Meniti Perjalanan Ruhani Menuju Allah
Allah SWT berfirman:
Allah SWT berfirman:
- ”Yaa ayyuhal insaanu innaka kaadihun ilaa Robbika kad-han fa mulaaqiih ... Hai manusia, sesungguhnya kamu harus bekerja dengan sungguh-sungguh (berusaha setekun-tekunnya) untuk dapat menemui Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS Al Insyiqaaq 84:6).
- ”Man kaana yarjuu liqoo-Allaahi fa inna ajalallaahi la aatiw wa huwas samii’ul ’aliim ... Barangsiapa yang mengharap ingin menemui Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah pasti sampai (tiba), dan Dia Maha Mendengar (do’a pengharapan hamba-Nya) dan Maha Mengetahui (tekad dan kesungguhan usaha hamba-Nya).”(QS-Al-’Ankabuut-29:5).
- ”La qad kaana lakum fii rasuulillaahi uswatun hasanatul li man kaana yarjullaaha wal yaumal aakhira wa dzakaral-laaha katsiiraa ... Sesungguhnya Rasul Allah itu menjadi ikutan (contoh teladan) untuk kamu dan (juga) untuk orang yang mengharapkan menemui Allah dan hari kemudian dan yang (ingin) mengingat Allah sebanyak-banyaknya.”(QS-Al-Ahzaab-33:21).
- Ya ayyuhal ladziina aamanut taqullaaha wab taghuu ilaihil washilata wa jaahiduu fi sabiilihii la’allakum tuflihuun ... Hai orang-orang yang percaya, patuhlah kepada Allah, dan carilah Al-Washilah (Nuurun ala Nuurin, Nuur Ilahi / 'Tali Allah' yang menyampaikan dan mendekatkan diri) kepada-Nya dan berjihadlah (sungguh-sungguhlah berjuang / berusaha) pada jalan (metodologi) menuju Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan (kemenangan / keselamatan / kebahagiaan hakiki).” (QS Al-Maa’idah-5:35).
- “Alaa innahum fii miryatim mil liqoo-i Robbihim alaa innahuu bi kulli syai’im muhiith ... Ketahuilah, bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam ragu-ragu tentang menemui Tuhan mereka. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.” (QS Fushshilat-41:54)
- “Maa qadarullaaha haqqa qadrihi innallaaha la qawiyyun ’aziiz ... Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS Al-Hajj 22:74).
- Man-yahdillaahu fahuwal muhtadi wa man yudhlil falan tajida lahuu Waliyyam-Mursyidaa ....... Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah orang yang mendapat petunjuk dan siapa yang dibiarkan-Nya sesat (karena mengikuti hawa nafsu), maka orang itu tidak akan mendapatkan satu orang Waliy-Mursyid pun yang akan memimpin / membimbingnya (pada jalan Allah, jalan kebenaran). (QS Al-Kahfi 18:17).
- "wa may yudhlilillaahu fa maa lahuu min haad ... dan barangsiapa yang disesatkan Allah (karena mengikuti hawa nafsu), maka tidak ada baginya satu orang Pemberi Petunjuk pun yang akan menunjukinya (pada jalan Allah, jalan kebenaran)." (QS Ar-Ra'd 13: 33).
Nabi Besar Muhammad SAW bersabda:
"Asy-Syari'atu aq-qawli, wath-thoriqotu af'ali, wal-haqiqatu ahwali, wal-ma'rifatu sirri ... Syari'at (syari'at lahir/fiqih dan syari'at batin/tasawuf) itu adalah perkataanku (ajaran Ad-Diin Al-Islam yang dibawakan Beliau SAW), Tarikat (methodologi pengamalan syari'at lahir dan syari'at batin, referansi: QS Al-Maa'idah 5: 35) itu adalah amal-perbuatanku, Hakikat (buah pelaksanaan Tarikat, referansi: QS Al-Jin 72: 16) itu adalah pembuktian pengalaman ruhani / spiritualku , dan Ma'rifat itu adalah rahasiaku (Ilmu Laduni, Ilmu dari sisi Allah SWT, referansi: QS Al-Kahfi 18: 65)." (HR Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan Firman Allah SWT dan Sabda Nabi Besar Muhammad SAW tersebut di atas, maka menurut hemat kami, idealnya perjalanan dan pembelajaran keberagamaan (spiritual) kita seyogyanya mengikuti Tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Tahapan ‘Ilmal-Yaqin (Syari’at). Pada usia balita s/d 13 tahun (aqil-baligh, remaja)
Dididik dan diarahkan untuk menjadi Hamba Allah (Abdullah, QS 51: 56) dengan cara diajarkan Ilmu Ushuluddiiin (Dasar-dasar Agama, Rukun Iman) seraya ditanamkan dan ditumbuhkan "Disiplin dan Budaya Bersih-bersih Lahiriyah" dalam bentuk pembelajaran dan pengamalan Syari'at Lahir (Fiqih = Rukun Islam dan Mua’amalah / Hablum-minannaas wa hablum minal alam, guna Melatih dan Menata Raga yang diridhoi Allah) dengan belajar kepada Ulama Fiqih ahlinya.
2. Tahapan ‘Ainal-Yaqin (Tarikat). Pada Usia > 13 tahun - 18 tahun (pemuda)
Dididik dan diarahkan untuk menjadi Hamba Allah yang beramal-saleh (Sholihin, QS 29: 9, 58; QS 24: 55; QS 2: 62; QS 3: 57; QS 42: 22, 26; QS 4: 69; QS 5: 69; QS 48: 29; QS 38: 28; QS 28: 80; QS 30: 45; QS 40: 58; QS 18: 107; QS 32: 12; QS 34: 4; QS 35: 7; QS 6: 55) di mana dengan bekal Pengetahuan Dasar-dasar Agama (Ilmu Ushuluddiin) yang sudah tertanam dan Syari'at Lahir (Fiqih) yang sudah tumbuh membudaya karena selalu dirawat dengan baik secara istiqomah (tetap dan berkesinambungan), seraya ditanamkan dan ditumbuhkan "Disiplin dan Budaya Bersih-bersih Batiniyah" dalam bentuk pembelajaran dan pengamalan Syari'at-Batin (Tasawuf, guna Melatih dan Menata Hati yang diridhoi Allah) dengan belajar kepada Ulama Tasawuf / Ulama Tauhid ahlinya yang sudah ma'rifatullah (Pewaris Nabi Besar Muhammad SAW). Setelah sempurna dan terpelihara kebersihan raga dan batinnya, maka Allah berkenan menurunkan rahmat-Nya dan memberikan karunia kesucian-jiwa (al-muthohharuun, QS 56:79; qolbin-saliim, QS 26: 89) kepadanya.
3. Tahapan Haqqul-Yaqin (Hakikat). Pada usia > 18 – 25 tahun (pemuda)
Dididik dan diarahkan untuk menjadi Syuhada atau Syahiddiin (Hamba Allah yang dirahmati dan diizinkan-Nya karena kefakirannya kepada Allah dan Rasul-Nya, untuk mengalami mati-syahid, yaitu ‘mati’ dalam penyaksian atas kehadiran Tuhannya sehingga mengetahui / mengenal kepada Tuhannya, QS 2: 94, QS 4: 66-70, QS 57: 19) dengan perantaraan/dengan jalan dibukakan hijab-qolbunya (mukasyafah, QS 8: 24; QS 17: 72; QS 22: 46; QS 50: 22) d a n dima’rifatkan / ditawajuhkan (QS 6: 79; QS 33: 44; QS 57: 12; QS 75: 22-23) oleh Ulama Tasawuf / Ulama Tauhid ahlinya yang sudah mengenal Tuhannya atau ma'rifatullah (pewaris Nabi Besar Muhammad SAW) dan menyandang predikat Waliyyam-Mursyida (Guru-Mursyid, QS 5: 35; QS 18: 17, 65) g u n a memasuki pintu-gerbang "Awwaluddiini ma'rifatullah" (Hadits) sehingga ia bermusyahadah: menyaksikan dan mengetahui / mengenal kepada Allah Tuhannya Yang wajib diimani dan disembahnya (QS 26: 89, QS 33: 44, QS 75: 22-23, QS 57: 19).
4. Tahapan Itsbatul-Yaqin (Ma’rifat).
Selanjutnya, hamba Allah yang Sholihin dan Syahidin itu dididik dan diarahkan oleh Guru-Mursyid untuk menjadi hamba Allah yang Shiddiqin (QS 57: 19) yaitu hamba Allah yang:
Selanjutnya, hamba Allah yang Sholihin dan Syahidin itu dididik dan diarahkan oleh Guru-Mursyid untuk menjadi hamba Allah yang Shiddiqin (QS 57: 19) yaitu hamba Allah yang:
- BENAR tahu dan kenalnya kepada Allah (benar ma’rifatullahnya);
- BENAR iman dan taqwanya kepada Allah;
- BENAR sabarnya dalam: a. berta’at melaksanakan ibadah / kewajiban yang diperintahkan Allah, b. meninggalkan maksiat / larangan Allah, dan c. menerima takdir / ketetapan Allah;
- BENAR syukurnya atas tiap-tiap ni’mat pemberian Allah kepada dirinya;
- BENAR tawakalnya dalam menyerahkan dan memasrahkan tiap-tiap urusannya yang telah ia usahakan dengan sebaik-baiknya kepada Allah;
- BENAR khauf / takutnya kepada Allah Yang Maha-adil dan Menghukum mereka yang zalim / aniaya / lalim;
- BENAR raja’ / berharapnya kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang lagi Menyantuni hamba-hamba-Nya;
- BENAR hayya’ / malunya kepada Allah Yang Maha Melihat dan Mengawasi hati dan perbuatan hamba-hamba-Nya;
- BENAR ahad / satunya hati (niat, tekad) dengan ucapan / perkataannya, dan satunya ucapan / perkataannya dengan amal / perbuatannya
- BENAR Islamnya kepada Allah, yaitu BENAR ikhlas keberserahdiriannya lahir dan batin kepada Allah SWT.
Kewajiban Guru-Mursyid-lah untuk memberikan arahan / petunjuk dan bimbingan pada Jalan Allah (Shirot al-Mustaqiim) kepada murid yang fakir (yang benar-benar membutuhkannya) dalam rangka perawatan iman, peningkatan ketaqwaan lahir dan batin, dan berjalan menuju "Akhiruddiini ma'rifatullah", yaitu menjadi hamba yang didekatkan ke hadirat Tuhannya / Cahaya Insannya melebur ke dalam Cahaya Tuhannya (al-muqarrabuun, QS 56: 80).
Demikianlah hingga pada akhirnya, hamba Allah yang Sholihin dan Syahidin serta Shiddiqin itu dilepas oleh Guru-Mursyidnya untuk melaksanakan Misi Hidupnya sebagai Khalifatullah fil ‘ardi (Perwakilan Allah di muka bumi-jasad dan bumi-jagad, QS 2: 30) membawakan kehendak Allah “rahmatan lil alamiin” sesuai wilayah penugasannya masing-masing, karena Guru-Mursyidnya sekarang adalah Allah SWT yang memberikan petunjuk dan pengajaran dengan perantaraan kalam langsung ke Qolbunya (QS 64: 11, QS 96: 4-5, dan QS 2: 282: “…Dan bertakwalah kepada Allah; maka Allah (akan) mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” serta QS 18: 65).
Tentang Safar dan Uns
Jalan ruhani adalah suatu kata kias yang biasa disebutkan oleh para penempuh jalan spiritual. Kata kias itu bisa mengarah ke atas seolah-olah Tuhan ada di atas, biasanya yang berparadigma ini menulis “Naik Tangga Spiritual”, ada juga yang menyebut “jalan yang lurus”. Akan tetapi, pada umumnya para Sufi meyakini bahwa Allah ada di dalam diri kita, adanya Allah di dalam diri ini tidak dimaksudkan seperti pada konsep ruang dan waktu yang berasumsi bahwa perjalanan adalah berangkat dari satu titik stasiun ke titik stasiun yang lain. Dekatnya Allah dengan diri kita tidak seperti dekatnya jarak ruang dan waktu. Allah adalah berbeda dengan mahluk-Nya, Allah terbebas dari dimensi ruang dan waktu.
- Safar, Safar atau perjalanan spiritual (siyahah ruhaniah) adalah perjalanan rekreatif yang bersifat spiritual. Menurut Syaikh Muhyi ad din Ibn Arabi bahwa safar adalah ber-tawajuhnya hati kepada al Haqq dengan dzikir. Safar dimulai ketika ketika hati berpaling kepada Allah dengan mengingat-Nya (dzikir). Safar arti sinonimnya adalah sayr wa suluk.
- Salik, Salik adalah seorang pelancong, jamaknya salikun atau sang penempuh spiritual.
- Uns, Uns arti harafiahnya adalah kedekatan, keakraban, atau sifat merasa selalu berteman, tidak pernah merasa sepi. Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh pada satu titik centrum yaitu Allah, tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, dan tidak ada yang diharap kecuali Allah. Walaupun situasi atau keadaan uns itu mirip atau hampir sama dengan fana, tetapi kaum Sufi tidak menyebutnya fana, tetapi al Mahwu, yaitu sekedar pemusatan seluruh ekspresi secara utuh kepada satu arah. Kesenangan dan kegembiraan hati hamba karena tersingkap baginya kedekatan (qurb), keindahan dan kesempurnaan Allah SWT.Uns merupakan keadaan spiritual ketika hati dipenuhi cinta dan keindahan, kelembutan, belas kasih serta pengampunan Allah. Contohnya, keindahan uns tidak dapat dilukiskan, seperti yang dialami oleh pendengar dalam konser spiritual (sama’) yang menyebabkannya mengalami kemabukan (wajd) ketika menemukan Allah.Uns merupakan wasilah untuk memperoleh Qurb, jadi bukan qurb itu sendiri, sebab ia merupakan kesucian kalbu dari selain Allah SWT.
Bagaimana pendapat pakarnya?
Situasi Al Uns ini mirip dengan al Fana, menurut Dzun An-Nun, sekiranya orang memperoleh keadaan uns, kiranya dia dilemparkan ke neraka dia tidak akan merasakannya.
Menurut Al Junaid, apabila seseorang telah mencapai jiwa al Uns, andaikan tubuhnya ia ditusuk dengan pedang ia tidak akan merasakannya.
Demikian sekilas mengenai uns, selanjutnya mari kita masuk kepada pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut perjalanan spiritual dengan harapan kita tahu kapan kita akan memulainya dan kemana kita akan menuju. Insya Allah..
- Apakah yang dimaksud perjalanan spiritual (syair wa suluk), Pencapaian seseorang dalam memahami esensi Allah dalam dirinya.
- Dimana perjalanan spiritual dilakukan Di hati, di fisik, di pikiran?
Jawabannya di hati.
- Pokok dari ajaran tarekat tasawuf adalah untuk men “ suci “ kan hati. Syarat penyucian hati yang per-tama adalah : Taubat secara Lahir dan Batin
- Taubat lahir berkaitan dengan : Perkataan, perbuatan, perasaan, menghindarkan diri dari dosa dan memperbanyak kebaikan.
- Taubat batin berkaitan erat dengan rohani, mengembalikan sikap rohani kita kepada tahap kesucian-nya yang semula, yaitu bersih tanpa noda dan tanpa dosa.
Keterkaitan antara rohani dengan jasad dan dunia akan melahirkan tenaga, baik yang positif maupun negatif. Tenaga negatif itu munculnya dari nafsu. Nafsu yang asalnya bersifat baik, kini sudah dikuasai oleh sifat-sifat buruk. Nafsu yang pada asalnya menghadap kepada Tuhan kini telah berpaling menghadap kepada yang bukan Tuhan.
Dasar dari taubat batin adalah membawa nafsu kembali keasalnya semula, yaitu mengarah kepada Tuhan. Rantai yang menyeret nafsu kearah yang salah harus segera diputuskan.
Tiga daerah nafsu yang perlu diketahui adalah :
- Ammarah,
- Lawwamah
- Mulhamah.
Rantai yang mengikat nafsu didalam daerah nafsu ammarah ini adalah nafsu yang paling kasar dan paling kuat. Pengikat nafsu di daerah ini adalah sifat-sifat yang tidak terpuji seperti :Sombong, Ujub, Riya dan Sama’ah.
Sifat-sifat tersebut membuat manusia merasa dirinya lebih baik, lebih mulia dan lebih cerdik dari pada orang lain. Suka menunjuk-nunjuk dirinya sendiri, suka dipuji-puji dan suka nama-nya menjadi terkenal.
Di daerah ini tidak ada nilai-nilai murni kemanusiaan dan tidak ada peraturan. Orang yang berada di-daerah ini sangat tamak akan harta. Tidak peduli dari mana sumber harta itu diperolehnya. Nafsu yang berada di-daerah ammarah ini suka : dengki, dendam, khianat dan berangan-angan.
Nafs Mulhalmah, dia menghadap kepada Tuhan dengan merendahkan diri dan berhajat kepada-Nya. Sifat merendah-kan diri yang sudah lahir dalam hati-nya akan membuat-nya tidak lagi suka meng-kritik orang lain secara sembarangan. Dia lebih memandang orang lain dengan pandangan simpati, bukan mengutuk.
Zikir-nya sudah masuk ke-dalam lubuk hati-nya yang paling dalam yang akan menguat-kan rasa ke-tergantungan-nya semata-mata hanya kepada Allah SWT saja.
Apabila keikhlasan ahli mulhamah ini sudah semakin bertambah kuat maka dia akan melakukan kebaikan bukan lagi karena ‘takut akan Allah’ akan tetapi semata-mata ha-nya‘karena Allah’ atau karena ingin mendapat-kan keridloan-Nya. Orang yang sudah berada pada tahap ini akan terus-me-nerus mentaati semua perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-nya, sekali-pun Tuhan tidak menjadikan Surga dan Neraka.
Keyakinan-nya hanya kepada Allah SWT semata-mata. Keyakinan-nya kepada Allah SWT sudah sangat mendalam, sebab itu dia sangat kuat melakukan tajrid, yaitu menyerahkan segala urusannya hanya kepada Allah SWT saja, tidak kepada yang lain. Dia telah berada pada tahap yang di-ridlo-i oleh Allah SWT.
Wahai jiwa yang tenang”. “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.”
Selain mengajar-kan perjalanan kerohanian melalui daerah-daerah nafsu, tarekat tasawuf juga mengajar-kan perkembangan kesadaran rohani melalui berbagai-bagai peringkat kebatinan. Suasana kebatinan itu dinamakan : Latifah Rabbaniah, yaitu unsur ghaib yang merupa-kan urusan Tuhan yang tidak mampu difikir-kan oleh manusia.
Latifah Rabbaniah yang tergolong sebagai Diri Batin adalah :
- Latifah Kalbu,
- Latifah Roh,
- Latifah Sir,
- Latifah Khafi,
- Latifah Akhfa,
- Latifah Nafsu Natiqah dan
- Latifah Kullu Jasad.
Latifah Kalbu ada-lah hati nurani. Ia menjadi raja yang memerintah sekalian anggota dan tubuh ma-nusia. Ia menjadi induk bagi semua latifah yang lain. Kalbu atau hati itu-lah yang menjadi perhatian Allah SWT. Jika baik hati-nya akan baiklah seluruh anggota badan, dalam jiwa yang sehat terdapat badan yang kuat, bukan sebalik-nya.
Kesungguhan beribadat dan berzikir akan membebas-kan Latifah Kalbu dari hijab alam perasaan yang menutupi-nya. Bila Latifah Kalbu telah bebas dari tutup alam perasaan ia akan menghadap kepada alam ghaib dan menerima ilham yang bebas dari bisikan syaitan.
Kesadaran kebatinan pada tahap Latifah Kalbu membuat hati merasa-kan jalinan yang erat dan unik dengan Kenabian Adam a.s atau dapat juga dikatakan bahwa hati mengalami suasana Hakikat Adamiyah. Perjalanan Nabi Adam a.s menjadi pedoman untuk bertaubat dan membersihkan hati dari segala dosa dan kekotoran.
Keasyikan dalam suasana latifah ini sering membuat mata-hati kita mampu untuk menyaksikan cahaya dan warna di-alam ghaib. Keasyikan dalam Latifah Kalbu akan mem-bawa seseorang me-nyaksi-kan cahaya berwarna kuning yang gemerlapan.
Cahaya latifah yang disaksikannya bukanlah cahaya Tuhan dan sekali-kali bukanlah Tuhan., karena-nya kita harus memperbanyak ucapan: “La ilaha illa Llah ”.
Latifah Kalbu adalah seumpama ruang yang besar, dimana di dalamnya terdapat berbagai-bagai latifah lagi. Tahap kesadaran latifah yang lebih mendalam di-nama-kan
Latifah Roh, atau dikenali sebagai Roh Hewani.·
Latifah Roh atau Roh Hewani itu di-hijab-kan oleh sifat-sifat keji yang disebut sebagai sifat binatang jinak.
Sifat ini akan menyeret manusia ke-jalan yang hanya me-muas-kan nafsu syahwat seperti hewan, tanpa meng-hirau-kan akibat dan dosa. Sifat binatang jinak ini-lah yang membuat manusia berani melakukan kesalahan walau-pun orang lain yang telah membuat kesalahan yang sama telah menerima akibat-nya.
Orang lain yang telah mati karena penyakit aids tidak menakut-kan binatang jinak untuk terus berbuat maksiat. Orang lain yang sudah di-hukum gantung sampai mati karena menjual narkoba tidak menakut-kan binatang jinak untuk terus menjual narkoba.
Memang sifat binatang tidak mengenal dosa dan tidak takut kepada penyakit. Tenaga ibadat dan zikir yang masuk ke-daerah Latifah Roh akan menghancurkan sifat binatang jinak itu. Bila sifat tersebut telah hancur , maka akan muncul-lah sifat Latifah Roh yang asli, yaitu gemar beribadat, kuat ber-tawakal dan ridlo / rela dengan takdir Tuhan.
Kesadaran pada tahap ini (Latifah Roh) akan membuat seseorang banyak melakukan ibadat dan berzikir tanpa merasa penat dan jemu. Di-daerah ini akan muncul hubungan kerohanian antara Kenabian Ibrahim a.s dengan Nabi Nuh a.s. ‘Pertemuan’ dengan Hakikat Ibrahimiyah dan Nuhiyah akan menguat-kan kesanggupan seseorang untuk berjuang dan berkorban demi mendapat-kan ke-ridlo’an Allah SWT.
Keasyikan dalam daerah Latifah Roh ini akan membawa mata hati kita untuk dapat menyaksikan cahaya yang berwarna merah yang gilang gemilang. Cahaya latifah ini juga bukan-lah cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan, perlu dinafikan dengan memperbanyak ucapan : “La ilaha illa Llah ”.
Setelah melewati daerah Latifah Roh seseorang akan mengalami pula suasana ke-rohani-an di-daerah Latifah Sir atau di-nama-kan Roh Insani. Latifah Sir atau Roh Insani ini dihijab oleh sifat buruk yang di-nama-kan sifat binatang buas. Sifat tersebut mendorong manusia untuk saling : bermusuhan, melakukan kezaliman, saling mendendam dan saling membenci.
Kesadaran kebatinan pada tahap Latifah Sir inilah yang sering membuat hati gila akan Allah s.w.t hingga ke-tahap tidak-rasional. Dalam daerah ini juga terjalin hubungan kerohanian dengan Kenabian Musa a.s.
Hakikat Musawiyah membawa-nya merasakan kedekatan dengan Allah s.w.t dan me-rasai nikmat Cinta Ilahi. Ke-asyik-an dalam daerah ini membawa mata hati menyaksikan cahaya berwarna putih yang gemerlapan. Cahaya latifah ini juga bukan-lah cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan, karena-nya mesti dinafikan dengan ucapan: “La ilaha illa Llah ” sebanyak mungkin.
Seterus-nya hati akan mengalami suasana Latifah Khafi. Latifah ini dihijab-kan oleh sifat syaitaniah yang menerbit-kan perasaan dengki, khianat dan busuk hati. Apabila tenaga ibadat dan zikir yang dilakukan dengan bersungguh-sungguh dapat meng-hancur-kan sifat syaitaniah, maka akan muncul sifat latifah yang asli iaitu sabar, syukur, ridlo dan tawakal yang sebenar-nya.
Kesadaran pada tahap Latifah Khafi ini, akan membuat seseorang mengalami hubungan kerohanian dengan Kenabian Isa a.s atau Hakikat Isaiyah. Kesadaran di-daerah ini akan menambah kekuatan rohani untuk menghampiri Allah s.w.t, pada tahap ini akan selalu muncul perkara yang luar biasa seperti kemampuan untuk mengobati penyakit dan mempunyai firasat yang tajam, walau-pun bidang-bidang tersebut tidak pernah dipelajarinya.
Keasyikan dalam Latifah Khafi membawa seseorang mampu untuk me-nyaksi-kan cahaya hitam yang tidak terhingga. Cahaya ini juga bukan-lah cahaya Tuhan dan se-kali-kali bukan Tuhan. Ia mesti dinafi-kan dengan memperbanyak ucapan : “La ilaha illa Llah ”.
Kesadaran kebatinan seterus-nya di-nama-kan Latifah Akhfa yang dihijab oleh sifat Rabbaniah (ketuhanan) yang tidak layak dipakai oleh makhluk. Sifat tersebut melahir-kan rasa sombong, ujub dan ria. Apabila tenaga ibadat dan zikir mampui untuk mem-bebas-kan Latifah Akhfa dari sifat Rabbaniah maka akan muncul sifat kebaikan seperti ikhlas dan tawaduk yang sebenar-nya.
Kesadaran dalam daerah ini membuat seseorang gemar bertafakur. Dalam kesadaran latifah ini juga lahir hubungan kerohanian yang erat dengan Kenabian Muhammad s.a.w atau Hakikat Muha-mmadiah. Orang yang bersangkutan akan mengalami rasa kasih, keasyikan dan kerinduan yang amat sangat terhadap Rasulullah SAW. Ucapan salawat merupa-kan ucapan yang sangat merdu dan meng-asyik-kan.
Keasyikan terhadap Rasulullah s.a.w dalam daerah Latifah Akhfa ini juga membuat seseorang akan mengalami suasana ‘pertemuan’ dengan rohani Rasulullah s.a.w seperti dalam mimpi.
Hakikat Muhammadiah membawa seseorang memasuki suasana Cinta Allah SWT yang lebih halus, lebih ber-seni, lebih nikmat serta memperoleh muraqabah atau berhadapan dengan Allah SWT semata-mata, tidak kepada selain-Nya. Keasyikan pada latifah ini juga membawa seseorang untuk dapat menyaksi-kan cahaya hijau yang gilang gemilang. Cahaya ini juga bukan cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan, perlu dinafikan dengan ucapan : “La ilaha illa Llah ”.
Latifah seterus-nya dinamakan Latifah Nafsu Natiqah. Latifah ini juga dikenal sebagai diri yang boleh berfikir. Nafsu Natiqah dihijab oleh sifat ammarah yang banyak mem-bentuk khayalan dan melahir-kan penyakit panjang angan-angan. Dalam daerah inilah gambar-gambar yang disukai oleh nafsu syahwat ditayang-kan. Keinginan kepada ke-senangan dan ke-seronok-an dunia berpuncak di-daerah ini. Apabila tenaga ibadat dan zikir sanggup meng-hapus-kan sifat ammarah, akan muncul-lah suasana hati yang ten-teram dan fikiran yang tenang.
Keasyikan dalam kesadaran Nafsu Natiqah ini akan membawa seseorang menyaksikan cahaya yang berwarna ungu yang gilang gemilang. Cahaya ini juga bukan cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan, perlu dinafikan sebanyak mungkin dengan ucapan : “ La ilaha illa Llah ”.
Latifah yang terakhir di-kenal sebagai Latifah Kullu Jasad yang meliputi seluruh tubuh. Latifah ini dihijab oleh sifat jahil dan lalai. Apabila hijab tersebut mampu dihapuskan oleh tenaga ibadat dan zikir akan muncul-lah sifat berilmu dan beramal. Tena-ga zikir yang berjalan lancar dalam daerah ini dapat dirasakan mengalir ke-seluruh tubuh, dari ujung rambut sampai ke-ujung kaki, menyerap ke-segenap rongga dalam tubuh badan, bercampur dengan darah, daging, tulang, sumsum dan seluruh maujud. Suasana yang demikian bisa di-kata-kan bahwa seluruh tubuh berzikir.
Keasyikan dalam latifah ini membawa seseorang menyaksi-kan cahaya yang gilang gemilang tidak dapat dibayang-kan dan ditentukan warna-nya. Cahaya ini, seperti juga cahaya-cahaya yang lain, bukan-lah cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan dan perlu di-nafikan dengan ucapan : “ La ilaha illa Llah ”.
Tujuan tarekat tasawuf adalah membawa hati keluar dari kegelapan dan masuk kedalam cahaya yang terang benderang. Dalam dunia ini benda-benda nyata bisa di-saksi-kan karena ada-nya cahaya terang seperti matahari, bulan dan lampu. Perkara dunia yang abstrak dapat di-saksi-kan melalui cahaya akal.
Alam ghaib dapat pula di-saksi-kan melalui cahaya latifah. Walau-pun cahaya latifah muncul seben-tar saja dalam pandangan mata hati namun ia cukup memadai untuk me-nerangi perjalanan menuju stasiun kerohanian berikutnya.
Apabila seseorang mencapai baqa semua cahaya tidak mempunyai warna, maka tidak ada penyak-sian terhadap cahaya, tetapi hati masih dapat merasakan suasana yang terang benderang menerangi perjalanan-nya, sehingga dia tidak merasa keliru atau ragu-ragu.
Cahaya-cahaya alam kerohanian memandu seseorang untuk sampai ke-Hadrat Ilahi. Suasana Hadrat Ilahi adalah makam ihsan, yaitu merasai kehadiran Tuhan dalam segala keadaan dan pada setiap saat. Orang yang sampai kepada pengalaman yang demikian itu, akan mengerti maksud firman Allah SWT:
- Allah jualah Cahaya bagi langit dan bumi. ( Ayat 35 : Surah an-Nur )
- Nur Allah SWT adalah Hadirat-Nya atau kehadiran-Nya yang dapat dirasakan oleh hati yang terkait-erat dengan roh-nya yang asli. Nur Allah SWT bukan-lah cahaya yang bo-leh di-fikir-kan, di-gambar-kan atau di-khayal-kan. Maksud melihat Nur Allah SWT ada-lah merasakan ke-hadiran-Nya.
- Apa-pun warna cahaya yang di-saksi-kan di-dalam alam ghaib adalah cahaya yang Dia gubah sebagai alat untuk menarik hamba-hamba-Nya agar dapat terus berjalan sehingga sampai kepada alamat yang dituju. Alamat yang terakhir hanya dapat di-temui dan di-capai melalui obor-cahaya kebenaran yang sejati.
- Dan demikian-lah Kami wahyu-kan kepada engkau satu Roh dari urusan Kami. Padahal tidak-lah engkau tahu apa itu Kitab dan apa itu iman.
Tetapi Kami jadikan ia nur yang Kami beri petunjuk dengan ia barangsiapa yang kami kehendaki daripada hamba-hamba Kami.
Dan sesungguh-nya engkau akan memimpin kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah, yang kepunyaan-Nya apa yang ada di-semua langit dan apa yang ada di- bumi. Ketahui-lah! Kepada Allah akan sampai segala urusan. ( Ayat 52 & 53 : Surah asy-Syura )
Wahyu adalah cahaya kebenaran yang sejati, dijadikan nur yang memberi petunjuk yang dengan-nya segala urusan sampai kepada Allah SWT.
3. Bagaimana caranya perjalanan spiritual itu dilakukan?
Jawaban Versi Pertama :
Oleh Idries Shahh, “Mahkota Sufi, Menembus Dunia Ekstra Dimensi”
Tujuh Diri (Nafsu)
Pengembangan diri di Jalan Sufi mensyaratkan Salik untuk melampaui tujuh tahap persiapan, sebelum individualitas siap menunaikan tugasnya secara utuh. Tahap-tahap itu yang kadangkala disebut “manusia”, adalah tingkatan dalam transmutasi kesadaran, istilah teknis untuk nafs, jiwa. Pendek kata, tahap-tahap perkembangan itu, masing-masing memungkinkan kekayaan batin lebih lanjut di bawah bimbingan seorang guru praktis, adalah:
- Nafs al-ammarah (nafsu merusak, menguasai diri)
- Nafs al-lawwamah (nafsu tercela)
- Nafs al-mulhimah (jiwa yang rakus)
- Nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang)
- Nafs ar-radiyah (jiwa yang tulus)
- Nafs al-mardiyah (jiwa yang terbebaskan)
- Nafs ash-shafiyah wa kamilah (jiwa yang suci dan sempurna).
Nafs disyaratkan melalui proses yang diistilahkan “kematian dan kelahiran kembali”. Proses pertama, yaitu Mati Putih menandai tingkat perkembangan awal murid, ketika ia mulai membangun kembali nafs spontan dan emosional, sehingga hal ini selanjutnya akan menyediakan suatu sarana untuk menjalankan kegiatan kesadaran, yaitu nafs kedua. Sifat-sifat jiwa “tenang, terbebaskan”, dan sebagainya, mengacu pada dampak terhadap individumaupun kelompok dan masyarakat secara umum, dan berbagai fungsi yang sangat jelas pada setiap tahap.
Fenomena penting dari tujuh tahap dalam latihan-latihan Sufi itu adalah sebagai berikut:
- Lepas kendali diri, mempercayai diri sebagai personalitas koheren, mulai belajar bahwa ia mempunyai berbagai kemampuan personal, sebagai individu yang berkembang.
- Permulaan kesadaran diri dan “penentuan”, dimana pemikiran secara spontan melihat apa itu kesadaran diri.
- Permulaan integrasi mental, ketika jiwa mempunyai kemampuan memasuki tahap yang lebih tinggi dibandingkan kebiasaan sebelumnya.
- Kedamaian, keseimbangan individualitas.
- Kemampuan melakukan tugas, tahap pengalaman baru yang tidak bisa dideskripsikan di luar analogi yang sejalan.
- Aktivitas dan tugas baru, termasuk di luar dimensi individualitas.
- Pemenuhan tugas rekonstitusi, kemampuan mengajar orang lain, daya bagi pemahaman obyektif
Unsur-unsur Sufisme
Sepuluh Unsur Sufisme mengacu pada kerangka kerja individual, dimana sebagai Salik, ia menggali potensi untuk bangun atau hidup dalam dimensi yang lebih agung dan berada di luar pengalaman biasa. Al-Farisi mencatatnya sebagai berikut:
- Pemisahan dari kesatuan.
- Persepsi pendengaran.
- Persahabatan dan asosiasi.
- Preferensi yang benar.
- Penyerahan pilihan.
- Pencapaian secara cepat “keadaan” tertentu.
- Penetrasi pemikiran, pengujian diri.
- Perjalanan dan gerakan.
- Kepasrahan dalam menerima rezeki.
- Pembatasan keinginan atau ketamakan.
Latihan dan pelatihan Sufi berdasar pada Sepuluh Unsur ini. Sesuai dengan kebutuhan murid, guru akan memilihkan program-program studi dan tindakan untuknya dengan memberikan kesempatan kepadanya untuk melaksanakan berbagai fungsi yang terangkum dalam Unsur-unsur itu. Oleh karena itu, faktor-faktor ini adalah dasar persiapan individu menuju perkembangan dimana apabila ia tidak bisa mengalami atau merasakan, ia dibiarkan mencapainya sendirian.
Jawaban Versi kedua :
Seseorang mesti bebas untuk bisa sepenuhnya menjadi cahaya bagi dirinya sendiri. Cahaya bagi diri sendiri . Cahaya ini tidak bisa diberikan oleh orang lain, juga tidak bisa menyalakannya pada lilin yang lainnya. Jika menyalakannya pada lilin yang lain, itu hanya layaknya sebatang lilin, ia bisa tertiup mati dengan mudah. Penyelidikan untuk mencaritahu apa arti dari menjadi cahaya bagi diri sendiri merupakan bagian dari meditasi.
Jawaban Versi ketiga :
Al-Ghazali dalam Kitab Ajaaibul Qulub[5] jelas membedakan istilah-istilah seperti qalb (rasa jiwa, bukan rasa jasadiah/psikis), nafs, ruh, dan ‘aql; dimana istilah-istilah ini dalam konsepsi psikologi modern tak terpetakan dengan tegas karena berada pada tataran jiwa yang bersifat malakut, atau secara psikologi analitik berada di ruang ketaksadaran.
Prinsipnya, apa yang disebut sebagai manusia sempurna (insan kamil) dalam terminologi Al-Qur’an, minimal manusia yang sudah memiliki struktur seperti tercantum dalam An-Nur [24]: 35, seorang Insan Ilahi. Manusia dikatakan sebagai khalifatullah (wakil Allah) di bumi jika ia telah mencapai state tersebut, ia membawa kuasa Allah dan bercitra Ar-Rahman.
Ayat tersebut mengisyaratkan tentang manusia, dimana di dalam jasad (misykat)-nya terdapat nafs (jiwa) yang qalb (zujajah)-nya bercahaya seperti bintang karena telah dinyalakan dari dalam dengan api Ruh al-Quds (misbah). Adapun misykat sifatnya kusam dan tak tembus pandang, sebagai perlambang jasad yang berasal dari alam mulk (ardhiyah), merupakan manifestasi terendah dari kehadiran Al-Haq dalam alam syahadah.
Rasulullah SAW menyinggung tentang eksistensi jiwa (nafs) yang qalbnya telah diperkuat oleh api Ruh al-Quds, sebagai berikut:
“Qalb itu ada empat macam, pertama, qalb yang bersih, di dalamnya terdapat pelita yang bersinar cemerlang, itulah qalb al-mu’min; kedua, qalb yang hitam terbalik, itulah qalb orang kafir; ketiga, yang terbungkus dan terikat pada bungkusnya, itulah qalb orang yang munafik; dan keempat, qalb yang tercampur, di dalamnya terdapat iman dan nifaq.”
“Dialah yang telah menurunkan as-sakinah ke dalam qalb orang-orang al-mu’min, agar keimanan mereka bertambah di samping keimanan yang telah ada” (Al-Fath [48]: 4).
“Barang siapa memiliki juru-nasehat dari dalam qalbnya, berarti Allah telah memberi seorang penjaga (hafidh) atasnya” (Rasulullah SAW).
Qalb menjadi hitam dan terbalik jika ia mempertuhankan hawa nafsu, mengingkari dan mendustakan kebenaran (al-haq). Hati yang seperti ini akan memandang bagus atas segala yang mereka kerjakan, karena tertutup ilusi dan waham syaithan. Adapun qalb si munafik terikat pada bungkus jasadiyah, merupakan qalb yang terlalu mencintai dunia (terikat kepada syahwat jasmaniah); pandangan batinnya tertipu oleh nilai-nilai estetik fisik dengan tanpa melihat hakikatnya, maka ia bisa ‘menjual’ agamanya demi kesenangan sesaat.
Seperti telah diulas tadi, bahwa si nafslah yang menjadi fokus pendidikan Ilahi. Alam dunia ini bagi nafs sebenarnya hanya sebuah jenjang ’sekolah dasar’, Rasulullah SAW berkata bahwa alam dunia ini hanyalah sebuah jembatan kecil yang menghubungkan dua alam besar, dan si nafs diuji dalam pengembaraannya di ‘oase’ ini; sementara ia harus menyelesaikan sejumlah jenjang ’sekolah lanjutan’ lagi. Di alam dunia, jasad atau raga insan berperan sebagai kendaraan bagi si nafs untuk menemukan al-haq di bumi jagat ini sebagai pelajaran pertamanya. Si nafs harus mengembara di muka bumi hingga terbuka kepadanya malakut langit, atau hakikat dari segala yang wujud (khalq) di alam syahadah, dan hakikat dari setiap khalq adalah al-haq.
“Akan Kami perlihatkan ayat-ayat Kami di ufuk (semesta) dan di dalam nafs masing-masing, hingga jelaslah bagi mereka itu bahwa itu adalah al-haq” (Al-Fushshilat [41]: 53).“Tiap segala sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah-Nya” (Al-Qashash [28]: 88).
Sebelum memahami bahwa Dia ada di mana-mana dan Dia lebih dekat dari urat leher, maka si nafs harus melihat kepada aspek wajah-Nya berupa Al-Haq; ia harus melihat bahwa hakikat dari segala sesuatu di alam semesta, berupa ayat-ayat Kauniyyah, adalah al-haq; juga hakikat dari apa yang ada di dalam nafs-nya tak lain adalah al-haq yang mengalir dari Martabat Ilahi. Sebelum si nafs dimasukkan ke dalam kurungan jasad (corpus) janin di dalam rahim ibu, maka si nafs dipanggil terlebih dulu ke hadapan Allah SWT, katakanlah ini adalah status nafs ketika di alam Nur atau alam Alastu.
“Dan ketika Rabb-mu hendak mengeluarkan keturunan bani Adam dari sulbi mereka, dan Allah telah mengambil kesaksian atas nafs-nafs mereka, ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ mereka menjawab ‘Benar! Kami menyaksikan’ Agar di hari kiamat kamu tidak berkata: ‘Sesungguhnya kami lengah (atas kesaksian) ini’” (Al-Araf [7]: 172).
Sebelum nafs diturunkan di alam dunia, maka dalam kesaksian ini qadha dan qadarnya ditetapkan terlebih dahulu: “amal-amal insan dikalungkan pada ‘leher’nya” (Q.S Al-Isra’ [17]:13). Ketetapan-ketetapan ini berupa misi hidup (swadharma) yang harus dimanifestasikan di muka bumi, ini merupakan amanah Allah yang telah digariskan sesuai dengan bakat langit si nafs (swabhawa), misi hidup setiap insan bersifat unik tidak ada yang sama satu dengan lainnya. Misi (dharma) si nafs harus ditemukan dan dijalankan di bumi ini, tidak ada perubahan dalam dharma si nafs, karena bakat langit (swabhawa) si nafs merupakan fitrah yang tidak berubah, dan sebagian besar manusia tidak mengetahui ketetapan dirinya karena qalb-nya terpendam dosa.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada ad-Din. Fitrah Allah, yang Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah ini, tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Inilah ad-Diin yang teguh, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Ar-Ruum [30]: 30).
Jika tanpa Rahmat Allah SWT, ketetapan-ketetapan Allah yang tertulis di dada si nafs tidak akan terbuka, dan ini merupakan rizqi batin manusia yang kuncinya ada di dalam nafs. Sementara untuk mencapai ini sulit karena harus menggeser pusat kesadaran dari ego ke nafs (self).
Dari alam Nuur, setelah 120 hari penyusunan janin bayi, maka nafs yang telah diamanahi qudratullah beserta ruh yang akan mengisi jasad si bayi diturunkan. Di sini si nafs berada dalam tiga kegelapan.
- “Kemudian Dia menyempurnakan (janin), dan meniupkan kedalamnya ruh-Nya, dan Dia menjadikan bagimu, pendengaran, penglihatan, dan fu’ad, tapi sedikit di antara kamu yang bersyukur” (As-Sajdah [32]: 9).
- “Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu tahap demi tahap dalam tiga kegelapan” (Az-Zumar [39]: 6).
Bagi si nafs sewaktu masih di dalam rahim, kegelapan pertama adalah wadah jasadnya sendiri, lapis kegelapan kedua adalah jasad ibunya, dan kegelapan ketiga adalah penjara alam dunia yang bersifat material.
Ego dibentuk dan ditumbuhkan melalui fikiran oleh dua kekuatan, pertama persepsi inderawi yang bersifat syahwati, dan kedua oleh hawa nafs. Interaksi timbal balik dua kekuatan ini melalui link ego menjadi cenderung memperkuat satu sama lain dan membangun kompleks-kompleks sayyi’ah jiwa. Manusia digelapkan qalb-nya dan dilumpuhkan nafs-nya oleh dua perkara yaitu cinta dunia dan mempertuhankan hawa.
- “Berkata ia,’Ya Rabbi, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dulu (di dunia) adalah seorang yang melihat?’” (Thaha [20]: 125).
- “Karena sesungguhnya bukanlah matanya yang buta tetapi qalb yang di dalam dada” (Al-Hajj [22]: 46).
- “Yang demikian itu disebabkan oleh karena mereka mencintai kehidupan dunia di atas akhirat… Mereka itulah yang qalb, pendengaran, dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka adalah orang-orang yang lalai” (An-Nahl [16]: 107-108).
- “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawanya sebagai tuhannya, maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain bagaikan ternak bahkan lebih tersesat jalannya” (Al-Furqaan [25]: 43-44).
- “Dan barang siapa buta di dunia ini, maka di akhirat akan buta pula dan lebih tersesat jalannya” (Al-Isra [17]: 72).
Bila nafs dirahmati Allah Ta’ala, maka secara bertahap indera-indera batinnya mulai bangun dan menguat, karena hijab-hijab dosa di qalb-nya mulai tanggal. Si nafs yang telah tumbuh kuat akan segera melakukan proses penggembalaan dan pendidikan atas tentara lahir dan tentara batinnya.
“Dan adapun mereka yang takut akan maqam Rabb-nya dan menahan nafsnya dari hawa” (An-Naazi’at [79]: 40).
Jika ego tidak dikonstruksi-baru oleh nafs, maka akan menjadi pabrik penghasil sayyiah, dimana ‘racun’ hati ini secara efektif dapat mematikan qalb. Kesadaran, secara psikologis, berpusat di ego, sementara qalb dan nafs berada di bawah level kesadaran atau di ketaksadaran (unconsciousness).
Jika cahaya qalb tidak menyentuh ego dan pikiran, maka pada hakikatnya manusia belum mengenal qalb-nya apalagi memfungsikannya. Karena qalb tak berfungsi, maka manusia tersebut dikatakan belum memiliki qalb (buta hati) kecuali hati jasmaniahnya saja, dan hanya memiliki satu akal yaitu pikirannya saja.
“Mereka memiliki qalb tetapi tidak digunakan untuk memahami, mereka memiliki mata tetapi tidak digunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak digunakannya untuk mendengar, mereka seperti ternak bahkan lebih tersesat” (Al-A’raf [7]: 179).
Dengan transformasi akal dari ego ke lubb, maka kesadaran seseorang ditransformasi terus-menerus hingga menyentuh Lathifah Ilahiyah, sehingga qalb-nya “melihat” al-haq dimana-mana (Al-Fushshilat [41]: 53). Dalam dunia tashawwuf, hirarki ‘uruj kesadaran batin mencakup tujuh proses
Dalam proses ini, tahapan insan untuk memenuhi struktur yang dituntut oleh An-Nuur [24]: 35 menjadi terlampaui. Ini adalah proses manusia untuk mengenal Rabb-nya, yang harus diawali dengan kesadaran atas keberadaan nafs dalam jasadnya sebagai jati diri yang sebenarnya.
“Barangsiapa mengenal nafsnya maka akan mengenal Rabb-nya.” (Rasulullah SAW)
Dengan bermujahadah pada proses tazkiyyatun-nafs maka instrumen mata dan telinga batin (nafs) akan mulai bangun secara bertahap. Seperti bangunnya akal jasadi pada bayi oleh tumbukan terus menerus citra alam dunia melalui indera mata dan telinganya, maka pengendalian mata dan telinga jasmani dari hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala akan mencergaskan kembali penglihatan dan pendengaran si nafs, dan dengan sehatnya dua indera batin tersebut akan mulai mengaktivasi akal jiwa (lubb). Manusia yang lubb-nya hidup dinamai sebagai Ulul-Albaab, dan hanya Ulul-Albaab yang bisa memahami kalimah Ilahiyah di alam semesta.
“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa diberi hikmah, sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali Ulul-Albaab” (Al Baqarah [2]: 269).
Proses ‘uruj tadi merupakan proses taubat, dimana makna taubat adalah perjalanan kembali menuju Allah, merupakan proses ditariknya si hamba mendekat kepada-Nya, dan ini akan melampaui semesta alam-alam, karena jarak antara si hamba dengan Dia adalah tak hingga. Dan tidak ada alam yang ia lampaui, kecuali lubb-nya akan menguasai urusan-urusan di alam tersebut. Siapa yang bertaubat (kembali kepada Allah) maka itu baru awal dari hidayah (pemberian petunjuk), dan siapa yang tidak mencari Allah (tidak bertaubat) maka mendzalimi dirinya sendiri.
- “Dialah yang memperlihatkan kepadamu ayat-ayat-Nya dan menurunkan kepadamu rizki dari langit (jiwa). Dan tidak ada yang bisa mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang bertaubat(kembali).” (Al-Mu’min [40]: 13)
- “Dan sesungguhnya Aku menjadi Maha Pengampun bagi mereka yang bertaubat, beriman, dan beramal shalih, kemudian atasnya petunjuk” (Thaha [20]: 82).
- “Siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim” (Al-Hujurat [49]: 11).
Pikiran yang tak jernih bisa mematikan qalb, dan jika qalb mati berarti qalb kehilangan Cahaya Jabarut-nya dan ini berdampak lumpuhnya si nafs dalam diri manusia. Jika nafs dalam diri manusia lumpuh maka lumpuh pula kekuatan amr dalam dirinya, sehingga aksi fungsi transenden ke ruang kesadaran tidak terjadi. Orang yang sehat qalb-nya dari dosa-dosa dan penyakit hati akan sehat pula nafs-nya, dan jika si nafs sehat ia akan membimbing raga untuk menemukan obat bagi penyakit fisiknya, dan ini perlu waktu:
“Barang siapa sehat qalb-nya maka akan sehat jasmaninya” (Rasulullah SAW).
Dengan mengerjakan misi hidupnya atau qudrah dirinya (dharma yoga) maka qalb orang itu terselamatkan dari penyakit fikiran, dan jika qalb selamat (qalbun salim) ia akan ‘melihat’ Tuhannya. Kata Al-Ghazali, satu-satunya perangkat dalam diri manusia untuk ber-ma’rifatullah adalah qalb-nya. Qalb adalah rasa si jiwa (nafs) dan bukan rasa psikis (emosi) yang dapat tersentuh oleh observasi psikologis, ia adalah makhluk ruhani. Lebih jauh Al-Ghazali berkata bahwa jika seseorang tidak mengenal qalb-nya maka tidak akan mengenal nafs-nya; jika nafs tidak dikenal maka dharma tak dikenal; jika dharma tak dijalankan maka terputus jalan untuk menuju Sang Pencipta; dan jika ia terputus jalan maka kesadarannya tidak akan melampaui alam-alam, sehingga kebijakan-kebijakan Ilahi dalam kehidupan semesta tak terpahami (oleh akal bawahnya). Maka dikatakan Allah SWT bahwa hanya Ulul-Albaab (orang yang memiliki akal jiwa/lubb) yang bisa memahami ayat-ayat-Nya, dan lubb itu tidak menyala jika cahaya qalb padam.
Inteligensia atau kecerdasan fisik kekuatannya hanya menyentuh sejauh alam fisik. Jika kita mencoba menggunakan kecerdasan fisik untuk menggeneralisasi atau menginduksi imajinasi ke alam malakut, maka hal ini seperti nasib elemen-elemen vektor yang jika dioperasikan bagaimanapun dengan hukum-hukum ruang vektor, tidak akan melompat keluar dari ruang vektornya. Akibatnya “pantai yang lain” selalu tak diketemukan. Kecerdasan ‘bawah’ hanyalah bayangan dari kecerdasan jiwa (kecerdasan ‘atas’) yang mestinya bisa dilahirkan dengan jalan mujahadah dalam tazkiyyatun-nafs.
Al-Quran menyinggung ihwal pertumbuhan pribadi insan hingga baligh-nya dan ihwal usia 40-tahunan, dimana manusia sudah harus melakukan proses taubat (Al-Ahqaaf [46]: 15). Dengan proses taubat maka fitrah insani dalam arti yang haqiqi akan terbuka (Ar-Ruum [30]: 30-31), dimana fitrah ini terkait dengan persoalan swabhawa-swadharma dan qadha-qadar, dan ini terletak di nafs manusia yang harus direalisasi.
Jika manusia melupakan Allah SWT, atau menomorduakan urusan Tuhannya, maka Dia akan membuat si manusia tersebut lupa akan nafsnya (Al-Hasyr [59]: 18-19), dan lumpuhlah si nafs itu dari berkata-kata (nathiqah) ihwal fitrah dirinya padahal kesaksian tentang perkara “misi hidup” ini telah diambil si nafs sebelum ia dimasukkan ke rahim ibu (Al-’Araaf [7]: 172).
Aspek olah jiwa (suluk) atau dimensi batin dari agama-agama sebenarnya untuk tujuan transformasi dari “arah dalam,” mengubah sayyi’ah-sayyi’ah menjadi hasanah-hasanah (Al-Furqaan [25]: 70-71). Apa yang disebut dengan kecerdasan, di tingkat apapun merupakan produk dari transformasi-transformasi diri, terutama transformasi jiwa. Dalam konsep Al-Qur’an, kecerdasan seseorang dalam suatu lingkup dharma berbanding lurus dengan tingkat kesucian jiwa yang diperoleh lewat jalan taubat (Al-Mu’min [40]: 13). Jika jiwa tumbuh maka akal jiwa (lubb) akan tumbuh juga, sehingga hiduplah akal luar dan akal dalamnya, sejalan dengan apa yang dikatakan Rasulullah SAW:
“Tiap-tiap sesuatu bekerja menurut caranya (orbitnya) masing-masing, maka Rabbmu mengetahui siapa-siapa yang terpimpin jalannya (huwa ahda sabiila). Dan mereka bertanya kepadamu ihwal Ar-Ruh, katakanlah bahwa Ar-Ruh itu dari amr Rabbku, dan tidak kamu diberi pengetahuan tentang ini kecuali sedikit” (Al-Israa [17]: 84-85).
Dari ayat di atas, jelas bahwa aspek Ar-Ruh atau Ruh Al-Quds (Holy Spirit) dihubungkan dengan orbit diri atau misi hidup tiap-tiap insan yang unik satu sama lain. Dan rahasia dari Ar-Ruh ini terletak di nafs, dan seperti Al-Ghazali katakan bahwa jika qalb tak dikenal maka nafs tak dikenal. Siapa yang seolah-olah melupakan Allah, maka Allah buat dia lupa akan nafsnya, sehingga tertutuplah jalan untuk mengenal Dia. Barang siapa tidak mengenal nafsnya maka ia tidak akan mengenal Tuhannya.
Jawaban Versi ke empat :
Anand Krishna, dalam buku karangannya “Haqq Moujud”, menjelaskan bahwa ada tujuh anak tangga menuju Tuhan. Biasakan bicara dengan lembut, setiap hari sisihkan waktu bagi dirimu sendiri dalam keheningan, belajar memaafkan dan melupakan kesalahan orang, sayangi mereka yang berbuat jahat kepadamu, bukalah hatimu bagi segala sesuatu yang baik, hindari lingkungan dan persahabatan yang tidak menunjang evolusi bathin dan terakhir, hargai segala sesuatu, tetapi janganlah terikat pada sesuatu. Keterikatan hendaknya pada yang satu-Allah.
Jawaban Versi Kelima :
Evelyn Underhill 1)menguraikan jalan mistik sebagai jalan yang dilewati oleh salik menuju Illahi, langkahnya sebagai berikut :
- Bangkitnya kesadaran (awakening)
- Pembersihan (purification)
- Penerangan (ilumination)
- Malam gelap jiwa (the dark night state)
- Kesadaran bersatu (the unitive state).
Jawaban versi keenam :
Al Attar, dalam “Musyawarah Burung”, mengungkapkan “Burung-burung itupun akhirnya sepakat untuk mencari Simurgh, tetapi sebelum memulai perjalanannya Hudhud menggambarkan tujuh bukit – melambangkan jalan Sufi menuju kesempurnaan – yang harus dilalui :
- Pencarian
- Cinta
- Pemahaman
- Kemandirian
- keterlepasan
- Kesatuan Murni
- Ketakjuban
- Kefakiran dan kenihilan (kehampaan jiwa).
Akhir dari pengembaraan burung-burung dalam mencari Si-Murgh, setelah selubung akal dari jiwa disingkapkan sepenuhnya dan mereka menemukan Si-Murgh (tiga puluh burung), adalah merupakan refleksi dari Sang Raja.
Pada awalnya penemuan transformasi kesadaran, yaitu proses identifikasi dengan objek pencarian, membuat mereka takjub, mereka tidak tahu apakah mereka masih merupakan diri mereka atau apakah mereka telah menjadi Si-murgh.
Dan jika mereka melihat kedua-duanya secara bersama-sama, keduanya adalah Simurgh, tidak kirang dan tidak lebih. Yang ini adalah itu, dan yang itu adalah ini”.
Jawaban Versi ketujuh,
Al Ghazali dari kitabnya yang lain :Al Ghazali, mengungkapkan di dalam kitab Al Munkid Min Al Dzalal “Sungguh jalan ini tidak bisa diikuti kecuali dengan ilmu dan amal, yang harus menempuh tanjakan-tanjakan ruhani dan membersihkannya dari ahlak-ahlak tercela dan sifat jahat. Sedemikian sehingga, hati menjadi kosong dari selain Allah, kemudian mengisinya dengan dzikir.
Bagiku, ilmu lebih mudah daripada amal. Aku pelajari kitab-kitab sufi terdahulu, sehingga aku paham secara ilmiah. Penjelasan lebih dalam aku ikuti dan aku dengar dari uraian mereka. Tampak, pada posisi tertentu, perjalanan tasawuf ini tidak bisa ditempuh dengan belajar dari ilmu, tetapi dengan dzauq (fruitional experience), hal dan kebersihan hati. Tentu berbeda orang yang kenyang dengan orang yang tahu pengertian kenyang.
Masih banyak perjalanan sufi yang lain, seperti Al Jilli, Ibn Arabi, Al junaed, atau yang dari negeri sendiri, Syech Siti Jenar, Hamzah Fansuri, ekspresi antara satu sufi dengan sufi yang lainnya sungguh berbeda.
4. Kapan sebaiknya perjalanan spiritual ini dilaksanakan?
Sekarang ini, bahkan sejak saat baru lahir..
5. Mengapa perlu adanya perjalanan ruhani menuju Allah?
Agar kita memahami secara benar esensi Allah pada diri kita, sehingga syahadat yang kita ucapkan adalah benar adanya.
6. Siapa saja yang bisa melakukan perjalanan ruhani menuju Allah?
Syaikh Allamah Sayyid Abdullah Haddad, semoga Allah meridhoinya menjawab : Para murid dan salik yang akan melakukan perjalanan ruhani itu ada dua macam, pertama salik yang berikhtiar dan berusaha keras. Dia adalah salik qabl al jadzb (orang yang berjalan menemukan Tuhan dengan kekuatan sendiri sebelum ada kekuatan yang menariknya. Dan kedua Salik bil ghalabah wa al idhthirar (orang-orang yang berjalan menemukan Tuhan karena terkalahkan dan terpaksa. Dia adalah al majdzub al suluk (tertarik sebelum berjalan). Sebagian ahli tharekat berpendapat bahwa salik qabl al jadzb lebih utama, tetapi ada juga yang berpendapat sebaliknya.
7. Apa yang dimaksud bersama Allah?
Dalam proses menyucikan diri dan mengembalikan rahasia kepada Tuan Pemilik Rahasia, maka manusia itu semestinya mengutamakan kesuciannya untuk menuju ke peringkat asal kejadian rahsia Allah Taala. “AL INSANUL SIRRUHU WA ANA SIRRUHU”, Maksudnya; “Manusia itu adalah rahasiaKu dan aku adalah rahsia manusia itu sendiri”.
Dengan memahami Martabat Alam Insan ini , maka sudah pastilah kita dapat mengetahui bahwa diri kita ini adalah SifatNya Allah Taala semata-mata. Diri sifat yang di tajallikan bagi menyatakan SifatNya Sendiri yakni pada Alam saghir dan AlamKabir.Dan Allah Taala Memuji DiriNya dengan Asma’Nya Sendiri dan Allah Taala menguji DiriNya Sendiri dengan Afa’alNya Sendiri.
Dalam memeperkatakan Martabat Alam Insan kita memperkatakan diri kita sendiri. Diri kita daripada Sifat Tuhan yang berasal daripada Qaibull-Quyyub (Martabat Ahdah) yaitu pada martabat Zat hingga zahir kita menyifati sifat Muhammad. Oleh yang demikian wujud atau zahirnya kita ini bukan sekali-kali diri kita, tetapi sebenarnyadiri kita ini adalah penyata kepada diri Tuhan semesta alam semata-mata. Seperti FirmanNya: ‘INNALILLA WAINNA ILAIHI RAJIUN’ artinya “Sesungguhnya diri mu itu Allah (Tuhan Asal Diri Mu) dan hendaklah kamu pulang menjadi Tuhan kembali”.
Setelah mengetahui dan memahami secara jelas dan terang bahwa asal kita ini adalah Tuhan pada Martabat ahdah dan NyataNya kita sebagai SifatNya pada Martabat Alam Insan dan pada Alam Insan inilah kita memulakan langkah untuk mensucikan sifat diri kita ini pada martabat Sifat kepada Martabat Tuhan kembali yaitu asal mula diri kita sendiri atau Martabat Zat.
Ukuran kesalehan atau kedekatan dengan Tuhan itu, tidak dilihat dari pengalaman-pengalaman rohani yang aneh-aneh, misalnya : bisa melihat cahaya, menangis histeris, terisak-isak, merasakan kesunyian yang mencekam atau menciptakan peristiwa-peristiwa gaib. Bukti kesalehan-nya justru dibuktikan dengan kita menjadi pelaksana dari kasih sayang Tuhan.
8. Apa Yang dimaksud Di dalam Allah?
“Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu”, bukan semata-mata artinya “siapa yang mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya.” Kata ” ‘Arafa”, juga “Ma’rifat,” berasal dari kata ‘arif, yang bermakna ‘sepenuhnya memahami’, ‘mengetahui kebenarannya dengan sebenar-benarnya’; dan bukan sekedar mengetahui. dan nafsahu berasal dari kata ‘nafs’, salah satu dari tiga unsur yang membentuk manusia (Jasad, nafs, dan ruh).
Jadi, kurang lebih maknanya adalah “barangsiapa yang ‘arif (sebenar-benarnya telah mengetahui) akan nafs-nya, maka akan ‘arif pula akan Rabbnya”. Jalan untuk mengenal kebenaran hakiki, mengenal Allah,
hanyalah dengan mengenal nafs terlebih dahulu.
Setelah arif akan nafs kita sendiri, lalu ‘arif akan Rabb kita, maka setelah itu kita baru bisa memulai melangkah di atas ‘Ad-diin’. ‘Arif akan Rabb, atau dalam bahasa Arab disebut ‘Ma’rifatullah’ (meng-
‘arifi Allah dengan sebenar-benarnya), sebenarnya barulah –awal–perjalanan, bukan tujuan akhir perjalanan sebagaimana dipahami kebanyakan orang.
Salah seorang sahabat Rasul selalu mengatakan kalimatnya yang terkenal: “Awaluddiina ma’rifatullah”, Awalnya diin adalah ma’rifat (meng-’arif-i) Allah.
9. Apa yang dimaksud khalifah Allah?
Prinsipnya, apa yang disebut sebagai manusia sempurna (insan kamil) dalam terminologi Al-Qur’an, minimal manusia yang sudah memiliki struktur seperti tercantum dalam An-Nur [24]: 35, seorang Insan Ilahi. Manusia dikatakan sebagai khalifatullah (wakil Allah) di bumi jika ia telah mencapai state tersebut, ia membawa kuasa Allah dan bercitra Ar-Rahman.
Dalil tentang khalifah ini : QS 2:30, 7:129, 27:62, 35:39, 38:26
Kesimpulannya :
Jadi, perjalanan ruhani kita hakekatnya adalah mengungkap makna ‘INNALILLA WAINNA ILAIHI RAJIUN’ artinya “Sesungguhnya diri mu itu Allah (Tuhan Asal Diri Mu) dan hendaklah kamu pulang menjadi Tuhan kembali”.
Demikianlah bahan renungan kita. Mudah-mudahan kita menempuh jalan hidup sesuai kehendak dan keridhoan-Nya, amin…….ya Robbal alamiin……….Wallahu ‘alam bish-showab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar