Jumat, 07 Februari 2014

IMAM AL GHOZALI


Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.

Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau

Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).

Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).

Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.”Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.

Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).

Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu

Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggaljan boleh dihabiskan untuk keduanya.”

Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata,“Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”

Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).

Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.

Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).

Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).

Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).

Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.

Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya

Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa6/54).

Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).

Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.

Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).

Polemik Kejiwaan Imam Ghazali

Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.

Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.

Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.

Masa Akhir Kehidupannya

Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”

Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.”

Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).

Karya-Karyanya*

*Nama karya beliau ini diambil secara ringkas dari kitab Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah, karya Dr. Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud 2/623-625, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/203-204
Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang terkenal ialah:

Pertama, dalam masalah ushuluddin dan aqidah:
  1. Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.
  2. Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.
  3. Al Iqtishad Fil I’tiqad.
  4. Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.
  5.  Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.

Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak.

Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:
  1.  Al Mustashfa Min Ilmil Ushul. Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul fiqih. Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar manthiq dan pembahasan ilmu kalamnya. Dalam kitab ini Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam yang mencampur adukkan pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam dalam pernyataannya, “Para ahli ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali memasukkan pembahasan kalam ke dalamnya (ushul fiqih) lantaran kalam telah menguasainya. Sehingga kecintaannya tersebut telah membuatnya mencampur adukkannya.” Tetapi kemudian beliau berkata,“Setelah kita mengetahui sikap keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini, maka kita memandang perlu menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena melepaskan dari sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sangatlah sukar……” (Dua perkataan beliau ini dinukil dari penulis Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 17 dan 18). Lebih jauh pernyataan beliau dalam Mukaddimah manthiqnya, “Mukadimah ini bukan termasuk dari ilmu ushul. Dan juga bukan mukadimah khusus untuknya. Tetapi merupakan mukadimah semua ilmu. Maka siapa pun yang tidak memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya pengetahuannya.” (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 19). Kemudian hal ini dibantah oleh Ibnu Shalah. beliau berkata, “Ini tertolak, karena setiap orang yang akalnya sehat, maka berarti dia itu manthiqi. Lihatlah berapa banyak para imam yang sama sekali tidak mengenal ilmu manthiq!” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Demikianlh, karena para sahabat juga tidak mengenal ilmu manthiq. Padahal pengetahuan serta pemahamannya jauh lebih baik dari para ahli manthiq.
  2. Mahakun Nadzar.
  3. Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq dan telah dicetak.
  4. Ma’ariful Aqliyah. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdulkarim Ali Utsman.
  5. Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.
  6. Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Telah dicetak.
  7. Mizanul Amal. Kitab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.
  8. Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi. Oleh para ulama, kitab ini diperselisihkan keabsahan dan keontetikannya sebagai karya Al Ghazali. Yang menolak penisbatan ini, diantaranya ialah Imam Ibnu Shalah dengan pernyataannya, “Adapun kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, bukanlah karya beliau. Aku telah melihat transkipnya dengan khat Al Qadhi Kamaluddin Muhammad bin Abdillah Asy Syahruzuri yang menunjukkan, bahwa hal itu dipalsukan atas nama Al Ghazali. Beliau sendiri telah menolaknya dengan kitab Tahafut.”(Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Banyak pula ulama yang menetapkan keabsahannya. Di antaranya yaitu Syaikhul Islam, menyatakan, “Adapun mengenai kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, sebagian ulama mendustakan penetapan ini. Akan tetapi para pakar yang mengenalnya dan keadaannya, akan mengetahui bahwa semua ini merupakan perkataannya.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Kitab ini diterbitkan terakhir dengan tahqiq Riyadh Ali Abdillah.
  9. Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah.
  10. Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.
  11. (Qanun At Ta’wil.
  12. Fadhaih Al Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini merupakan bantahan beliau terhadap sekte batiniyah. Keduanya telah terbit.
  13. Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab ini telah diterbitkan berulang kali dengan tahqiq Muhammad Al Mu’tashim Billah Al Baghdadi.
  14. Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, diterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.
  15. Ar Risalah Alladuniyah.
  16. Ihya’ Ulumuddin. Kitab yang cukup terkenal dan menjadi salah satu rujukan sebagian kaum muslimin di Indonesia. Para ulama terdahulu telah berkomentar banyak tentang kitab ini, di antaranya: Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa. Mereka adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.” (Dinukil Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/334). Dalam risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar, beliau pun menyatakan, “Adapun penjelasan Anda tentang Abu Hamid, maka saya telah melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya mendapatkan beliau seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki kecerdasan akal dan pemahaman. Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya, bahkan hampir seluruh usianya. Dia dapat memahami jalannya para ulama dan masuk ke dalam kancah para pejabat tinggi. Kemudian beliau bertasawuf, menghijrahi ilmu dan ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan hati dan ahli ibadah serta was-was syaitan. Sehingga beliau rusak dengan pemikiran filsafat dan Al Hallaj (pemikiran wihdatul wujud). Mulai mencela ahli fikih dan ahli kalam. Sungguh dia hampir tergelincir keluar dari agama ini. Ketika menulis Al Ihya’ beliau mulai berbicara tentang ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah, padahal belum mengenal betul dan tidak memiliki keahlian tentangnya. Sehingga dia berbuat kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya dengan hadits-hadits palsu.” Imam Adz Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan pernyataannya, “Adapun di dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan terdapat kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud secara jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/339-340).Imam Subuki dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah (Lihat 6/287-288) telah mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Al Ihya’ dan menemukan 943 hadits yang tidak diketahui sanadnya. Abul Fadhl Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al Ihya’ dalam kitabnya, Al Mughni An Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al Ihya Minal Akhbar. Kitab ini dicetak bersama kitab Ihya Ulumuddin. Beliau sandarkan setiap hadits kepada sumber rujukannya dan menjelaskan derajat keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah para penulis, khathib, pengajar dan para penceramah dalam mengambil hal-hal yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin.
  17. Al Munqidz Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi biografinya.
  18. Al Wasith.
  19. Al Basith.
  20. Al Wajiz.
  21. Al Khulashah. Keempat kitab ini adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang beliau tulis. Imam As Subki menyebutkan 57 karya beliau dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/224-227.
Aqidah dan Madzhab Beliau

Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al Wasith, Al Basith dan Al Wajiz. Bahkan kitab beliau Al Wajiz termasuk buku induk dalam mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para ulama Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”

Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut. Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.

Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Memang agak sulit menentukan tasawuf beliau. Karena seringnya beliau membantah sesuatu, kemudian beliau jadikan sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat dalam kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya.

Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 110).

Adapun orang yang menelaah kitab dan karya beliau seperti Misykatul Anwar, Al Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds, Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan tasawuf Al Ghazali dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al Ghazali ada dua perkara:

Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan rahasia dalam aqidahnya.

Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya. (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628).

Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian dan pendapat para peneliti pemikiran Al Ghazali, bahwa tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan ajaran dalam agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat Yunani dan Neo-Platoisme. Lihat Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al Juhani 2/928-929). Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh karya-karya Ibnu Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq kitab Bughyatul Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan,“Bantahan Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun beliau membantah habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al Mustadzhiri. Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang yang berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan bentuk usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash dengan tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash, sesuai dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 111).

Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian. Wallahu a’lam.”

Rahasia Hati - Imam Al Ghazali

Bahasan ini merupakan bagian dari buku Rahasia Hati yang akan saya sampaikan satu per satu bab dan bagiannya. Ini akan menjadi bagian pembuka untuk menjelaskan hati dan rahasia yang terdapat di dalamnya.

Al Qalbu, Ar Ruhu, An Nafs, Al Aqlu

Dalam kalangan ulama terkemuka jarang sekali mendalami pengetahuan tentang nama-nama ini, baik dalam segi perbedaan artinya, batas-batasnya, dan apa yang dinamakan dengan nama-nama tersebut. Banyak sekali kesalahan-kesalahan yang terjadi, disebabkan kebodohan dalam memahami arti dari nama-nama tersebut juga karena ketidaktahuan bahwasanya nama-nama itu tidak hanya memiliki satu
arti. Disini akan coba dijelaskan mengenai perbedaannya.

Pertama, Al Qalbu memiliki dua pengertian yakni:
  1. Al Qalbu (Jantung) yang berupa segumpal daging yang berbentuk bulat memanjang seperti buah shanaubar, yang terletak di pinggir dada sebelah kiri, yaitu segumpal daging yang mempunyai tugas khusus yakni memompa darah.
  2. Al Qolbu (Hati dalam arti secara harfiah) yang berupa sesuatu yang halus (lathifah), bersifat Ketuhanan (Rabbaniyah) dan kerohanian yang ada hubungannya dengan hati jasmani.
Hubungan antara hati jasmani dan hati rohani itu seperti halnya benda yang dijadikan perkakas dengan dengan perkakasnya, atau seperti akar pohon dengan tempat dia berakar.

Penjelasan ini dijelaskan secara hati-hati disebabkan oleh dua hal.
  1. Sesungguhnya hati rohani itu berhubungan erat dengan ilmu mukasyafah (ilmu yang diperoleh dari Ilham Allah). Sedangkan tujuan dijelaskannya Rahasia Hati disini ditekankan pada Ilmu Mu'amalah (ilmu yang diperoleh dengan belajar).
  2. Sesungguhnya mendalami hakekat hati rohani memerlukan terbukannya rahasia ruh, sedang dalam masalah ini tidak pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW.
Kedua, kata ar Ruhu (nyawa) ini juga digunakan untuk sesuatu yang berhubungan dengan jenisnya yang digolongkan menjadi dua pengertian:
  1. Ruh yang merupakan jenis yang halus yang bersumber dari rongga hari jasmani, lalu tersebar ke seluruh tubuh melalui perantara otot dan urat. Yang dijelaskan di sini bukan berarti darah. Akan tetapi semacam unsur halus berupa uap yang berasal dari pemanasan dalam hati.
  2. Ruh yang berupa sesuatu yang halus yang ada pada manusia, yang dapat mengetahui segala sesuatu dan yang dapat menangkap segala pengertian.
Hal ini dijelaskan tadi pada pengertian "hati". Dan itulah yang dikehendaki Allah Ta'ala dengan firman-Nya:
"Katakan! bahwa ruh itu termasuk urusan Allah" (Q.S Al Isro': 85)
Ruh dalam pengertian ini termasuk urusan ketuhanan yang menakjubkan dimana akal manusia dan pemahamannya tidak sanggup mengetahui hakekatnya.

Ketiga, Kata-kata nafsu mempunyai beberapa makna tetapi yang berhubungan dengan pembahasan ini ada dua pengertian:
  1. Nafsu yang dituju disini adalah tempat berkumpulnya kekuatan amarah dan syahwat pada diri manusia yang nanti akan dijelaskan kemudian. Pengertian ini digunakan oleh para ahli Tashawuf karena mereka berpendapat bahwa nafsu itu tempat berkumpulnya sifat-sifat tercela pada manusia, oleh karena itu mereka berkata: "Nafsu mau tidak mau harus dilawan dan dihancurkan".
  2. Nafsu dalam arti yang halus yang telah disebutkan diatas, yaitu hakikat manusia, yakni diri manusia dan zatnya. Nafsu dalam pengertian ini bermacam-macam sesuai dengan keadaannya.
Apabila nafsu tersebut tenang pembawaannya dan jauh dari gangguan yang disebabkann oleh syahwat maka nafsu yang demikian disebut Nafsu Muthmainnah (nafsu yang tenang), sebagaimana firman Allah Ta'ala: "Hai nafsu yang tenang! kembalilah kepada Tuhanmu dengan gembira dan menggembirakan" (Q.S. Al-Fajr: 27-28)

Bila melihat nafsu dalam pengertian pertama diatas, nafsu tersebut tidak memiliki gambaran untuk kembalin kepada Allah Ta'ala, malah selalu mejauhi-Nya dan termasuk dalam golongan syaitan.

Apabila nafsu itu tidak sempurna ketenangannya, namun ia selalu menentang dan melawan nafsu syahwat, maka nafsu yang demikian disebut Nafsu Lawwammah (Nafsu pencela), oleh karena itu ia selalu mencela dirinya ketika teledor dan lalai berbakti kepada Tuhannya. Firman Allah Ta'ala: "Aku bersumpah dengan nafsu yang amat mencela (kejahatan)" (Q.S. Al-Qiyamah: 2)

Apabila nafsu tersebut telah melepaskan diri dari tantangan dan tidak mau lagi melawan, malah tunduk dan patuh saja pada kehendak nafsu syahwat dan panggilan syaitan, maka nafsu yang demikina disebut Nafsu Ammarah bissuu' (nafsu penganjur kejahatan).
Allah ta'ala menceritakan tentang Yusuf a.s dan istri Fir'aun dalam firman-Nya:
"Dan aku tidak akan membiarkan Nafsuku, karena nafsu itu suka memerinta kepada yang jelek". (Q.S. Yusuf: 53)

Keempat, Kata-kata Al Aqlu (akal) ini mempunyai arti yang bermacam-macam. Dari berbagai arti itu yang berhubungan dengan pembahasan Rahasia Hati ini adalah:
  1. Akal yang berarti pengetahuan tentang hakikat segala keadaan, maka akal itu ibarat sifat-sifat ilmu yang tempatnya di dalam hati.
  2. Akal yang berarti , menangkap dan mendapatkan segala ilmu, maka akal disini adalah hati rohani.
Kita ketahui bahwa kata "Akal" kadang-kadang diartikan sebagai sifat orang yang berilmu, dan kadang-kadang berarti tempat pengetahuan yakni "yang mengetahui".

Bab Balatentara Hati (Bagian Pertama)

Berhubung bab ini sangat panjang, maka saya akan menguraikannya dua kali.

Firman Allah Ta'ala: 
"Dan tidak ada yang mengetahui akan tentara Tuhanmu melainkan dirinya sendiri." (Q.S. Al-Muddatsir: 31)
Allah SWT memiliki tentara yang dikirim kedalam hati, Ruh, dan alam-alam lainnya. Dan hanya Allah sendiri yang mengetahui hakekat dan jumlah bilangannya. Disini akan ditunjukkan sebagian dari tentara hati yang ada hubungannya dengan pembahasan sebelumnya.

Tentara hati itu dibagi menajadi dua macam:

  1. Tentara yang dapat dilihat dengan mata kepala
  2. Tentara yang tidak dapat dilihat, kecuali dengan mata hati (Bashiroh)
Hati itu berkedudukan sebagai raja dan tentara itu berkedudukan sebagai pelayan dan pembantu, maka inilah yang dinamakan tentara hati.

Adapun tentara hati yang nampak, dapat dilihat dengan mata yaitu: Tangan, kaki, telinga, lisan dan seluruh anggota badan, baik yang lahir maupun yang batin. Semua itu menjadi pelayan hati dan bekerja secara cuma-cuma untuknya. Hatilah yang mempergunakan dan yang menjalankan semuanya. Sesungguhnya anggota badan itu secara naluri dijadikan tunduk kepada hati kita, ia tidak mampu menyalahi dan mendurhakainya.

Apabila hati menyuruh mata terbuka, maka terbukalah, bila menyuruh kaki bergerak, maka bergeraklah, menyuruh lidah berbicara, maka bicaralah sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh hati kita, begitupun anggota badan lainnya.

Kepatuhan anggota badan dan panca indera lainnya kepada hati itu dapat disamakan dengan kepatuhan Malaikat terhadap perintah Allah Ta'ala, karena sesungguhnya Malaikat itu diciptakan untuk tunduk dan mereka tidak kuasa menyalahi. Mereka tidak pernah mendurhakai Allah akan apa-apa yang diperintahkan kepada mereka dan senantiasa patuh dan melaksanakan perintah-Nya.

Adapun yang membedakan kepatuhan para Malaikat dan kepatuhan anggota badan itu adalah para Malaikat itu tahu akan kepatuhan dan keta'atannya, sedangkan anggota badan, dalam mematuhi hati itu berdasarkan taskhiir (paksaan) yang tiada dijelaskan sebelumnya dari dirinya dan dari kepatuhannya kepada hati. Artinya, Malaikat tahu bahwa apa yang diperintahkan kepadanya adalah sesuatu yang baik yang berasal dari Allah. Sedangkan hati, baik atau buruknya perintah itu, maka dia akan selalu melaksanakannya sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh hati. Tanpa terkecuali itu adalah perintah untuk berbuat dosa atau perbuatan buruk lainnya.

Sesungguhnya hati itu membutuhkan tentara tersebut sebagai kendaraan dan bekal perjalanannya untuk menuju Allah SWT dengan memanfaatkan tentara-tentaranya itu untuk beribadah dan bertakwa kepada-Nya atau perbuatan lainnya yang dapat menghantarkan dia menuju Allah SWT.

Allah ta'ala berfirman: 
"Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah kepadaKu." (Q.S. Adz-Dzariat: 56)
Kendaraan hati adalah badan, dan bekalnya adalah ilmu. Sesungguhnya yang menjadikan ilmu itu sebagai bekal adalah "amal shaleh".
Badan adalah kendaraan yang dapat menghantarkan hati kita ke dunia ini, untuk itu badan harus dipelihara dan dilindungi. Caranya adalah dengan memberi makan dengan apa-apa yang cocok dan sesuai untuknya dan menjauhi apa-apa yang dapat membinasakannya.
.
Untuk memasukan makanan ke dalam tubuh dibutuhkan dua tentara yakni:
  1. Tentara batin, yang berupa syahwat (keinginan)
  2. Tentara lahir, yang berupa tangan dan anggota badan lainnya yang ikut mendatangkan makanan itu.
Untuk itu Allah telah menjadikan di dalam hati manusia, syahwat (keinginan) yang dibutuhkan dan menjadikan anggota badan sebagai alat untuk memenuhi syahwat (keinginan) itu.

Untuk menolak bahaya yang membinasakan badan diperlukan dua tentara pula, yaitu:
  1. Tentara batin, yang berupa Ghodlob (amarah) yang dapat menolak segala yang merusak dan menuntut balas dari musuh.
  2. Tentara lahir, yang berupa tangan dan kaki, dimana dengan keduanya itu dapat berbuat menurut kehendak amarah.
Seseorang yang memerlukan makanan selama ia tidak mengenali makanan itu, maka tidak akan tumbuh keinginannya terhadap makanan dan kesukaannya itu.

Untuk mengenali makanan hati memerlukan dua tentara,
  1. Tentara batin, yang berupa hasil tangkapan dari panca indera seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, penyentuhan dan perasaan lidah.
  2. Tentara lahir, yang berupa mata, telinga, hidung, dan lainnya.
Balatentara Hati (Bagian Kedua)

Keseluruhan tentara hati yang telah dijelaskan sebelumnya kemudian bisa kita golongkan menjadi 3 bagian yaitu:

1. Tentara Pembangkit dan pendorong yang terdiri dari:
  • Pembangkit dan pendorong untuk mengambil apa-apa yang bermanfaat dan cocok untuk badan, yaitu yang berupa syahwat (Keinginan)
  • Pembangkit atau pendorong untuk menolak apa-apa yang berbahaya dan menyengsarakan badan, yaitu yang berupa ghodlob (amarah) Tentara pembangkit dan pendorong ini bisa disebut juga sebagai "kemauan"
2. Tentara Penggerak, yaitu yang menggerakan anggota badan guna mencapai berbagai maksud dan tujuan. Dan tentara kedua ini disebut juga "Kekuasaan"

3. Tentara penangkap dan pengenal terhadap segala sesuatu yang bertugas sebagai "al jawaasis" (mata-mata), yaitu:

  • - Kekuatan penglihatan
  • - Kekuatan pendengaran
  • - Kekuatan penciuman
  • - Kekuatan perasaan lidah
  • - Kekuatan sentuhan (rabaan)
Tentara ini biasa disebut juga sebagai "ilmu" atau "penemu".

Selanjutnya tentara ketiga ini dibagi atas:
  • Yang menempati tempat-tempat lahir, yaitu panca indra (pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecapan, dan sentuhan)
  • Yang menempati tempat batin, yaitu isi otak.
Apabila manusia melihat sesuatu, kemudian ia memejamkan mata, maka ia akan mendapatkan gambaran sesuatu di dalam jiwanya, yaitu khayal. Gambaran itu akan tetap dalam jiwanya sebab disitu ada tentara pemelihara. Kemudian ia berfikir akan apa yang terpelihara dalam jiwanya, maka tersusunlah sebagai suatu gambaran dengan gambaran yang lain, maka ia teringat dengan apa yang dia lupakan dan kembalilah ingatan kepadanya.

Akhirnya terkumpullah sejumlah pengertian perasaan pada khayalan dengan perasaan gabungan antara beberapa perasaan. maka di dalam batin akan muncul perasaan berupa Daya hayal, daya fikir, daya ingat dan daya hafal.

Andaikan Allah tidak menjadikan kekuatan untuk menghafal, berfikir, mengingat dan menghayal, maka otak akan menjadi kosong sebagaimana kosongnya tangan dan kaki. Kekuatan-kekuatan itu termasuk tentara batin dan tempatnya juga di dalam batin. Insya Allah bahasan selanjutnya adalah Contoh-Contoh hati dan tentara batinnya.

Esensi Cinta | Imam Al-Ghazali

  • Adapun orang-orang yang beriman itu sangat cinta kepada Allah.”(QS [2]:165), 
  • Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.”(QS [5]:54). 
  • Tuhan adalah Cinta.”(Al-Hadits) 
Esensi Cinta ini difirmankan-Nya dalam sebuah hadits Qudsi yang merupakan favorit para Sufi : “Aku ingin mengenalkan Diri-Ku bahwa Aku Pengampun, Penutup Aib, Yang Mahaindah, Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Oleh karena itu, Aku menciptakan makhluk supaya diri-Ku dikenal.” 

Fitrah suatu Dzat Yang Penuh Cinta dan Kasih Sayang adalah mengungkapkan kebaikannya itu, meluapkan kasih sayangnya itu. Setiap peluapan kasih sayang membutuhkan objek. Dalam rangka peluapan kasih sayang-Nya inilah, alam semesta tercipta. Yakni, sebagai objek peluapan kasih sayang-Nya itu. 

“Aku adalah Perbendaharaan Yang Tersembunyi. Aku cinta (rindu) untuk diketahui. Maka, Aku ciptakan alam agar Aku dikenali.” 

Jadi, sesungguhnya alam tercipta karena cinta, prinsip penggeraknya adalah cinta, pengikatnya adalah cinta. Tujuan akhirnya pun adalah cinta. 

Salah satu kata yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjukkan cinta adalah Wudd, yang dalam bahasa Arab berarti bentuk tertinggi dari cinta, dan disebutkan dalam Al-Qur’an : “Sesungguhnya mereka yang percaya dan melakukan hal-hal yang baik, Yang Pemurah akan menentukan bagi mereka cinta.”(QS [19];96). Di sini, rahmah (kasih) dan wudd (cinta) digunakan bersama-sama. 

Di tempat lain dalam Al-Qur’an, wudd (cinta) dan ghufran (ampunan) disebutkan secara bersamaan : “Dan Dia adalah Maha pengampun dan Pecinta.”(QS [85]:14). 

Sedangkan rahmah (kasih) dan wudd (cinta) disebutkan bersama-sama dalam ayat ini : “Mintalah pengampunan dari Tuhanmu dan kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya, Tuhanku adalah Maha Penyayang, Pecinta.”(QS [11]:90). 

Al-Wadud adalah salah satu dari nama-nama indah Allah yang berarti Sumber Cinta. Dia telah menganugerahi manusia dengan kapasitas tidak terbatas untuk mengembangkan cinta. Hubb adalah kata lain yang digunakan dalam Al-Qur’an yang juga berarti cinta, sebagaimana dinyatakan dalam : …Tuhan akan mendatangkan orang yang Dia kasihi dan yang mengasihi Dia.(QS [5]:54). 

Sesungguhnya, cinta adalah sifat hakiki Allah. Dia menekankan dalam Al-Qur’an bahwa, Dia telah mewajibkan atas diri-Nya kasih sayang (QS [6]:12). Juga, Kasih sayang-Ku meliputi segala sesuatu (QS [7]:156), dan Sesungguhnya Tuhanku adalah Yang Maha Pemurah, dan Maha Penyayang (QS [11]:80). Selain itu, dalam beberapa hadits Qudsi, Allah mengungkapkan dengan tegas bahwa “Kasih sayang-Ku mendominasi murka-Ku.” 

Sesungguhnya Islam memang mempromosikan hubungan penuh cinta kasih dan kerinduan di antara manusia dan Tuhan, persis seperti hubungan perindu dan yang dirindui. Al-Qur’an pun menegaskan bahwa seharusnya cintalah yang melandasi hubungan antara manusia dan Allah :…Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya…(QS [5]:54). 

Sesungguhnya, “hubungan penuh kecintaan” ini jugalah yang dimaksud ketika Allah berfirman, Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk menghamba (beribadah) kepada-Ku (QS [51]:56). 

Mahabbah, hubb (cinta) dan ‘isyq (kerinduan) adalah satu makna. Yang utama di dalam hal ini adalah cinta membara seseorang kepada Sang Kekasih, yaitu pandangan yang menganggap baik segala hal karena api cinta yang menembus pikiran hingga mengobarkan api mujahadah. Lalu, muncul asapnya di balik bagian belakang otak, tampak isyarat-isyarat pikiran tentang cinta dari bagian depan ubun-ubun dan terbuka pintu-pintu kekosongan qalb. Dudukkanlah khayalan Sang Kekasih di depan ‘ayn al-yaqin. Jiwa mengkilapkan cermin mujahadah di dalam memandang keindahan Kekasih. 

Asalnya di dalam mahabbah adalah kebersamaan, keakraban, dan kepercayaan pada ucapan kekasih. Ketika itu, keinginan pendambaaan berkobar dengan nyala api kerinduan. Lalu, keadaan ‘isyq mengalahkannya. Jadilah, di jalan-jalan itu, dia tergila-gila pada sesuatu yang menjadi cahaya melankolis. Ucapan bercampur aduk, rongga tenggorokan terbakar, dan langit qalb tertutup karena penampakan Rembulan Kekasih. Perindu itu tetap merindukan, mencintai, dan kebingungan terhadap penampakan keagungan Sang Kekasih. Ketika rongga-rongga tenggorokan itu terbuka, pasangan mempelai kalbu berhamburan dan pasangan angan-angan menari di majelis keintiman (al-wishal). Seruling harapan ditiup dan kecapi harap-harap cemas dipetik. Kemudian, debu bergerak, anda melihat asap harapan. Asap kepayahan menguat, anda melihat kebimbangan di dalam qalb. Di sana, tidak ada ratapan dan tidak pula ketenangan. Tampak kekurusan dan kepucatan. terlihat bekas-bekas keterjagaan. Api kerinduan menyebabkan badan kurus. 

Syawq (kerinduan) merupakan pendorong bagi keadaan mukasyafah (ketersingkapan). Syawq adalah harapan untuk bertemu dengan Sang Kekasih. Sedangkan pertemuan dengan Kekasih tidak diperoleh, kecuali dengan mukasyafah. Mukasyafah itu ada dua, yaitu dengan penglihatan dan dengan perasaan qalb. Ia merupakan penampakan diri Kekasih di dalam keadaan yang dirasakan qalb pecinta. Hakikat mukasyafah adalah memandang Sang Kekasih. namun, hal ini berbeda-beda menurut kadar tingkatan para pecinta. Pandangan manusia itu tidaklah sama. Yang paling rendah tingkatan mereka adalah pandangan dengan perasaan qalb. Adapun pandangan dengan penglihatan pada suatu kaum merupakan‘aradh yang tidak menetap. Yang paling agung di antara kedua kedudukan itu adalah gabungan antara pandangan dengan penglihatan dan perasaan qalb. Apabila tabir-tabir kelalaian terangkat, Sang Kekasih akan menampakkan diri. Pecinta menjadi lenyap hingga keluar dari tabir kemanusiaan dan hijab jasmani. Lalu, dia melihat hijab dan mendengar perkataan, Tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia, kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang hijab (QS [42]:51)

Kisah Imam Al-Ghazali Belajar Membersihkan Hati

Banyak cerita menarik seputar Imam Al Ghazali, yang paling terkenal ialah cerita tentang Ahmad, adiknya, melalui jalan saudaranya inilah jalan tasawuf menjadi pilihan Al Ghazali. Saking berterima kasihnya Al Ghazali mendedikasikan sebuah kitabnya, Madhunun bih Ala Ghairi Ahlih, untuk sang adik.

Alkisah, suatu hari ketika Imam Al Ghazali menjadi imam disebuah masjid . Tetapi saudaranya yang bernama Ahmad tidak mau berjamaah bersama, Imam Al Ghazali lalu berkata kepadanya ibunya :

  • "Wahai ibu, perintahkan saudaraku Ahmad agar shalat mengikutiku, supaya orang-orang tidak menuduhku selalu bersikap jelek terhadapnya".Ibu Al Ghazali lalu memerintahkan puteranya Ahmad agar shalat makmum kepada saudaranya Al Ghazali. Ahmad pun melaksanakan perintah sang ibu untuk shalat bermakmum kepada Al Ghazali, 
  • Ketika Al Ghazali menjadi Imam shalat di masjid, sementara adiknya menajdi makmum. Ketika itu adiknya melihat tubuh sang kakak berdarah, maka ia pun (Muffaragah) membatalkan makmum kepada kakaknya, dan meneruskan shalat sendiri. Usai shalat, Ghazali bertanya, “Mengapa kamu membatalkan makmum kepadaku?” jawab Ahmad, adiknya, “Aku melihat kanda penuh darah.”
  • Sejenak Ghazali termenung. “Memang dalam shalat saya sedang berpikir tentang persoalan haid.” Adik kandung Imam Ghazali memang dikenal sebagai ahli Kasyf, mampu melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh orang awam. Seketika itu Ghazali sadar tentang pentingnya dunia sufi. Dan kejadian inilah yang mendorongnya mendalami ilmu tasawuf.
  • Al Ghaali bertanya kepada adiknya Ahmad : "Dari manakah engkau belajar ilmu pengetahuan seperti itu" ?Saudaranya menjawab, "Aku belajar Ilmu kepada Syekh Al Utaqy yaitu seorang tukang jahit sandal-sandal bekas. Al Ghazali lalu pergi kepadanya" .
  • Dia berkata kepada Syekh Al khurazy : " Saya ingin belajar kepada Tuan ". Syekh itu berkata : Mungkin engkau tidak sanggup mengikuti perintah-perintahku ".
  • Al Ghazali menjawab : "Insya Allah, saya kuat ".
  • Syekh Al Khurazy berkata : "Bersihkanlah (sepuluh) lantai ini ".
  • Al Ghazali laku hendak dengan sapu. Tetapi Syekh itu berkata : " sapulah (bersihkanlah) dengan tanganmu ". Al Ghazali menyapunya lantai dengan tangannya, kemudian dia melihat kotoran yang banyak dan bermaksud menghindari kotoran itu.
  • Namun Syekh berkata : " bersihkan pula kotoran itu dengan tanganmu ".
  • Al Ghazali lalu bersiap membesihkan dengan menyisingkan pakaiannya. Melihat keadaan yang demikian itu Syekh berkata : " Nah bersìhkan kotoran itu dengan pakaian seperti itu " 
  • Al Ghazali menuruti perintah Syekh tersebut dengan hati yang ridha dan ikhlas.Tetapi begitu Al Ghazali akan memulai melaksanakan perintah Syekh, beliau langsung mencegahnya dan memerintahkan agar pulang. Al Ghazali pulang dan setibanya dirumah beliau mendapat ilmu pengetahuan yang luar biasa. Dan Allah telah memberikan Ilmu Laduni atau ilmu Kasyaf yang diperoleh dari ilmu tasawuf atau kebersihan hati kepadanya.
Maka sejak itu ia memutuskan untuk menjadikan tasawuf sebagai jalan mengenal Allah yang tujuan akhirnya disebut makrifat. Menurut Ghazali, makrifat tidak hanya berarti mengenal Allah, tetapi juga mengenal alam semesta. Hakikat dan Makrifat bukan hanya pengenalan biasa, meliankan juga ilmu yang tak diragukan kebenaranya, yang disebut Ainu al-Yaqin – tersingkapnya sesuatu secara jelas, tidak ada keraguan, tidak mungkin salah dan keliru.

Makrifat sebenarnya diperoleh melalui llham. Allah memancarkan Nur ke dalam kalbu seseorang agar ia mengenali hakikat Allah dan segala ciptaannya. Hanya kalbu yang bersihlah yang bisa menerima Nur Ilahi. Apa syaratnya? Harus menyucikan diri dari dosa dan tingkah laku tercela, membersihkan diri dari keyakinan selain keyakinan kepada Allah. Kalbu harus total berdzikir kepada Allah sehingga dapat mencapai fana (kesirnaan) secara total. Jika sudah mampu mencapai tahapan ini (maqamat), ia bisa mendapatkan mukasyafah (mampu menjawab persoalan) dan musyahadah (mampu melihat Allah dalam hati).

Nasihat Politik Imam al-Ghazali

Hujjatul Islam Imam al-Ghazali dalam kitabIhya’ Ulumuddin juz II mengatakan: “Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan; dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan” (Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).

Bagi Imam al-Ghazali, krisis yang menimpa suatu negara dan masyarakat berakar dari kerusakan yang menimpa para ulamanya. Karena itu, reformasi yang dilakukan Sang Imam dimulai dengan memperbaiki para ulama. Selain itu dalam pandangannya, pemimpin negara tidak boleh dipisah dari ulama. Ulama tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana agama tidak boleh ditinggalkan oleh negara. Ulama pun harus memberikan kontribusinya dengan nasihat dan peringatan terutama nasihat-nasihat akidah dan adab kepada pemimpin.

Usaha-usaha perbaikan politik yang dilakukan Imam al-Ghazali dengan menerapkan amar ma’ruf nahi munkar kepada ulama sekaligus kepada penguasa. Tahapan usaha yang dilakukan adalah, peringatan, kemudian nasehat. Imam al-Ghazali sangat berkomitmen terhadap faktor perbaikan dan pembaharuan. Baginya, seorang ulama atau ilmuwan semestinya melakukan reformasi konstruktif untuk kebaikan politik di negara. Mereka tidak boleh diam, karena ini merupakan bentuk dari amar ma’ruf nahi munkar.

Al-Ghazali pun telah menunjukkan dirinya sebagai ulama yang memiliki pemikiran cemerlang, yang disegani dan diterima oleh para pejabat negara serta para ulama lain pada zamannya. Kepada pemimpin negara, ia memberi nasihat bagaimana cara menjalankan sebuah sistem kenegaraan yang mempertimbangkan adab untuk kemaslahatan bersama dengan pemimpin yang mempunyai integritas tinggi ditopang dengan kekuatan syariah.

Pikiran-pikiran utama Imam al-Ghazali tentang politik dituangkan dalam buku al-Tibr al-Masbuk fi Nasihati al-Muluk. Buku ini adalah kumpulan nasihat yang ditujukan kepada Sultan Muhammad ibn Malik Syak dari dinasti Saljuk. Kandungan utama kumpulan surat-surat nasihat itu dapat dikelompokkan ke dalam dua poin besar. Pertama, Imam al-Ghazali memprioritaskan pada kekuatan akidah tauhid. Kedua, berisi naihat-nasihat moral, keadilan keutamaan ilmu, dan ulama.

Dalam awal naskah nasihatnya, Imam al-Ghazali memulai dengan kaidah-kaidah Iman. Dalam bab ini, disamping menginginkan sultan tetap loyal pada keimanan yang benar, al-Ghazali mengingatkan sultan bahwa kekuasaan tertinggi di dunia ini adalah al-Khalik (Allah Swt). Dalam hal ini, tampaknya juga secara implisit al-Ghazali memberi peringatan bahwa kekuasaan sultan hanyalah titipan Allah Swt.

Allah memberi amanah kepada Sultan untuk menstabilkan negeri sesuai dengan syariat-Nya. Dalam sub-sub bab Kitabnya, al-Ghazali menulis tentang Ke-Esaan-Nya; tiada satu pun yang menyamai-Nya. Al-Ghazali mengingatkan tentang akhirat dan tugas Nabi Muhammad Saw.

Peduli politik

Meskipun menulis banyak hal pada masalah tashawuf dan berkonsentrasi di pesantrennya sendiri yang jauh dari Ibu Kota Baghdad, Imam al-Ghazali tetap sangat peduli dengan jalannya kekuasaan. Ia selalu menasehati para penguasa, agar selalu menegakkan kalimah Tauhid. Nasihat Tauhid ini dimaksudkan untuk melindungi pejabat-pejabat negara agar tidak terpengaruh dengan pemikiran Syi’ah Batiniyah yang berkembang pada zaman itu. Kelompok Batiniyah ini terkenal sebagai kelompok sesat sempalan yang radikal.

Nasihat-nasihat imam al-Ghazali itu sangat berpengaruh terhadap kestabilan politik Sultan Seljuk, terutama untuk meredam gerakan Syi’ah Batiniyah. Penguasa Nizam al-Muluk akhirnya menyatakan bahwa Batiniyah adalah kelompok sesat. Menurut Sultan, tujuan utama gerakan mereka sebenarnya adalah untuk menyingkirkan Muslim Sunni (baca Abu Hamid al-Ghazali, Fada’ih al-Batiniyah, hal 11).

Selanjutnya di pembahasan berikutnya dalam kitab tersebut, Imam al-Ghazali memulai dengan penjelasan tentang adab dan etika seorang pemimpin. Yang pertama-tama harus dipahami, menurut Imam al-Ghazali adalah mengetahui hakikat kepemimpinan (al-wilayah) dan bahaya-bahayanya – jika tidak amanah.

Al-Wilayah (kekuasaan) adalah kenikmatan yang diberikan oleh Allah Swt jika digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Maka, apabila seseorang diberi kenikmatan tersebut dalam hidupnya, akan tetapi tidak mengetahui hakikat nikmat tersebut dan justru sebalikanya ia berbuat dzalim dengan kukuasaannya serta mengikuti hawa nafsunya. Pemimpin yang demikian, kata Imam al-Ghazali, telah menempatkan posisinya sebagai musuh Allah Swt.

Jika seseorang telah menempatkan posisinya sebagai musuh Allah Swt sebagaiman tersebut di atas, maka inilah titik bahaya seorang pemimpin. Rasulullah Saw pernah mengingatkan, bahwa seorang pemimpin harus memperhatikan tiga perkara. Pertama, apabila rakyat meminta/membutuhkan belas kasih, maka sang khalifah wajib berbagi kasih kepada mereka.Kedua, apabila menghukumi mereka maka berbuatlah adil. Ketiga, laksanakan apa yang telah kamu katakan (tidak menyalahi janji) (Al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al-Muluk, hal. 4).

Peran Ulama

Karena itu, Imam al-Ghazali mengingatkan, bahwa seorang Sultan atau Khalifah tidak boleh meninggalkan ulama. Namun, seorang Sultan juga harus cermat, tidak sembarang ulama yang harus diminta nasihat. Ulama Suu’ (ulama jahat) justru menjerumuskan negara pada kerusakan. Cirinya, mereka selalu memuji-muji raja secara tidak wajar, tujuan dakwahnya selalu mengarah pada duniawi. Sebaliknya seorang ulama sejati (yang disebut al-Ghazali sebagai “ulama al-akhirah”), sama sekali tidak mengharapkan balasan uang dari tangan seorang raja. Ia memberi nasihat ikhlas karena meinginginkan perbaikan dalam diri raja, negara dan masyarakat.

Dari usaha-usaha nasihatnya kepada khalifah terlihat bahwa memang, negara yang ideal adalah negara yang orang-orangnya memiliki basis Islam yang kuat, sehingga negara diurus dengan parameter syari’ah. Usaha al-Ghazali menuai hasil yang bagus, kadaan negara stabil, syari’ah diamalkan, dan pemikiran-pemikiran menyimpang tidak dihirau oleh warga negara, dan banyak kerajaan-kerajaan kecil yang bergabung, mendukung Nizam Muluk.

Setelah seorang pemimpin memiliki worldview Islam yang kokoh, mengetahui hakikat kekuasaan, maka hal yang juga penting adalah, menghindari sifat takabbur. Karena, menurut al-Ghazali, biasanya setiap pejabat pasti dicoba dengan rasa takabbur. Takabbur seorang pemimping adalah penyakit hati yang sangat berbahaya, karena akan mendorong pada perbuatan saling bermusuhan yang tentu menarik pada pertumpahan darah (Al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al-Muluk, hal. 8).

Seorang raja haruslah rela berdekatan dengan rakyat kecil, melepas baju kesombongan. Begitu pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat kecil, al-Ghazali bahkan berfatwa bahwa mendatangi rakyat untuk memberi sesuap kebutuhannya adalah lebih baik daripada menyibukkan diri beribadah sunnah. Mereka, rakyat kecil, adalah lemah, maka harus deperlakukan dengan lembut dan penuh kasih. Ia juga mengingatkan Sultan agar jangan sekali-kali menerima suap dari rakyatnya dengan meninggalkan syariat.

Mengenai pemimpin ideal, Imam al-Ghazali berpendapat, bahwa pemimpin harus memiliki syarat, diantaranya: mampu berbuat adil di antara masyarakat (tidak nepotis), melindungi rakyat dari kerusakan dan kriminalitas, dan tidak dzalim (tirani). Selain itu, seorang pemimpin harus memiliki integritas, penguasaan dalam bidang ilmu negara dan agama, agar dalam dalam menentukan kebijakan ia bisa berijtihad dengan benar, sehat panca inderanya (mata, pendengaran, lisan tidak terganggu yang dapat menghalangi ia menjalankan tugas), keempat, anggota badannya normal tidak cacat yang dapat mengganggu tugas, pemberani memiliki keahlian siasat perang, dan kemampuan intelektual untuk mengatur kemaslahatan rakyat.

Ada dua hal penting yang ditekankan oleh Imam al-Ghazali dalam nasihat-nasihatnya, yaitu penguatan akidah dan adab. Dua hal ini tampaknya bagi al-Ghazali merupakan faktor utama menjadi hamba Allah Swt yang sejati. Dengan istilah lain basicfaith yang ingin dikokohkan kepada para pejabat negara adalah merupakan pandangan dasar tentang iman. Karena asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dengan begitu aktifitasnya itu dapat direduksi kedalam pandangan hidup. Maka seorang khalifah yang memiliki pandangan hidup Islam yang kokoh, maka semua kebijakannya tak terlepas dari pola fikir Islam.

Sedangkan adab menjadi penting karena manusia yang beradab (Insan adabi) adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Maha Benar, yang memahami dan menunaikan keadilah terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan manusia. Pemikiran tersebut lahir dikarenakan tantangan besar yang dihadapai imam al-Ghazali pada masa itu. Tantangan perang pemikiran dan degradasi moral. Maka perbaikannya pun dengan menawarkan konsep adab dan menjawab tantangan pemikiran Syi’ah Batiniyah.

Kesimpulannya, Imam al-Ghazali — dalam teori kenegaraannya — mengutamakan perpaduan moral dengan kekuasaan. Negara dan pemerintahan dipimpin oleh manusia biasa, akan tetapi harus memiliki moral yang baik. Demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara universal, kebahagian dunia dan akhirat. Maka ia memandang, agama dan negara tidak bisa dipisahkan; agama adalah pondasi, sedangkan pemerintahan adalah penjaga. Wallahu a’lam.

1 komentar:

  1. Penuturannya masih bercampur antara Al Ghazali yang sedang "LUPA dan Kebablasan" dan Al Ghazali yang "sadar".
    Bagi yang awam, tulisan ini membingungkan. Yang mana yang bisa dipercaya dan bisa jadi rujukan cara berpikir benar menurut Al Qur'an dan Hadits yang sahih.... Wallahu'alam

    BalasHapus