"Barangsiapa membaca satu huruf dari Al-Qur'an maka baginya sepuluh kebaikan. Sedangkan satu kebaikan itu dilipat gandakan hingga sepuluh kali. saya tidak mengatakan alif laam mim itu satu huruf, tetapi alif itu satu huruf, lam itu satu huruf dan mim juga satu huruf," (HR. Tirmidzi). Itu baru satu kata, lalu bagaimana kalau kita membaca satu juz atau lebih setiap malamnya ?. Tentu sudah tak terhitung berapa banyak pahala yang mengalir ke catatan amal kita tanpa kita sadari. Belum lagi kalau saat itu bertepatan dengan malam lailatul qadar. Berarti apa yang kita lakukan pada saat itu sama dengan pahala yang kita peroleh ketika membaca Al-Qur'an selama 83 tahun lebih tanpa henti. Subhanallah. Dan, untuk menyambut datangnya bulan ini, seyogyanya kita memahami adab tilawah, adab membaca Al-Qur'an. Sehingga apa yang kita rencanakan sejak jauh-jauh hari itu bisa tercapai dengan baik.
1 . Membaca dalam keadaan suci dari
hadats, menghadap qiblat dan duduk dengan baik
Al-Qur'an bukanlah
seperti buku biasa, atau seperti surat kabar harian yang boleh dibaca di mana
saja serta dalam keadaan apa pun. Tidak. Al-Qur'an jelas sangat berbeda dengan
semua itu. Al-Qur'an merupakan kitab suci yang menjadi sumber segala sumber
hukum. Kitab suci yang terbebas dari perubahan hingga akhir zaman. Sehingga
sudah sangat wajar bila kita harus memperlakukannya dengan khusus pula.
Didahului dengan berwudlu, sebagai wujud pensucian diri. Lalu dilanjutkan dengan
mengambil dan membawanya dengan tangan kanan, sebagai lam bang kebaikan,
selanjutnya duduk dengan tenang dan siap untuk membacanya. Demikianlah yang
harus dilakukan sebelum membacanya, sehingga Allah berfirman: "Tidak'
menyentuhnya kecuali hambahamba yang disucikan". (Al-Waqiah: 79).
2.
Membaca dengan tartil (perlahan-lahan)
Seringkali kita mendengar
seseorang membaca Al-Qur'an dengan sangat cepat dan terburu-buru. Ia seperti
orang yang sedang dikejar hantu. Atau bisa jadi kita juga terpancing untuk
membacanya dengan cepat, agar lebih cepat selesai. Padahal membaca dengan cara
seperti ini tentu sangat sulit menempatkan huruf pada makhraj yang benar.
Terlebih lagi, pandangan mata kita kurang bisa terfokus dengan baik. Akibatnya,
kesalahan demi kesalahan akan terus terulang tanpa kita sadari. Kata "Rahiim"
yang berarti "Maha Penyayang" misalnya.
Bila mata kita melihat dengan
cepat, bisa jadi lidah kita akan keseleo dan akhirnya membaca "Rajiim" yang
bermakna "Yang dimurkai", ini kelihatannya sepele, tetapi sebenarnya suatu
kesalahan yang sangat fatal karena arti kedua kalimat itu sangat bertolak
belakang. Bayangkan, bila kesalahan itu terjadi pada lafadz basmalah, tentu hal
ini sangat fatal. Karena itu, Allah berfirman: "Dan bacalah Al-Qur'an itu dengan
perlahan-lahan." (QS. Al-Muzammil: 4).
Tampakkan kesedihan bila membaca ayat yang menunjukkan ancaman dan
siksa. Dan, berseriserilah bila mendengar berita gembira. Itulah nasehat
Rasulullah kepada sahabat dan seluruh umat Islam. Sehingga tidak jarang kita
menemukan ulama yang menangis tersedu-sedu. "Bacalah AIQur'an dan menangislah
karenanya. Bila kalian tidak bisa menangis maka berpura-puralah untuk menangis."
(HR. Bukhari dan Muslim). Berpura-pura menangis ini dilakukan ketika membaca
Al-Quran send irian. Sedang tidak bersama orang lain. Agar keikhlasan tetap
terjaga. Lihatlah! betapa tubuh seorang sahabat yang bernama Uwais al-Qarni
menggigil hebat, lalu terjatuh dan pingsan cukup lama setelah membaca membaca
firman Allah: "Ha mim. Oemi kitab yang menjelaskan, sesungguhnya kami
menurunkannya pada suatu motam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang
memberi peringatan.
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh
hikmah." Dia membacanya hingga "Kecuali orang-orang yang diberi rahmat Allah.
Sesungguhnya Oialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. " (QS. Ad-Dukhan:
1-100).
4. Membacanya dengan suara yang enak didengar.
Bersyukur kepada Allah, bila dikaruniai suara yang merdu dan enak
didengar adalah suatu keharusan. Caranya, dengan memanfaatkan kemerduan suara
itu untuk membaca Al-Qur'an. Sehingga orang yang mendengar keindahan suara kita
semakin tertarik dan ingin belajar membaca Al-Qur'an. Rasulullah SAW bersabda,
"Hiasilah Al-Qur'an dengan suara kalian." (HR. Bukhari). Tapi bila merasa
khawatir akan ria atau sumah, maka bacalah Al-Qur'an dengan suara yang cukup
didengar sendiri. "Orang yang membaca Al-Qur 'an dengan keras bagaikan orang
yang bershadaqah dengan terang-terangan." (HR. Turmudzi).
Hal ini sudah sangat jelas dan tidak perlu dibahas lebih
jauh bahwaAl-Qur'an bukanlah kitab biasa yang hanya dibaca sambil lalu, tapi ia
adalah pedoman hidup yang harus dihayati, bukan sekadar dibaca tanpa tahu makna
dan maksudnya. Allah berfirman: 'Apakah mereka tidak merenungkan AI Qur'an."
(QS. An-Nisa: 82) Sangat banyak yang bisa direnungkan. Bahkan diri kita juga
menjadi obyek perenungan. Misalnya, bersyukurlah karena hidung kita tidak
menghadap ke atas, karena kalau itu yang terjadi tentu air akan akan masuk ke
dalam hidung setiap kali kita kehujanan atau mandi. Ini adalah contoh yang
simpel dari sekian banyak obyek perenungan lainnya "Don (juga) pada dirimu
sendiri Maka apakah kamu tiada memperhatikan?" (Adz-Dzariyat: 21)
6.
Bukan menjadi orang yang tidak menghiraukan apa yang dibaca.
Bersikap apatis dan acuh terhadap apa yang dibaca, tentu bukan sikap
yang terpuji. Karena bisa jadi, saat itu kita melaknat diri sendiri. Memang,
demikianlah akibatnya bila tingkah laku kita bertentangan dengan apa yang
dibaca. "lngatlah! Kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang dzalim."
(QS. Huud: 18) Dengan demikian tidak ada pilihan lain, belajar bahasa arab
merupakan solusi terbaik sehingga kita bisa memahami arti sekaligus penafsiran
ulama. Atau setidak-tidaknya merujuk kembali kepada tejemah Al-Qur'an. Di dalam
Taurat disebutkan, "Mengapa kamu tidak malu kepada-Ku? Ketika kamu mendapat
kiriman surat dari seorang teman, kamu berhenti sejenak dan menyempatkan diri
membacanya, huruf demi huruf. Agar kamu bisa memahaminya dengan baik dan tidak
ada yang terlewatkan. Dan, inilah kitab yang Aku turunkan kepadamu. Perhatikan!
Bagaimana Aku menjelaskan setiap permasalahan dengan terperinci. Dan perhatikan!
betapa sering Aku mengulanginya sehingga kamu bisa merenungkannya. Tapi
lihatlah! Apa yang kamu lakukan, kamu pun berpaling darinya. Sehingga Aku
menjadi kurang bermakna bagimu dibandingkan dengan temanmu.
Wahai
hamba-Ku! Bila datang seorang teman mengunjungimu, kamu pun menyambutnya dengan
hangat. Kamu memperhatikan dan mendengarkannya dengan seksama. Bila ada orang
yang mengganggu pembicaraanmu, kamu pun segera menyuruhnya untuk diam. Dan,
inilah sekarangAku datang kepadamu, ingin berbicara denganmu. Tapi apa yang
terjadi? Kamu pun berpaling dariku. Mengapa kamu menjadikan Aku lebih tidak
bermakna dari seorang temanmu?" Demikianlah beberapa hal yang harus diperhatikan
ketika membaca Al-Qur'an, sehingga kita "" tidak membacanya semau kita tanpa
memperhatikan situasi dan kondisi. Ini semua agar tilawah kita lebih bermakna
dan benar benar beda.
Adab Maknawi dalam Membaca dan Mengambil Pelajaran dari Al-Quran
Isti’adzah dan Isti’anah dalam Membaca Al-Quran
Al-Quran adalah qawlan tsaqilan. Allah SWT mengatakan, “Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu qawlan tsaqila,” (QS. Al-Muzammil : 1). Ahli suluk yang ingin mencapai hakikat makrifat, maka ia harus suci. Allah SWT memerintahkan kepada para pembaca Al-Quran agar menyucikan dirinya. Ketika membaca Al-Quran Allah menyuruh setiap manusia untuk memulainya dengan mengucapkan, a’udzubillah minasy syaitanirrajim (Maka apabila engkau (Muhammad) hendak membaca Al-Quran, mohonlah perlindungan dari Allah SWT dari setan yang terkutuk). (QS. An-Nahl : 98)
Seorang manusia selama tidak membebaskan diri dari was-was dari luar dan dari dalam seperti dari tradisi jahiliah atau ia belum bisa membersihkan pikirannya dari ikatan-ikatan kesukuan, maka ia tidak akan bisa memanfaatkan Al-Quran. Sebab was-was itu menghalangi dirinya untuk mencerap makna-makna yang benar tentang Al-Quran.
Manusia-manusia yang mengunci hatinya dengan bias-bias lama kemudian berusaha mendekati Al-Quran, maka Al-Quran tidak mungkin bisa didekati dengan cara itu. Orang macam itu seperti mengatakan lafaz-lafaz Al-Quran tetapi tidak bisa menggenggam maknanya. Inilah gambaran dari sinyalemen Nabi SAW yang mengatakan, “Celakalah yang membaca ayat Al-Quran tetapi tidak mau merenungkannya (tadabur).”
Rasulullah SAW terlindung dari segala was-was, sebab ia adalah manusia mukhlis dan tidak bisa dikuasai oleh setan. Ketika Rasulullah SAW mengucapkan isti’adzah, artinya beliau melakukan perlindungan (preventif), tetapi yang lain ketika mengucapkan isti’adzah karena memang terancam bahaya.
Isti’adzah adalah etika (adab) maknawi Al-Quran. Kapan saja seseorang sibuk dengan Al-Quran maka dia harus melindungi dirinya dari setan, lantaran setan selalu mengintai para pembaca Al-Quran untuk menjebaknya. Makna isti’adzah adalah meminta perlindungan diri kepada Allah SWT. Isti’adzah yang paling minimal adalah dengan mengucapkan a’udzubillah minasy syaitanirrajim. Allah SWT mengatakan, Dan jika setan datang menggodamu, maka berlindunganlah kepada Allah. Sungguh Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. (QS. Al-A’raf : 200)
Artinya, berlindunglah diri dengan berpegang teguh pada Al-Quran dan itrahnya, atau berlindung diri kepada benteng tauhid. Dan, bukan hanya sekedar mengucapkan, “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk!” pasalnya, ketika seseorang terancam bahaya ia tidak bisa menyelesaikannya dengan hanya mengucapkan “Aku berlindung dari bahaya!”
Hawa nafsu (nafs) dan setan adalah dua waswas yang membahayakan. Allah membicarakan nafsu itu dengan mengatakan, Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, (QS. Qaf : 16). Adapun tentang setannya, Allah SWT mengatakan, Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. (QS. An-Nas : 5)
Setan mendatangi manusia-manusia yang pasif, tidak aktif, atau menyendiri. Sebab, ia itu ada dalam jeratannya. Ia datang kepada manusia-manusia yang suka membaca Al-Quran. Pada saat yang sama, ia juga menggunakan jerat-jeratnya. Seorang pembaca Al-Quran hendaknya berlindung dari setan, baik dalam posisi awal (huduts) atau posisi konsistensinya (baqa). Karena, seperti yang telah dijelaskan, setan itu di awal dan di tengah-tengah terus menyerang dengan virus-virusnya.
Mengikis kotoran-kotoran adalah bagian dari isti’adzah. Allah SWT menyuruh Nabi SAW mengucapkan, Bismillah, Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan, (QS. Al-Alaq : 1). Karena ia harus mengucapkan dengan nama al-Haq, maka Allah selalu hidup baik dalam hudutsatau dalam baqa.
Seseorang ketika mengucapkan ayat-ayat Al-Quran bukan hanya harus berlindung di awalnya saja dan kemudian melupakan Allah, namun seorang pembaca Al-Quran harus terus mengingat Allah di awal dan sampai akhir. Allah harus selalu menggetarkan hatinya. Hati harus selalu melakukan tajalli dan tahalli dengan nama al-Haq diikuti oleh ucapan-ucapan lafzi.
Asma-asma Allah yang diucapkan oleh seorang pembaca hanyalah nama-nama saja karena nama hakiki ada pada derajat emanasi Ilahi. Seorang manusia harus menyucikan menakdiskan nama-nama tersebut, “Sucikanlah nama Tuhanmu yang paling agung,” (QS. Al-A’la : 1). Al-Haq harus disucikan. Demikian pula dengan nama-nama-Nya. Asmaulhusna adalah wasilah bagi al-Haq untuk mengatur semua alam. Allah menjamin manusia dengan asmaulhusna. Seorang manusia yang berkhidmat pada Al-Quran, maka Allah juga melindunginya dengan mengajarkan isti’adzah dan juga jalan untuk memperoleh hidayah. Baik dari dalam diri (inward) atau luar diri (outward).
Orang-Orang Kafir Terhalang untuk Mendengar dan Menyaksikan Al-Quran.
Membaca Al-Quran disingkapkan untuk Rasulullah SAW tetapi ditutupi untuk orang lain. Karena itu, Allah SWT mengatakan, “Dan apabila kamu membaca Al-Quran niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu hijab yang tidak terlihat.” (QS. Al-Isra : 45)
Hijab itu bisa bersifat fisik bisa juga maknawi. Hijab maknawi seperti dosa atau lalai, yang tidak terlihat oleh si pelaku tapi jelas ia menjadi penghalang antara dirinya dan Allah SWT. Imam Zainal Abidin mengatakan tidak ada hijab antara Tuhan dan manusia kecuali dosa. Al-Quran juga mengatakan, “Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhijab dari (melihat) Tuhan mereka.” (QS. Muthaffifin : 15)
Mereka bisa berkata, “Tuhan kami, berilah kami pendengaran dan berilah kami penglihatan,”(QS. As-Sajdah : 12) tetapi mereka akan melihat jilatan-jilatan api neraka saja.
Orang-orang kafir tidak dapat mencerap Al-Quran. Mereka tidak dapat memahami ayat-ayat yang dibacakan oleh Nabi SAW karena setan telah menguasai mereka, “Pasti aku (iblis) akan selalu menghalangi mereka dari jalan yang lurus.” (QS. Al-A’raf : 16) Membaca Al-Quran dan mendengarnya adalah simbol dari jalan lurus dan setan selalu berusaha menghalangi siapa pun di jalan ini.
Menyimak dengan Diam di Depan Pembacaan Ayat-Ayat Al-Quran
Pada awal pembahasan sudah dijelaskan bahwa Al-Quran dan Rasul SAW itu memiliki kedekatan dan kebersamaan, “Dan mengikuti cahaya yang terang, yang diturunkan kepadanya,” (QS. Al-A’raf : 157). Karena itu, eksistensi Rasul SAW selalu terpelihara dari segala was-was dan ia juga mendapatkan isti’anah (bantuan) dari asmaulhusna. Bahkan beliau sendiri adalah manifestasi dari ismul a’zham. Maka itu Al-Quran mengatakan, “Dan apabila dibacakan Al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang,” (QS. Al-A’raf : 204). Terhadap Nabi SAW pun demikian. Jika Rasulullah SAW berbicara tentang agama maka dengarlah dan diamlah karena Rasul SAW berbicara atas perintah Allah SWT.
Apa saja yang datang dari Rasul, maka terimalah dan apa yang dilarang olehnya maka jangan lakukan, (QS. Al-Hasyr : 7). Manusia yang dekat dengan Al-Quran tidak akan berbicara kecuali atas dasar perintah Allah. Ia tidak akan menyatakan sesuatu yang keluar dari hawa nafsunya,“Dan tidaklah yang diucapkan itu (Al-Quran) menurut keinginannya. Tidak lain itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya,” (QS. An-Najm : 3-4). Kata-kata Rasul SAW itu yang berupa hadis juga merupakan wahyu. Maka itu, ketika mendengar hadis pun (kita) harus menyimaknya secara baik-baik dan diam.
Rasulullah SAW juga mengatakan, “Aku meninggalkan kalian dua pusaka besar: kitabullah dan itrah (keluargaku). Jadi, itrah Rasul SAW juga, ketika berbicara, harus didengarkan dan diam. Perkataan para Imam tentang agama, akidah harus diperhatikan dengan baik-baik, lantaran mereka pun memiliki kedudukan sebagai penyampai wahyu. Dengan demikian, manusia-manusia suci tidak bisa disamakan dengan manusia-manusia biasa. Pasalnya, mereka memiliki keterkaitan dengan sumber wahyu.
Kesimpulannya, seseorang yang mengikuti sunah Rasul SAW, akan melakukan hal di bawah ini :
- Banyak membaca Al-Quran
- Akan membaca Al-Quran dengan tartil
- Akan meminta perlindungan diri pada awal dan di tengah-tengah pembacaan Al-Quran
- Ia akan menyimak dengan baik-baik dan diam untuk mendengarkan bacaan Al-Quran.
“ Dan orang-orang yang mendapatkan petunjuk, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka dan menganugerahi ketakwaan kepada mereka.” (QS. Muhammad : 17)
Jika dibacakan ayat-ayat Al-Quran maka bertambahlah keimanan mereka. (QS. Al-Anfal : 2)
Keimanan bertambah karena makrifat bertambah. Makrifat ini berasal dari sumber makrifat, yaitu Rasulullah SAW yang memiliki kesadaran total terhadap Al-Quran dalam setiap fase hidupnya. Ketika membaca Al-Quran, maka adab-adab Ilahi harus benar-benar dijalankan. Demikian juga ketika orang lain membaca Al-Quran, adab-adab diam dan mendengar harus benar-benar dipelihara dengan baik. Mendengar dan diam adalah kewajiban si pendengar tetapi menyimak, tadabbur, adalah tugas bersama antara si pendengar dan si pembaca, “ Jika Al-Quran dibacakan maka dengarkanlah dengan baik dan diamlah.” (QS. Al-A’raf : 204)
Tentang hukum mendengar ada perbedaan pendapat di kalangan fukaha. Menurut pendapat yang paling masyhur perintah fastami’u lahu (maka dengarkanlah) adalah perintah mustahab. Sementara itu, sebagian fukaha Imamiyah menganggapnya sebagai sebuah perintah wajib. Sebagian lagi menganggap wajib ketika sedang melaksanakan shalat berjamaah. Artinya, ketika seorang imam jamaah membacakan surah Al-Fatihah dan surah lain, maka makmum wajib mendengarkannya dan diam.
Isti’adzah dan Isti’anah dalam Tadabbur
Al-Quran harus dibaca dan ditadabburi, bukan sekadar dibaca tanpa tadabbur. Rasulullah SAW mengatakan, “Celakalah orang yang membaca Al-Quran tetapi tidak mau mentadabburinya.”Hal ini menyangkut seluruh ayat yang dibaca, karena kekhususan perintah tidak menyebabkan perintah itu hanya khusus untuk kasus tertentu.
Al-Quran juga mengatakan,
Wahai orang-orang yang berselimut (Muhammad) bangunlah (untuk shalat) pada malam h ari kecuali sebagian kecil (yaitu) separuhnya atau kurang sedikit dari itu, atau lebih dari (seperdua) itu. Dan bacalah al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. (QS. Al-Muzammil : 1-4)
Dari ayat ini bisa dipahami bahwa waktu malam adalah waktu yang terbaik untuk membaca Al-Quran, baik itu dalam shalat malam atau pada waktu sahur karena waktu malam memiliki kekuatan yang baik agar Al-Quran itu bisa membekas di dalam jiwa si pendengar. Seseorang yang membaca Al-Quran di malam hari dan melakukan munajat dengan Allah SWT akan mendapatkan manfaat yang lebih besar.
Sungguh, bangun malam itu lebih kuat (mengisi jiwa); dan bacaan waktu itu lebih berkesan(QS. Al-Muzammil : 6)
Ketika membaca Al-Quran, seseorang harus meminta perlindungan kepada Allah SWT di awal dan di tengah-tengah pembacaan. Demikian juga dalam melakukan penelaahan (Muthala’ah)dan mentadabburinya. Seorang manusia meminta perlindungan dengan menggunakan nama Allah. Demikian juga dalam melakukan tadabbur ia harus menyandarkan pada nama-nama Allah. Setan itu tidak hanya akan mengganggu fisik manusia tapi juga yang lebih penting ia ingin menguasai hati.
Sesungguhnya setan-setan itu akan membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu dengan jidal (argument). (QS. Al-An’am : 121)
Pembahasan yang argumentatif dan logis dapat menyelamatkan manusia yang mau berpikir dari kesalahan berpikir dan itu artinya menutup jalan setan. Setan bukan saja merecoki amal-amal manusia tapi juga berusaha menyelewengkan pikiran-pikiran mereka sehingga manusia sadar atau tidak sadar memiliki pikiran yang membebaskannya untuk berbuat dosa.
Setan sering merusak pikiran manusia, membuat manusia merasa waswas, setan mula-mula memotivasi manusia dengan pikiran-pikiran negatif. Setelah itu memaksa manusia agar mau membantah argument-argumen yang benar, “Sehingga ketika mereka mendatangimu mereka membantahmu,” (QS. Al-An’am : 25). Karena itu, seorang ahli telaah sebaiknya memulai penelaahannya dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim agar terhindar dari bisikan-bisikan setan.
Setan paling pintar menggambarkan yang kotor menjadi indah, yang batil menjadi benar agar membingungkan kaum terpelajar. Al-Quran menyindirnya, “Aku (setan) pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi,“ (QS. Al-Hijr : 39), juga, “Dan akan aku suruh mereka…,” (QS. An-Nisa : 119). Mula-mula setan hanya membuat was-was manusia tetapi setelahnya ia akan menguasai manusia. Ketika setan menjadi penguasa hati manusia, maka jiwa manusia akan selalu was-was dan setan kemudian berani memerintahkan manusia melakukan perbuatan-perbuatan buruk.
Dengan begitu, meminta perlindungan kepada Allah dari godaan setan terkutuk tidak hanya dalam level amal tapi juga dalam arus pemikiran. Khususnya ketika mau membaca Al-Quran dan mentaddabburinya. Ketika Al-Quran dibaca dengan meminta perlindungan dari setan, maka Allah akan menyertainya.
Membaca ayat-ayat Al-Quran dengan memerhatikan syarat-syarat di atas akan memberikan keberkahan yang sangat besar. Seperti yang digambarkan oleh Rasulullah SAW “Aku akan merasa heran kalau aku membaca Al-Quran kemudian rambutku tidak memutih.”
Al-Quran akan menyingkapkan tirai-tirai kebenaran kepada manusia sehingga si pembacanya akan cepat tua secara fisik karena merasakan keagungannya. Seperti yang digambarkan oleh Al-Quran tentang kebenaran kiamat yang menakutkan akan membuat anak-anak menjadi tua, “Di hari itu anak-anak menjadi tua. (Qs. Al-Muzammil : 17)
Rasulullah SAW mengatakan, “Surah Hud dan surah Al-Waqiah membuat rambutku menjadi putih. Di dalam surah Hud dan surah Al-Waqiah ada informasi-informasi mengenai hari kiamat yang membuat rambut beliau menjadi putih.
Semua ayat Al-Quran mengandung berita-berita yang tidak ringan. Setiap surah tentu berbicara tentang sesuatu yang berbeda. Namun di antara surah-surah tersebut memiliki kesamaan-kesamaan.
Di dalam hadis ditegaskan, suatu hari Rasulullah SAW mengatakan kepada Ibnu Mas’ud,“Bacalah Al-Quran untuk kudengarkan!” karena dalam hidupnya Rasulullah SAW tidak hanya membacakan Al-Quran tapi juga kadang-kadang mendengarkan bacaaan Al-Quran. Mendengarkan Al-Quran sama lezatnya dengan membacakannya.
Ibnu Mas’ud pun membacakan beberapa ayat Al-Quran dan ketika sampai pada ayat, “Dan bagaimanakah (keadaan orang kafir nanti), jika Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka.” (QS. An-Nisa : 41)
Air mata beliau bercucuran dan terus mengalir, kemudian Rasul SAW menyuruh Ibnu Mas’ud menghentikan bacaannya.
Bacaan Qur’an-mu jangan Mengganggu Orang Lain
Ini adalah sebuah fenomena yang sering terjadi di sebagian masjid-masjid, adanya sebagian pengurus masjid yang memutar kaset ngaji alias kaset murottal atau sholawatan, sehingga mengganggu orang lain yang sedang sholat atau membaca Al-Qur’an atau orang yang sedang berdzikir. Ada lagi di sebagian tempat yang membaca Al-Qur’an melalui lisannya dengan suara keras, sedang orang-orang yang ada di sampingnya dari kalangan orang-orang yang sedang sholat, berdzikir, atau majelis taklim yang sedang berlangsung. Mereka semua merasa terganggu. sementara yang membaca Al-Qur’an dengan suara keras tadi santai saja dan tak merasa bersalah dengan sikapnya itu.
Para pembaca yang budiman, fenomena yang seperti ini amat perlu kita kaji hukumnya agar kita semua tahu. Karenanya, kali ini kami turunkan materi dan artikel ringkas berupa fatwa dari sebagian ulama kita.
Seorang penanya pernah berkata kepada Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin -rahimahullah-,
ما حكم قراءة القرآن في المسجد بصوت مرتفع مما يسبب التشويش على المصلين؟
“Apa hukum membaca Al-Qur’an di masjid dengan suara yang tinggi sehingga menyebabkan gangguan bagi orang-orang yang sedang sholat?”
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin -rahimahullah- menjawab,
حكم قراءة الرجل في المسجد في الحال التي يشوش بها على غيره من المصلين، أو الدارسين، أو قارئ القرآن، حكم ذلك حرام، لوقوعه فيما نهى عنه النبي صلى الله عليه وسلم، فقد روى مالك في الموطأ عن البياضي (هو فروة بن عمرو) أن النبي صلى الله عليه وسلم خرج على الناس وهم يصلون وقد علت أصواتهم بالقراءة، فقال: “إن المصلي يناجي ربه فلينظر بما يناجيه به، ولا يجهر بعضكم على بعض بالقرآن” . وروى نحوه أبو داود من حديث أبي سعيد الخدري -رضي الله عنه- .
“Hukum seseorang membaca Al-Qur’an di masjid dengan kondisi yang memberikan gangguan dengannya bagi yang lain dari orang-orang yang sedang sholat atau mengajar, atau membaca Al-Qur’an; hukum perkara itu adalah haram, karena terjerumusnya ia ke dalam sesuatu yang dilarang oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Sungguh Malik telah meriwayatkan (sebuah hadits) di dalam Al-Muwaththo’ dari Al-Bayadhiy (yaitu, Farwah bin Amer) bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah keluar menemui manusia, sedang mereka melaksanakan sholat. Sementara suara mereka tinggi (keras) dalam membaca Al-Qur’an. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya orang yang sedang sholat bermunajat (berbincang secara lirih) dengan Robb-nya. Karenanya, hendaklah ia memperhatikan dengan apa ia munajati Robb-nya dan janganlah sebagian orang diantara kalian mengeraskan suaranya atas yang lain dalam membaca Al-Qur’an”.
Hadits ini diriwayatkan semisalnya oleh Abu Dawud dari Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu anhu-“
[Sumber Fatwa: Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Asy-Syaikh Al-Utsaimin (13/13/no. 364)]
Fatwa yang dinyatakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin -rahimahullah- sejalan dengan penjelasan Al-Imam Abul Walid Al-Bajiy -rahimahullah-.
Abul Walid Al-Bajiy -rahimahullah- berkata dalam menjelaskan alasan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melarang untuk mengangkat suara saat membaca Al-Qur’an dalam sholat sunnah, sedang saudaranya juga sholat sunnah,
“Karena, di dalam hal itu terdapat gangguan kepada yang lain dan halangan untuk menghadap kepada sholat, konsentrasinya hati kepada sholat, dan perhatian seseorang terhadap sesuatu yang ia ucapkan kepada Robb-nya berupa bacaan Al-Qur’an. Jika mengangkat suara dalam membaca Al-Qur’an adalah terlarang ketika itu (yakni, dalam kondisi sholat), karena mengganggu orang-orang yang sholat, nah kalau dilarang mengangkat suara saat berbicara dan lainnya, maka tentunya lebih utama (untuk dilarang) berdasarkan sesuatu yang telah kami sebutkan; juga karena di dalam perbuatan itu terdapat perendahan terhadap masjid-masjid, serta tidak menghormatinya, tidak membersihkannya sebagaimana wajibnya, dan tidak menfokuskannya untuk tujuan masjid itu dibangun, yakni mengingat Allah -Ta’ala-“.[Lihat Al-Muntaqo Syarh Al-Muwaththo’ (1/185)]
Kesimpulan
- Membaca Al-Qur’an dengan suara keras sehingga mengganggu orang lain yang sedang sholat atau bermajelis ilmu adalah terlarang.
- Niat yang baik tidaklah cukup dalam membenarkan suatu perkara yang keliru. Karenanya, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melarang seseorang membaca Al-Qur’an jika mengganggu yang lain, walaupun si pembaca niatnya baik.
- Jika suara bacaan Al-Qur’an saja terlarang jika mengganggu orang lain, maka tentunya suara-suara lain yang mubah lebih terlarang lagi jika menimbulkan gangguan. Terlebih lagi jika suara itu haram, misalnya suara musik.
- Hendaknya seseorang melirihkan suara dalam berdoa. Demikian pula saat membaca Al-Qur’an jika takut bacaannya mengganggu orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar