Senin, 06 Juni 2011

MUSIBAH KARENA MAKSIAT DAN DOSA

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30)

‘Ali bin Abi Tholib –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,

مَا نُزِّلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ

“Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)
Perkataan ‘Ali –radhiyallahu ‘anhu- di sini selaras dengan firman Allah Ta’ala,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30)

Para ulama salaf pun mengatakan yang serupa dengan perkataan di atas.

Ibnu Qoyyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan,“Di antara akibat dari berbuat dosa adalah menghilangkan nikmat dan akibat dosa adalah mendatangkan bencana (musibah). Oleh karena itu, hilangnya suatu nikmat dari seorang hamba adalah karena dosa. Begitu pula datangnya berbagai musibah juga disebabkan oleh dosa.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)

Ibnu Rojab Al Hambali –rahimahullah- mengatakan, “Tidaklah disandarkan suatu kejelekan (kerusakan) melainkan pada dosa karena semua musibah, itu semua disebabkan karena dosa.” (Latho’if Ma’arif, hal. 75)

Saatnya Merubah Diri

Oleh karena itu, sudah sepatutnya setiap hamba merenungkan hal ini. Ketahuilah bahwa setiap musibah yang menimpa kita dan datang menghampiri negeri ini, itu semua disebabkan karena dosa dan maksiat yang kita perbuat. Betapa banyak kesyirikan merajalela di mana-mana, dengan bentuk tradisi ngalap berkah, memajang jimat untuk memperlancar bisnis dan karir, mendatangi kubur para wali untuk dijadikan perantara dalam berdoa. Juga kaum muslimin tidak bisa lepas dari tradisi yang membudaya yang berbau agama, namun sebenarnya tidak ada tuntunan sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masih banyak yang enggan meninggalkan tradisi perayaan kematian pada hari ke-7, 40, dst. Juga masih gemar dengan shalawatan yang berbau syirik semacam shalawat nariyah. 

Juga begitu banyak kaum muslimin gemar melakukan dosa besar. Kita dapat melihat bahwa masih banyak di sekitar kita yang shalatnya bolog-bolong. Padahal para ulama telah sepakat –sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qoyyim- bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa besar yang lebih besar dari dosa besar yang lainnya yaitu lebih besar dari dosa berzina, berjudi dan minum minuman keras. Na’udzu billah min dzalik. Begitu juga perzinaan dan perselingkuhan semakin merajalela di akhir-akhir zaman ini. Itulah berbagai dosa dan maksiat yang seringkali diterjang. Itu semua mengakibatkan berbagai nikmat lenyap dan musibah tidak kunjung hilang.

Agar berbagai nikmat tidak lenyap, agar terlepas dari berbagai bencana dan musibah yang tidak kunjung hilang, hendaklah setiap hamba memperbanyak taubat yang nashuh (yang sesungguhnya). Karena dengan beralih kepada ketaatan dan amal sholeh, musibah tersebut akan hilang dan berbagai nikmat pun akan datang menghampiri.
Allah Ta’ala berfirman,

ذَلِكَ بِأَنَّ اللّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمْ وَأَنَّ اللّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu ni'mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri , dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Anfaal: 53)
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ro’du: 11)

MUSIBAH DATANG KARENA MAKSIAT & DOSA

Oleh karena itu, sudah sepatutnya setiap hamba merenungkan hal ini. Ketahuilah bahwa setiap musibah yang menimpa kita dan datang menghampiri negeri ini, itu semua disebabkan karena dosa dan maksiat yang kita perbuat.

Betapa banyak kesyirikan merajalela di mana-mana, dengan bentuk tradisi ngalap berkah, memajang jimat untuk memperlancar bisnis dan karir, mendatangi kubur para wali untuk dijadikan perantara dalam berdoa.

Ibnul Qayyim rahimahullah yang ma’ruf dengan kalimat-kalimat penyejuk hati berkata,

“Di antara akibat dari berbuat maksiat adalah hilangnya nikmat dan datangnya bencana.Tidaklah suatu nikmat itu hilang melainkan karena dosa, begitu pula halnya suatu bencana datang juga karena dosa.“

Dan mengangkat musibah tersebut hanyalah dengan taubat. Sebagaimana kata ‘Ali bin Abi Tholib,

مَا نُزِّلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ

“Tidaklah musibah itu turun melainkan karena dosa. Musibah itu bisa terangkat hanyalah dengan taubat.” (Ad Daa’ wad Dawaa’, 113)

Perkataan ‘Ali –radhiyallahu ‘anhu- di sini selaras dengan firman Allah Ta’ala,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30)

Para ulama salaf pun mengatakan yang serupa dengan perkataan di atas. Ibnu Rojab Al Hambali –rahimahullah- mengatakan,

“Tidaklah disandarkan suatu kejelekan (kerusakan) melainkan pada dosa karena semua musibah, itu semua disebabkan karena dosa” (Latho’if Ma’arif, hal. 75)

Saatnya Kita Merubah Diri

Juga kaum muslimin tidak bisa lepas dari tradisi yang membudaya yang berbau agama, namun sebenarnya tidak ada tuntunan sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya setiap hamba merenungkan hal ini. Ketahuilah bahwa setiap musibah yang menimpa kita dan datang menghampiri negeri ini, itu semua disebabkan karena dosa dan maksiat yang kita perbuat.
Betapa banyak kesyirikan merajalela di mana-mana, dengan bentuk tradisi ngalap berkah, memajang jimat untuk memperlancar bisnis dan karir, mendatangi kubur para wali untuk dijadikan perantara dalam berdoa.

Juga kaum muslimin tidak bisa lepas dari tradisi yang membudaya yang berbau agama, namun sebenarnya tidak ada tuntunan sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Masih banyak yang enggan meninggalkan tradisi perayaan kematian pada hari ke-7, 40, dst. Juga masih gemar dengan shalawatan yang berbau syirik semacam shalawat nariyah.
Juga begitu banyak kaum muslimin gemar melakukan dosa besar. Kita dapat melihat bahwa masih banyak di sekitar kita yang shalatnya bolong-bolong.

Padahal para ulama telah sepakat – sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qoyyim- bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa besar yang lebih besar dari dosa besar yang lainnya yaitu lebih besar dari dosa berzina, berjudi dan minum minuman keras.

Na’udzu billah min dzalik. Begitu juga perzinaan dan perselingkuhan semakin merajalela di akhir-akhir zaman ini. Itulah berbagai dosa dan maksiat yang seringkali diterjang. Itu semua mengakibatkan berbagai nikmat lenyap dan musibah tidak kunjung hilang.

Agar berbagai nikmat tidak lenyap, agar terlepas dari berbagai bencana dan musibah yang tidak kunjung hilang, hendaklah setiap hamba memperbanyak taubat yang nashuha. Karena dengan beralih kepada ketaatan dan amal sholeh, musibah tersebut akan hilang dan berbagai nikmat pun akan datang menghampiri.

Allah Ta’ala berfirman,

ذَلِكَ بِأَنَّ اللّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمْ وَأَنَّ اللّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu ni’mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri , dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Anfaal: 53)

إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ro’du: 11)


Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmus sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.


Betapa banyak dan besar nikmat yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada kita. Oleh karena itu, sepantasnyalah kita mensyukuri hal itu. Namun ada kalanya manusia lupa setelah dianugerahi nikmat-nikmat tersebut lalu menjadi kufur.
Bila demikian halnya, dapatkah nikmat tersebut berubah menjadi adzab dan bencana?
  1. Kapan dan bagaimana?
  2. Mengapa para pelaku dosa dan maksiat, khususnya orang-orang kafir hidup dalam kesenangan seakan seisi dunia dan segala jenis kebaikan tumpah ruah untuk mereka?
  3. Lalu bagaimana nikmat bisa hilang dari genggaman seorang mukmin?
  4. Bila ditanyakan, ‘Dapatkah nikmat berubah menjadi adzab dan bencana?’ 
Maka jawabannya secara pasti, ‘Ya.!’

Sedangkan kapan dan bagaimana? Maka hal itu dapat terjadi bila kita tidak pernah bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh karena itu, diantara doa yang telah diajarkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah :
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya nikmat , dari adzab yang datang tiba-tiba, berubahnya keselamatan yang diberikan oleh-Mu dan dari semua kemurkaan-Mu.” (HR. Muslim)

Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
‘Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kesenangan berupa nikmat kepada siapa saja yang Dia kehendaki; bila mereka tidak bersyukur, maka Dia akan membalikkannya menjadi adzab.”

Abu Hazim rahimahullah berkata,

‘Setiap nikmat yang tidak dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ia adalah bencana.”

Nikmat akan abadi bila disertai dengan rasa syukur dan ketaatan, dan ia akan hilang karena perbuatan-perbuatan maksiat, keji, dan pembangkangan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkat
,
‘Kaitkanlah nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ungkapan rasa syukur kepada-Nya.’

Syubhat Pelaku Dosa dan Maksiat

Terkadang ada orang yang berkata, ‘Mengapa kita selalu melihat orang-orang fasiq yang bergemilang dosa dan maksiat dilimpahkan kepada mereka kesenangan dunia dan seisinya, kebaikan mengalir deras kepada mereka?

Untuk menjawab pertanyaan seperti ini, mari kita simak penjelasan Syayyidusy-syakirin dan Imamush-shobirin Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
‘Bila kamu melihat Allah memberikan kepada seorang hamba dunia dan apa yang ia sukai, padahal ia melakukan berbagai perbuatan maksiat, maka itu hanyalah ‘istidraj’ dari-Nya.’ (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Ketika mengomentari firman Allah :

“Maka serahkanlah (wahai Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al-Qur’an). Nanti kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.” (QS. Al-Qolam : 44)

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, ‘Yakni melimpahkan beragam nikmat kepada mereka dan menghalangi mereka untuk bersyukur.’

Demikian juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Dan begitulah adzab Rabbmu, apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya adzab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras.” (QS. Hud : 102)

Allah Subhanahu wa Ta’ala memperdaya orang yang membangkang dan berpaling, mengulur-ulur waktu baginya, akan tetapi Dia tidak pernah melalaikannya!!

Jadi nikmat dapat berubah menjadi adzab dan bencana, kemenangan berubah menjadi kekalahan, dan kegembiraan berubah menjadi kesedihan bila kita tidak bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya.

Bagaimana Nikmat Dapat Hilang?

Nikmat hilang karena beberapa hal

Pertama,

Perbuatan maksiat dan dosa, membalas nikmat dengan hal yang membuat Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi murka. Bila mendapat nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala maka jagalah, sebab perbuatan maksiat dapat menghilangkan nikmat.

Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menegaskan hal itu, diantaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Telah Nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum : 41)

“Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka itu adalah karena (kesalahan) dirimu sendiri” (QS. An-Nisa : 79)

Apakah termasuk bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat ilmu misalnya, jika menyembunyikannya, tidak mengajarkannya kepada orang lain dan tidak mengamalkannya?

Apakah termasuk bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat kesehatan, mengerahkan segenap tenaga dan upaya dalam hal-hal yang diharamkan?

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Pergunakanlah lima perkara sebelum datang lima perkara; hidupmu sebelum matimu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa luangmu sebelum masa sibukmu, masa mudamu sebelum masa tuamu.’ (HR. Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Kedua,

Bila seseorang menisbatkan nikmat tersebut kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, Sang Pemberi nikmat. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Qarun. Ketika ia menisbatkan nikmat kepada dirinya dan ilmunya melalui firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” (QS. Al-Qashash : 76)

Lalu apa akibatnya? .. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam ayat-ayat selanjutnya :

“Maka Kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya dari adzab Allah, dan tidaklah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” (QS. Al-Qashash : 81)

Tidak boleh menisbatkan nikmat kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah bahwa itu termasuk kepada kekufuran dan juhud (ingkar) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firmannya :

“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkari nya.” (QS. An-Nahl : 83)

Contoh lain dari ucapan yang tidak mencerminkan kesyukuran adalah ucapan orang-orang awam, ‘Andaikata bukan karena si fulan, pastilah tidak terjadi seperti ini.’

‘Kalau bukan karena kekuatan dan pembekalan kita, pastilah begini dan begitu.’ ‘Kita meraih kemenangan sebab pasukan kita kuat dan terlatih,’ dan ucapan semisalnya.” (Taisir Al-Aziz Al-Hamid, 583-585)

Dalam hal ini, tidak apa-apa, bahkan selayaknya berterimakasih kepada orang yang telah berbuat baik kepada kita atau menjadi sebab kita mendapatkan nikmat atau terhindar dari bencana dengan mengatakan kepadanya, ‘Jazakallah khairan.’

Jika ia seorang muslim, kita berdoa untuknya dan berbuat baik kepadanya serta berterimakasih kepadanya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,

‘Tidaklah bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterimakasih kepada manusia’ (Shahih Al-Jami’, 7719)

Ketiga,

Bila seorang hamba ditimpa sifat ghurur (percaya diri yang berlebihan) atau sombong dan congkak terhadap makhluk lain karena memiliki harta yang banyak, properti, ilmu, kedudukan dan sebagainya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. Yang mengumpulkan harta lagi menghitung-hitung. Ia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.” (QS. Al-Humazah : 1-3)

Keempat,

Bila seseorang tidak pernah memenuhi hak Allah Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat tersebut.

Bila kita memiliki ilmu, maka kita harus mengajarkannya; jika kita memiliki harta, maka kita harus menginfakkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” (QS. Al-Ma’arij : 24-25)

Oleh karena itu, seperti di dalam kitab Ash-shahih, dua malaikat berdoa setiap harinya dengan doa, ‘Ya Allah, berikanlah kepada orang yang berinfak pengganti, dan berikanlah kepada orang kikir kehancuran.’ (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Bila diberi kesehatan dan ‘afiat (keselamatan/keamanan), maka kita harus memanfaatkannya untuk berdakwah dan berjihad. Demikian seterusnya, kita mengekspresikan rasa syukur pada setiap anggota badan kita sesuai dengan kemampuan.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmus sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar