Senin, 02 Juli 2012

MENGHINDARI KEMATIAN HATI

Allah memberikan ganjaran yang sebesar-besarnya dan derajat yang setinggi-tingginya dalam setiap ujian yang ada di dunia ini. Ada warna sedih – senang, menangis dan tertawa adalah surat cinta dari-Nya. Saat berada dalam kesedihan maka bersyukurlah bahwa Allah masih mencintai kita dan ingin dekat dengan kita, dan saat senang maka bersabarlah untuk mampu menahan diri dari ‘terlalu cintanya’ kita pada dunia. Dan kita harus sungguh-sungguh dalam dakwah ini. Dakwah tidak akan berjalan dengan ‘azam yang lemah, perjuangan ini tidak akan berjalan dengan ketidaksungguhan kita dalam menyikapi hidup ini.

Di antara sekian jenis kemiskinan yang paling memprihatinkan adalah kemiskinan keyakinan dan ‘azam, bukan kemiskinan harta. ‘Azam yang kuat akan membuat kita memiliki derajat yang tinggi di hadapan Allah. Tidak mungkin seseorang mampu keluar dari kejahiliyahan tanpa ‘azam yang kuat, tekad dan kemauan untuk berubah lebih baik.
Dakwah ini akan berkembang dengan orang-orang yang memiliki militansi. Semangat juang yang tak pernah pudar, ajaran yang mereka bawa lebih panjang dari usia mereka. Ilmu yang mereka bawa akan semakin panjang manfaatnya.
Kita harus bergerak bersama untuk menghidupkan dakwah ini, mulai dari diri kita sendiri. Bangkitlah demi untuk merubah diri dan semua yang ada di dunia ini sesuai keinginan-Nya. Setelah ber-‘azam maka Allah saja yang akan mengurus, memudahkan dan menjamin semuanya. Kita perlu limpahan kesabaran, keikhlasan dan pengorbanan untuk menjalankan dakwah ini karena Allah.
Pekerjaan rutin dakwah bisa menyeret kita ke dalam sebuah kubangan “kemegahan” yang kita bangun bersama cita-cita dan harapan. Bergerak, membuat kita selalu berada dalam kesadaran, namun juga bisa memasuki zona nyaman yang membahayakan. Ketika pergerakan itu sendiri sudah menjadi rutinitas yang mematikan hati, karena terlampau sibuk mengurus “bagaimana agar selalu bergerak”, dan melupakan hakikat serta falsafah dasar perjuangan.
Berada dalam lingkungan orang-orang shalih memang menyejukkan, namun kadang memberikan perasaan nyaman berlebihan. Merasa selalu terjaga, padahal keterjagaan adalah buah dari kesadaran aktif yang harus selalu dibangun dan diusahakan setiap saat. Namun pada titik aktivis dakwah mulai berinteraksi dengan segala jenis kalangan manusia, yang diperlukan adalah usaha yang lebih untuk terus memiliki kesadaran aktif akan tujuan besar yang hendak diraih bersama dakwah. Bukan tujuan praktis dan pragmatis, bukan kepentingan pribadi, bukan soal gengsi dan harga diri orang per orang.
Izinkan saya mengingatkan kita semua, dengan nasihat dan tausiyah ustadz Rahmat Abdullah, Allahyarham, tentang kematian hati. Tausiyah beliau ini sangat relevan untuk selalu kita ingat dan kita renungkan dalam perjalanan dakwah kita pada hari-hari ini. Rehat sejenak saja, membaca ulang tausiyah yang menyejukkan, untuk menguatkan langkah dan menambah kehati-hatian bergerak bersama mesin dakwah.
Berikut tausiyah ustadz Rahmat Abdullah.
Kematian Hati
Banyak orang tertawa tanpa (mau) menyadari sang maut sedang mengintainya. Banyak orang cepat datang ke shaf shalat laiknya orang yang amat merindukan kekasih. Sayang ternyata ia datang tergesa-gesa hanya agar dapat segera pergi. Seperti penagih utang yang kejam ia perlakukan Tuhannya.
Ada yang datang sekadar memenuhi tugas rutin mesin agama. Dingin, kering dan hampa, tanpa penghayatan. Hilang tak dicari, ada tak disyukuri. Dari jahil engkau disuruh berilmu dan tak ada izin untuk berhenti hanya pada ilmu. Engkau dituntut beramal dengan ilmu yang Allah berikan. Tanpa itu alangkah besar kemurkaan Allah atasmu.
Tersanjungkah engkau yang pandai bercakap tentang keheningan senyap ditingkah rintih istighfar, kecupak air wudhu di dingin malam, lapar perut karena shiyam atau kedalaman munajat dalam rakaat-rakaat panjang.
Tersanjungkah engkau dengan licin lidahmu bertutur, sementara dalam hatimu tak ada apa-apa. Kau kunyah mitos pemberian masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati jernih, bahwa engkau adalah seorang saleh, alim, abid lagi mujahid, lalu puas meyakini itu tanpa rasa ngeri. Asshiddiq Abu Bakar Ra selalu gemetar saat dipuji orang. “Ya Allah, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka, janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah daku lantaran ketidaktahuan mereka”, ucapnya lirih.
Ada orang bekerja keras dengan mengorbankan begitu banyak harta dan dana, lalu ia lupakan semua itu dan tak pernah mengenangnya lagi. Ada orang beramal besar dan selalu mengingat-ingatnya, bahkan sebagian menyebut-nyebutnya. Ada orang beramal sedikit dan mengklaim amalnya sangat banyak. Dan ada orang yang sama sekali tak pernah beramal, lalu merasa banyak amal dan menyalahkan orang yang beramal, karena kekurangan atau ketidak-sesuaian amal mereka dengan lamunan pribadinya, atau tidak mau kalah dan tertinggal di belakang para pejuang.
Mereka telah menukar kerja dengan kata. Dimana kau letakkan dirimu?
Saat kecil, engkau begitu takut gelap, suara dan segala yang asing. Begitu kerap engkau bergetar dan takut. Sesudah pengalaman dan ilmu makin bertambah, engkau pun berani tampil di depan seorang kaisar tanpa rasa gentar. Semua sudah jadi biasa, tanpa rasa.
Telah berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga getarannya tak terasa lagi saat maksiat menggodamu dan engkau menikmatinya? Malam-malam berharga berlalu tanpa satu rakaat pun kau kerjakan. Usia berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. Rasa malu kepada Allah, dimana kau kubur dia?
Teringat kita akan cerita dari seorang sahabat yang sangat mencintai Allah dan Rasulullah, hingga di setiap peperangan selalu ada beliau di samping Rasulullah. Apakah yang terjadi pada seorang Ka’ab bin Malik? Ya, ia tidak berangkat ke Tabuk.
“Aku sama sekali tidak pernah absen mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah saw, kecuali dalam perang Tabuk. Ketidakikutsertaanku dalam perang Tabuk itu karena diriku dilalaikan oleh perhiasan dunia. Ketika itu keadaan ekonomiku jauh lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Demi Allah, aku tidak pernah memiliki barang dagangan lebih dari dua muatan onta, akan tetapi pada waktu peperangan itu aku memilikinya”.
Masya Allah. Demikian lugas pengakuan Ka’ab, “Ketidakikutsertaanku dalam perang Tabuk itu karena diriku dilalaikan oleh perhiasan dunia”.
Ternyata bukan hanya “orang awam” yang bisa dilalaikan oleh perhiasan dunia. Seorang mujahid, sahabat Nabi, terlahir menjadi generasi terbaik sepanjang sejarah kemanusiaan, tetap bisa terlalaikan oleh perhiasan dunia. Kurang apa Ka’ab. Tidak pernah absen dalam seluruh peperangan, benar-benar mujahid setia.
“Demi Allah, aku tidak pernah memiliki barang dagangan lebih dari dua muatan onta, akan tetapi pada waktu peperangan itu, aku memilikinya”.
Artinya, bukan soal fasilitas yang menyebabkan Ka’ab tidak berangkat ke Tabuk.
Di zaman kita sekarang, Tabuk itu tidaklah jauh. Sesungguhnya Tabuk kita lebih simpel dibandingkan di zaman Ka’ab. Namun “ketidakberangkatan” tetap saja terjadi. Coba ukur, seberapa jauh Tabukmu?
Ada kader yang merasakan kesulitan ekonomi, yang menyebabkannya memiliki banyak keterbatasan dalam mengikuti kegiatan dakwah. Ia mengatakan, “Andai aku punya motor, tentu akan lebih banyak kegiatan dakwah yang bisa aku lakukan”. Ketika punya motor ternyata ia masih merasa banyak keterbatasan. “Andai aku punya mobil, tentu aktivitasku menjadi lebih leluasa”. Saat memiliki mobil, tetap saja banyak alasan. “Andai mobilku bagus, pasti tidak ada lagi kendala berkegiatan”.
Saat mobilnya sudah bagus, ternyata tetap saja ia tidak tergerak untuk aktif berdakwah. Apa yang terjadi padanya? Padahal sekian banyak mujahid dakwah berjalan kaki melakukan kegiatan, dan berlelah-lelah di tengah keterbatasan sarana serta fasilitas. Dakwah tetap berjalan tanpa tergantung kepada ketersediaan dan kelengkapan fasilitas.
Mengapa ada yang tetap tidak berangkat?
Panas, Jauh, Lelah….
“Peperangan ini Rasulullah saw lakukan dalam kondisi panas terik matahari gurun yang sangat menyengat, menempuh perjalanan nan teramat jauh, serta menghadapi lawan yang benar-benar besar dan tangguh… Rasulullah saw mempersiapkan pasukan yang akan berangkat. Aku pun mempersiapkan diri untuk ikut serta, tiba-tiba timbul pikiran ingin membatalkannya, lalu aku berkata dalam hati: Aku bisa melakukannya kalau aku mau!”
Bukan panas musim kemarau seperti yang sering kita alami di Indonesia, namun panas terik matahari gurun yang sangat menyengat. Sangat panas, harus menempuh perjalanan yang jauh, dan “hanya” untuk berperang. Bukan untuk rekreasi, bukan untuk wisata kuliner, bukan untuk menginap di hotel berbintang, bukan untuk tamasya dengan keluarga. Sangat panas, sangat jauh, naik kuda atau unta, tentu akan sangat lelah, dan di sana telah menunggu musuh yang sangat tangguh.
Tabuk di zaman Ka’ab sungguh jauh. Tidak ada pesawat terbang, tidak ada mobil ber-AC, tidak ada sarana yang memadai untuk menempuh jarak yang sedemikian panjang dan cuaca yang sangat panas terik.
Di zaman kita sekarang, Tabuk itu tidaklah jauh, tidak panas terik. Ada pesawat terbang, ada kereta api eksekutif, ada bus eksekutif, ada taksi, ada travel, ada mobil ber-AC, ada motor, ada sepeda. Tabuk kita bahkan tidak panas, namun “ketidakberangkatan” tetap saja terjadi. Sebenarnya, seberapa jauhkah Tabukmu?
Awalnya kita merasa “Aku bisa melakukannya kalau aku mau!” Ah, tapi apa yang aku dapat kalau berangkat?
Mengaji, di tempat para murabbi bahkan kita disuguhi. Rapat, di tempat pertemuan tersedia banyak jajanan. Berbagai agenda dakwah, seperti tatsqif, mabit, daurah, bahkan mukhayam, semua full fasilitas. Apa yang menghalangi untuk datang ke berbagai agenda dakwah tersebut? Apa yang menjadi alasan ketidakberangkatan?
Apa sebenarnya perang kita? Apa yang ada di Tabuk kita?
Dikuasai Kemalasan
“Akhirnya aku terbawa oleh pikiranku yang ragu-ragu, hingga para pasukan kaum muslimin mulai bergerak meninggalkan Madinah. Saat aku lihat pasukan kaum muslimin mulai meninggalkan Madinah, timbul pikiranku untuk mengejar mereka, toh mereka belum jauh. Namun, aku tidak melakukannya, kemalasan menghampiri dan bahkan menguasai diriku…”
Di zaman kita, ada kader yang melihat kader lain yang sangat aktif dan dinamis dengan berbagai agenda dakwah, sempat terpikir “Aku masih bisa mengejar mereka”. Ya, aku akan menyusul mereka. Tapi mengapa tidak engkau lakukan? Mengapa tidak engkau susul mereka? Mengapa engkau tetap tidak berangkat? Apa alasan ketidakberangkatanmu?
“Kemalasan menghampiri dan bahkan menguasai diriku……”
Padahal kita tidak bertemu panas terik gurun pasir. Kita tidak bertemu jarak yang demikian jauh untuk ditempuh dengan kaki. Yang kita temui adalah sarana dan fasilitas yang lengkap. Acara dari hotel ke hotel. Kegiatan dari rumah ke rumah. Rapat dari ruang ke ruang. Koordinasi dari gedung ke gedung. Semua nyaman, semua menyenangkan, semua sejuk, semua penuh dengan suguhan.
Mengapa tetap terjadi ketidakberangkatan? Apa alasanmu? Mengapa kita semakin lemah, cengeng dan penakut hanya karena duniawi? Lebih nyamankah hati ini bersama dunia atau bersama Sang Pemilik dunia?
Sebelum semua terlambat, sebelum undangan dan para malaikat-Nya menjemput kita. Berubahlah mulai saat ini, dari diri sendiri dan dari hal yang paling kecilpun kita mampu melakukannya dengan baik. Maka Allah akan ridha, bukan hanya hasil yang Allah nilai tapi juga proses kita berubah itu adalah perjuangan dan pengorbanan yang besar. Paksakan diri ini untuk mampu kembali mengingat Allah dalam sepi dan keramaian, agar kita mampu diselamatkan di dunia dan di akhirat. Fastabiqhul khoirot…Allah ingin dekat dengan kita saudaraku…

Kematian dan Kehidupan Abadi

Keyakinan orang beriman akan adanya kehidupan sesudah kematian menyebabkan dirinya selalu berada dalam mode standby menghadapi kematian. Ia memandang kematian sebagai suatu keniscayaan. Tidak seperti orang kafir yang selalu saja berusaha untuk menghindari kematian. Orang beriman sangat dipengaruhi oleh pesan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam yang bersabda:

“Banyak-banyaklah mengingat penghapus kenikmatan, yakni kematian.” (HR Tirmidzi 2229)

Sedangkan sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu pernah berkata: “Bila manusia meninggal dunia, maka pada saat itulah ia bangun dari tidurnya.” Subhanallah...! Berarti beliau ingin mengatakan bahwa manusia yang menemui ajalnya adalah manusia yang justru baru mulai menjalani kehidupan sebenarnya, sedangkan kita yang masih hidup di dunia ini justru masih ”belum bangun”. Sungguh, ucapan ini sangat sejalan dengan firman Allah ta’aala:

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui” (QS Al-Ankabut 64)

Pantas bilamana Ali radhiyallahu ’anhu pula yang berkata: “Dunia pergi menjauh dan akhirat datang mendekat. Karena itu, jadilah kalian anak-anak akhirat, jangan menjadi budak-budak dunia. Sekarang waktunya beramal, dan tidak ada penghisaban. Sedangkan besok waktunya penghisaban, tidak ada amal.”

Bagaimanakah kematian orang beriman? Dalam sebuah hadits Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda:

“Orang beriman meninggal dengan kening penuh keringat.” (HR Ahmad 21886)

Penulis produktif Aidh Al-Qarni menulis: ”Saya menyeru setiap orang tua agar mengingat kematian. Sadar bahwa dirinya sudah mendekat maut serta tidak mungkin bisa lari darinya. Jadi, siapkan diri untuk menemui Allah. Karena itu, sudah sepantasnya ia menjauhi akhir kehidupan yang jelek dan memperbanyak amal kebaikan sehingga dapat berjumpa dengan Allah ta’aala dalam keadaan diridhai.”

Ambillah keteladanan dari kematian Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu. Ia ditikam oleh Abu Lu’luah saat sedang mengimami sholat subuh. Umarpun jatuh tersungkur bersimbah darah. Dalam keadaan seperti itu ia tidak ingat isteri, anak, harta, keluarga, sanak saudara atau kekuasaannya. Yang ia ingat hanyalah ”Laa ilaha illallah Muhammad rasulullah, hasbiyallah wa ni’mal wakil.” Setelah itu ia bertanya kepada sahabatnya:
  • ”Siapakah yang telah menikamku?”
  • ”Kau ditikam oleh Abu Lu’luah Al-Majusi.”
Umar radhiyallahu ’anhu lalu berkata: ”Segala puji bagi Allah ta’aala yang membuatku terbunuh di tangan orang yang tidak pernah bersujud kepada-Nya walau hanya sekali.” Umar-pun mati syahid.

Ketika Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam menghadapi sakaratul maut beliau mengambil secarik kain dan menaruhnya di wajah beliau karena parahnya kondisi yang beliau hadapi. Lalu beliau berdoa:

“Laa ilaha illallah… Laa ilaha illallah… Laa ilaha illalla. Sungguh kematian itu sangat pedih. Ya Allah, bantulah aku menghadapi sakratul maut. Ya Allah, ringankanlah sakratul maut itu buatku.” (HR Bukhary-Muslim)
Aisyah radhiyallahu ’anha menuturkan: “Demi Allah, beliau mencelupkan kain itu ke air lalu meletakkannya di atas wajah beliau seraya berdoa:

”Ya Allah, bantulah aku menghadapi sakratul maut.”

Saudaraku, marilah kita mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian yang bisa datang kapan saja. Kematian yang sungguh mengandung kepedihan bagi setiap manusia yang mengalaminya. Hingga kekasih Allah ta’aala saja, yakni Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam berdoa agar Allah ta’aala ringankan bagi dirinya sakaratul maut. Tidak ada seorangpun yang tidak bakal merasakan kepedihan sakratul maut.

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS Ali Imran 185)

Marilah saudaraku, kita mempersiapkan diri menghadapi kematian dengan segera bertaubat memohon ampunan dan rahmat Allah ta’aala sebelum terlambat. Sebab begitulah kematian orang kafir. Suatu bentuk kematian yang diwarnai penyesalan yang sungguh terlambat.

“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada barzakh (dinding) sampai hari mereka dibangkitkan.” (QS Al-Mu’minun 99-100)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar