Sabtu, 08 Maret 2014

OLAH SEMEDI

PENGERTIAN SEMEDI

Semadi atau semedi adalah menghilangkan kehidupan jasad agar supaya seseorang dapat merasakan rahsaning gesang atau kehidupan sukma. Dengan sarana mengolah rasa disebut sirnaning papan lan tulis. Yaknijumeneng rasa jati yang benar-benar nyata, pasti dan weruh tanpa tuduh(menyaksikan sendiri tanpa referensi), atau menyaksikan “sesuatu” tanpa melibatkan badan wadag (akal-budi/ rasio/ pikiran/ imajinasi/mata-wadag). Keberhasilannya dengan cara meredam gejolak nafsu jasadiah, dan dengan mengolah gerak-gerik anggota badan.

Kehidupan jasad memiliki kesadaran yang rendah, sementara itu kehidupan sukma memiliki kesadaran yang tinggi. Kesadaran jasadiah sifatnya rentan oleh pengaruh nafsu-nafsu, di mana pikirannya terganggu oleh imajinasi rasio. Dalam kehidupan sukma itulah terletak kesadaran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kesadaran jasad. Dapat digambarkan sukmanya keluar dari badan wadag atau jasad. Dalam kondisi demikian kesadaran jasadiah tidak lagi bisa mendominasi dan memanipulasi kesadaran batin. Kesadaran sejati yang ada pada kehidupan sukma akan membersihkan batin dari segala polusi dan imajinasi rasio dan nafsu-nafsu negatif. Pemahaman ini merupakan gambaran dari lampahan Sri Kresna di Dwarawati atau sang Arjuna yang meraga sukma. Untuk kita perhatikan semua, bawa cerita ini sekedar dijadikan sebagai perlambang atau kiasan yang memudahkan pemahaman akan hakekat dari semedi. Adapaun tujuan melakukan semedi tidak lain untuk mengetahui alam kajaten atau kwahana kesejatian, yang sungguh-sungguh nyata dan ada di luar nalar atau akal budi kita.

SEMEDI & KESADARAN BATIN

Dalam upaya semedi dapat terjadi kegagalan dan keberhasilan. Kegagalan biasa terjadi dalam awal-awal latihan semadi namun lama kelamaan kita akan menemukan irama atau “frekuensi” yang dirasakan sangat “ajaib”. Bagi yang berhasil melakukan semadi pun ada dua kemungkinan yang berbeda tataran keberhasilannya. Kemungkinan yangpertama, meskipun berhasil dalam semedi namun seseorang belum mencapai puncak kesempurnaan semedi. Raga telah berhasil “dimatikan” sehingga yang terasa hanya getaran dahsyat dalam rasa. Getaran itu bersumber dari pusat kehidupan (atma) yang terletak padasusuhing angin/jantung, lalu menjalar ke seluruh “badan”. Bukan “badan” jasadiah semata, namun getaran itu terletak dalam badan halus/metafisik. Bila dirasakan sepintas lalu seolah badan wadag lah yang bergetar. Getaran berbeda dengan rasa gemetaran. Jika dikonotasikan sebagai prana ia sama-sama bersumber dari getaran rasa sejati. Bagi pelaku semedi yang masih berada pada tingkat ini hendaknya jangan merasa pesimistis karena tetap bisa merasakan berbagai keajaiban yang akan terjadi dalam wahana kesadaran semedi. Misalnya muncul bayangan atau gambaran gaib yang dapat menjelaskan sesuatu rahasia alam atau sebagai pralampita yang dapat menjadi petunjuk akurat dan tepat terhadap pelaku semadi. Kemungkinan kedua, pelaku semedi dapat mencapai tataran sempurna atau kesempurnaan. Parameter kesempurnaan terjadi bilaman sukmanya benar-benar lepas dari badan wadagnya sendiri. Sukma dapat melanglang ke dalam buana gaib, menjelajah dalam ruang-ruang gaib yang berada di luar akal budi (jasad) yang menemukan kesadaran tinggi. Inilah yang disebut rahasia meraga sukma. Namun bagi yang berhasil meraih kesempurnaan dalam semedi –yang bermuara pada kejadian raga sukma– hal ini menjadi nilai tambah yang sangat bermanfaat. Meraga sukma bermanfaat besar untuk memperoleh kesadaran tinggi untuk memahami being dalam eksistensinoumena atau eksistensi di alam gaib. Tentu saja kejadian ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian orang yang selalu dahaga dunia spiritual. Karena pelaku semedi akan memperoleh kesadaran tinggi dan dapat mengetahui hal-hal yang orang lain tidak ketahui/sadari. Mengapa kesadaran tinggi diidamkan kebanyakan orang, tidak lain karena kemuliaan hidup yang sejati menuntut adanya kesadaran tinggi terlebih dulu. Tidak menjadi masalah bila kesadaran tinggi kita berasal dari referensi orang lain, kitab suci, maupun buku pedoman. Hanya saja bila kita merasakan sendiri pengalaman gaib secara langsung akan menjadikan sebagi pengalaman hidup yang sangat sensasional dan berharga. Hal ini bukan lah iming-iming namun sungguh apa adanya.

KUNCI KEBERHASILAN

Kesadaran sejati atau kesadaran batin dapat dicapai oleh siapapun tanpa tergantung agama dan ajarannya, asalkan seseorang mampu memerdekakan diri dari hegemoni kekuasaan nafsu negatif yang bercokol dalam jasadnya sendiri. Ibaratnya nafsu adalah kulit yang harus dikupas agar kita dapat menikmati daging buahnya. Nafsu jasadiah seumpama cadar bagi mata batin, bila dibuka cadarnya maka mata batin akan dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan semua eksistensi gaib akan dapat dilihat dengan jelas. Pengendalian hawa nafsu bukanlah hal mudah ia perlu latihan terus menerus dengan kesabaran dan ketulusan. Tanpa bekal itu akan sulit mencapai tataran kesempurnaan dalam olah semedi. Dalam olah semedi pun harus dilakukan dengan rajin, sabar, ulet dan telaten jangan mudah menyerah dan cepat bosan. Biasanya jika sudah merasakan keberhasilan awal lantas akan menjadi ketagihan untuk lebih giat melatih diri. Dua langkah utama yang menentukan keberhasilan yakni : mengendalikan nafsu, membersihkan hati dan batin dalam perbuatan sehari-hari dan rajin olah badan dalam tatacara semedi.

Teori Merubah Frekuensi

Kesadaran jasad jika diumpamakan sebagai gelombang AM radio, kejernihan dan kejelasan suaranya teramat rentan terjadi distorsi akibat gangguan kondisi cuaca alam yang buruk. Gelombang AM diumpamakan sebagai kesadaran jasad atau akal budi, sementara cuaca alam yang buruk seumpama gangguan imajinasi akal-budi dan nafsu. Artinya kesadaran ragawi atau jasad mudah sekali terkena tipu daya “setan” dalam hal ini nafsu dan imajinasi kita sendiri. Lain halnya dengan kesadaran rahsa sejati, diumpamakan gelombang FM radio. Suaranya jernih, bersih dan jelas. Gelombang FM juga tidak terpengaruh oleh cuaca alam yang buruk. Sekalipun terjadi angin ribut, hujan lebat dan guntur tidak akan menjadi gangguan kejernihan suara. Karena gelombang FM terpisah dan berbeda dari gelombang cuaca buruk. Ia berada dalam koridor frekuensi yang terpisah dari berbagai gelombang cuaca alam. Artinya, kesadaran rasa sejati terpisah dan tidak terpengaruh oleh imajinasi akal budi dan nafsu-nafsu negatif. Tugas semedi adalah mengalihkan gelombang atau frekuensi kita dari frekuensi AM ke FM. Dari kesadaran ragawi/jasad ke kesadaram rasa sejati (rasa pangrasa/indera ke-enam). Kelebihannya adalah dapat menangkap sinyal dari frekuensi rendah hingga yg paling tinggi sekalipun. Segala yang tadinya rahasia dan tertutup oleh nafsu dan rasio menjadi tersingkap semuanya tampak jelas.

SEMEDI ; RADIO TRANSISTOR

Cara lebih mudah membayangkan fungsi olah semedi, saya mengambil analogi seumpamanya kita merubah diri kita menjadi radio transistor. Sebenarnya dalam ruang udara terdapat banyak sekali berbagai macam gelombang suara dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Contohnya antara lain suara jangkrik sawah yang tidak bisa masuk jika direkam dengan pita kaset biasa. Atau suara kelelawar yang memiliki suara ultrasonik yang frekuensinya sangat tinggi sehingga tidak bisa ditangkap dengan telinga manusia. Begitu pula suara ikan paus yang dapat memancarkan gelombang suara sangat jauh namun sulit ditangkap telinga manusia pula. Begitu juga gelombang suara yang dipancarkan antena transmisi stasiun radio tidak akan bisa ditangkap oleh telinga manusia sebelum dirubah dengan alat bernama radio transistor yang berfungsi merubah gelombang suara menjadi berfrekuensi yang sepadan dengan daya tangkap kuping manusia. Sebelum dirubah oleh alat elektronik radio transistor, gelombang suara bagaikan suara eksistensi gaib. Nah analogi ini menjelaskan bila semedi ibaratnya merubah diri kita menjadi “radio transistor” yang dapat menangkap gelombang suara menjadi bunyi-bunyian. Artinya semedi merupakan sarana agar supaya kita dapat mendengar dan menangkap frekuensi yang terdapat di alam gaib. Dapat pula diistilahkan kita sedang menselaraskan antara “frekuensi jasad” kita dengan frekuensi gaib. Sebenarnya yang diselaraskan bukan frekuensi jasadnya dengan frekuensi gaib melainkan pindah chanel dari frekuensi “AM” ke frekuensi “FM”. Ke mana kita musti beli frekuensi FM ? Tidak perlu repot, karena di dalam setiap diri manusia telah terdapat frekuensi “FM” bawaan lahir yang sepadan/sinergis dengan “frekuensi” alam gaib, yakni frekuensi yang dimiliki rahsa sejati (rasa pangrasa). Tidak hanya manusia bahkan binatang malah lebih tajam “indera keenam” nya ketimbang manusia karena binatang tidak memiliki hawa nafsu. Kita dapat mencermati dari ayam, anjing, angsa dan binatang lainnya yang memiliki frekuensi sepadan dengan dimensi gaib. Binatang-binatang tersebut sering berlari ketakutan dikejar sesuatu yang tidak tampak oleh mata wadag.

TATA CARA SEMEDI

Semadi atau semedi, artinya sarasa = rasa tunggal = maligining rasa =rasa jati = rasa pangrasa. Disebut pula dengan maladihening, mesu budi, manekung, puja brata, tarak brata, dan masih banyak lagi istilahnya. Pada intinya olah semedi melibatkan dua kegiatan, pertama yakni ;SOLAH atau perilaku anggota badan dalam upaya “menidurkan” atau “mematikan” anggota raga untuk merasakan hidupnya rasa sejati. Keduayakni BAWA atau perilaku batin, dengan cara mengolah rasa agar mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi lagi. Atau menghidupkan batin kita yakni merasakan atma (energi hidup) dalam sukma sejati. Agar tidak rancu perlu saya tegaskan perbedaan antara sukma sejati dengan rasa sejati yakni ; sukma sejati dapat dilihat wujudnya, sedangkan rasa sejati hanya bisa dirasakan sebagai energi atma/ hidup/ kayun/ kayu/ chayu. Sukma sejati adalah roh/ruh/ruhulah sementara rasa sejati adalah sir/sirulah (lihat thread : Maklumat Jati). Terdapat banyak sekali tatacara semedi, misalnya sembari duduk bersila, bisa juga sembari baringan atau merebahkan badan. Berikut ini saya jabarkan tata cara semedi sambil membaringkan badan.

Carilah tempat yang nyaman, tenang, dan aman agar konsentrasi anda tidak terganggu oleh suasana lingkungan sekitar. Jangan melakukan semedi di tempat yang berbahaya misalnya tepi sungai, tepi jurang atau di antara semak belukar. Hal ini untuk menghindari resiko jatuh terperosok termasuk terjadinya serangan binatang buas, serangga berbisa dsb. Bisa pula di lakukan di dalam rumah atau kamar tidur anda. Carilah waktu watu saat yang tenang biasanya setelah beranjak larut malam. Keheningan suasana atau suara alam yang lembut justru justru sangat membantu dalam menciptakan konsentrasi. Setelah menemukan tempat yang tepat lalu baringkan badan anda…

Posisi badan telentang menghadap ke atas, seperti mau tidur. Jangan ada anggota badan yang posisinya kurang nyaman. Seluruh anggota badan “jatuh” menempel di pembaringan tanpa ada penahanan sedikitpun. Seluruh otot dan syaraf harus rileks atau loss. .

Tangan sedekap atau sedakep (sedeku) dengan posisi lengan atas tetap menempel di lantai/tempat berbaring sementara lengan bawah diletakkan di atas dada. Jari-jari tangan saling mengunci. Atau bisa juga agar lebih rileks, tangan diluruskan ke bawah (arah kaki), kedua telapak tangan menempel di paha kiri kanan sebelah luar. 

Mata terpejam seakan anda sedang bersiap menidurkan diri. Bola mata tidak boleh bergerak-gerak, tahan dalam posisi pejam dan bola mata diam tidak bergerak, disebut meleng.
Kaki lurus rileks telapak kaki kanan ditumpang di atas telapak kaki kiri disebut sedakep kaki tunggal, disebut saluku.

Posisi dan langkah-langkah di atas bertujuan untuk menghentikan daya cipta meliputi imajinasi, angan, pikiran, kemauan, gagasan. Selain itu olah pasamaden sebagai upaya menutup aliran panca indera yakni indera perasa, pendengaran, dan penglihatan. Selanjutnya samadi atau semedi seyogyanya diimbangi dengan perilaku sehari-hari dengan mengurangi makan, minum, tidur dan lain sebagainya.

Semedi merupakan salah satu cara meraih kemuliaan hidup, secara keseluruhan terdapat tujuh macam tahapan atau tingkatan “laku” yang harus dikerjakan apabila ingin mencapai tataran hidup yang sempurna, yakni :

1. Tapaning Jasad

Sopan santun dan mawas diri. Dalam olah semedi dengan cara mengendalikan / menghentikan daya gerak anggota tubuh atau kegiatannya. 

2. Tapaning Budi

Menghindari angan-angan dan prasangka yang buruk. Dalam olah semedi dengan bersikap positif thinking agar pikiran menjadi bersih dan dapat membentangkan pandangan seluas-luasnya. Namun jangan biarkan imajinasi menguasai rasio anda.

3. Tapaning Hawa Nafsu

Rela, legowo, menerima apa adanya (qonaah), sabar dan ikhlas. Jangan menyakiti hati sesama. Sabar menghadapi gangguan dan godaan dari dalam dan luar. Tidak suka iri hati dan dendam. Kuat lara wirang atau dipermalukan. Dalam olah semedi dengan cara sikap tidak buru-buru, sumeleh, mengalir apa adanya.

4. Tapaning Sukma

Menenangkan jiwa dan selalu jujur pada diri sendiri dan orang lain. Bersikap dermawan. Perbuatan lahir batinnya selalu diarahkan pada kebaikan. Tanpa pamrih semua hanya netepi sifating Zat. Dalam olah semedi harus bersikap pasrah, bersandar hanya kepada Hyang Widhi. Tidak memaksa diri mencapai hasil. Namun lebih mengutamakan prosesnya yang benar dan tepat.

5.Tapaning Rahsa

Perilaku yang utama, luhur budi pekertinya. Tidak takut bila menderita, dan kuat laku prihatin. Tidak suka mengurusi (intervensi) hal yang bukan kewenangannya. Selalu mawas diri dan giat mencari ilmu hakekat. Dalam olah semedi indera perasa jasad dimatikan diganti dengan rasa pangrasa. Merasakan getaran indera ke-enam, atau rahsa sejati.

6. Tapaning Cahya

Menjaga kesucian lahir batin. Dalam olah semedi, selalu terkonsentrasi pada cahya di pangkal hidung antara kedua mata atau papasu.

7. Tapaning gesang

Selalu eling dan waspada serta mempunyai daya memahami sesuatu secara tepat. Jangan sampai kabur atau samar karena kepalsuan “kulit”. Olah semedi hendaknya selalu ditujukan untuk meraih kebahagiaan dan keselamatan pribadi dan orang lain. Berusaha berjuang sekuat tenaga secara berhati-hati, kearah kesempurnaan hidup, manembah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Yakni target Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu sebagai kunci untuk memahami isi Rasa Jati, untuk mencapai sesuatu yang luhur. Maka dalam meraih kemuliaan hidup mutlak diperlukan sinkronisasi antara perbuatan lahir dan batinnya (solahdan bawa).

PATRAPING NETRA

Konsentrasi mata difokuskan pada satu titik yakni pangkal hidung, letaknya di antara ke dua belah mata, diisitilahkan papasu. Kedua belah mata terpejam, namun manik mata memandang ke arah papasu. Di situ bisa langsung tampak ada cahaya atau sinar mencorong/terang mencolok biasanya berwarna putih kekuningan. Bila cahaya di papasu belum muncul dan masih tampak gelap gulita anda harus bersabar, tunggu beberapa saat hingga cahya muncul sedikit demi sedikit lalu berubah menjadi semakin terang bahkan bisa sangat menyilaukan. Bila posisi di atas sudah bisa anda lakukan dengan rileks, selanjutnya giliran menata nafas anda. Setelah dibarengi olah nafas yang rilek anda tinggal konsentrasikan mata pada arah papasu. Lama-kelamaan cahaya kuning terang semu keputihan semakin terang, pusatkan konsentrasi pada cahaya tersebut. Tunggu dengan sabar dan rilek hingga akan muncul gambaran seperti lorong. Tugas anda bergerak mengikuti lorong tersebut dengan perasaan. Pergerakan dikomando oleh kareping rahsa, yakni kehendak rasa sejati. Nantinya lorong akan seperti berkelok melengkung-lengkung namun bukan menikung tajam. Lorong itu akan berujung pada wahana ruang yang sangat terang benderang. Anda seolah masuk ke dalam ruang yang sangat luas dan sulit digambarkan eksotisnya. Itulah ruang gaib.

Pada tahapan ini belum terjadi raga sukma. Peristiwa ini, kesadaran kita hanyalah sebatas berada di antara dunia wadag dengan dunia meta yang gaib. Dengan menggunakan mata batin kita menyaksikan eksistensi gaib melalui “jendela” dimensi gaib. Artinya sukma anda belum memasuki alam gaib. Namun kesadaran batin kita bagaikan energi telekinetik bisa menjelajah ke tempat atau lokasi yang kita inginkan. Di analogikan penglihatan batin kita berubah fungsi sebagaimana alat periskop yang dimiliki kapal selam. Jika diumpamakan kesadaran jasad kita bagaikan berada di dalam kapal selam yang pandangannya sangat terbatas pada obyek yang ada di sekeliling kita dalam jarak yang sangat pendek. Maka mata batin bagaikan alat periskop yang bisa digunakan untuk melihat ada apa di atas permukaan air.

Pada saat semedi minimal orang akan mendapatkan semacam ilham atau wisik yang dapat menjadi petunjuk untuk mengambil keputusan atau apa yang harus dilakukan dan dihindari. Bila latihan olah semedi dilakukan dengan telaten, lama-kelamaan akan mencapai tahap selanjutnya dimana sukma akan keluar dari badan wadag. Pada tahap ini anda akan merasakan keanehan-keanehan ;
Merasakan seolah badan kita tidak bernafas dan indera perasa tidak merasakan sesuatu apapun, namun kita sadar bahwa diri kita tetap lah hidup.

Pada tahap ini kadang terdengar suara-suara (gaib) yang terdengar asing dan aneh. Suara-suara tersebut berasal dari dimensi lain. Karena kesadaran anda telah berada di ambang batas antara dunia wadag dengan dunia gaib. Suara-suara tersebut bukanlah sengaja mengganggu justru menunjukkan bila anda sudah mulai berhasil merubah diri anda menjadi “radio transistor”. Nah, pada tahap ini terkadang anda dapat menangkap petunjuk, sasmita, pralampita yang berasal dari para leluhur. Anda juga tidak perlu khawatir digoda setan/makhluk halus/hantu/demit/jin dsb, karena langkah semedi anda yang mematikan nafsu ragawi sudah cukup menguatkan mental dan batin anda, dan menjadi pagar gaib yang cukup kokoh.

Melihat badan kita sendiri dari luar tubuh. Biasanya kita melihat diri kita seolah sedang tertidur pulas, atau sedang duduk bersila sesuai dengan posisi sewaktu kita melakukan semedi.
Bila sudah terjadi posisi demikian, anda janganlah panik atau takut, tetap kendalikan semuanya melalui kehendak rasa anda sendiri. Misalnya anda ingin menjauh dari tubuh atau ingin menyatu kembali dengan tubuh semua perintah di bawah kendali sang rasa sejati, yakni kehendak rasa.

Antara sukma anda dengan badan wadag bagaikan mengandung energi magnet yang saling tarik menarik. Bila anda berkehendak ingin kembali masuk ke tubuh seketika akan terasa ada energi kuat yang menyedot sukma ke dalam badan wadag. Energi tersebut saya identifikasi sebagai nyawa. Bedanya dengan orang yang meninggal dunia, nyawa sebagai daya perekat sudah tidak ada lagi. Dapat diumpamakan “lem perekat” antara sukma dengan badan wadag sudah hilang, sehingga terjadi pelepasan/perpisahan kekal antara sukma dengan badan wadag.

Selama badan anda sehat wal afiat tidak perlu khawatir kelepasan.. J karena eksistensi nyawa itu prinsipnya tergantung dari kondisi kesehatan atau performance badan anda sendiri. Bila sukma anda berkelana tidak akan terjadi kematian selama nyawa masih bekerja sebagai “lem perekat” atau penghubung antara sukma dengan jasad. Untuk memudahkan pemahaman raga sukma dapat saya contohkan dengan orang yang sedang main layang-layang. Layang-layang diibaratkan sukma sejati kita, tali layang-layang adalah nyawanya, dan orang yang memainkan layang-layang adalah badan wadagnya. Antara layang-layang dengan seseorang yang memainkan masih tetap terhubung oleh tali layang-layang tersebut. 
Bila anda merasa sukma sudah berada di luar tubuh hendaknya melatih untuk bepergian dalam jarak dekat dulu, baru kemudian semakin lama semakin jauh. Karena bila anda langsung berjalan jauh, terkadang mengalami kesulitan untuk kembali ke badan. Seumpama orang sedang berjalan menyusuri hutan belantara yang belum anda kenali seluk beluknya serta lupa jalan pulangnya. Hal ini sangat berbahaya, karena dalam tahap awal badan wadag anda belum kuat ditinggal sukma sejati terlalu lama. Persendian akan terasa kaku-kaku, peredaran darah tidak lancar dan tekanan darah (HB) nya bisa drop. Resiko ini yang dapat berakibat terjadi kematian.

OLAH NAFAS

Selanjutnya mulai menata irama nafas khusus diperlukan dalam olah semedi. Nafas ditarik dalam-dalam, jangan tergesa dan kasar, lakukan dengan cara yang lembut, namun kuat dan sepanjang-panjangnya nafas hingga habis. Rasakan nafas mulai memenuhi puser kemudian semakin penuh naik hingga ke dada terasa penuh sesak lalu rasakan semakin naik hingga ke cethak atau langit-langit mulut, terus naik lagi hingga ke ubun-ubun kepala. Proses masuknya nafas memenuhi puser hingga ke ubun-ubun dilakukan dalam sekali tarikan nafas. Memakan waktu antara 4-7 detik. Atau dalam hitungan normal dari angka ke 1 hingga ke 7.

Setelah nafas mencapai ubun-ubun tahan sebentar dalam hitungan 7 detik lalu keluarkan nafas melalui mulut dalam hitungan 4 atau dalam waktu 4 detik. Prinsipnya jumlah tarikan nafas harus selalu lebih besar dibanding keluarnya nafas.

SASTRA CETHA

Rasakan pula saat menahan nafas di ubun-ubun, pada awalnya terasa ringan lalu semakin lama semakin berat, jika sudah terasa berat sekali kemudian lepaskan pelan-pelan seolah menurunkan beban yang mudah pecah. Beban itu sesungguhnya pergerakan rasa jati ada pula yang menyebut sebagai tenaga dalam yang terkonsentrasi. Olah nafas demikian disebut sastra cetha; sastra adalah empaning kawruh, atau kiasan sebagai umpan ilmu. Cetha adalah antebing swara cethak.Cethak adalah langit-langit mulut tempat keluarnya bunyi. Mengapa disebut sastra cetha, yakni untuk menggambarkan olah nafas yang ditarik hingga ke ubun-ubun. Nafas bisa mencapai ubun-ubun bila cethak ditutup rapat sehingga tidak lebih dulu gembos melalui mulut. Bila nafas tidak ditahan dengan cethak hanya akan mengikuti jalannya nafas yang wajar dengan sendirinya. Nafas tidak dapat mencapai ubun-ubun hanya sampai di cethak langsung turun lagi.

DAIWAN

Daiwan atau dawan artinya mengatur keluar masuk nafas yang panjang, rileks dan penuh kesabaran, tidak kemrungsung, buru-buru. Daiwan berarti pula panjang tanpa ujung, langgeng atau abadi. Maksudnya adalah sarana hidup kita yang langgeng berada di dalam nafas kita. Nafas adalah keluar masuknya angin dalam badan seiring dengankeketeg panglampahing rah/roh. Bila kedua unsur tersebut (nafas dan roh) berhenti bekerja dinamakan mati yakni rusaknya badan wadag lalu kembali kembali ke asalnya. Maka nafas yang selalu keluar masuk badan hendaknya dipanjangkan sepanjangnya agar kita memperoleh energi kehidupan lebih panjang lagi.

Keluar masuknya nafas benar-benar dirasakan adanya energi hidup (atma/chayu/kayu/kayun) sembari mengucap mantra dalam hati/batin saja. Mengucap “hu” pada saat nafas ditarik dari puser ke arah ubun-ubun. Lalu mengucap “ya” pada saat keluarnya nafas yakni turunnya nafas dari ubun-ubun ke arah pusar. Naik turunnya nafas tadi melewati dada dan cethak. Nah, disebut sastra cetha karena pada saat mengucapkan kedua mantra hu – ya dibarengi dengan pengendalian buka tutupnya cethak untuk menahan dan melepas nafas.

Setelah masuknya Islam ke nusantara, terjadi beberapa anasir seperti dalam wirid naqshabandiyah SSJ mantra hu – ya dirubah bunyi menjadihu – allah. Namun kemudian terdapat mazab lain di luar mazabnya SSJ, dan melakukan modifikasi mantra hu – allah menjadi haillah – haillallah, dikenal sebagai wirit satariyah. Perbedaannya, dalam tradisi satariyah ini tidak dilakukan menahan nafas, melainkan hanya bernafas seperti biasanya.

Apapun kata dan bahasa yang digunakan dalam mantra toh tidak ada pengaruh dalam keberhasilan semedi. Letak keberhasilan semedi bukan pada ucapan, namun bagaimana kita harus memahami dan menghayati makna hakekat dari hu – ya, hu – allah, maupun hailah – hailallah. Jangan terjebak oleh rangkaian kata-katanya namun konsentrasi harus di fokuskan kepada getaran Zat Mahamulia. Hu atau ha atau a atau theberarti “sesuatu”, yakni menggambarkan sesuatu yang paling dan maha, tidak lain adalah eksistensi Zat tertinggi yang tanpa nama sebagai tingkat pemahaman akan tataran hakekat Zat.

TRIPANDURAT

Satu kegiatan olah nafas dinamakan sastra cetha yakni sekali kegiatan menarik/menyedot nafas melalui hidung lalu di tahan, selanjutnya dilepas lagi lewat mulut. Setiap kegiatan olah sastra cetha, tidak perlu dilakukan terus menerus dalam waktu yang lama tanpa putus. Sebaliknya dilakukan saja secara wajar misalnya 3 kali melakukan olah sastra cetha kemudia istirahat sejenak lalu dimulai lagi. Tiga kali melakukan olah sastra cethadisebut tripandurat. Tri ; tiga, pandu ; suci, rat ; jagad/ badan. Maksudnya tiga kali melakukan olah sastra cetha dapat menghasilkan persentuhan antara makhluk dengan Sang Pencipta atau tumameng ing ngabyantaraning yang Mahasuci, bertempat di dalam ubun-ubun atausuhunan yakni ingkang dipun suwuni. 

Naik dan turunnya nafas dinamakan wahana paworing kawula-Gusti. Pada saat nafas di tarik mencapai ubun-ubun atau suhunan lantas ditahan, nafas berhenti sejenak. Posisi yang demikian dinamakan ; kitajumeneng Gusti, bila nafas sudah diturunkan kembali ke pusar (sembari nafas keluar perlahan lewat mulut) kita kembali dinamakan sebagaikawula. Sampai pada penjabaran ini jangan sampai para pembaca keliru memahami. Adapun yang dimaksud manunggaling kawula-gusti bukanlah nafas kita, melainkan daya cipta. Olah semedi harus membentangkan atau merentangkan keluar masuknya nafas agar menjadi panjang. Sembari mengheningkan dan membeningkan mata, karena mata kita berasal dari rasa pangrasa atau indera ke-enam. 

Begitu seterusnya hingga merasakan kemajuan-kemajuan. Ukuran kemajuan dalam latihan olah nafas bilamana mampu menahan nafas lebih lama lagi dari sebelumnya dan kuat melakukan latihan olah nafas dalam waktu yang semakin lama pula. Dengan kata lain jam terbangnya semakin tinggi.

Adapun olah semedi dapat dilakukan sepanjang masa, pada saat duduk, berdiri, berjalan, maupun saat bekerja. Namun cara yang dapat ditempuh cukup mengucap mantra hu – ya dalam setiap hela nafas keluar masuk. Tidak perlu diucap dengan lisan lebih utama ucapan mantra selalu terpatri di dalam hati menyambung koneksi antara diri sejati dengan Ilahi.

MANFAAT SEMEDI

Olah pasamaden atau ulah semedi sangat bermanfaat untuk kesehatan lahir batin, dan menjadi sarana belajar mengetahui hal-hal yang tersimpan di dalam rahasia gaib. Sehingga disebut pula sebagai sastra jendra hayungrat pangruwating diyu.

Sastra = empaning kawruh, jendra = harja-endra, harja = raharja, endra = ratu/dewa, yu = rahayu/wilujeng, ningrat = jagad/tempat/badan. Maknanya ; intisari ilmu pengetahuan sejati yang berguna untuk membangun kesadaran dan keselamatan, kesejahteraan, dan ketentraman. 

Pangruwating diyu = menjaga diri dari diyu. Diyu = raksasa/denawa/asura/buta atau sifat raksasa bodoh, angkara murka dan gemar menganiaya, yakni sifat-sifat kebalikan dari dewa, sebagai lambang segala sesuatu yang baik. Maknanya ; olah semedi yang dapat menyirnakan segala hal yang buruk/jahat, gangguan, dan segala marabahaya.

Dari pengertian sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu mengandung makna yang mendalam yakni; siapapun yang tidak enggan melakukan olah semedi akan memperoleh berbagai kebaikan, dapat mengendalikan nafsu negatif, hatinya bersih, batin dan nuraninya tajam, naluri dan instinknya menjadi semakin kuat, memiliki sense of human, kepekaan sosial, kepekaan indera keenam (rahsa sejati). Bila badan sedang sakit atau dirasa tidak enak, akan menjadi sirna sakitnya. Sifat temperamental menjadi sopan santun, sabar, belas kasih dan lapang dada. Gemar bohong berubah menjadi jujur. Yang bodoh menjadi pinter. Yang sudah pinter menjadi pinter sekali. Hasil dari olah semedi dapat dikiaskan sebagai berikut ; yang sudra menjadi waesia, yang waesia menjadi satria, yang satria menjadi brahmana, yang brahmana menjadi berbadan braja berjiwa bethara. Yang gemuk jadi kurus, yang kurus jadi gemuk, yang cronges jadi tampan (J ..just kidding). Tapi jangan pesimis dulu, berkat olah pernafasan ada beberapa yang berhasil kok, yang tadinya gemuk menjadi ideal. Seperti halnya berbagai perguruan ilmu “tenaga dalam” sudah membuktikan manfaat olah semedi (pernafasan) ini terutama dalam menjaga stamina dan kesehatan. Jika badan sehat, stamina bagus, maka jasad tidak mudah rusak, berarti dapat menghabiskan usia yang digariskan tuhan, dan tentu saja tidak terjadi “kematian prematur” akibat human error, kecerobohan dan mismanajemen dalam menjalani kehidupan ini.

“sawarnaning kapiawon tuwin saliring godha rencana, bebaya pakewed punapa kemawon, ingkang tuwuh saking cidraning manah pribadi, punika sedaya sirna lebur dening pangastuti ulah semedi, inggih amesu cipta, mesu budi, maladihening, ulah pasamaden, sedaya punika namung kangge amurmeng pandulu paworing kawula kalawan gusti. Makaten ugi sedaya sawarnining bebaya ingkang medal saking pandameling tiyang sanes, sanadyan ugi kewan ingkang wantun angganggu damel, temtu ketaman ing wilalat, peksi miber ingkang ngungkuli temtu pejah sirna kuwandhanipun. Punapa dene tumrap sasamining titah ingkang nedya anglawan, angremehaken tuwin angluhuri kamenangan dateng sasaminipun, temtu boten badhe kalampahan. Salagi saweg purun papandengan kemawon sampun tamtu badanipun gemeter lolos otot bebayunipun. Inggih margi saking kaungkulan perbawa ingkang tansah sumunar gumawang purbawisesanipun kadosdene wimbaning purnama sada”.

Karena itu dalam kaitannya dengan olah asamaden, Ilmu Sastra Jendra disebut pula sebagai ilmu atau pengetahuan tentang rahasia seluruh semesta alam beserta perkembangannya. Manfaat Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu ialah tatacara, jalan atau cara untuk mencapai kemuliaan dan kesempurnaan hidup yang sejati.



MEDITASI CAKRA Dan OLAH SEMEDI

Meditasi dibagi dalam dua alur besar. Yakni meditasi mikorokosmos atau pemusatan konsentrasi pada jagad alit yakni unsur-unsur yang ada dalam diri tubuh kita. Dan meditasi makrokosmos atau meditasi jagad ageng. Meditasi cakra merupakan subsistem dari meditasi mikrokosmos.

CAKRA DASAR, ROOT CHAKRA, Jayengdriyo, Muladhara :

Cakra pertama. Terletak di dasar tulang belakang, berfungsi meningkatkan kemampuan kita dalam bertahan hidup dan beradaptasi. Cakra ini sekali terbuka akan memberikan stabilitas yang kita perlukan untuk memikul beban kita sehari-hari. Ketika cakra dasar ini masih tertutup akan membuat kita takut pada perubahan. Tetapi sekali terbuka akan menciptakan peluang bagi kita untuk menggapai kesempatan merasakan indahnya kehidupan serta suatu kenikmatan dan anugrah yang menakjubkan dalam kehidupan ini.

SEXUAL CHAKRA, JANALOKA atau Swadhishtana:

Cakra kedua ini terletak di balik wilayah alat genital. Sepadan dengan bait al-mukadas. Cakra ini berkaitan dengan energi dan gairah seksual. Apabila energi mengalir bebas diwilayah ini akan membawa energi positif dalam hidup kita. Penyumbatan di daerah ini dapat mengakibatkan masalah seksualdan reproduksi yang akan menghambat energi mengalir bebas dan menyebabkan energi negatif dalam hidup kita.

CAKRA PUSAR, NAVEL CHAKRA atau Manipura :

Cakra ketiga. Cakra ini hubungannya dengan energi dan terletak di bawah pusar. Cakra ini merupakan pusat kekuatan tubuhdan merupakan titik luncur untuk energi prana. Meditasi pada cakra ini akan membawa energi besar dan dapat digunakan untuk menyerap energi yang besar pula. Biasanya meditasi cakra pusar secara efektif diterapkan untuk membangkitkan “tenaga dalam” dan untuk penyerapan energi alam seperti energi ombak laut, energi angin, energi api, energi matahari, energi rembulan, energi bumi dsb.

CAKRA HATI, HEART CHAKRA atau Anahata :

Cakra keempat. Sepadan dengan bait al-muharam. Panggulunganing raosing karsa. Cakra hati terletak persis di daerah jantung-hati dan berhubungan dengan kebaikan yang besar dan cinta kasih. Meditasi pada cakra ini dapat memiliki pengalaman batin yang mendalam dan membuka hati untuk dapat merasakan keindahan sejati dalam memahami alam semesta. Cakra ini berfungsi pula untuk menghubungkan antara pikiran (kesadaran) tubuh (ragawi) dengan kesadaran jiwa (batin).

CAKRA TENGGOROKAN, THROAT CHAKRA atau Vishuddha :

Cakra kelima. Sepadan dengan bait al-makmur. Titik energi cakra ini terletak di dasar tengkorak. Pusat energi ini terutama terkait dengan kemampuan kita untuk mengekspresikan diri kita sendiri dan juga memiliki dampak langsung pada sistem kelenjar kita. Membuka cakra ini akan membantu mereka yang memiliki kendala sulit berkomunikasi.

CAKRA ALIS, BROW CHAKRA, PAPASU, atau Ajna :

Disebut pula cakra keenam. Alam papat (empat); sukma wisesa (alam nuriah), sukma purba (alam siriyah), sukma langgeng (alam hidayat), sukma luhur (alam jamma). Cakra ini terletak di antara kedua alis mata, disebut juga sebagai mata ketiga. Sebagai titik di mana alam pikiran sadar dan alam pikiran bawah sadar datang bersama-sama untuk membuka kemampuan kita secara psikhis (innerworld) dan intuitif (kebatinan).

Meditasi pada cakra mata ketiga (third eye) ini paling digemari para pemula meditasi. Karena diperolehnya wawasan yang dalam dan luas bahkan mata ketiga dapat mulai terbuka. Memungkinkan seseorang dapat melihat dimensi gaib dengan mata batinnya (third eye vision).

CAKRA MAHKOTA, CROWN CHAKRA, atau Mahasrara :

Disebut pula sebagai cakra ketujuh. Alam langgeng, Uluhiah, Sang Jati. Ini dianggap sebagai chakra rohani, di mana orang dapat menemukan kebijaksanaan yang sejati di mana pengetahuan lahir dan batin, pengalaman fisik dan metafisik, wadag dan gaib, semua dapat dialaminya.

Cakra ini sebagai titik energi di mana pencerahan sejati dan bentuk realisasi diri dapat terjadi. Dalam tradisi Jawa, mengasah cakra mahkota dapat menjadikan seseorang menjadi Permana Jati. Yakni mampu weruh sadurunge winarah atau mampu melihat sesuatu yang bersifat futuristik, dan weruh kasunyatan jati atau mengetahui kenyataan sesungguhnya apa yang sebenarnya terjadi di alam fana (jagad wadag) dan alam keabadian (jagad gaib). Dapat dikatakan, terbukanya cakra mahkota dapat membuat seseorang menyaksikan dan memahami suatu kenyataan, baik sesuatu secara fisik maupun gaib. Oleh karena itu terbukanya cakra mahkota dapat meraih ngelmu kasunyatan (pengetahuan yang nyata) yang meliputi wahana fisik dan gaib. Kita jadi tahu apa yang sesungguhnya terjadi sekalipun di alam gaib. Oleh sebab itu, bermeditasi pada cakra ini akan menghasilkan efek yang mendalam dan harus didekati dengan cara hati-hati dan dibekali pemahaman yang memadai. Karena bisa jadi pelaku meditasi akan terkejut dan bingung melihat kasunyatan gaib (realitas gaib), ternyata tidak sesuai dengan apa yang tidak sekedar diyakininya (ujare, katanya) selama ini. Dalam spiritual Jawa seseorang yang dapat menerima “Wahyu Keprabon” atau wahyu kepemimpinan (wahyu singgasana kekuasaan untuk menjadi RI-1) atau dalam pewayangan dinamakan “Wahyu Makutarama” hanyalah orang-orang yang sudah terbuka cakra ketujuhnya. Sehingga akan membawa keberhasilan seorang Presiden dalam masa kepemimpinannya.

Meditasi merupakan PEMUSATAN PIKIRAN, mengkonsentrasikan DAYA CIPTA pada satu titik yang ada di dalam tubuh kita. Arah pemusatannya melalui jalan sugesti atau saran dari kekuatan pikiran. Pemusatan pikiran pada satu hal saja yakni pada cakra-cakra yang ingin dibuka atau dibangkitkan.

Sementara itu, olah semedi merupakan penghentian atas semua gerak-gerik cipta. Digantikan dengan PEMUSATAN pada RAHSA atau rasasejati untuk memahami sejatining rasa pangrasa. Pemusatan rasa akan terjadi setelah kita MELEPAS SEMUA KEGIATAN PIKIR-MEMIKIR. Sehingga akan dicapai keadaan “suwung” atau kosong dari segala pikiran dan kemudian masuk (manjing) ke dalam keheningan batin yang “suwung” (awang uwung). Duwe rasa ora duwe rasa duwe, atau “punya rasa, tidak punya rasa punya”. Nah, untuk meraih keberhasilan dalam membuka cakra ketujuh, Anda harus melakukan olah semedi.

UNIVERSAL VALUE

Meditasi pada cakra-cakra kita merupakan cara yang efektif untuk membangun energi dan meraih kesadaran spiritual. Ada tiga cakra yang harus kita konsentrasikan untuk meraih keberhasilan. Hal ini akan membuahkan hasil terbesar serta meningkatkan kesadaran dimensi kita dalam waktu sesingkat mungkin. Ini sangat dibutuhkan bagi siapapun yang ingin meraih kesembangan yang lebih baik. Keseimbangan diri dengan dimensi sosial (self & social dimension), diri dengan alam (microcosmos & macrocosmos). Orang yang meraih “keseimbangan” akan berada dalam irama yang harmoni. Yakni orang-orang yang selalu memperoleh berkah dan anugrah, yang selalu menebar berkah dan anugrah kepada seluruh makhluk. Itulah orang yang meraih derajat kemuliaan. DERAJAT KEMULIAAN ditentukan oleh apa yang diperbuat seseorang selama hidupnya. Apakah Anda percaya, jika kondisi seseorang menjelang ajal termasuk mencerminkan derajat kemuliaannya? Sudah berapa kali Anda menunggui orang di saat menjelang ajal? Cobalah cermati dgn kepekaan mata hati, dengan kebeningan mata batin, ternyata “keyakinan” seseorang tidak berhubungan langsung dengan kondisi akhir saat sakaratul maut tiba. Yang menentukan derajat tetap saj perbuatan. Bagi yang tak percaya boleh saja toh kelak akan membuktikan sendiri pada waktu yang sudah terlambat. Keyakinan yang dianut sebagai sarana pendidikan untuk membangun budi pekerti luhur bagi penganutnya. Budi pekerti menentukan “corak warna” apa yang diperbuat oleh seseorang. “Corak warna” perbuatan setiap orang lah yang pada akhirnya menentukan derajat kemuliaan. Yang ada adalah ngunduh uwohing pakarti, atau menuai buah budi pekerti, bukan ngunduh uwohing agami. Karena agami berfungsi sebagai salah satu “media tanam” bagi tumbuhnya “tanaman” bernama budi pekerti luhur.

Meditasi cakra merupakan salah satu cara di antara milyaran cara yang dapat dilakukan manusia untuk menggapai level keluhuran budi pekerti, untuk meraih derajat kemuliaan hidup yang tinggi. Seseorang yang telah terbuka cakra mahkotanya, ialah orang yang telah mencapai maqom ke 7. Tentu saja derajat maqom ini akan tercermin dalam pola pikir, segala sikap, dan tindak perbuatannya. Sebaliknya fanatisme terhadap suatu agama, budaya, dan falsafah hidup barulah mencerminkan terbukanya cakra level dasar. Celakanya, orang-orang yang baru terbuka cakra dasarnya biasanya justru bersikap seolah sudah menggapai maqom ke tujuh. Sudah merupakan hukum alam bahwa “air beriak tanda tak dalam”.


SEMEDI, DZIKIR, MEDITASI dan KONTEMPLASI


Barangkali kita semua tidaklah merasa asing mendengar judul yang saya buat diatas, namun sejenak saya hanya ingin mencoba memberikan penjabaran berdasarkan pengalaman yang saya miliki. Apa sih sebenarnya tujuan Meditasi atau Kontemplasi itu yang sesungguhnya…??. Meditasi bisa disamakan dengan ZIKIR, malahan dalam istilah Jawa hal ini biasanya disebut dengan “ manekung “ yang berasal dari kata “ tekung “ yang bermakna sebagai sikap yang “ tunduk “ atau menundukkan diri. Dalam khazanah pendaki Spiritual ( sufisme ) zikir berarti secara terus-menerus menyebut kata-kata tertentu secara berulang-ulang. Biasanya berupa kata “ pujian “ terhadap Tuhan Hyang Moho Tunggal yang pada intinya zikir adalah sebagai formula untuk mengingat –ingat akan keberadaan Tuhan. Dalam praktiknya zikir berupa aktifitas menuangi pikiran dan hati dengan nama atau pujian terhadap Tuhan. Atau menuangkan “ Asma “ Tuhan ke dalam hati dan pikiran sehingga tak ada nama lain dalam hati dan pikiran tadi selain Asma-Nya.

Lalu apa yang disebut dengan Meditasi..??. Meditasi adalah MERENUNGKAN atau MERESAPKAN dan bisa juga bermakna PIKIRAN yang amat DALAM yang bertujuan untuk mencapai KESADARAN DIRI dan untuk mencapai OBYEK SPIRITUAL, guna menjadi manusia-manusia yang TERCERAHKAN. Sehingga dalam prakteknya dalam kehidupan bermasyarakat diharapkan bisa menjadi manusia yang penuh KEARIFAN, BIJAK dan KASIH SAYANG terhadap sesama makhluk dalam segala tindakan dan perbuatannya.

Kang sinedyo tineken Hyang Widi… ( Yang diinginkan dikabulkan oleh Tuhan )
Kang kinasara dumadakan keno… ( Yang dikehendaki tiba-tiba didapat )
Tur sisihan Pangerane… ( dan dikasihi oleh Tuhan )
Nadyan tan weruh iku… ( Meskipun dirinya tidak tahu )
Lamun nedyo muja semedi… ( Akan tetapi ketika dia hendak melakukan semedi )
Sesaji neng segoro… ( Dia memberikan sesajian di Samudera/ Hati/Qalbu )
Dadya ngumbaraku… ( Jadilah pengembaraan itu )
Dumadi sariro tunggal… ( Untuk menjadi SATU DIRI )
Tunggal jati swara aowr ing Hartati… ( Satu kesejatian suara yg ada dalam QALBU )
Kang aran Sekar Jempina… ( Itulah yang disebut Bunga Jempina )

Yah..yah..orang yang dijaga oleh Tuhan sudah tentu semua kehendak akan dikabulkan-Nya. Yang dijaga oleh Tuhan adalah orang-orang yang dapat mengendalikan “ daya nafsu “ yang ada dalam dirinya. Daya nafsu tersebut hanya dikendalikan saja bukan untuk dibasmi…!!. Membasmi daya nafsu sama dengan menyalahi KODRAD manusia itu sendiri.

Daya dorong kearah positif dan negatif harus, diselaraskan, diharmoniskan dan selalu dijaga keseimbangannya. Jika daya nafsu bisa kita kendalikan dengan baik, itu sama artinya kita telah bergerak untuk menyatukan DIRI dengan Tuhan Hyang Moho Tunggal. Menyatukan yang saya maksudkan bukanlah dalam pengertian menyatunya Dzat manusia dengan Dzat Tuhan loh…??. Bukan demikian..!! Manusia tidak perlu menyatukan DIRINYA dengan Dzat Tuhan, karena Tuhan keberadaan-Nya sudah meliputi segala sesuatu. Yang perlu disatukan itu adalah “ Sifat, Asma dan Af’al “ manusia, agar selaras dengan sifat, asma dan af’al Tuhan yang telah diberikan kepada semua manusia sebagai KODRAD dan IRODAD yang sudah ada dalam diri setiap manusia. Jadi tugas manusia hanyalah “ MENYELARASKAN, MENYERASIKAN “ dengan Kodrad dan Irodad Tuhan.

Untuk bisa menyatukan diri dengan Tuhan, manusia dalam berbagai cara melakukan diantaranya adalah dengan cara MEDITASI, KONTEMPLASI yang dalam hal ini manusia harus bisa menyatukan segenap PERASAAN dan PIKIRAN dengan nafasnya dalam bermeditasi. Puncak dari adanya penyatuan ini biasanya dalam ukuran minim yang bisa terasa adalah timbulnya “ ketenangan Jiwa “ dan tentramnya Qalbu. Ya..ya.. hanya dengan “ mengingat “ Tuhan lah qalbu / hati bisa menjadi tenang ( QS. Ar-Ra’d . 28 )

Meditasi, Kontemplasi, Dzikir hanyalah sarana dan cara untuk meningkatkan kesempurnaan SPIRITUAL. Dalam hal ini saya membagi dalam 3 ( tiga ) tahapan yang harus dilakukan dalam bermeditasi, kontemplasi, dzikir :

Pertama,

Bagi kita yang hendak melakukan meditasi, dzikir dan kontemplasi harus dapat melakukan dalam khazanah Jawa disebut “ sesaji ing segoro “ yaitu mengutamakan peranan QALBU, HATI atau NURANI. Kita harus bisa mengendalikan Hati sehingga pengembaraan dari sang Perasaan, Pikiran dan daya Nafsu benar-benar menyatu dalam suatu kehendak yang kuat untuk “ mengeleminir “ dorongan hawa nafsu di dalam semedi ( meditasi ). Dalam PUJA SEMEDI itu bertujuan untuk MENGOSONGKAN HATI dari segala hal yang SELAIN Tuhan. Hasrat yang ada di dalam hati lenyap, pikiran telah diam tak mengembara lagi, senyap dari segala ILUSI…!! Suara nafas kini sudah tak terdengar lagi, suara Batin tatkala kita melantunkan Dzikir pun telah hilang dan lenyap yang ada hanyalah CAHAYA KEHENINGAN.

Dalam kondisi demikian hanya SUARA ( Qalam ) Illahi yang bisa masuk dan terekam.

He..he…halah..halah….jangan-jangan itu suara SYETAN terkutuk yang sengaja menggoda kita…? Jangan-jangan itu suara IBLIS yang menyelinap di dalam Hati kita…?? begitu bisikan keragu-raguan yang biasanya ada di dalam benak kita.

Syetan, Iblis atau apaun namanya TIDAK BAKALAN bisa masuk ke dalam rumah Tuhan ( QALBU ), rumah yang telah dibersihkan dari segala kotoran daya-daya nafsu. Bukankah perasaan dalam bermeditasi tadi telah SIRNA..?? Segala perasaan IRI, DENGKI, CEMBURU dan MARAH telah berubah menjadi KEHENINGAN…?? Hasrat hati dan BIRAHI telh sirna bahkan Angan-anganpun sudah tiada, tak ada lagi sarana dan wahana bagi si syetan dan Iblis untuk masuk dalam Hati ( QALBU ) yang sudah “ Hening dan Heneng “.

Kondisi meditasi, dzikir, kontemplasi yang sudah mencapai “ hening dan heneng “ ( diam dan jernih ) tanpa adanya usikan apapun inilah yang dinamakan oleh orang Jawa sebagai “ Sekar Jempina “ Sebuah keadaan yang Jem (tenang, tentram), pi ( sunyi, sepi, tersembunyi ), na ( diam dan berhenti ). Dengan demikian puncak daripada Semedi. Kontemplasi dan Dzikir adalah tercapainya kondisi yang Jempina.

Kedua,

Semedi, dzikir, Meditasi atau Kontemplasi merupakan cara untuk membersihkan diri dari program lama yang masih melekat pada pita kaset kehidupan ini. Pita hidup ini harus diisi dengan program yang lebih baik tentunya. Program lama diisi dengan Dzikir ( mengingat ) dan program baru harus disikan ,melalui perbuatan “ Amal Shaleh “ berupa segala tindakan dan perbuatan yang bermanfaat, baik bagi diri kita maupun bagi orang lain dan lingkungannya. Dalam hidup ini semua kenangan pahit harus dikubur dalam-dalam. Selama Semedi, Meditasi, Dzikir atau Kontemplasi pita hidup harus dibersihkan dan dikosongkan agar QALAM Illahi yang tanpa suara dan kata-kata itu bisa terekam oleh KESADARAN DIRI. Selanjutnya akan bersemilah benih-benih CINTA KASIH dan KERINDUAN untuk berbuat KEBAJIKAN terhadap sesama. Secara lahiriah Kebajikan itu dibuktikan dengan “ Budi Pekerti “ yang Hanif, Arif dan Ma’ruf dalam bersosialisasi dengan kelompok masyarakat. Misalkan saja kita harus taat hukum ( aturan ) bagi siapa saja. Kesadaran Diri ( Sukma Jati, Diri Sejati, Sirr ) keberadaanya akan selalu berdampingan dengan yang namanya “ angan-angan dan keinginan “ karena angan-angan dan keinginan ini terbit dan keluar dari adanya RASA. Dalam hidup ini, angan-angan dan keinginan merupakan pasanga hidup dari Diri Sejati. Ia senantiasa mengikuti sang Diri, baik dalam kehidupan sekarang ini maupun nanti setelah mati. Angan-angan dan keinginan tak pernah sirna, Ia merupakan bagian dari pada hidup. Bukankah hidup tak pernah mati…?? Yang mengalami mati itu hanyalah Jasad badan kasar yang dikubur dalam tanah. Sukma Jati ( Diri sejati, Sirr ) tidak akan ikut mati Ia tetap “ Langgeng tan keno Owah- Gingsir ing kahanan jati “ Jika sudah menyelesaikan tugasnya sebagai Khalifah di bumi, yah..ia akan kembali kepada Hyang Moho Tunggal, kembali ke Hadirat-Nya di alam kedamaian Puncak..!!. Sebagaimana firman Tuhan bahwa “ segala yang berasal dari-Nya akan kembali kepada-Nya “ dan siapa yang bener-bener akan kembali ke Hadirat-Nya..?? QS. Al Fajr 27 – 30telah menjawab dengan tegas. Hanya Jiwa yang tenang saja yang akan kembali ke Hadirat-Nya…!.

Bila angan-angan dan keinginan itu terus menerus dituruti, ia semakin lengket pada sang Sukma Jati dan sulit untuk bisa ditinggalkan. Meskipun Jasad badan kasar telah mati dan terkubur dalam tanah, namu ia akan terus melekat pada sang Sukma Jati. Jika dalam kehidupan di Bumi angan-angan dan keinginan ini telah menyesatkan manusia, maka setelah matinya Jasad badan kasr tadi sang Sukma Jati akan mengalami Kesesatan. Perilaku buruk merupakan produk dari angan-angan dan pikiran yang kotor. Pekerti yang buruk merupakan wujud dari keinginan yang tidak bener. Angan-angan, pikiran dan tingkah laku yang buruk melekat pada sang Sukma Jati. Dan, mungkinkah Sukma Jati, Diri Sejati, Sirr yang telah TERSESAT selama di dunia ini akan bisa kembali di Hadirat-Nya…??

Ketiga,

Bila semedi, meditasi atau kontemplasi yang dilakukan benar-benar sempurna. Angan-angan, keinginan, pikiran dan ilusi telah lenyap, maka batin sang meditasi akan sentosa. Dia bebas dari segala macam gangguan batin. Kecemasan dan kekhawatiran juga lenyap. Tak ada lagi ketakutan dimana-mana sama saja yang ada hanyalah ketenangan dalam hidup. Di Kota dan di desa tiadalah berbeda hidup serasa merdeka. Karena sama-sama dalam perlindungan Gusti Hyang Moho Tunggal. Jika sudah demikian akan tumbuh dan berkembanglah sebuah sikap untuk “ Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng “ terhadap Alam semesta ini. Jika ungkapan ini terwujud, maka tiada lagi petaka dan bencana. Jika bumi ini tetap terpelihara dan dijaga keseimbangannya, bumipun akan tumbuh dengan subur dan tentunya akan memberikan berkah dan kemakmuran bagi manusia. Manusi-manusianya akan hidup dalam ketentraman dan kesenangan. Pikiran jernih, keinginan hanya sebatas yang dibutuhkan oleh diri dan keluarga serta bangsa. Akhirnya sang Sukma Jati pun akan meninggi dalam keheningan yang menyelimuti sang pelaku semedi, dzikir, meditasi atau kontemplasi. Jiwanya akan selalu dalam kedamaian. Dengan demikian hidup di dunia dan akherat senantiasa dalam kesejahteraan ( khazanah ) dan akan dijauhkan oleh API BATINIAH yang menyala-nyala dan menjilat-njilat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar