Dalam prinsip Islam, bumi dan segala isinya telah disiapkan dan ditundukan oleh Allah Swt, untuk kesejahteraan dan kehormatan manusia. Karena itulah seyogyanya manusia mampu memanfa'atkan dan mengelola anugerah (ni’mat) Allah ini. Sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh-Nya. Dengan kata lain sesuai dengan sunatullah. Allah Swt, memerintahkan manusia agar berusaha mencari anugerah dan keni’matan Allah dimuka bumi ini, sesuai dengan dasar tauhid, berpijak pada prinsip keadilan, ta'awun (tolong-menolong), bertitik-tolak dari ibadah dan tidak berbuat fasad (destruktif).
Jika prinsip-prinsip ini tidak dilaksanakan maka anugerah atau ni’mat Allah itu akan berubah menjadi adzab dan laknat bagi manusia. Kejadian-kejadian yang menimpa ummat manusia yang disebut bencana alam yang terjadi dilautan ataupun didaratan, sebenarnya adalah akibat ulah manusia itu sendiri (doyan berbuat maksiat), disamping sebagai peringatan dari Allah. Karena mustahil Allah mendzalimi hamba-hamba-Nya.
Karenanya, Islam tidak membenarkan seseorang bermalas-malasan dalam mencari karunia Allah ini, sekaligus Islam tidak membenarkan mengeksploitasi anugerah Allah dengan cara merusak, karena didorong oleh sifat rakus dan tamak.
Kini yang terjadi dan kita saksikan, pertama disatu pihak manusia ada yang rakus dan mengeksploitasi kekayaan bumi ini tanpa batas karena punya modal yang besar, serta memamerkan harta kekayaannya.
Kedua, dipihak lain yang kena imbasnya yaitu meraka yang terpinggirkan dan hidupnya miskin, bahkan dibawah garis kemiskinan. Hari demi hari dihimpit terus dengan kesulitan ekonomi. Sedangkan yang dipertontonkan kepada mereka adalah kemewahan dan gemerlapnya harta yang menggiurkan dan godaan nafsu seksual yang vulgar yang dilakukan oleh orang-orang mutrafien (ulu al-ni'mat)
Lebih fatal lagi, selain miskin materi mereka juga tidak sedikit yang miskin kreativitas. Akhirnya dihinggapi mental pengemis, mengutang dan mental judi (untung-untungan). Obsesinya tiada lain hanya ingin meniru perilaku orang-orang yang hidupnya glamour, tanpa diimbangi dengan kemampuan yang ada pada dirinya.
Kemiskinan lahir dan kemiskinan batin (rohani) ini adalah korban ketidakadilan dan salah lurus, atau dampak negative dari arus globalisasi yang tidak menghiraukan prinsip keadilan dan tolong menolong yang ditimpakan kepada orang-orang yang kondisi imannya tipis. Untuk memenuhi ambisinya itu mereka melakukan berbagai cara antara lain: menjamurnya pengemis, semakin banyak orang yang mengutang atau mengambil kredit barang karena dorongan hidup konsumtif dengan alasan untuk usaha, tanpa menghiraukan resikonya.dan semakin subur pula orang-orang yang ingin mendapatkan rezeki walaupun dengan cara malas (untung-untungan spekulasi) atau judi.
Gairah untuk kerja yang produktif menurun, kehormatan diri dan martabat sebagai manusia sudah tidak dihiraukan lagi, (tanpa rasa malu mengemis dan meminta) dan sulit mencari kerja yang diidam-idamkan (karena upahnya ingin besar dan gengsi-gengsian).
Jika itu yang terjadi bahkan mungkin menimpa diri kita sendiri, maka selaku mu'min kita wajib meneliti diri kita sendiri (muhasabah) dan mencari solusinya dengan cara agama.
Dalam salah satu hadist diterangkan ada shabat Nabi namanya Qubaishah. Ia datang kepada Rasulullah Saw untuk konsultasi, karena ia berada dalam kesulitan ekonomi.
Rasulullah bersabda: “Tungu sebentar mudah-mudahan ada orang yang ingin besedekah, nanti saya akan perintahkan supaya diberikan kepada anda.”
Lantas Rasulullah menasehatinya: “Wahai Qubaishah sesungguhnya mengemis itu tidak diperbolehkan oleh agama, kecuali bagi salah satu diantara yang tiga, yaitu:
Orang-orang yang menanggung kesulitan karena kebutuhan yang sangat mendesak, ia boleh meminta-minta sehingga hilang kesulitannya itu, sesudah itu ia harus berhenti dari meminta-mintanya.
Orang yang ditimpa dari hartanya sehingga habis sama sekali. Ia boleh meminta-minta sehingga dapat bangun kembali. Orang yang mengalami kemiskinan yang benar-benar miskin (tidak dibuat-buat) sehingga ia dapat bangkit dari kemiskinannya itu.
Oleh sebab itu meminta-minta atau mengemis selain dari ketiga macam tadi adalah haram hukumnya.(Hr. Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasa’i)
Dari hadist ini dapat ditarik faidah, yaitu seorang muslim wajib menjaga kehormatannya dan martabat dirinya sebagai manusia dengan jalan kasab yang halal.
Meminta-minta atau mengemis pada dasarnya dilarang (apalagi dijadikam sebagai bahan ladang usaha) jauhkan diri dari mental mengemis, mental mengutang dan mental judi. Bagi pengusaha wajib memberikan arahan dan diberikan didikan yang benar, dan memberikan teladan yang baik serta hidup yang sederhana.
Kiat menghindar dari mental yang rusak
Mental Mengemis
Mental mengemis yang dimaksud, yaitu ketika seseorang menginginkan sesuatu atau merencanakan sesuatu, ia hanya mengandalkan pemberian atau sumbangsih dari orang lain dan tidak ada kreativitas darinya untuk berusaha sendiri yang produktif, padahal ia mampu untuk itu. Paling tidak kreativitasnya itu hanya sebatas mengemis. Seperti pura-pura sakit padahal sehat. Membuat proposal sumbangan yang isinya merengek-merengek dengan setumpuk perencanaan dan pembiayaan yang diperlukan agar dipercaya, dan kreatif menipu orang agar mendapat belaskasihan.
Padahal kalau dia mau ia dapat bekerja sendiri, secara terhormat dan bermartabat, tanpa harus menggantungkan diri terhadap orang lain. Sifat kemandirian inilah yang harus ditanamkan. Berusahalah dahulu dengan sabar dan tawakkal dan jagalah kehormatan diri.
Rasulullah Saw bersabda, “Orang-orang yang meminta-minta bukan karena kebutuhan mendesak, seperti orang yang memungut bara api.”
Bahkan dalam hadist lain diterangkan, jika seseorang mengambil tali untuk mencari kayu bakar lalu disimpan dipunggungnya, dibawa kepasar untuk dijual, maka Allah akan menjaga kehormatannya dengan perbuatan itu.dan perbuatan itu lebih baik dari pada meminta-minta kepada orang lain, diberi atau tidak.(Hr. Bukharidan Muslim).
Mental Mergutang/Meminjam
Mental mengutang/meminjam, orang yang hobinya meminjam atau menghutang tanpa didorong oleh kebutuhan yang mendesak, cuma karena dorongan hawa nafsu dan karena tergiur dengan kemewahan orang lain, tanpa memperhatikan kemampuan dirinya untuk membayar, pada hakekatnya ia tidak memiliki mental yang sehat.
Umumnya orang ini akan dijadikan obyek oleh orang-orang yang mempinyai i'tikad yang tidak baik yang hanya ingin memeras harta atau menyita barangnya. Oleh sebab itu ia harus memperhatikan ajaran agamanya, bukankah Rasul enggan menyalatkan jenazah yang masih ada urusan dengan utangnya. Bahkan yang meninggal dalam keadaan syahid akan diampuni dosanya kecuali ada utangnya.
Umumnya jika seseorang mempunyai utang ia akan berjanji tetapi dusta dan mengingkari janji itu, sehingga ia melakukan dosa yang lainnya. Dan Rosulpun pernah bersabda, “Jiwa seorang mu'min nasibnya kelak pada hari kiamat berkaitan erat dengan utangnya. Artinya baru akan diberikan ganjaran amal shalehnya jika utangnya itu ada yang membayarkannya.
Oleh sebab itu untuk menghindarkan dari mental mengutang ini adalah, harus meyakinkan bahwa menghutang atau meminjam itu pada dasarnya adalah perbuatan yang tidak terpuji, kecuali terdesak.
Barang siapa yang dipinjamkan adalah kepunyaan orang lain yang mungkin didapat dengan susah payah. Oleh sebab itu cepat kembalikan dan harus tanggung jawaab atas harta orang lain tersebut. Sebab jika seseorang meminjam dengan niat tidak akan membayar itu hakikatnya adalah penjahat atau pencuri.
Mengutang itu adalah beban mental yang akan mempengaruhi pikiran seseorang. Dalam satu riwayat dikatakan, “Hati hati dengan hutang karena hutang itu menjadikan bingung pada malam harinya dan kehinaan disiang harinya.”
Mental Judi.
Mental judi ini bukan berarti main judi karena judi sudah jelas hukumnya haram, tapi yang dimaksud ketika seseorang menghasilkan sesuatu atau memiliki sesuatu, dilakukan dengan cara untung-untungan (spekulasi), dengan modal dan cara yang enteng dengan harapan (lamunan) hasil yang besar, tanpa mengeluarkan tenaga yang banyak dan pemikiran yang rumit.
Biasanya mental ini dimiliki oleh orang yang prustasi, tipis imannya dan dalam keadaaan yang sulit perekonomiannya. Ia mau bekerja tetapi hasil kerjanya yang halal itu ia gunakan untuk mencari penghasilan yang lebih besar lagi yang sifatnya untung-untungan.
Mereka tidak lagi memikirkan kerja yang produktif, bahkan etos kerjanya menurun yang ada dalam benak pikirannya adalah keuntungan yang besar dengan modal yang sedikit.
Masyarakat yang bermental seperti ini menjadi sasaran empuk bagi pelaku ekonomi atau pengusaha yang ingin meraih keuntungan yang besar, seperti iming-iming hadiah atau apa saja yang penting belanja ini atau itu. Atau dengan sarat-sarat yang lain yang dianggap ringan. Yang akhirnya mereka berlomba –lomba mendapatkan hadiah walaupun membeli sesuatu yang tidak perlu atau tidak ada manfa'atnya.
Pada akhirnya ada yang berhasil dan ada yang tidak berhasil, dan umumnya yang berhasil itu sedikit saja. Yang jelas mental judi ini terjadi dalam segala sektor kehidupan. Akibat buruk dari mental ini adalah kemalasan (bekerja yang produktif akan hilang) dalam kehidupan sikapnya spekulatif (untung-untungan) yang akan menimbulkan permainan judi yang sebenarnya.
Untuk mengatasinya kembalilah kepada jalan agama. Berusahalah dengan mencari karunia Allah itu dengan bekerja yang halal, menghargai prestasi pekerjaan dengan upah yang sesuai. Sehingga jangan ada istilah lebih baik main judi dari pada kerja dengan upah sedikit.
Dalam keadaan ekonomi yang serba sulit ini, ketiga mental diatas memang sulit dibendung sebab kehidupan manusia yang serba praktis dan pragmatis.
Apa saja yang bisa jadi uang itulah yang diburu. Dan dalam pemburuan itu seringkali nilai-nilai agama yang dikesampingjkan moral diabaikan. Ditambah lagi dengan arus globalisasi dalam segala sector kehidupan yang semakin merambah dengan dampak yang positif dan negativenya.
Negara yang belum siap, yang akan menjadi korbannya. Jalan yang terakhir agar selamt dari pengaruh buruk adalah kembali kejalan Allah swt. Laksanakan ajaran dengan penuh kedisiplinan dan keikhlasan. Tawakkallah dengan mencari karunia Allah pasti Allah akan memberikan perlindungannya. Amien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar