Kita pasti pernah marah. Normal, dan manusiawi. Tapi kalau marah mulai di luar kendali dan bahkan merusak, itu bisa menjadi awal dari masalah di kantor, dalam hubungan pribadi anda, dan dalam semua sisi kehidupan anda. Marah merupakan pernyataan emosi yang intentsitasnya berbeda-eda. Hal wajar, karena ini merupakan respon terhadap ancaman; yang encerminkan kekuatan, agresif, perasaan, dan kebiasaan yang membuat kita erjuang dan bertahan, terutama jika mendapat serangan.
Orang akan menggunakan berbagai cara dalam mengekspresikan perasaan marah mereka. Diantaranya mengekspresikannya, ditahan, dan diam. Mengekspresikan perasaan marah anda dengan cara tegas- bukan agresif- merupakan cara sehat. Dalam hal ini, anda harus belajar memperjelas apa yang anda butuhkan dan bagaimana mendapatkannya, tanpa menyakiti orang lain. Menjadi tegas tidak berarti anda menekan; ini bisa berarti menghargai diri anda sendiri dan yang lainnya.
Jiwa (Nafs) Dalam Diri Manusia
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak- bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” (QS 53:23).
“Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk, akan tetapi telah tetaplah perkataan dari padaKu: “Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama.” (QS 32:13)
Jiwa (nafs) di dalam diri manusia ada 4 macam, yakni ammarah, lawwamah, mardhiyah dan muthmainnah. Keempatnya punya pengaruh yang besar dalam kehidupan manusia, baik dalam berhubungan dengan Tuhan, maupun dalam berinteraksi dengan makhluq yang lainnya.
Nafs Amarah
Nafs ammarah adalah jiwa yang selalu menyuruh pada kejahatan. Jiwa yang diliputi amarah cenderung untuk bertindak yang dapat menimbulkan kerusakan.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS 12:53)
Kerusakan yang mereka perbuat di muka bumi bukan hanya berarti kerusakan benda, melainkan juga menghasut orang-orang kafir untuk memusuhi dan menentang orang- orang Islam. Mereka juga juga masuk ke dalam barisan orang-orang Islam untuk memecah belah, membuat firqoh-firqoh sehingga orang-orang Islam saling bermusuhan.
“Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (QS 2:11-12)
Karena perbuatan manusia yang hatinya diliputi kegelapan itulah kemudian dapat menimbulkan bencana.
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (QS 4:79)
Bagi orang yang beriman, ia harus bisa mengandalikan amarahnya, dengan bertawakkal kepada Allah Swt dan memberi maaf kepada orang yang berbuat dzalim kepadanya. Hal itu harus dilakukan agar kita tidak terjerumus dalam perbuatan yang keji.
“Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.” (QS 42:36-37)
Nafs Lawwamah
Lawwamah adalah jiwa yang selalu menyesali. Maksudnya, bila ia pernah berbuat kebaikan ia menyesal kenapa ia tidak berbuat lebih banyak, apalagi kalau ia berbuat kejahatan.
“dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (QS 75:2)
Kebanyakan orang suka berbuat tanpa berpikir jernih, sehingga tindakannya hanya berda-sarkan nafsu amarah yang membuat kerusakan. Dan orang biasanya baru menyesal setelah tahu bahwa perbuatanya salah.
“Kemudian mereka membunuhnya, lalu mereka menjadi menyesal, maka mereka ditimpa azab. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bukti yang nyata. Dan adalah kebanyakan mereka tidak beriman.” (QS 26:157-158)
Allah Swt telah berusaha menyadarkan manusia dengan berbagai cara, antara lain juga dengan contoh perilaku hewan.
“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memper-lihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.” (QS 5:31)
Orang yang menyekutukan Tuhan dan orang munafik baru menyesal setelah tertimpa bencana, azab dan sengsara.
“Dan harta kekayaannya dibinasakan; lalu ia membolak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: “Aduhai kiranya dulu aku tidak memperse-kutukan seorangpun dengan Tuhanku.” (QS 18:42)
Orang-orang munafik dalam hidupnya selalu diliputi ancaman bencana dari Tuhan.
“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: “Kami takut akan mendapat bencana.” Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan keme- nangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.” (QS 5:52)
Orang yang beriman harus selalu waspada agar tidak ditimpa bencana.
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS 49:6)
“Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk, akan tetapi telah tetaplah perkataan dari padaKu: “Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama.” (QS 32:13)
Jiwa (nafs) di dalam diri manusia ada 4 macam, yakni nafsammarah, lawwamah, mardhiyah dan muthmainnah. Keem- patnya punya pengaruh yang besar dalam kehidupan manusia, baik dalam berhubungan dengan Tuhan, maupun dalam berin-teraksi dengan makhluq yang lainnya. Tulisan ini merupakan kelanjutan dari postingan kemarin.
Nafs Mardhiyah
Mardhiyah adalah hati yang puas, karena telah mendapat petunjuk dan Allah Swt. meridhoi amal baiknya.
“Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (QS 89:28)
Orang yang beriman dan bertaqwa akan mendapat pertolongan Tuhan, dijauhkan dari kesalahan dan diampuni dosa-dosanya.
“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS 8:29)
Allah Swt meridhai perbuatan mereka, dan merekapun merasa kan puas terhadap nikmat yang telah dicurahkan kepadanya.
“Allah berfirman: “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadapNya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (QS 5:119)
Maka dari itu beruntunglah orang-orang yang mendapat petunjuk sehingga bisa beriman dan taqwa kepada Allah Swt.
“Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rah- mat) Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (QS 58:22)
Agar mendapat ridho Allah, kita harus beriman dan beramal saleh, mendirikan shalat dan berzakat, taat kepada perintah dan meninggalkan larangan Tuhan.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguh- nya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS 9:71).
“Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas.” (QS 93:5)
Nafs Mutmainnah
Mutmainnah adalah jiwa yang tenang dan tenteram, karena beriman, dan selalu merasa dekat dengan Tuhan.
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (QS 89:27-28)
Allah memberikan ketenangan kepada orang beriman dengan kalimat taqwa, yakni hanya kepada Allah saja kita patut merasa takut. Maka kalau kita menyerahkan diri kepada Allah, kita akan ditolongNya pula.
“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS 48:26)
Ketenteraman hati orang yang beriman itu karena selalu mengingat (berdzikir) kepada Allah Swt.
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengi- ngat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS 13:28)
Orang yang merasa bahagia, aman dan tenteram hatinya karena beriman dan selalu berbuat kebaikan. Mereka tidak takut pada kematian, karena Allah pasti akan menolongnya di hari kiamat.
“Barang siapa yang membawa kebaikan, maka ia memperoleh (balasan) yang lebih baik dari padanya, sedang mereka itu adalah orang-orang yang aman tenteram dari pada kejutan yang dahsyat pada hari itu.” (QS 27:89)
Mereka tidak ragu-ragu berjihad dengan harta benda maupun jiwanya di jalan Allah, karena akan dibalas dengan kemenangan.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS 49:15).
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka, dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS 48:18)
SETIAP orang bisa marah asalkan emosi marahnya itu bisa dikontrol dengan baik. Namun ada juga yang tidak bisa mengontrol amarahnya. Ada perbedaan antara seseorang yang marah dengan orang yang bermasalah dalam mengontrol emosinya.
1. Marah besar karena masalah kecil
Marah bisa memiliki efek positif. “Seringkali amarah memberitahu kita untuk melakukan sebuah tindakan,” kata Dr. Williams, seperti dikutip dari cbsnews.com. Tetapi, jika rasa marah muncul dan meledak-ledak hanya karena persoalan kecil, bisa jadi pertanda bahwa seseorang mengalami kesulitan dalam mengontrol emosinya.
2. Interupsi
Seseorang yang marah akan cenderung menjadi orang yang tidak sabar. Apalagi jika tidak bisa mengontrol amarahnya. Orang tersebut akan bermasalah untuk menunggu orang lain mengemukakan pendapatnya. Hal yang dilakukannya kemudian adalah selalu menginterupsi. Meskipun dia diam saja dan membiarkan orang lain bicara, sebenarnya ia tidak mendengarkan.
3. Selalu protes
Menurut Dr. Williams, orang yang menghabiskan waktu untuk mengeluh tentang pelanggaran dan kekurangan orang lain mungkin memiliki masalah dengan amarahnya. Beberapa orang marah dengan kata-kata kasar bicara soal politik, olahraga atau hal lain. Semua racun itu datang dari sumber yang sama yaitu amarah.
4. Sulit memaafkan
Hubungan personal bisa menjadi mimpi buruk ketika seseorang mengalami kesulitan memaafkan orang yang telah menyakitinya di masa lalu. Orang-orang dengan masalah amarah seringkali mengalami kesulitan dalam memaafkan orang lain. Sebaliknya, mereka terus frustrasi untuk kembali pada pengalaman menyakitkan dan kebencian setiap kali mengingat kesalahan tersebut.
5. Wajah memerah
Saat emosi meninggi, wajah bisa terlihat merah. Ketika wajah merah, jika diukur dengan termometer suhu tubuh dalam keadaan tinggi. Kemarahan adalah efek yang jelas dari tubuh dan pikiran. Bahkan, banyak penelitian telah menunjukkan bahwa orang yang sering marah cenderung memiliki tekanan darah tinggi dan mengalami stroke atau serangan jantung.
Adab Mengendalikan Amarah Menurut Islam
Jangan marah!" begitu sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang diriwayat kan Imam Bukhari.
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang bisa saja marah. Marah adalah sesuatu yang manusiawi. Lalu apa makna hadis Nabi SAW itu? Ibnu Hajar dalam Fathul Bani menjelaskan makna hadis itu: "AlKhath thabi berkata, "Arti perkataan Rasu lullah SAW 'jangan marah' adalah menjauhi sebab-sebab marah dan hendaknya menjauhi sesuatu yang meng arah kepadanya." Menurut 'Al-Khaththabi, marah itu tidaklah terlarang, karena itu adalah tabiat yang tak akan hilang dalam diri manusia.
Nah, apa yang harus dilakukan seorang Muslim ketika marah? Syekh Abdul Azis bin Fathi as-Sayyid Nada dalam kitab Mausuu'atul Aadaab alIslamiyah, mengungkapkan hendak nya seorang Muslim memperhatikan adab-abad yang berkaitan dengan marah. Berikut adab-adab yang perlu diperhatikan terkait marah.
- Pertama, jangan marah, kecuali karena Allah SWT. Menurut Syekh Sayyid Nada, marah karena Allah merupakan sesuatu yang disukai dan mendapatkan amal. Misalnya, marah ketika menyaksikan perbuatan haram merajalela. Seorang Muslim yang marah karena hukum Allah diabaikan merupakan contoh marah karena Allah. "Seorang Muslim hendaknya menjauhi kemarahan karena urusan dunia yang tak mendatangkan pahala," tutur Syekh Sayyid Nada. Rasulullah SAW, kata dia, tak pernah marah karena dirinya, tapi marah karena Allah SWT. Nabi SAW pun tak pernah dendam, kecuali karena Allah SWT.
- Kedua, berlemah lembut dan tak marah karena urusan dunia. Syekh Sayyid Nada mengungkapkan, sesungguhnya semua kemarahan itu buruk, kecuali karena Allah SWT. Ia mengingatkan, kemarahan kerap berujung dengan pertikaian dan perselisihan yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam dosa besar dan bisa pula memutuskan silaturahim.
- Ketiga, mengingat keagungan dan kekuasaan Allah SWT. "Ingatlah kekuasaan, perlindungan, keagungan, dan keperkasaan Sang Khalik ketika sedang marah," ungkap Syekh Sayyid Nada. Menurut dia, ketika mengingat kebesaran Allah SWT, maka kemarahan akan bisa diredam. Bahkan, mungkin tak jadi marah sama sekali. Sesungguhnya, papar Syekh Sayyid Nada, itulah adab paling bermanfaat yang dapat menolong seseorang untuk berlaku santun (sabar).
- Keempat, menahan dan meredam amarah jika telah muncul. Syekh Sayyid Nada mengungkapkan, Allah SWT menyukai seseorang yang dapat menahan dan meredam amarahnya yang telah muncul. Allah SWT berfirman, " … dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memberi maaf orang lain, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan." (QS Ali Imran:134). Menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Bahri, ketika kemarahan tengah me muncak, hendaknya segera menahan dan meredamnya untuk tindakan keji. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang dapat menahan amarahnya, sementara ia dapat meluapkannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan segenap mahluk. Setelah itu, Allah menyuruhnya memilih bidadari surga dan menikahkannya dengan siapa yang ia kehendaki." (HR Ahmad).
- Kelima, berlindung kepada Allah ketika marah. Nabi SAW bersabda, "Jika seseorang yang marah mengucapkan; 'A'uudzu billah (aku berlindung kepada Allah SWT, niscaya akan reda kemarahannya." (HR Ibu 'Adi dalam al-Kaamil.)
- Keenam, diam. Rasulullah SAW bersabda, "Ajarilah, permudahlah, dan jangan menyusahkan. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam." (HR Ahmad). Terkadang orang yang sedang marah mengatakan sesuatu yang dapat merusak agamanya, menyalakan api perselisihan dan menambah kedengkian.
- Ketujuh, mengubah posisi ketika marah. Mengubah posisi ketika marah merupakan petunjuk dan perintah Nabi SAW. Nabi SAW bersabda, "Jika salah seorang di antara kalian marah ketika berdiri, maka hendaklah ia duduk. Apabila marahnya tidak hilang juga, maka hendaklah ia berbaring." (HR Ahmad).
- Kedelapan, berwudhu atau mandi. Menurut Syekh Sayyid Nada, marah adalah api setan yang dapat mengakibatkan mendidihnya darah dan terbakarnya urat syaraf. "Maka dari itu, wudhu, mandi atau semisalnya, apalagi mengunakan air dingin dapat menghilangkan amarah serta gejolak darah," tuturnya, Kesembilan, memeberi maaf dan bersabar. Orang yang marah sudah selayaknya memberikan ampunan kepada orang yang membuatnya marah. Allah SWT memuji para hamba-Nya "... dan jika mereka marah mereka memberi maaf." (QS Asy-Syuura:37).
Sesungguhnya Nabi SAW adalah orang yang paling lembut, santun, dan pemaaf kepada orang yang bersalah. "... dan ia tak membalas kejahatan dengan kejahatan, namun ia memaafkan dan memberikan ampunan... " begitu sifat Rasulullah SAW yang tertuang dalam Taurat, kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa AS.
Berani Memaafkan
Maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka. (QS. Ali Imran: 159) Meski Idul Fithri telah berlalu, kehangatan dan nuansa kekeluargaannya yang kental, masih tersisa di bilik batin kita masing – masing. Saat itu, kegembiraan dan wajah sumringah milik setiap orang, bukan monopoli mereka yang berkantung tebal, pengais sampah, pemulung, dan sederet manusia lain hari itu tampil rapi setelah sebelas bulang lamanya kemanusiaan kerap dilecehkan oleh mereka yang senantiasa bergelimang kemewahan. Bagi masyarakat Indonesia, Idul fitri yang seharusnya merupakan momen kemenangan yang bersifat spiritual ternyata mengalami pelebaran makna yang luar biasa. Sedemikian lebarnya sehingga nyaris mengubur hakikat dan pesan substansial dari Idul fitri itu sendiri, yakni harapan ; kembalinnya lagi realitas kemanusiaan kita sesuai dengan fitrah
Penciptaan setelah menjalankan ibadah puasa. Idul Fitri harus dipahami sebagai akhir perjalanan ibadah puasa kita,dan merayakannya ( berlebaran)bukanlah tujuan utama. Idul fithri akan menjadi teramat istimewa, kalau kita menjalankan ibadah puasa dan amaliah Ramadhan lainnya dengan benar. Ia hanya akan menjadi perayaan dan pemborosan saja manakalah kita hanya berfikir tentang lebaran, sembari mengabaikan puasa. Terlepas dari adanya kesalahan dalam memahami Idul Fitri, ada kegiatan positif yang berkaitan dengan Idul Fitri, yakni, saling memaafkan (yang lagi-lagi mengalami perluasan). Masyarakata Indonesia mempraktekannya dengan saling berkunjung kesanak keluarga untuk meminta maaf .
Pada hari biasa mungkin terasa berat, apalagi saat emosi sedang tinggi. Tetapi pada saat lebaran, kita dengan sadar akan melakukan itu, bahkan dengan orang yang mungkin belum pernah melakukan kesalahan terhadap kita. Pendek kata, semua orang pada hari itu memiliki keberanian dan kesediaan diri untuk meminta maaf. Tetapi apakah semuanya memiliki kesadaran bahwa keberanian untuk minta maaf haruslah dibarengi dengan keberanian dan kebersediaan diri untuk MEMAAFKAN ? Ungkapan kata maaf dalam situasi dimana semua orang meminta maaf , sebenarnya buka peristiwa yang istimewa. Justru yang paling penting dibangun dalam situasi seperti itu adalah sikap mental memaafkan.
Kalau semua orang telah membangun kesadaran untuk memaafkan ,maka tak penting lagi formalisme permohonan maaf, karena semua telah memaafkan meskipun tidak di mintai. Namun demikian, meminta maaf secara formal pada saat lebaran tetap harus kita lakukan. Setidaknya hal itu melatih kita untuk selalu berani meminta maaf. Kemampuan memaafkan ternyata tidak semudah ketika kita meminta maaf. Karenanya Allah SWT berkenan memberikan anjuran langsung kepada manusia agar memberikan maaf kepada orang lain sebagaimana firman: Maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka.(QS. Ali Imran : 159 ) Untuk mengecek apakah yang kita lakukan pada saat Idul Fithri bukan sekedar formalisme dari upacara rutin˜hari permohonan maaf nasional, saat inilah waktu yang tepat untuk melakukan evaluasi diri. Membekas apa tidak, sikap memaafkan itu pada diri kita? Kalau ternyata baru satu bulan kita meninggalkan Idul Fitri dan telah memiliki agenda pertengkaran lagi, maka jelas yang kita lakukan pada saat Idul Fitri hanyalah basa basi dan adat berlebaran belaka artinya, kita masih gagal memetik pelajaran dan membangun sikap mental memaafkan dalam diri kita. Kenapa memaafkan sulit kita lakukan ? Ada beberapa hal yang melatari munculnya masalah ini ;
Pertama, memaafkan adalah kerja hati yang menuntut adanya ketulusan dan keikhlasan yang dalam. Maka tidak berlebihan ketika Allah menyatakan bahwa memaafkan adlah bagian penting dari ciri – ciri orang yang bertaqwa, sebagaimana firman – Nya : "Bersegeralah kamu kepada ampunan Allah dan surgaNya, yang luasnya seluas langit dan bumi, di berikan kepada orang – orang yang taqwa. Yakni orang – orang yanga menafkahkan hartannya diwaktu lapang maupun sempit dan orang – orang yang menahan amarahnya dan memaafkan orang lain. Allah menyukai orang – orang yang berbuat kebajikan. (QS. Ali Imran : 132 ) Dengan penegasan ayat ini, ternyata membangun sikap mental pemaaf bukanlah perkara gampang. Munculnya kualitas pribadi pemaaf membutuhkan proses panjang dan pembinaan diri terus menerus. Kedua, Dominannya pertimbangan nafsu ketimbang akal.Maaf dan memaafkan biasannya terkait dengan telah tersakitinnya harga diri dan fisik kita oleh orang lain. Merupakan watak khas manusia dan mungkin sebagian besar makhluk hidup lainnya, bahwa mereka cenderung tidak suka disakiti. Kalau ada serangan secara naluriah manusia dan binatang cenderung untuk membalas serangan tersebut. Berbeda dengan binatang meskipun memiliki naluri yang sama ketika merespon serangan maupun pada saat disakiti, manusia dianugerahi oleh Allah pertimbangan akal. Orang – orang yang matang dan sehat jiwanya akan memiliki perilaku yang di kendalikan oleh pertimbangan akalnya yang sehat.
Sebaliknya banyak pula orang yang gagal atau belum mampu menggunakan sumber daya akalnya secara maksimal, sehingga seluruh hidupnya di kendalikan oleh hawa nafsu dan instingnya saja. Kecenderungan nafsu yang gemar dengan hal – hal yang mengenakkan dan memuaskan diri, kalau tidak diimbangi dengan kemampuan akal untuk menghasilkan pertimbangan yang sehat akan menjerumuskan manusia pada perilaku rendah yang tidak sesuai dengan martabat kemanusiaan. Allah berfirman dalam surat Yusuf ayat 53 “ Dan aku tidak membiarkan nafsuku, Sesungguhnya nafsu itu benar -benar menyuruh kepada keburukan, kecuali orang yang dirahmati Tuhanku.? Manusia yang perilaku hidupnya didominasi pertimbangan nafsu, akan sangat kesulitan untuk memberikan maaf kepada orang yang mungkin bersalah kepadanya.
Dalam pikiran mereka,alangkah tidak logisnya, ketika disakiti dan dirugikan kemudian diminta memberikan maaf begitu saja tanpa membalasnya padahal kemampuan untuk melakukan pembalasan sangatlah mungkin. Dengan demikian, membangun sikap pemaaf dalam diri kita mutlak membutuhkan pengendalian hawa nafsuh dan kemampuan memanfaatkan akal secara maksimal. Ketiga orang cenderung tidak memahami manfaat memberikan maaf kepada orang lain.
Memaafkan sebenarnya cermin dari keanggunan jiwa manusia. Kesiapan untuk memberi maaf akan mendorong orang tersebut pada posisi yang lebih terhormat dalam lingkaran pergaulan sosialnya. Memaafkan merupakan sikap hidup yang bukan saja terpuji, tetapi juga memiliki dampak positif bagi munculnya kondisi psikologis yang sehat bagi siapapun yang melakukannya. Patut diketahui bahwa kegagalan kita dalam memberitakan permaafan kepada orang lain, sebenarnya saat itu batin kita tengah dirasuki oleh sifat pendendam yang sangat merusak. Menyimpan dendam dihati, sama artinya dengan menyimpan racun dalam tubuh kita. Rasa dendam yang menggumpal dalam diri akan mengakibatkan hilangnya sifa riang, yang pada gilirannya menghilangkan kesegaran dan gairah hidup positif. Manusia yang memiliki dendam, gairah dan energi hidupnya hanya akan terfokus kepada upaya pembalasan dendam. Padahal hidup terlalu indah untuk tidak dimanfaatkan untuk hal – hal lain yang lebih positif. Dengan memberi maaf sebenarnya kita sedang menghilangkan beban di hati dan menghilangkan beban dosa bagi orang yang berbuat kesalahan, sehingga memberi maaf akan menempatkan kita pada posisi yang lebih terhormat dan mengundang penghormatan. Maka apalagi yang harus
Siapapun kita, tentu pernah merasakan marah, bahkan mungkin tidak jarang kita merasakan kemarahan dan emosi yang sangat. Memang sifat marah merupakan tabiat yang tidak mungkin luput dari diri manusia, karena mereka memiliki nafsu yang cenderung ingin selalu dituruti dan enggan untuk diselisihi keinginannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku ini hanya manusia biasa, aku bisa senang sebagaimana manusia senang, dan aku bisa marah sebagaimana manusia marah”
Bersamaan dengan itu, sifat marah merupakan bara api yang dikobarkan oleh setan dalam hati manusia untuk merusak agama dan diri mereka, karena dengan kemarahan seseorang bisa menjadi gelap mata sehingga dia bisa melakukan tindakan atau mengucapkan perkataan yang berakibat buruk bagi diri dan agamanya
Oleh karena itu, hamba-hamba Allah Ta’ala yang bertakwa, meskipun mereka tidak luput dari sifat marah, akan tetapi kerena mereka selalu berusaha melawan keinginan hawa nafsu, maka merekapun selalu mampu meredam kemarahan mereka karena Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala memuji mereka dengan sifat ini dalam firman-Nya:
{الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ}
“Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang menafkahkan (harta mereka) baik di waktu lapang maupun sempit, danorang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Ali ‘Imran:134).
Artinya: jika mereka disakiti orang lain yang menyebabkan timbulnya kemarahan dalam diri mereka, maka mereka tidak melakukan sesuatu yang diinginkan oleh watak kemanusiaan mereka (melampiaskan kemarahan), akan tetapi mereka (justru berusaha) menahan kemarahan dalam hati mereka dan bersabar untuk tidak membalas perlakuan orang yang menyakiti mereka
Keutamaan menahan marah dan mengendalikan diri ketika emosi
Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ »
“Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah”
Inilah kekuatan yang terpuji dan mendapat keutamaan dari Allah Ta’ala, yang ini sangat sedikit dimiliki oleh kebanyakan manusia
Imam al-Munawi rahimahullah berkata: “Makna hadits ini: orang kuat (yang sebenarnya) adalah orang yang (mampu) menahan emosinya ketika kemarahannya sedang bergejolak dan dia (mampu) melawan dan menundukkan nafsunya (ketika itu). Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini membawa makna kekuatan yang lahir kepada kekuatan batin. Dan barangsiapa yang mampu mengendalikan dirinya ketika itu maka sungguh dia telah (mampu) mengalahkan musuhnya yang paling kuat dan paling berbahaya (hawa nafsunya)”
.
Inilah makna kekuatan yang dicintai oleh Allah Ta’ala yang disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah.
Arti kuat dalam hadits ini adalah kuat dalam keimanan dan kuat dalam berjuang menundukkan hawa nafsunya di jalan Allah Ta’ala.
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam be
rsabda:
« مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ »
“Barangsiapa yang menahan kemarahannya padahal dia mampu untuk melampiaskannya maka Allah Ta’ala akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allah membiarkannya memilih bidadari bermata jeli yang disukainya.
Imam ath-Thiibi rahimahullah berkata; “(Perbuatan) menahan amarah dipuji (dalam hadist ini) karena menahan amarah berarti menundukkan nafsu yang selalu menyuruh kepada keburukan, oleh karena itu Allah Ta’ala memuji mereka dalam firman-Nya:
{وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ}
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Ali ‘Imran:134)”
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini: “…padahal dia mampu untuk melampiaskannya…”, menunjukkan bahwa menahan kemarahan yang terpuji dalam Islam adalah ketika seseorang mampu melampiaskan kemarahannya dan dia menahnnya karena Allah Ta’ala, adapun ketika dia tidak mampu melampiaskannya, misalnya karena takut kepada orang yang membuatnya marah atau karena kelemahannya, dan sebab-sebab lainnya, maka dalam keadaan seperti ini menahan kemarahan tidak terpuji.
Seorang mukmin yang terbiasa mengendalikan hawa nafsunya, maka dalam semua keadaan dia selalu dapat berkata dan bertindak dengan benar, karena ucapan dan perbuatannya tidak dipengaruhi oleh hawa nafsunya.
Inilah arti sikap adil yang dipuji oleh Allah Ta’ala sebagai sikap yang lebih dekat dengan ketakwaan. Allah Ta’alaberfirman:
{وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ على أَلاَّ تَعْدِلُوْا اِعْدِلُوْا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى}
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (QS al-Maaidah:8).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menukil ucapan seorang ulama salaf yang menafsirkan sikap adil dalam ayat ini, beliau berkata: “Orang yang adil adalah orang yang ketika dia marah maka kemarahannya tidak menjerumuskannya ke dalam kesalahan, dan ketika dia senang maka kesenangannya tidak membuat dia menyimpang dari kebenaran”
Menahan marah adalah kunci segala kebaikan
Dalam sebuah hadits shahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa seorang laki-laki datang menemui RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta nasehat beliau. Orang itu berkata: Berilah wasiat (nasehat) kepadaku. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah engkau marah”. Kemudian orang itu mengulang berkali-kali meminta nasehat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menjawab: “Janganlah engkau marah”
Orang ini datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta nasehat yang ringkas dan menghimpun semua sifat baik, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatinya untuk selalu menahan kemarahan. Kemudian orang tersebut mengulang permintaan nasehat berkali-kali dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammemberikan jawaban yang sama: “Janganlah engkau marah”. Ini semua menunjukkan bahwa melampiaskan kemarahan adalah sumber segala keburukan dan menahannya adalah penghimpun segala kebaikan
Imam Ja’far bin Muhammad rahimahullah berkata: “(Melampiaskan) kemarahan adalah kunci segala keburukan”.
Imam Abdullah bin al-Mubarak al-Marwazi rahimahullah, ketika dikatakan kepada beliau: Sampaikanlah kepada kami (nasehat) yang menghimpun semua akhlak yang baik dalam satu kalimat. Beliau berkata: “(Yaitu) meninggalkan (menahan) kemarahan”.
Demikian pula imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dan imam Ishak bin Rahuyah rahimahullah ketika menjelaskan makna akhlak yang baik, mereka berdua mengatakan: “(Yaitu) meninggalkan (menahan) kemarahan
Maka perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas: “Janganlah engkau marah” berarti perintah untuk melakukan sebab (menahan kemarahan) yang akan melahirkan akhlak yang baik, yaitu: sifat lemah lembut, dermawan, malu, merendahkan diri, sabar, tidak menyakiti orang lain, memaafkan, ramah dan sifat-sifat baik lainnya yang akan muncul ketika seseorang berusaha menahan kemarahannya pada saat timbul sebab-sebab yang memancing kemarahannya
Petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatasi kemarahan ketika muncul pemicunya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memberi petunjuk kepada orang yang sedang marah untuk melakukan sebab-sebab yang bisa meredakan kemarahan dan menahannya dengan izin Allah Ta’ala, di antaranya:
- Berlindung kepada Allah Ta’ala dari godaan setan, Dari Sulaiman bin Shurad radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: “(Ketika) aku sedang duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada dua orang laki-laki yang sedang (bertengkar dan) saling mencela, salah seorang dari keduanya telah memerah wajahnya dan mengembang urat lehernya. Maka Rasulullah r bersabda: “Sesungguhnya aku mengetahui satu kalimat yang seandainya dia mengucapkannya maka niscaya akan hilang kemarahan yang dirasakannya. Seandainya dia mengatakan: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk”, maka akan hilang kemarahan yang dirasakannya”
- Diam (tidak berbicara), agar terhindar dari ucapan-ucapan buruk yang sering timbul ketika orang sedang marah. Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian marah maka hendaknya dia diam”
- Duduk atau berbaring, agar kemarahan tertahan dalam dirinya dan akibat buruknya tidak sampai kepada orang lain. Dari Abu Dzar al-Gifari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri maka hendaknya dia duduk, kalau kemarahannya belum hilang maka hendaknya dia berbaring”
- Merenungkan kemahakuasaan dan kemahaperkasaan Allah Ta’ala, serta kerasnya siksaan-Nya bagi orang yang melanggar ketentuan syariat-Nya.
Dari Abu Mas’ud al-Badri radhiyallahu ‘anhu dia berkata: “(Suatu hari) aku memukul budakku (yang masih kecil) dengan cemeti, maka aku mendengar suara (teguran) dari belakangku “Ketahuilah wahai Abu Mas’ud!”. Tapi aku tidak mengenali suara tersebut karena kemarahan (yang sangat). Ketika pemilik suara itu mendekat dariku maka ternyata dia adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau yang berkata: “Ketahuilah wahai Abu Mas’ud, ketahuilah wahai Abu Mas’ud!”. Maka akupun melempar cemeti dari tanganku, kemudian beliau bersabda: “Ketahuilah wahai Abu Mas’ud! Sesungguhnya Allah lebih mampu untuk (menyiksa) kamu daripada kamu terhadap budak ini”, maka akupun berkata: “Aku tidak akan memukul budak selamanya setelah (hari) ini”
Disamping itu, yang paling utama dalam hal ini adalah usaha untuk menundukkan dan mengendalikan diri ketika sedang marah, yang ini akan menutup jalan-jalan setan yang ingin menjerumuskan manusia ke dalam jurang keburukan dan kebinasaan Allah Ta’ala berfirman:
{إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُون}
“Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat buruk (semua maksiat) dan keji, dan mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” (QS al-Baqarah:169).
Suatu hari, Khalifah yang mulia, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz marah, maka putranya (yang bernama) ‘Abdul Malik berkata kepadanya: Engkau wahai Amirul mukminin, dengan karunia dan keutamaan yang Allah berikan kepadamu, engkau marah seperti ini? Maka ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz berkata: Apakah kamu tidak pernah marah, wahai ‘Abdul Malik? Lalu ‘Abdul Malik menjawab: Tidak ada gunanya bagiku lapangnya perutku (dadaku) kalau tidak aku (gunakan untuk) menahan kemarahanku di dalamnya supaya tidak tampak (sihingga tidak mengakibatkan keburukan)
Marah yang terpuji
Ummul mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah marah karena (urusan) diri pribadi beliau, kecuali jika dilanggar batasan syariat Allah, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan marah dengan pelanggaran tersebut karena Allah”
Inilah marah yang terpuji dalam Islam, marah karena Allah Ta’ala, yaitu marah dan tidak ridha ketika perintah dan larangan Allah Ta’ala dilanggar oleh manusia. Sedangkan marah yang tercela adalah marah karena urusan dunia semata
Inilah akhlak mulia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang selalu ridha dengan apa yang Allah ridhai dalam al-Qur’an dan benci/marah dengan apa yang dicela oleh Allah Ta’ala dalam al-Qur’an
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Sungguh akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an” Dalam riwayat lain ada tambahan: “…Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah/benci terhadap apa yang dibenci dalam al-Qur’an dan ridha dengan apa yang dipuji dalam al-Qur’an”
Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata: “Wajib bagi seorang mukmin untuk menjadikan keinginan nafsunya terbatas pada apa yang dihalalkan oleh Allah baginya, yang ini bisa termasuk niat baik yang akan mendapat ganjaran pahala (dari AllahTa’ala). Dan wajib baginya untuk menjadikan kemarahannya dalam rangka menolak gangguan dalam agama (yang dirasakan) oleh dirinya atau orang lain, serta dalam rangka menghukum/mencela orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman-Nya:
{قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرُكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَيُذْهِبْ غَيْظَ قُلُوبِهِمْ}
“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman. Dan menghilangkan kemarahan orang-orang yang beriman” (QS at-Taubah: 14-15)”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar