani beragama, hal itu terlihat jelas ketika Allah SWT mengadakan dialog pra existensial dengan manusia (lihat Al Quran surat Al A’raf : 172).

Dengan merujuk kepada ayat Al Quran diatas, tidak mungkin bagi manusia menghapus memori tauhid dari jiwanya, karena hal itu telah menyatu dengan bagian terdalam pada jiwa manusia yaitu ruh.

Allah SWT telah memberikan kemerdekaan dan kebebasan kepada manusia dalam memilih keberagaman mereka. Dalam hal ini menusia bebas untuk memilih sekalighs menentukan jalan hidupnya, apakah manusia itu ingin beriman kepada Allah SWT atau sebaliknya kufur kepada-Nya. Semua pilihan itu Allah serahkan kepada manusia (Al Quran Surat Al Baqarah: 256). Namun demikian Allah SWT tidak begitu saja melepas manusia untuk memilih jalan kehidupannya. Tetapi dalam kehidupan ini, Allah SWT memberikan petunjuk kepada manusia agar tidak salah dalam memilih jalan hidupnya dan tidak tersesat ketika manusia itu nanti kembali kepada Allah AWT (Al Quran Surat Al Insan: 3).

Menurut Syaikh KH Sa’adih Al Batawi bahwa manusia dalam kehidupannya harus kembali kepada ajaran Al Quarn dan Al Hadits yang sebenarnya, dengan cara mengikuti apa-apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW agar manusia itu mengerti terhadap hak dan kewajibannya sebagai manusia.

Para Nabi dan Rasul Allah dalam rangka membangun kesucian jiwa dan ruhaninya, guna mencapai kedekatan diri dengan Allah SWT, jalan yang mereka tempuh ialah dengan cara uzlah atau khalwat.

KHALWAT

Khalwat ialah sepi atau sunyi, menurut para sufi, khalwat ialah usaha seorang hamba untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah SWT dengan cara menyepikan batin dari sifat-sifat keduniaa, mensunyikan hati dari hawa nafsu dunia. Khalwat merupakan suatu keadaan dimana seorang hamba berusaha untuk membutakan matanya dari pandangan-pandangan dunia, mentulikan telinganya dari bisikan-bisikan hawa nafsu dan membisukan lidah dari perkataan-perkataan yang tidak berguna.

Imam Abu Hamid Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin pada bab Adabu Uzlah menjelaskan bahwa khalwat merupakan salah satu upaya seorang hamba untuk membangun ketaatan kepada Allah SWT.

Dalam pandangan Syaikh KH Sa’adih Al Batawi, bahwa khalwat dilakukan sebagai usaha manusia untuk mengenal dirinya agar dapat mengenal Allah SWT. Salah satu caranya ialah dengan berusaha semaksimal mungkin dapat mengendalikan nafsu lawamah, sawwamah dan ammarah dan nafsu dunia serta nafsu syaithoniyyah yang terdapat dalam jiwanya, sehingga diharapkan akan muncul dalam jiwa manusia itu jiwa yang mutmainnah (jiwa yang tenang).

Allah SWT pada dasarnya telah mengajarkan tentang khalwat dan menjelaskan tentang betapa pentingnya khalwat bagi manusia, hal ini telah termaktub dalam Al Quran: artinya “Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan-Nya), maka Allah SWT mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya, sungguh beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya” (Al Quran Surat Al Syams: 7 – 10)

Dari ayat diatas sungguh sangatlah jelas bahwa Allah SWT punya kepentingan agar manusia menjadi taat dan patuh serta mau membersihkan dan mensucikan jiwanya. Sehingga ketika manusia nanti kembali kepada Allah mereka senantiasa berada dalam kesucian lahir maupun batin.

Sungguh amat beruntunglah orang-orang yang memilih jawal ketaqwaan itu karena mereka tidak menyia-nyiakan hidayah yang Allah berikan kepada mereka. Sebaliknya sungguh amat merugilah bagi mereka yang memilih jalan kefasikan, karena mereka telah menyia-nyiakan rahmat, hidayah dan fitrah ketauhidan yang telah Allah SWT berikan kepada mereka, dengan cara mengotori jiwa, hati dan iman mereka sendiri dalam bentuk-bentuk perbuatan kemaksiatan di hadapan Allah.

Pada akhirnya khalwat diharapkan dapat membentuk manusia-manusia yang taat dan tunduk kepada Allah, yaitu mereka mampu bersabar ketika Allah uji, ihklas dalam penyembahannya kepada Allah, bersyukur ketika diberi nikmat dan ridho atas segala ketentuan serta keputusa-keputusaN

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA. Bahwa Rasulullah SAW bersabda, “sesungguhnya sebaik-baik penghidupan manusia adalah orang yang mampu memegang kerasnya (kendali kuda) di jalan Allah. Jika mendengar hal yang mengejutkan dan menakutkan, ia tetap berada si atas punggungnya dengan pilihan mati atau terbunuh, atau orang yang mendapatkan harta rampasan perang yang bertempat tinggal di atas gunung atau di dasar jurang yang senantiasa menerjakan salat, memberikan zakat, dan beribadah kepada Tuhan sampai kematian menjemputnya, yang tidak dimiliki orang lain kecuali tetap dalam kebaikan”.

Khalwat adalah merupakan sifat orang sufi. Sedangkan uzlah adalah merupakan bagian dari tanda bahwa seseorang telah bersambung dengan Allah Ta’ala. Seharusnya bagi murid pemula (yaitu orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah) agar uzlah (mengasingkan diri dari bentuk-bentuk eksistensial kemudian di akhir perjalanannya melakukan khalwah (mneyepi) sehingga ifat lemah lembut akan dapat tercapai. Hakikatkhalwah adalah pemutusan hubungan dengan makhluk menuju penyambungan hubungan dengan Al-Haq yaitu Allah Subhanahu Wata’ala. Ahl demikian dikarenakan khalwah merupakan perjalanan ruhani dari nafsu menuju hati, dan hati menuju ruh dan daru ruh menuju alam rahasia /sirr dan dari alam rahasia menuju Dzat Maha pemberi segalanya.

Hamba yang melakukan uzlah haruslah diniatkan karena Allah Ta’ala dengan maksud dan niatan menjaga keselamatan orang lain dari perangai buruknya. Dan janganlah bermaksud menjaga keselamatan dirinya dari keburukan orang lain. Karena pernyataan yang pertama adalah wujud dari sikap rendah ahti /tawadhu’sedangkan pernyataan yang kedua adalah menunjukkan sifat sombong yang ada pada dirinya.

Sebagian pendeta ditanya, “Apakah engkau seorang pendeta ?” maka dia menjawab, “Tidak saya hanyalah sebagai penjaga anjing. Jiwaku serupa dengan anjing yang dapat melukai orang lain, karena itu saya harus keluar dari mereka supaya mereka selamat”.

Pada suatu saat ada seorang bertemu dengan orang saleh yang sedang mengumpulkan pakaiannya. Lelaki itu bertanya “Mengapakah engkau kumpulkan pakaianmu. Apakah pakaianku itu najis ?” maka orang tua yang saleh etrsebut menjawab, “tidak, tetapi pakaiankulah yang najis dan aku kumpulkan agar tidak menajiskan pakaianmu”.

Sebagian dari tatacara uzlah adalah untuk memperoleh ilmu yang dibenarkan oleh akidah tauhid. Selain itu untuk memperoleh ilmu syari’at atas dasar kewajiban sehingga bentuk perintahnya menjadi pondasi yang kuat-untuk dilaksanakan. Esensi uzlah adalah menghindarkan diri ari perbuatan tercela. Sedangkan hakikatnya adalah menggantikan sifat yang tercela untuk di isi denagn sifat yang terpuji, bukan untuk menjauhkan diri dari tempat tinggalnya / tanah arinya. Ditanyakan, “Siapak orang yang ma’rifat itu ?” dijawab ,”mereka adalah orang yang selalu berada di tepi jauh, yakni dia selalu bersama orang lain sedangkan hatinya jauh dari mereka”.

Asyaikh Al-Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Berpakaianlah sebagaimana orang berpakaian, makanlah sebagaimana orang makan, dan menyendirilah dengan bersembunyi”. Beliau juga mengatakan, “Suatu hari seseorang datang kepadaku dan bertanya, ‘Saya datang kepadamu dari perjalanan yang sangat jauh ?’. lalu aku jawab cerita ini dengan bukan dengan arti jaarak perjalanan yang terputus dan perjalanan yang melelahkan. Renggangkan jiwamu dengan satu langkah, maka tujuanmu akan tercapai’”.

Diriwayatkan dari Abu Yazid Al Busthami, RA, beliau berkata, “Saya pernah bermimpi bertemu Tuhan, kemudian saya bertanya, ‘Bagaimana caranya agar aku isa bertemu denganNya ?” Dan Ia menjawab, “Pisahkan jiwamu dan bersegeralah datang”.

Abu Utsman Al-Maghribi mengatakan, “Barang siapa ingin meninggalkan masyarakat, selayaknya ia meninggalkan semua ingatan kecuali ingat kepada Tuhan, meninggalkan semua keinginan kecuali mencari ridha Tuhan, dan meninggalkan semua tuntutan hawa nafsu. Jika tidak demikian maka apa yang dikerjakan akan menimbulkan fitnah dan cobaan”. Menurut suatu pendapat, khalwat adalah pekerjaan yang paling dicintai untuk mendorong rasa rindu.

Muhammad bin Hamid berkata, “Seseorang bertamu kepada Abu Bakar Al;-Waraq, ketika akan pulang ia meminta kepada Muhammad agar meberi wasiyat kepada dirinya. Abu Bakar Al-Waraq menjawab, “Engkau telah mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat karena engkau selalu menyendiri dan meninggalkan pergaulan masyarakat. Kejelekan dari keduanya terletak pada pencampur adukan dan pembauran”.

Abu Muhammad Al-Jariri ditanya tentang uzlah, dia menjawab, “Uslah adalah masuk ke tempat yang sempit, menjaga rahasia agar tidak terjadi gesek menggesek dan meninggalan keinginan hawa nafsu sehingga hatimu terkait dengan kebenaran”. Ada yang berpendapat, urgensi uzlah adalah menghasilkan kemuliaan.

Menurut Sahal, khalwat tidak dpat dibenarkan kecuali dengan meninggalkan yang haram. Dan meninggalkan barang yang halal juga tidak dibenarkan kecuali dengan melaksanakan hak Allah Ta’ala.

Dzunun AL-Mishri berkata, “Saya tidak pernah melihat sesuatu yang dapat menimbulkan sikap ikhlas kecuali kekasihmu adalahkhalwat, makananmu adalah lapar, dan pembicaraanmu adalah lapar. Apabila engkau meninggal dunia, engkau selalu bersambung kepada Allah”. Dzunun al-Mishri juga ppernah berkata,”Orang tidak akan terhalang dari makhluk hanya karena khalwat sebagaimana orang tidak orang tidak akan terhalang dari mereka karena mendekatkan diri kepada mereka”.

Tentang Pengasingan Diri (Khalwat, Uzlah)

Zikir dalam hati merupakan salah satu bentuk pengasingan diri bagi seorang hamba. Abu Said al-Khudri  meriwayatkan,

Seorang Baduy datang kepada Rasulullah  dan bertanya, Wahai Rasulullah. Siapakah manusia terbaik. Rasulullah  menjawab, Orang yang berjuang di jalan Allah  dengan hidup dan kekayaannya, serta orang yang hidupnya menyendiri di sebuah jalur pegunungan di antara jalur-jalur lain untuk menyembah Tuhannya dan mencegah orang dari keburukan dirinya (jaa arabiyyun ila al-nabi faqala ya rasulallahi ayyu khayru al-nas. Qala rajulun jahidun bi nafsihi wa malih) (Bukhari dalam Bahasa Inggris, Volume 8, Buku 76, Nomor 501)

Abu Saiid al-Khudri y berkata,
Aku mendengar Rasulullah berkata, Akan tiba saatnya di mana harta terbaik bagi seorang laki-laki Muslim adalah biri-birinya, yang akan di bawa ke puncak gunung dan ke tempat di mana turun hujan untuk melarikan diri dengan agamanya jauh dari ancaman (yati ala al nasi zamanun khayru mali al-rajuli al-muslim) (Bukhari dalam Bahasa Inggris, Volume 8, Buku 76, Nomor 502)
Malik meriwayatkan, Humayd bin Malik bin Khuthaym yang sedang duduk dengan Abu Hurayra  di tanahnya di al-Aqiq ketika sekelompok orang Madinah mendekatinya. Mereka turun dari kudanya dan mendatangi mereka.  Humayd  berkata, Abu Hurayra  berkata (kepadaku), Pergilah ke Ibuku dan katakan padanya, Anakmu mengirimkan salamnya dan memintamu mengirimkan sedikit makanan. Aku pergi dan dia memberiku 3 bantal roti dan sedikit minyak zaitun dan garam. Aku membawakannya kepada mereka. Ketika Aku letakkan di depan mereka, Abu Hurayra  berkata, Allahu akbar, segala puji bagi Allah  yang telah mengenyangkan kita dengan roti setalah masa-masa di mana makanan kita hanya 2 benda hitam, air dan kurma. Orang-orang memakan semua yang tersedia dan ketika mereka berangkat, dia berkata, Anak dari saudaraku, perlakukan ternakmu dengan baik, bersihkan lendir dari mereka, tingkatkan makanan mereka, dan salatlah di sekitar mereka, karena mereka semua adalah hewan surga. Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, akan segera datang suatu masa di mana sekelompok ternak lebih sayang kepada pemiliknya dibandingkan anak-anak Marwan. (Malik, Muwatta)

Muslim dan Tirmidzi meriwayatkan,

Abu Hurayra  berkata, Dalam perjalanan ke Makkah, Rasulullah  melewati puncak sebuah gunung yang dinamakan Jumdan (=membeku di tempatnya), pada saat itu beliau berkata, Bergeraklah (siru)! Ini adalah Gunung Jumdan, dan orang yang berpikiran tunggal (al-mufarridun) adalah yang paling utama. Mereka bertanya,? Siapa yang berpikiran tunggal, wahai Rasulullah.  Beliau berkata, Pria dan wanita yang mengingat Allah tanpa henti (al-dzakirun allah katsiran wa al-dzakirat).

Versi Tirmidzi berbunyi,

Rasulullah  berkata, Orang yang berpikiran tunggal (al-mufarridun) adalah yang paling utama. Mereka bertanya, Siapa yang berpikiran tunggal. Beliau berkata, Mereka yang memusatkan pikirannya dengan mengingat Allah  dan dianggap hina (oleh orang lain) karena melakukannya (al-mustahtirun bi dzikr Allah) dan yang bebannya hilang karena berzikir (yadau anhum al-dzikru atsqalahum), sehingga mereka mendatangi Allah dengan berdebar-debar (fa yatun Allaha khifaqan).

Al-Mundziri berkata, ?Mereka adalah orang-orang yang terbakar karena mengingat Allah I(al-muwallaun bi dzikr Allah) (al-Mundziri, al-Tharghib wa al-tarhib)

Nawawi menulis,

Beberapa orang melafalkannya mufridun (=mereka yang mengisolasikan diri mereka) Ibnu Qutayba dan yang lain berkata, Arti yang asli dari kata ini adalah orang-orang yang sanak keluarganya telah meninggal sehingga dia menjadi sendirian (di dunia ini) dan mereka terus mengingat Allah . Riwayat yang lain adalah, Mereka yang bergerak ketika menyebut atau mengingat Nama Allah  (hum al-ladzina ihtazzu fi dzikr Allah), yaitu, mereka dengan sungguh-sungguh dalam berdoa kepada Allah  dan hatinya terikat kepada-Nya. Ibnu al-Arabi berkata, Disebutkan bahwa seorang laki-laki menjadi sendiri (single, farada al-rajul) ketika dia menjadi terpelajar, menyendiri, dan memusatkan dirinya dalam melaksanakan perintah Allah I dan menjauhi larangan-Nya. (Nawawi, Syarh Sahih Muslim, Bk.48, Ch.1, Hadis 4)

Zikir dalam isolasi atau pengasingan diri (khalwa) berhubungan dengan hadis dalam Bukhari, yang dimulai dengan, Tujuh orang akan dinaungi oleh Allah I, orang ketujuh adalah, Orang yang mengingat Allah  dalam pengasingannya (dzakara Allaha khaliyan) dan matanya dibanjiri dengan air mata.

Menurut Tirmidzi,

Aisyah menyatakan, Di awal masa kenabian Rasulullah , pada saat Allah  ingin memberi kemuliaan kepadanya dan kasih sayang kepada semua hambanya melalui Rasulullah , seluruh pandangan beliau datang bagaikan terbitnya matahari. Hal ini berlangsung terus selama yang Allah  kehendaki. Yang paling dicintai beliau adalah mengasingkan diri (al-khalwa) dan tidak ada yang lebih dicintainya daripada menyendiri dalam pengasingan.(Tirmidzi meriwayatkannya dan menyatakan hadis itu hasan sahih gharib. Bukhari dan Muslim menyatakan hal yang sangat serupa lewat mata rantai yang berbeda dan kata khala digunakan menggantikan khalwa)

Ibnu Hajar berkata dalam komentarnya terhadap Bukhari (Ibnu Hajar, Fath al-Bari dalam komentar terhadap Bab mengenai pengasingan diri dalam Bukhari),

Ibnu al-Mubarak menyatakan dalam Kitab al-raqaiq dari Syuba dari Khubayb bin Abd al-Rahman dari Hafs bin Asim bahwa Umar  berkata, Ambillah manfaat bagimu dari pengasingan diri. Dan perkataan yang baik adalah yang diucapkan oleh al-Junayd, semoga Allah  melimpahkan kita kebaikan dari berkahnya. Menjalani kesulitan dalam pengasingan diri adalah lebih mudah daripada hidup dalam masyarakat yang tanpa cacat. Al-Khattabi berkata dalam buku mengenai pengasingan diri (Kitab al-uzla), Jika tidak ada yang lain yang didapat dari pengasingan diri kecuali selamat dari gunjingan dan pandangan terlarang yang tidak dapat dihilangkan, itu saja sudah cukup berguna sekali. Judul dalam Bukhari, [Bab mengenai Pengasingan Diri sebagai Waktu Istirahat dalam Menemani Setan] merujuk pada hadis yang disebutkan oleh al-Hakim dari Abu Dzarr  dari Rasulullah  dengan mata rantai yang baik (hasan), Pengasingan diri lebih baik daripada bersosialisasi dalam melakukan keburukan. amun yang biasanya dipertahankan adalah perkataan Abu Dzarr  atau Abu al-Darda . Ibnu Abi Asim menyatakan hal itu Al-Qusyairi berkata dalam Risala-nya, Metode bagi orang yang berkhalwat adalah dia harus mempunyai suatu keyakinan bahwa dia menjaga orang lain dari kejahatannya, bukan sebaliknya. Ini mengisyaratkan bahwa dia menganggap rendah dirinya dan ini adalah suatu atribut dari sifat rendah hati sedangkan sebaliknya berarti dia menganggap dirinya lebih hebat dari orang lain dan ini merupakan atribut sifat arogan.?

Abu Bakr bin al-Arabi menulis,

Jika dikatakan bahwa waktu menjadi sangat korup sehingga tidak ada yang lebih baik daripada mengisolasi diri, kami berkata, seseorang mengisolasikan dirinya dari orang lain dalam perbuatan-perbuatannya, sementara itu dia masih tetap bergaul dengan mereka secara fisik, namun jika dia tidak berhasil, maka pada saat itu dia mengisolasi dirinya dari mereka secara fisik tetapi tidak dengan memasuki suatu biara atau kuil (yataziluhum bi badanihi wa la yadkhulu fi al-rahbaniyya) yang dilarang dan ditolak oleh sunnah. (Abu Bakr bin al-Arabi, Aridat al-ahwadhi syahr sahih al-Tirmidzi, Buku 45 (daawat) Ch. 4)

Riadat dan Khalwat

Dalam tasawuf, riadat berarti latihan kerohanian dengan menjalankan ibadah dan menundukkan keinginan nafsu syahwat.

Menurut kalangan penempuh jalan tasawuf, riadat dalam arti tersebut pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW ketika ber-khalwat di Gua Hira dengan melatih diri, mengasah jiwa, berzikir, merenung, memperhatikan kejadian alam dan susunannya, serta memperhatikan segala keadaan masyarakat yang penuh kejahilan dan kerusakan dalam berbagai aspek kehidupan. Keadaan masyarakat tersebut menimbulkan keprihatinan Nabi SAW yang mendalam. Kemudian datanglah wahyu yang dibawa oleh Jibril

Setelah menjadi rasul, beliau tetap menjalankan riadat, melawan hawa nafsu (mujahadat) dan tekun beribadat seperti melakukan shalat tahajud sampai jauh malam sehingga kakiknya membengkak. Ketika ditanyakan Aisyah, istrinya, mengapa beliau beribadat sekuat itu, Nabi SAW menjawab bahwa ia ingin mejadi hamba Allah SAW yang bersyukur, bukan karena ingin diampuni dosa-dosanya (HR Ahmad bin Hanbal).

Riadat dalam tasawuf ada dua macam, yaitu riadat badan dan riadat rohani. Riadat badan dilakukan oleh seorang sufi atau pengamal tarekat dengan jalan mengurangi makan, mengurangi minum, mengurangi tidur dan mengurangi berkata-kata. Riadat rohani biasanya melalui ibadah, seperti senantiasa dalam keadaan berwudlu, rajin melakukan shalat (baik fardu maupun sunnah) dan rajin mengamalkan zikir dan aneka ragam wirid.

Adapun riadat yang dilakukan para sufi berbeda-beda sesuai dengan tarekat yang dianutnya. Riadat dilakukan para sufi untuk dapat dekat dan berma'rifat kepada Allah SWT. Hal ini dilakukan secara bertahap sesuai dengan kekuatan bathin masing-masing. Seseorang yang akan melakukan riadat diharuskan untuk terlebih dahulu mempersiapkan kesucian lahiriah melalui iman, Islam dan ihsan.

Ia harus pula memahami dengan sebaik-baiknya apa yang dimaksud dengan rukun iman, pengetahuan mengenai sifat-sifat Tuhan yang wajib dan jaiz, yang mustahil dan yang mungkin, serta pengetahuan tentang nubuat dan yang berhubungan dengan nabi-nabi, seperti sifat-sifatnya, mukjizat dan syafaatnya. Selain itu, juga pengetahuan mengenai malaikat, kitab suci, hari kiamat, dan qada serta qadar.

Ia juga harus mengamalkan ajaran Islam yang wajib, seperti shalat lima waktu dan puasa Ramadhan, dan berupaya memahami hikmah-hikmah dari ibadah itu. Ia melakukan segala sesuatu dengan ikhlas kepada Allah SWT. 

Sedangkan Khalwat Artinya menyendiri, mengasingkan diri dan memencilkan diri. Menyendiri pada satu tempat tertentu, jauh dari keramaian dan orang banyak selama beberapa hari untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui shalat dan amaliah lainnya.

Kalangan sufi di antaranya Al-Ghazali berpendapat bahwa berkhalwat itu meneladani Nabi Muhammad SAW yang pernah melakukan khalwat di Gua Hira sebelum menerima wahyu pertama dan di Jabal Saur sesudah menjadi rasul. Khalwat Rasulullah di Gua Hira adalah tafakur tentang segala mahluk ciptaan Allah SWT. Sedang khalwat Nabi setelah menjadi rasul adalah memohon kepada Allah SWT agar wahyu kembali turun setelah terputus beberapa waktu karena Nabi SAW berjanji menjawab pertanyaan seorang musyrik mengenai hakekat roh tanpa mengatakan insya Allah. 

Disebutkan bahwa Imam Ghazali pernah melakukan khalwat tiga kali, masing-masing selama 40 hari. Dalam 'Awarif al-Ma'arif (Ahli Ilmu Pengetahuan) kaum sufi, ia menasihatkan untuk ber-khalwat selama 40 hari setiap tahun dan menjalankannya dengan shalat dan puasa. Khalwat yang dinamai al-Arba'iniyah (sifat 40) ini mempunyai tujuan etis (khuluqiyyah) yaitu penyucian jiwa dan penyingkiran tabir-tabir (hijab) jasmani. Khalwat ini bukan untuk mencapai mukasyafah atau untuk meminta keluarbiasaan dan keajaiban yang kadang-kadang muncul.

Seorang murid tarekat yang berkhalwat hendaklah melepaskan diri untuk sementara waktu dari alam sekitar, seluruh harta miliknya, dan keluarganya serta tidak meninggalkan khalwatnya kecuali untuk shalat jamaah atau shalat Jumat. Dalam keadaan seperti itu ia harus terus menerus mengingat Allah dan tidak memperhatikan apa yang didengar dan dilihatnya agar dirinya tidak terganggu. Selama itu pula ia harus tetap bersuci dengan wudlu, tidak tidur kecuali amat letih, dan tidak putus-putusnya berdzikir.

Amaliah yang dilakukan seseorang selama berkhalwat dan tatacaranya tergantung pada aliran tarekat dan ajarannya. Misalnya, tarekat Naksyabandiah menetapkan tata cara khalwat sebagai berikut.
  1. Khalwat itu dilakukan dengan iktikaf dalam masjid.
  2. Orang yang melakukan khalwat harus senantiasa berwudlu. Setiap batal wudlunya, ia harus berwudlu kembali dan kemudian shalat tobat dua rakaat karena meninggalkan khalwat dipandang telah melakukan dosa.
  3. Mengerjakan dzikir. Dalam tarekat Naksyabandiah, zikir itu terbagi atas dzikir darajat dan dzikir hasanat.
  4. Dalam berkhalwat hendaklah si pelaku memisahkan diri dari orang banyak. 
  5. Shalat berjamaah.
  6. Hendaknya selama melakukan khalwat mengurangi makan, minum, tidur dan berkata-kata. Yang terutama dikurangi adalah perkataan lidah dan hati; hati hanya berdzikir kepada Allah SWT.
  7. Dalam berkhalwat memakai baju, kain sarung, dan tutup kepala putih karena warna putih melambangkan kesucian dan akan terlihat jelas bila terkena najis.
  8. Selama khalwat, si pelaku meninggalkan pekerjaan jual beli dan segala pekerjaan duniawi lainnya yang dapat membuat hati lalai dari mengingat Allah SWT.
  9. Mengurangi makan daging karena daging dapat membuat sifat manusia menjadi buas.
  10. Sedapat mungkin berkhalwat itu memakai kelambu agar selain mencegah nyamuk, lalat dan lainnya yang mengganggu pikiran dalam berdzikir, juga dapat mengingatkan orang yang berkhalwat seolah-olah ia berada dalam lubang kubur atau liang lahat.
  11. Muka dan dadanya selalu dihadapkan ke arah kiblat. Keduabelas, berkhalwat melatih rasa sabar dan kanaah
Hakikat Khalwat yaitu Masuk Ke dalam diri sendiri

Anakku, jika kamu mengambil sebutir biji kacang hijau, atau buah apapun, dan meninggalkan nya mengering, untuk ratusan tahun itu akan tetap kering. Namun kalau kamu ambil biji itu, dan menaruh (menanam) nya di dalam Tanah yang subur, kemudian kamu kembali lagi sebulan kemudian, kamu akan mendapati bahwa sebatang kecambah hijau telah muncul.

Kalau kamu menggali dan mencoba untuk mencari biji itu, kamu tidak akan mendapati nya lagi. Itu telah hilang, digantikan oleh sesuatu yang lain.

Jika kamu tetap menyirami tanaman itu, itu akan menjadi sebatang pohon dan pohon itu akan menghasilkan buah. Tetapi di mana yang semula biji tadi? Itu telah hilang. Tidak lagi terdapat biji awal itu. Biji itu kini telah menjadi pohon yang besar, dengan buah bermunculan, memberi manusia buah untuk dimakan.

Begitu juga, jika kamu mengambil sebutir telur dan menaruhnya di bawah se-ekor ayam betina, setelah tepatnya dua puluh satu hari telur itu menghilang dan datanglah seekor anak ayam. Suatu ciptaan baru menjadi muncul. Jika kamu mencari di bawah ayam betina tadi kamu tidak akan mendapat telur itu di sana. Telur itu telah lenyap. Itu adalah dua puluh satu hari dibawah ayam betina yang merubah nya menjadi suatu generasi baru.
Sesuatu yang mirip terjadi kepada manusia, ketika mereka berada di dalam rahim ibunya sekitar sembilan bulan sepuluh hari. Di dalam rahim mereka tanpa hubungan dengan apapun di luar dunia ini, mereka sendirian. Namun setelah sembilan bulan sepuluh hari kesepian mereka muncul sebagai sebuah generasi baru, sebuah ciptaan baru.

Anakku, di dalam setiap sesuatu dari contoh ini terdapat sesuatu yang menjalani khalwat. Biji itu memutuskan hubungan dengan dunia di atas tanah dan berkhalwat selama beberapa minggu. Kemudian sebuah pohon muncul.

Telur itu berkhalwat di bawah induknya, tanpa hubungan dengan kehidupan materi di luar kulit telur, dan muncul sebagai sebuah generasi baru.
Sperma berkhalwat di dalam indung telur di dalam rahim ibunya selama sembilan bulan, tanpa hubungan dengan dunia luar dari kehidupan materi ini, namun setelah berkhalwat, dia muncul sebagai sebuah generasi baru.

Anakku, jika kamu tidak berkhalwat Masuk ke Dalam dirimu dan memutuskan hubungan sementara dengan dunia ini, maka janganlah berkata kepada dirimu, sebagaimana biji berkata kepada dirinya :”Saya akan memutuskan hubungan dari kehidupan materi dunia ini dan menghilang dari nya demi cinta kepada Allah dan demi manfa’at kepada manusia lainnya.”

Untuk biji, dia menghasilkan buah. Jika kamu tidak mencoba (merasakan) khalwat seperti itu, jika kamu tidak memutuskan dirimu dengan kehidupan materi ini, mengabaikan ego mu, dan menghilang masuk ke dalam dalam diri menuju ketiadaan dan hanya ada di dalam (karena) Allah, tak akan kamu pernah menemukan keberadaan (hakikat) mu yang mutlak, dirimu yang sejati. Maka kamu tidak akan pernah menjadi seperti pohon itu yang memberikan buah untuk dimakan manusia. Jika kamu tidak mau seperti telur itu dan memotong dirimu dari materi, menyepi ke dalam tabung khalwat dan hanya ada di Hadhirat Tuhanmu, bermeditasi, berfokus pada Nya, mengabdi kepada Nya dalam qalbumu, mempertahankan Hadhirat Nya selalu dalam qalbumu, kamu tak akan mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan yang kamu cari.

Mengapa kamu harus menirukan benih yang masuk khalwat selama sembilan bulan? Bungkus embrio terdiri atas tiga lapis. Ini disebutkan 1,400 tahun lalu di dalam al Qur’an dalam Surat az-Zumar (39:6) pada masa ketika belum ada mikroskop. Nabi s.a.w. juga berkata, “Rahim seorang ibu terdiri atas (berlapis) kegelapan.”

Kamu harus masuk ke dalam kesendirian ini, mencerabut keterikatanmu dengan segala sesuatu di dunia luar ini, memotong dirimu dari berlapis lapis materi dari dunia ini., untuk menyendiri dengan Tuhanmu, dan dengan demikian menyambung hubungan dengan hakekat mutlak dirimu, dengan menyetel citra yang kamu pakai disini kepada Fitrah aslinya di Hadhirat Ilahiah. Tak akan kamu mengerti kepuasan, tak perduli berapa banyak buku yang kamu baca, karena apabila kamu membaca, kamu hanya mendengar buku itu. Pengetahuan yang terkadung hanyalah pengetahuan gossip, bukan yang Haqq (sesungguhnya).
Namun dalam khalwat di dalam diri, kamu bukan hanya mendengar, kamu merasa. Kamu bukan hanya melihat, tetapi kamu mencium. Itulah saat mata hati terbuka. Anakku, jika kamu tidak memasuki khalwat di dalam diri, qalbumu tidak akan pernah merasa kepuasan yang kamu dambakan selama ini.

Bentuk meditasi Islam didasarkan pada khalwat (menyepi). Bukti tentang ini dalam al Qur’an bisa didapatkan dalam kisah Mariam a.s., ibu Nabi Isa a.s. :
Maka Tuhannya menerima (doa) nya dengan sebuah penerimaan yang pemurah, dan mengakibatkan dia tumbuh secara sempurna, dan menjadikan Nabi Zakhariah sebagai walinya. Setiap kali Nabi Zakhariah a.s. mengunjunginya di tempatnya menyepi, dia mendapatinya bersama dengan kebutuhannya sehari hari (rezeki - makanan minuman) nya. Dia bertanya :” Ya Mariam dari mana engkau mendapatkan ini?” Dia menjawab :”Ini dari Allah. Sesungguhnya, Allah memberi kepada siapapun yang Dia kehendaki tanpa takaran.” (3:37)
Mengungkapkan kisah tentang Shahabat Gua (Kahfi), Allah bersabda dalam al Qur’an bahwa mereka diperintahkan :

Pergilah kalian ke Gua itu : Tuhanmu akan mengguyur mu dengan Rahmat Nya mengatur urusanmu menuju kemudahan. (18:16)

Demikian juga, khalwat (menyepi) ada dalilnya dalam Sunnah. Bukhari melaporkan bahwa Aisha r.a. mengatakan : Nabi s.a.w. senang sekali berkhalwat (menyepikan dirinya). Beliau s.a.w. berkhalwat (menyepikan diri). dalam Gua Hira.

Imam Nawawi menjelaskan Hadits Aisha r.a. : Berkhalwat (menyepi) bersama dengan Satu yang kamu cintai adalah sebenar benar khalwat. Itu adalah jalan para shalih, dan itu adalah jalan para ‘alim.

Dia berkata, dalam penjelasannya dalam Salih Muslim : Nabi s.a.w. berkata : “Saya dicipta untuk mencintai khalwat,” karena dengannya qalbu akan kosong dari semua kehidupan duniawi ini. Qalbu itu akan dalam keadaan damai Hal ini membantu memperdalam meditasi pada Hadhirat Ilahi. Dengannya, keterikatan seseorang dengan dunia akan berkurang. Dengannya, pengabdiannya akan bertambah.

Imam Zuhri berkata : Saya heran dengan orang orang, bahwa mereka tidak melaksanakan khalwat. Nabi s.a.w. melakukan banyak hal kemudian meninggalkannya, namun dia s.a.w. tidak pernah berhenti melakukan khalwat sampai meninggalnya.

Abu Jamra berkata menjelaskan sunnah ini dari Aisha r.a. : Ketika Nabi s.a.w. menyepikan diri (khalwat), meninggalkan ummatnya dan melepaskan dirinya dari dunia, dia s.a.w. menerima wahyu dari Jibril a.s. dalam Gua Hira. Siapapun yang akan meniru Nabi s.a.w. dalam melakukan khalwat, dibawah perintah shaykhnya, akan diangkat ke maqam orang suci (awliya Allah).

Bukti (pengaruh, Pent) khalwat adalah bahwa Nabi s.a.w. melalui khalwatnya dalam Gua Hira, diangkat kepada maqam di mana beliau s.a.w. menerima wahyu. Dalam khalwatnya buah pertamanya adalah mimpi yang benar, dan dari maqam ini beliau s.a.w. diangkat pada Malam Mi’raj, sampai beliau mencapai Hadhirat Ilahiah ke maqam “dua busur jaraknya atau lebih dekat.” (53:9)

Semua maqam maqam ini adalah hasil dari khalwatnya dalam Gua Hira. Kita belajar dari sini, jika kita mengikuti jejak langkah Nabi s.a.w. , kita akan diangkat dari maqam satu ke maqam lainnya sampai kita mencapai maqam awliya Allah yang tinggi, dan kita akan mendapati diri kita dalam Hadhirat Ilahiah.

Shaykh Abd al-Qadir berkata : Dari Gua Hira, dimana Nabi s.a.w. ber-khalwat, cahaya mamancar, fajar menyingsing, dan matahari terbit. Gemerlap pertama cahaya Islam telah menyambar. Tak pernah Nabi s.a.w. meninggalkan khalwatnya, bahkan setelah meninggalkan Gua Hira. Sepanjang hidupnya beliau s.a.w. meneruskan latihan khalwat (‘itikaf) nya selama sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Ini memperagakan bahwa sepanjang hidupnya, Nabi s.a.w. meneruskan khalwatnya secara tetap. Tentu saja tugas maha berat menyampaikan Risalah Allah kepada ummat manusia dan membangun masyarakat beriman membuat beliau s.a.w. harus mengurangi jumlah waktu kesendiriannya. Namun untuk para pengikutnya, tetap saja empat puluh hari adalah jumlah minimumnya. 

Imam Qastaliani dalam menjelaskan sunnah ini mengatakan : Khalwat akan membawa qalbu kepada kedamaian dan terbukalah di dalamnya mata air (sumber) hikmah, karena itu akan memutuskan sang murid dari kehidupan material dan membuat dia mampu mengingat Allah S.W.T. Dalam khalwat nya dia juga harus mengisolasi dirinya dan menyepikan dirinya dari dirinya. Hanya memandang Allah S.W.T. Pada saat tersebut itulah dia akan menerima ilmu ghaib, dan qalbunya akan menjadi landasan bagi keperluan tersebut.

Dalam hubungannya dengan khalwat, Abul Hasan ash-Shadhili berkata :
Terdapat sepuluh manfa’at dari khalwat :
  1. Selamat dari semua adab buruk lidah, karena tidak ada siapapun yang dapat diajak bicara dalam khalwat.
  2. Selamat dari semua adab buruk mata, karena tidak seorang manusiapun untuk dilihat dalam khalwat.
  3. Qalbu selamat dari segala macam pamer dan penyakit sejenisnya yang lain.
  4. Itu akan mengangkat kamu kepada maqam zuhd (berfokus ke langit, membelakangi dunia).
  5. akan menyelamatkan kamu dari berteman dengan orang jahat.
  6. akan membuat kamu memiliki waktu bebas untuk melakukan dzikr.
  7. akan memberi kamu rasa manisnya beribadah/mengabdi, shalat dan berdoa dalam Hadhirat Ilahiah.
  8. akan memberikan kepuasan dan kedamaian kepada qalbu.
  9.  akan menghindarkan egomu dari jatuh ke dalam adab yang buruk.
  10. akan memberi kamu waktu untuk bermeditasi, membuat perhitungan neraca diri dan mengejar sasaran menuju Hadhirat Ilahiah.
Itu adalah yang disebutkan Nabi s.a.w. dalam sunnahnya, diriwayatkan Bukhori dalam kitabnya Riqaq : Abu Hurayra r.a. melaporkan bahwa Nabi s.a.w. berkata,”Terdapat tujuh yang akan berada di bawah Naungan Allah pada Hari di mana tidak terdapat naungan kecuali Naungan Allah. Salah satunya adalah seorang yang Mengingat Allah dalam khalwat dan air mata meleleh dari matanya.”

Suluk, Realisasi Khalwat, 'Uzlah dan I'tikaf

Dalam tarekat sufi suluk dipahami dan diwujudkan dalam bentuk khalwat dan 'uzlah, yaitu mengasingkan diri selama jangka waktu tertentu (10, 20, atau 40 hari) di sebuah tempat yang bebas dari kebisingan dan hiruk pikuk duniawi.

Teladan yang diambil oleh para salik dalam hal ini seperti ditegaskan Buya Hamka adalah kegemaran Nabi melakukan khalwat dan tahannuts di Gua Hira'. Imam al-Bukhari dan Muslim serta beberapa imam hadis lainnya meriwayatkan sebuah hadis bahwa umm al-mu'min Aisyah berkata:

Nabi digemarkan oleh Allah untuk melakukan khalwat, beliau selalu berkhalwat di Gua Hira' dan melakukan tahannuts di sana, yaitu beribadah selama beberapa malam tertentu [Shahih al-Bukhari, I: 4; Shahih Muslim, I: 140; Shahih Ibn Hibban, I: 216; Musnad Ahmad, VI: 232].

Para sufi melakukan suluk di masjid-masjid atau surau-surau yang oleh al-Quran disebut sebagai rumah-rumah yang diizinkan Allah untuk dimuliakan dan dijadikan tempat berdzikir menyebut asma-Nya [Al-Nur, 24:36]. Rumah-rumah semacam inilah yang oleh para salik dijadikan tempat khalwat dan 'uzlah; mereka menetap disitu selama beberapa hari untuk melakukan ibadah dan dzikir secara intensif. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila suluk mereka disebut juga dengan I'tikaf yang dari segi bahasa bermakna berdiam di sebuah tempat selama jangka waktu tertentu.

Dalam kasus ini para salik merujuk kepada I'tikaf Nabi SAW selama sepuluh hari dalam bulan Ramadhan. Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan bahwa 'Aisyah ra. berkata:

Nabi SAW selalu I'tikaf selama sepuluh hari terakhir dari bulan bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau [Shahih al-Bukhari, II: 213; Shahih Muslim, II: 831].

Namun begitu, sebagaimana diceritakan oleh Abu Dzar al-Ghiffari, tidak jarang pula Nabi melakukan I'tikaf sepuluh hari pertama dan kadang-kadang sepuluh hari ke dua atau pertengahan dari bulan Ramadhan [Shahih al-Bukhari, II: 713; Shahih Muslim, II: 825].

Dan satu yang barangkali penting digarisbawahi di sini adalah bahwa I'tikaf pada dasarnya merupakan ibadah tersendiri; artinya tidak harus terkait dengan keharusan berpuasa dan tidak harus pula terkait dengan bulan Ramadhan. Imam al-Hakim dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibn. Abbas bahwa Nabi SAW bersabda:

Tidak ada keharusan berpuasa atas orang yang beri'tikaf kecuali ia menetapkan puasa itu untuk dirinya sendiri [Al-Mustadrak, I: 605; Sunan al-Baihaqi al-Kubra, IV: 318; Sunan Daruquthi, II: 199]. Imam al-Baihaqi dan beberapa Imam hadis lainnya meriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa ia berkata:

Nabi SAW pernah melakukan I'tikaf selama sepuluh hari pertama bulan syawal [Sunan al-Baihaqi al-Kubra, IV: 318; Sunan Abi Dawud, II: 331; al-Sunan al-Kubra, II: 260].
Ibn al-Qayyim mengutip pendapat ulama yang mendukung keabsahan I'tikaf sebagai ibadah yang mandiri ketika ia mengatakan:

I'tikaf merupakan ibadah yang berdiri sendiri, sehingga puasa tidak menjadi syarat dalam I'tikaf sebagaimana halnya ibadah-ibadah lainnya seperti haji, salat, jihad dan ribath (merabit); I'tikaf adalah menetap di suatu tempat tertentu untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta'ala, sehingga puasa tidak menjadi syarat dalam I'tikaf sebagaimana halnya ribath (merabit); dan I'tifaf merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) itu sendiri sehingga puasa tidak menjadi syarat dalam I'tikaf sebagaimana halnya haji [Hasyiyah Ibn al-Qayyim, VII: 106].

Satu hal yang pasti adalah bahwa suluk yang dilakukan dengan ikhlas semata-mata mencari ridha Allah SWT akan melahirkan manusia baru yang dari dalam hatinya memancar mata air dan sumber-sumber hikmah yang kemudian mengalir pada lisannya sebagaimana ditegaskan oleh Nabi SAW dalam sebuah sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Abi Syaibah:

Tidaklah seorang hamba mengikhlaskan dirinya selama empat puluh pagi (hari) kecuali dari kalbunya memancar sumber-sumber hikmah yang mengalir pada lisannya [Mushannaf Ibn Abi Syaibah, VII: 80; Musnad al-Syihab, I: 285].

Hadis tersebut mengisyaratkan bahwa suluk dapat membidani kelahiran manusia baru yang utuh sehingga layak dijadikan sarana pembangunan manusia seutuhnya, pembangunan yang selama ini lebih banyak menjadi slogan daripada kenyataan.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA. Bahwa RasuluLlah SAW bersabda, “sesungguhnya sebaik-baik penghidupan manusia adalah orang yang mampu memegang kerasnya (kendali kuda) di jalan Allah. Jika mendengar hal yang mengejutkan dan menakutkan, ia tetap berada si atas punggungnya dengan pilihan mati atau terbunuh, atau orang yang mendapatkan harta rampasan perang yang bertempat tinggal di atas gunung atau di dasar jurang yang senantiasa menerjakan salat, memberikan zakat, dan beribadah kepada Tuhan sampai kematian menjemputnya, yang tidak dimiliki orang lain kecuali tetap dalam kebaikan”.

Khalwat adalah merupakan sifat orang sufi. Sedangkan uzlah adalah merupakan bagian dari tanda bahwa seseorang telah bersambung dengan Allah Ta’ala. Seharusnya bagi murid pemula (yaitu orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah) agar uzlah (mengasingkan diri dari bentuk-bentuk eksistensial kemudian di akhir perjalanannya melakukan khalwah (mneyepi) sehingga ifat lemah lembut akan dapat tercapai. Hakikat khalwahadalah pemutusan hubungan dengan makhluk menuju penyambungan hubungan dengan Al-Haq yaitu Allah Subhanahu Wata’ala. Ahl demikian dikarenakan khalwah merupakan perjalanan ruhani dari nafsu menuju hati, dan hati menuju ruh dan daru ruh menuju alam rahasia /sirr dan dari alam rahasia menuju Dzat Maha pemberi segalanya.

Hamba yang melakukan uzlah haruslah diniatkan karena Allah Ta’ala dengan maksud dan niatan menjaga keselamatan orang lain dari perangai buruknya. Dan janganlah bermaksud menjaga keselamatan dirinya dari keburukan orang lain. Karena pernyataan yang pertama adalah wujud dari sikap rendah ahti /tawadhu’sedangkan pernyataan yang kedua adalah menunjukkan sifat sombong yang ada pada dirinya.

Sebagian pendeta ditanya, “Apakah engkau seorang pendeta ?” maka dia menjawab, “Tidak saya hanyalah sebagai penjaga anjing. Jiwaku serupa dengan anjing yang dapat melukai orang lain, karena itu saya harus keluar dari mereka supaya mereka selamat”.

Pada suatu saat ada seorang bertemu dengan orang saleh yang sedang mengumpulkan pakaiannya. Lelaki itu bertanya “Mengapakah engkau kumpulkan pakaianmu. Apakah pakaianku itu najis ?” maka orang tua yang saleh etrsebut menjawab, “tidak, tetapi pakaiankulah yang najis dan aku kumpulkan agar tidak menajiskan pakaianmu”.

Sebagian dari tatacara uzlah adalah untuk memperoleh ilmu yang dibenarkan oleh akidah tauhid. Selain itu untuk memperoleh ilmu syari’at atas dasar kewajiban sehingga bentuk perintahnya menjadi pondasi yang kuat-untuk dilaksanakan. Esensi uzlah adalah menghindarkan diri ari perbuatan tercela. Sedangkan hakikatnya adalah menggantikan sifat yang tercela untuk di isi denagn sifat yang terpuji, bukan untuk menjauhkan diri dari tempat tinggalnya / tanah arinya. Ditanyakan, “Siapak orang yang ma’rifat itu ?” dijawab ,”mereka adalah orang yang selalu berada di tepi jauh, yakni dia selalu bersama orang lain sedangkan hatinya jauh dari mereka”.

Asyaikh Al-Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Berpakaianlah sebagaimana orang berpakaian, makanlah sebagaimana orang makan, dan menyendirilah dengan bersembunyi”. Beliau juga mengatakan, “Suatu hari seseorang datang kepadaku dan bertanya, ‘Saya datang kepadamu dari perjalanan yang sangat jauh ?’. lalu aku jawab cerita ini dengan bukan dengan arti jaarak perjalanan yang terputus dan perjalanan yang melelahkan. Renggagkan jiwamu dengan satu langkah, maka tujuanmu akan tercapai’”.

Diriwayatkan dari Abu Yazid Al Busthami, RA, beliau berkata, “Saya pernah bermimpi bertemu Tuhan, kemudian saya bertanya, ‘Bagaimana caranya agar aku isa bertemu denganNya ?” Dan Ia menjawab, “Pisahkan jiwamu dan bersegeralah datang”.

Abu Utsman Al-Maghribi mengatakan, “Barang siapa ingin meninggalkan masyarakat, selayaknya ia meninggalkan semua ingatan kecuali ingat kepada Tuhan, meninggalkan semua keinginan kecuali mencari ridha Tuhan, dan meninggalkan semua tuntutan hawa nafsu. Jika tidak demikian maka apa yang dikerjakan akan menimbulkan fitnah dan cobaan”. Menurut suatu pendapat, khalwat adalah pekerjaan yang paling dicintai untuk mendorong raa rindu.

Muhammad bin Hamid berkata, “Seseorang bertamu kepada Abu Bakar Al;-Waraq, ketika akan pulang ia meminta kepada Muhammad agar meberi wasiyat kepada dirinya. Abu Bakar Al-Waraq menjawab, “Engkau telah mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat karena engkau selalu menyendiri dan meninggalkan pergaulan masyarakat. Kejelekan dari keduanya terletak pada pencampur adukan dan pembauran”.

Abu Muhammad Al-Jariri ditanya tentang uzlah, dia menjawab, “Uslah adalah masuk ke tempat yang sempit, menjaga rahasia agar tidak terjadi gesek menggesek dan meninggalan keinginan hawa nafsu sehingga hatimu terkait dengan kebenaran”. Ada yang berpendapat, urgensi uzlah adalah menghasilkan kemuliaan.

Menurut Sahal, khalwat tidak dpat dibenarkan kecuali dengan meninggalkan yang haram. Dan meninggalkan barang yang halal juga tidak dibenarkan kecuali dengan melaksanakan hak Allah Ta’ala. Dzunun AL-Mishri berkata, “Saya tidak pernah melihat sesuatu yang dapat menimbulkan sikap ikhlas kecuali kekasihmu adalahkhalwat, makananmu adalah lapar, dan pembicaraanmu adalah lapar. Apabila engkau meninggal dunia, engkau selalu bersambung kepada Allah”. Dzunun al-Mishri juga ppernah berkata,”Orang tidak akan terhalang dari makhluk hanya karena khalwat sebagaimana orang tidak orang tidak akan terhalang dari mereka karena mendekatkan diri kepada mereka”.

Menurut Al-Junaid, “Susahnya uzlah lebih mudah dari pada siklus kehidupan bermasyarakat”. Menurut makhul As-Syami, “Jika kehidupan bermasyarakat memperoleh kebaikan, maka uzlahpun juga memberikan keselamatan”. Sedangkan menurut Yahya bin Muadz, “Menggabungkan keduanya merupakan cara yang terbaik bagi orang yang mencari kebenaran”.

Syaikh Abu Ali berkata dengan mengutip apa yang disampaikan Imam As-syibli, “Manusia akan bengkrut dan bangkrut “. Seseorang bertanya kepadanya, “Apa tanda-tanda orang yang bangkrut wahai Abu Bakar ?”. beliau menjawab, “Tamda orang yang bangkrut adalah orang yang menyakiti orang lain”.

Yahya bin Abu Katsir berpendapat, “Barang siapa yang bergaul dengan orang lain, maka ia akan didekati. Barang siapa yang mendekati orang lain maka ia akan dilihat”. Said bin Harits telah berkata, “Saya pernah mengunjungi Malik bin Mas’ud di kufah. Dia menyendiri di rumahnya. Setelah itu kutanyakan sesuatu kepadanya, ‘Apakah engkau tidak kesepian menyendiri di temapt ini ?’ Dia menjawab, “Saya tidak pernah melihat seseorang kesepian jika dia bersama – sama Allah”.

Al Junaid berkata, “Barang siapa yang hendak menyerahkan agamanya dab menentramkan tubuh dan hatinya, hendaknya ia menjauhkan diri dari orang lain. Masa sekarang adalah masa kesepian. Oleh karena itu, orang yang memiliki akal sehat, tentu akan menyendiri”. Al-Junaid telah mendengar Abu Bakar Ar-Razi berkata, “Abu Ya’qub As-Susi berkata bahwa seseorang tidak akan mampu menyendiri kecuali hanya orang-orang yang kuat. Oleh karena itu orang seperti kita bermasyarakat tentu lebih baik dan lebiih bermanfaat”. Abul Abbas Ad-Danaghani berkata, “Imam Syibli berwasiyat kepadaku, ‘ menyendirilah dan hapus namamu dan menghadaplah ke dinding sampai engkau mati”.

Ada seorang laki-laki datang kepada Syu’aib bin Harb, beliau bertanya , “Apa yang menyebabkan engkau datang kepadaku ?”. dia menjawab, “Agar saya dapat selalu bersamamu”. Kemudain Syu’aib berkata, “Wahai saudara, ibadah tidak akan bermanfaat jika berbaur dengan syirik. Barang siapa yang tidak mencintai Allah, maka ia tidak akan menjumpai sesuatu yang dicintainya”.

Sebagian ulama ditanya, “Apakah yang membuatmu heran / ujub ?”. Dia menjawab, “Keindahan yang dapat mendorong persahabatan. Oleh akrena itu aku selalu takut menyerahkan diriku kepada Allah Ta’ala akan menjadi rusak”. Ulama yang lain juga pernah ditanya, “Apakah di sana ada orang yang mencintaimu ?”. Dia menjawab, “Ya, dia selalau merentangkan kekuasaannya di dalam kiatbnya dan meletakkannya di atas batu”. Dalam konteks seperti ini ada sya’ir :

Kitab-kitabMu ada di sekelilingku
Oleh karena itu jangan kau pisahkan dari tempat tidurku
Di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan orang
Yang saya sendiri adalah yang menyembunyikannya
Seorang lelaki bertanya kepada Dzunun Al Mishri, “Kapan saya boleh uzlah ?”. Beliau menjawab, “Jka engkau telah mampu mengasingkan dirimu sendiri”.
Ibnu Mubatrak telah ditanya, “Apa obat hati ?” Dia menjawab, “Meminimalkan pergaulan dengan masyarakat”. Menurut suatu pendapat jika Allah hendak memindahkan seseorang dari kemaksiyatan yang hina menuju kemuliaan ta’at, Allah Ta’ala pasti mencintai dia dengan menyendiri, mencukupi dia dengan menerima, dan memperlihatkan dia segala cacat yang tertanam di dlm jiwanya. Apabila hal tersebut telah diberikan, maka kebaikan dunia danakhirat pasti akan diberikan kepadanya”.

1 komentar: