Sabtu, 20 September 2014

MEMAHAMI RAHASIA RUANG & WAKTU

AGUNGKAN ALLAH DENGAN PENGAGUNGAN SEMESTINYA

Alam semesta adalah mahakarya yang luar biasa. Di dalamnya tersimpan berbagai misteri abadi yang tiada habis-habisnya untuk dipelajari. Allah menyebutnya sebagai karunia yang tiada pernah selesai dituliskan, meskipun dengan tinta sebanyak tujuh samudera. Karena sesungguhnya, ilmu Allah tiada bandingnya, dan tak pernah bisa dibayangkan oleh siapa pun makhluk ciptaan-Nya secara utuh.

QS. Luqman (31): 25-27

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab : “Allah”. Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.

Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi. Sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena, dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) sesudahnya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagiMaha Bijaksana.

Dalam ayat yang berbeda, Allah bahkan menyebut-nyebut penciptaan alam semesta ini lebih kompleks dibandingkan penciptaan manusia. Make sense, karena manusia memang hanya sebagian kecil saja dari eksistensi alam semesta yang mahaluas dan penuh misteri.

QS. An Naazi’at (79): 27-28

Lebih sulit manakah: menciptakanmu ataukah menciptakan langit? Allah telah membangun (langit itu), meninggikannya, (dan) kemudian menyempurnakannya..

Kemegahan alam semesta menjadi salah satu pintu masuk untuk mengenal Sang Pencipta. Baik dari sisi keindahannya, kerumitannya, kekokohannya, keseimbangannya, dan berbagai sisi yang sangat menakjubkan. Karena itu, Allah sangat sering menyebut-nyebut alam semesta untuk memancing perhatian kita dalam memahami Sang Pencipta. Selain, tentu saja, memahaminya lewat kemisteriusan diri manusia sendiri.

QS. Adz Dzaariyaat (51): 20-21

Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (eksistensi Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?

QS. Al Mulk (67): 3-4

Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?

Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat pun, dan melelahkan.

Maka dalam kesempatan ini saya hanya ingin menyampaikan, bahwa apa yang telah saya uraikan dalam serial notes ini adalah dalam rangka mengenal Allah lebih dekat, dengan segala kedahsyatan ilmu-Nya. Yang dengan membahasnya – mudah-mudahan – kita menjadi sadar betapa ringkihnya makhluk bernama manusia ini. Dan betapa Agungnya Sang Maha Pencipta. Pengetahuan dan kemampuan yang harus kita kerahkan untuk memahami realitas yang sekedar proyeksi diri-Nya saja sudah sedemikian canggihnya. Apalagi, untuk memahami eksistensi-Nya.

Allah selalu mendorong kita untuk terus mengeksplorasi ayat-ayat-Nya kauniyah (alam) simultan dengan ayat-ayatqauliyah (firman), agar kita bisa semakin mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya. Karena, banyak diantara kita yang memilih untuk melewatkan begitu saja ilmu-ilmu yang sangat berharga dan penuh hikmah ini.

QS. Yusuf (12): 105

Dan betapa banyaknya tanda-tanda (eksistensi Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, tetapi mereka tidak memperhatikannya.

QS. Az Zumar (39): 67

Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.

Sebagai penutup serial notes kali ini, saya kira ada baiknya kalau saya sarikan kembali garis besar dari apa yang telah kita bahas, agar kawan-kawan memperoleh pemahaman utuhnya secara lebih sederhana. Pemahaman terhadap realitas alam semesta ini terus berkembang seiring dengan data-data hasil pengamatan yang dilakukan manusia, dan kemudian melahirkan teori-teori yang saling melengkapi menuju pada kesempurnaan.

Awalnya manusia memandang alam semesta sebagai ruangan yang statis dan terpisah dari waktu. Artinya, ruang dan waktu itu tidak memiliki hubungan apa pun. Dan berdiri sendiri-sendiri sebagai konstanta. Lantas, pada perkembangan berikutnya, ruang dipandang sebagai konstanta, dan waktu sebagai variable yang berjalan sendiri. Juga, tidak ada keterikatan apa-apa diantara keduanya. Sehingga, peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya pun dianggap sebagai kejadian yang mandiri.

Revolusi pemahaman mulai terjadi ketika Einstein mengemukan teori relativitasnya dalam memahami alam semesta dengan segala peristiwanya. Menurut Einstein, ruang dan waktu adalah variable yang eksis dalam satu paket. Tidak bisa dipisahkan. Karena, ruangan alam semesta ternyata tidak statis berupa konstanta. Alam semesta terbukti mengembang, seiring dengan waktu yang juga bertambah. Sehingga, menurutnya gerakan ruang dan waktu tidak boleh dipahami sendiri-sendiri. Setiap perubahan ruang akan menghasilkan perubahan waktu, dan demikian pula sebaliknya. 

Konsekuensinya setiap benda yang bergerak dalam ruang dan waktu akan mengalami relativitas. Bisa waktunya yang relative, atau bisa juga ruangnya yang relative. Waktu dan ruang bukan lagi konstanta, melainkan variable yang bisa mulur-mungkret seiring dengan kecepatan pengamat. Dan batas kecepatan pengamat tidak dimungkinkan untuk lebih dari kecepatan cahaya. Karena itu Einstein memasukkan konstanta kecepatan cahaya dalam rumus-rumus relativitasnya. Jika kecepatan pengamatan melebihi cahaya, ia akan berada dalam dimensi imajiner, alias tak mungkin.

Teori Einstein telah berjasa mengubah atau lebih tepatnya menyempurnakan pemahaman manusia menjadi ‘lebih realistik’ dalam memandang realitas. Meskipun teori-teori klasik Newtonian masih juga sangat bermanfaat untuk digunakan bersamaan dengan teori Einstein. Teori klasik masih bisa digunakan dalam kondisi yang parsial dan kecepatan rendah. Sedangkan teori Einstein bisa digunakan dalam kondisi yang lebih holistik termasuk yang berkecepatan tinggi. Dengan kata lain, jika teori Einstein digunakan dalam kondisi kecepatan rendah, hasilnya sama dengan yang diprediksikan oleh teori klasik Newtonian. Sebaliknya, teori Newtonian tidak bisa digunakan dalam kondisi pengamat yang bergerak dengan kecepatan tinggi.

Sebagaimana teori klasik Newtonian, teori Einstein ternyata memiliki kelemahan dalam menjelaskan kondisi tertentu. Khususnya, terkait dengan adanya fakta bahwa partikel-partikel sub atomik bisa berinteraksi secara real-time dalam kondisi tertentu – tidak bergantung pada jarak. Jika teori Einstein diterapkan disini, hasilnya akan memunculkan kecepatan melebihi cahaya. Sebuah prinsip dasar yang tidak diizinkan dalam teori Einsteinian. Maka muncullah teori baru, yakni teori holografik seperti yang saya uraikan dalam note sebelumnya. Bahwa, fakta real-time yang tak bergantung ruang-waktu itu hanya bisa dijelaskan, jika alam semesta ini merupakan sebuah ilusi. Serta memiliki hubungan tak terbatas di dimensi ruang yang lebih tinggi.

Dari perkermbangan teori yang semakin menyempurna itulah saya memahami informasi-informasi Al Qur’an – ayat-ayat qauliyah – tentang realitas.
  1. Kurva ruang dan waktu yang melengkung itu membawa konsekuensi adanya dimensi lebih tinggi: ruangan langit di dalam ruangan langit yang lebih besar. Yang oleh Al Qur’an disebut sebagai langit berlapis tujuh.
  2. Dikarenakan kurva ruang-waktu yang melengkung itu, maka kita mempunyai peluang untuk melihat peristiwa di masa depan pada jarak yang jauh sekalipun. Yakni, dengan menerobos lewat dimensi ruang yang lebih tinggi. Semakin tinggi dimensi langitnya, semakin pendek jalan pintasnya.
  3. Peristiwa-peristiwa di alam semesta ini ternyata berlangsung secara bersamaan dalam kanvas ruang-waktu yang baru dimulai, sekaligus sudah diakhiri. Namun demikian, manusia menjalani semua itu sebagai ‘kejadian yang serial’ disebabkan ia terikat oleh dimensi ruang dan waktu dan menjalaninya secara urut. Seandainya manusia tidak terikat dimensi ruang-waktu, maka kita akan bisa melihat seluruh ‘lukisan di atas kanvas’ alam semesta ini secara paralel.
  4. Teori holografik memecahkan kebuntuan teori Einstein dengan smart. Bahwa, alam semesta ini tak lebih hanyalah proyeksi dari sebuah peristiwa tunggal di alam yang lebih tinggi, yang telah saya jelaskan lewat analogi ‘ikan di dalam aquarium’ di note sebelumnya. Hal ini memberikan penjelasan yang koheren dengan informasi Al Qur’an tentang Lauh Mahfuzh. Bahwa seluruh realitas ini memang sudah ada di dalam kitab induk bernama Lauh Mahfuzh itu. Dengan kata lain, segala peristiwa ini hanyalah proyeksi holografik dari master film bernama Lauh Mahfuzh, dimana seluruh realitas sudah termaktub. Kitab induk itu sendiri pun merupakan proyeksi holografik dari Sang Pencipta, Yang Maha Berilmu dan Maha Bijaksana…
QS. Al Hadiid (57): 22

Tiada suatu bencana (peristiwa) pun yang terjadi di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Kelima, posisi ‘kehendak’ manusia pun merupakan proyeksi holografik dari kehendak Allah. Sehingga setiap kehendak manusia yang disebut sebagai ‘kehendak bebas’ (free will) ini pun sebenarnya berada dalam kehendak Allah. ‘Kebebasan’ yang dimiliki oleh manusia dalam berkehendak itu selalu berada di dalam bingkai ‘kehendak Allah’ yang holistik. Sehingga, seakan-akan manusia bisa memilih takdirnya sendiri. Padahal segala alternative pilihan itu tak pernah keluar dari frame kehendak-Nya. Disinilah letak kerelatifan manusia dalam memilih takdirnya, dalam memperoleh kebaikan atau keburukan. Setiap takdir adalah baik di sisi Allah, tetapi bisa menjadi buruk di mata manusia, dikarenakan keterbatasan manusia dalam memilih takdir yang dikira terbaik baginya.

QS. An Nisaa’ (4): 79

Segala kebaikan yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan segala keburukan yang menimpamu berasal dari (keterbatasan)-mu sendiri…

Demikianlah sepenggal catatan saya, tentang secuil misteri alam semesta yang sangat dahsyat. Tentu, masih sangat banyak pertanyaan yang bergelayutan di benak saya maupun benak Anda, menunggu jawaban yang lebih terang benderang. Dengan harapan akan membuka cakrawala pemahaman kita terhadap alam semesta, Ciptaan Allah Sang Maha Perkasa. Semoga Allah membimbing kita semua di jalan yang diridhai-Nya…

7 lapisan langit dan kaitannya dengan dimensi

Bila membaca sejarah Isra’ Mi’raj nabi, kemungkinan yang dimaksud 7 lapisan langit di sini bukan berarti langit tersebut menumpuk secara berlapis-lapis seperti kue lapis, tapi ketujuh lapisan tersebut semakin meningkat kedudukannya sesuai dengan bertambah tingkat dimensinya.

Pertambahan tingkat dimensi ketujuh lapisan langit tersebut hanya bisa digambarkan dengan memproyeksikannya ke langit pertama (dimensi ruang yang dihuni oleh kita) yang berdimensi tiga. Karena hanya ruang berdimensi tiga inilah yang bisa difahami oleh kita. Secara analog, kita bisa membuat perumpamaan sebagai berikut :


Pada gambar 1 tampak bahwa sebuah garis berdimensi 1 tersusun dari titik-titik dalam jumlah tak terbatas. Sama kayak istilah pixel dalam desain grafis, dimana gambar yang tercipta adalah himpunan titik2 yang sangat banyak dan dengan warna yang beragam sehingga membentuk pola tertentu menjadi gambar. Titik2 ini akan membentuk garis yang kemudian garis-garis tersebut disusun dalam jumlah tak terbatas hingga menjadi sebuah luasan berdimensi 2 (Gambar 2). Dan jika luasan-luasan serupa ini ditumpuk ke atas dalam jumlah yang tak terbatas, maka akan terbentuk sebuah balok (ruang berdimensi 3).

Kesimpulannya adalah sebuah ruang berdimensi tertentu tersusun oleh ruang berdimensi lebih rendah dalam jumlah yang tidak terbatas. Atau dengan kata lain ruang yang berdimensi lebih rendah dalam jumlah yang tidak terbatas akan menyusun menjadi ruang berdimensi yang lebih tinggi. Misalnya, ruang 3 dimensi – dimensi ruang yang sekarang dihuni oleh kita ini – dengan jumlah tak terbatas menyusun menjadi satu ruang berdimensi empat. Demikian seterusnya sehingga setiap dimensi yang satu dengan yang lain saling berkaitan.

Berdasarkan kesimpulan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

Langit pertama

Ruang berdimensi 3 yang dihuni oleh makhluk berdimensi 3, yakni manusia, binatang, tumbuhan dan lain-lain yang tinggal di bumi beserta benda-benda angkasa lainnya dalam jumlah yang tak terbatas. Namun hanya satu lapisan ruang berdimensi 3 yang diketahui berpenghuni, dan bersama-sama dengan ruang berdimensi 3 lainnya. Jadi dimensi 3 adalah dimensi yang sangat kasar dan padat, sehingga dapat diraba dan dilihat dengan kasat mata. Alam semesta kita ini menjadi penyusun langit kedua yang berdimensi 4. Benarkah demikian? Mari difikirkan bersama kebenarannya..

Langit kedua

Ruang berdimensi 4 yang dihuni oleh bangsa jin beserta makhluk berdimensi 4 lainnya. Sehingga mahluk di dimensi 3 tidak akan bisa melihat mahluk di dimensi 4, tetapi mahluk dimensi 4 kemungkinan bisa melihat mahluk dimensi 3. Ruang berdimensi 4 ini bersama-sama dengan ruang berdimensi 4 lainnya membentuk langit yang lebih tinggi, yaitu langit ketiga.

Langit ketiga

Ruang berdimensi 5 yang di dalamnya “hidup” arwah dari orang-orang yang sudah meninggal atau mungkin alam kubur. Mereka juga menempati langit keempat sampai dengan langit keenam tergantung tingkatannya. Dalam perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad, diceritakan bahwa Rasulullah bertemu dengan nabi2 terdahulu yang berbeda2 disetiap lapisannya. Langit ketiga ini bersama-sama dengan langit ketiga lainnya menyusun langit keempat dan seterusnya hingga langit ketujuh yang berdimensi 9.

Bisa dibayangkan betapa besarnya langit ketujuh itu. Karena ia adalah jumlah kelipatan tak terbatas dari langit dunia (langit pertama) yang dihuni oleh manusia. Berarti langit dunia kita ini berada dalam struktur langit yang enam lainnya, termasuk langit yang ketujuh ini. Jika alam akhirat, surga dan neraka terdapat di langit ke tujuh, maka bisa dikatakan surga dan neraka itu begitu dekat dengan dunia kita tapi berbeda dimensi.

Seperti disebutkan sebelumnya bahwa langit dunia kita ini merupakan bagian dari struktur langit ketujuh. Berarti alam dunia ini merupakan bagian terkecil dari alam akhirat. Penjelasan ini sesuai dengan hadist Nabi:

“Perbandingan antara alam dunia dan akhirat adalah seperti air samudera, celupkanlah jarimu ke samudera, maka setetes air yang ada di jarimu itu adalah dunia, sedangkan air samudera yang sangat luas adalah akhirat”.

Perumpamaan setetes air samudera di ujung jari tersebut menggambarkan dua hal:
  1. 1.Ukuran alam dunia dibandingkan alam akhirat adalah seumpama setetes air di ujung jari dengan keseluruhan air dalam sebuah samudera. Hal ini adalah penggambaran yang luar biasa betapa luasnya alam akhirat itu.
  2. 2.Keberadaan alam dunia terhadap alam akhirat yang diibaratkan setetes air berada dalam samudera. Perumpamaan tersebut menunjukkan bahwa alam dunia merupakan bagian dari alam akhirat, hanya ukurannya yang tak terbatas kecilnya. Begitu juga dengan kualitas dan ukuran segala hal, baik itu kebahagiaan, kesengsaraan, rasa sakit, jarak, panas api, dan lain sebagainya, di mana ukuran yang dirasakan di alam dunia hanyalah sedikit sekali.

Berbagai ruang dimensi dan interaksi antar makhluk penghuninya

1. Langit pertama atau langit dunia

Seperti disebutkan pada ayat 11-12 Surat Fushshilat di atas, maka yang disebut langit yang dekat tersebut adalah langit dunia kita ini atau disebut juga alam semesta kita ini. Digambarkan bahwa langit yang dekat itu dihiasi dengan bintang-bintang yang cemerlang, dan memang itulah isi yang utama dari alam semesta. Bintang-bintang membentuk galaksi dan kluster hingga superkluster. Planet-planet sesungguhnya hanyalah pecahan dari bintang-bintang itu. Seperti tata surya kita, matahari adalah sebuah bintang dan sembilan planet yang mengikatinya adalah pecahannya, atau pecahan bintang terdekat lainnya. Sedangkan tokoh utama di langit pertama ini adalah kita manusia yang mendiami bumi, planet anggota tata surya.

Langit pertama ini tidak terbatas namun berhingga. Artinya batasan luasnya tidak diketahui tapi sudah bisa dipastikan ada ujungnya. Diperkirakan diameter alam semesta mencapai 30 miliar tahun cahaya. Artinya jika cahaya dengan kecepatannya 300 ribu km/detik melintas dari ujung yang satu ke ujung lainnya, maka dibutuhkan waktu 30 miliar tahun untuk menempuhnya.


Penjelasan gambar:

Apabila digambarkan bentuknya kira-kira seperti sebuah bola dengan bintik-bintik di permukaannya. Di mana bintik-bintik tersebut adalah bumi dan benda-benda angkasa lainnya. Apabila kita berjalan mengelilingi permukaan bola berkeliling, akhirnya kita akan kembali ke titik yang sama. Permukaan bola tersebut adalah dua dimensi. Sedangkan alam semesta yang sesungguhnya adalah ruang tiga dimensi yang melengkung seperti permukaan balon itu. Jadi penggambarannya sangat sulit sekali sehingga diperumpamakan dengan sisi bola yang dua dimensi agar memudahkan penjelasannya.

2. Langit kedua

Seperti diterangkan sebelumnya bahwa setiap lapisan langit tersusun secara dimensional. Diasumsikan bahwa pertambahan dimensi setiap lapisan adalah 1 dimensi. Jadi apabila langit pertama atau langit dunia kita ini berdimensi 3, maka langit kedua berdimensi 4. Langit kedua ini kemungkinan dihuni oleh makhluk berdimensi 4, yakni bangsa jin.


Penjelasan gambar:

Apabila digambarkan posisi langit kedua terhadap langit pertama adalah seperti gambaran balon pertama tadi. Di mana bagian permukaan bola berdimensi 2 adalah alam dunia kita yang berdimensi 3, sedangkan ruangan di dalam balon yang berdimensi 3 adalah langit kedua berdimensi 4. Jadi apabila kita melintasi alam dunia harus mengikuti lengkungan bola, akibatnya perjalanan dari satu titik ke titik lainnya harus menempuh jarak yang jauh. Sedangkan bagi bangsa jin yang berdimensi 4 mereka bisa dengan mudah mengambil jalan pintas memotong di tengah bola, sehingga jarak tempuh menjadi lebih dekat.

Deskripsi lain adalah seperti gambar berikut:


Bayangkanlah permukaan tembok dan sebuah ruangan yang dikelilingi oleh dinding-dindingnya. Umpamakan ada dua jenis makhluk yang tinggal di sana. Makhluk pertama adalah makhluk bayang-bayang yang hidup di permukaan tembok berdimensi 2. Sedangkan makhluk kedua adalah makhluk balok berdimensi 3. Ingatlah analogi alam berdimensi 3 dengan makhluk manusianya adalah permukaan tembok dan makhluk bayang-bayangnya, sedangkan alam berdimensi 4 dan makhluk jinnya adalah ruangan berdimensi 3 dengan baloknya.

Tampak dengan mudah dilihat bahwa kedua alam berdampingan dan kedua makhluk hidup di alam yang berbeda. Kedua makhluk juga mempunyai dimensi yang berbeda, bayang-bayang berdimensi 2 sedangkan balok berdimensi 3. Makhluk berdimensi 2, yaitu bayang-bayang tidak bisa memasuki ruangan berdimensi 3, dia tetap berada di tembok, sedangkan makhluk berdimensi 3 yakni balok dapat memasuki alam berdimensi 2, yakni tembok. Bagaimanakah caranya balok bisa memasuki dinding yang berdimensi 2?

Balok yang berdimensi 3 memiliki permukaan berdimensi 2 yakni bagian sisi-sisinya. Apabila si balok ingin memasuki alam berdimensi dua, dia cukup menempelkan bagian sisinya yang berdimensi 2 ke permukaan tembok. Bagian sisi balok sudah memasuki alam berdimensi 2 permukaan tembok. Bagian sisi balok ini dapat dilihat oleh makhluk bayang-bayang di tembok sebagai makhluk berdimensi 2 juga. Analoginya adalah jin yang dilihat oleh kita penampakannya di alam dunia sebenarnya berdimensi 4 tetapi oleh indera kita dilihat sebagai makhluk berdimensi 3 seperti tampaknya sosok kita manusia.

3. Langit ketiga sampai dengan langit ketujuh

Langit ketiga sampai dengan keenam dihuni oleh arwah-arwah, sedangkan langit ke tujuh adalah alam akhirat dengan surga dan nerakanya. Analoginya sama dengan langit kedua di atas, karena pengetahuan kita hanya sampai kepada alam berdimensi 3.

Dapat diartikan bahwa sebenarnya alam semesta ini ada dalam satu ruang lingkup namun berbeda tingkatannya. Tingkatan yang dimaksud disini adalah tingkatan kepadatan partikel dan dimensi penyusun bentuk atau zatnya. Dengan demikian, dunia tempat kita berpijak ini titik koordinatnya sama dengan dunia pada dimensi lain hanya saja terpisah alam atau dimensi. 

Tingkatan Mahluk dan Unsur Kehidupan

Ini dari pendapat saya sendiri setelah mengamati dan membaca banyak buku kemungkinan mahluk hidup yang ada dialam semesta ini tercipta dari beberapa tingkatan partikel atau penyusun jasadnya. Dari adanya perbedaan dimensi tersebut maka dapat difikirkan bahwa mahluk hidup dan unsurnya juga memiliki beberapa tingkatan. Mulai dari unsur yang keras dan padat, cair, gas, dan cahaya. Partikel yang paling padat adalah benda keras dan tampak dengan kasat mata seperti kita manusia yang terbentuk dari banyak partikel padat, tanah, batu, pasir, debu, termasuk air, sedangkan partikel padat yang paling kecil adalah gas. Mahluk yang tercipta dari partikel padat ini adalah seperti manusia, hewan, tumbuhan, beserta semua benda yang ada di alam semesta Dimensi 3 kita ini.

Partikel kedua adalah partikel halus yang tidak kasat mata seperti listrik, bau, suara, angin atau udara, partikel ini memiliki unsur penyusun tetapi sangatlah halus atau ghaib. Misalnya listrik yang tersusun dari ion2 positif dan negatif, dan udara yang merupakan partikel ringan yang melayang atau Oksigen. Partikel ini tidak dapat ditangkap dan dilihat tetapi dapat dirasakan serta dapat juga memberikan sentuhan, dorongan, panas, dingin, serta getaran. Misalnya angin yang bergesek dengan benda padat akan menghasilkan suara, demikian pula suara yang kita keluarkan dari mulut adalah hasil gesekan antara angin yang keluar dari paru2 kita dengan pita suara.

Partikel yang paling halus lagi adalah api, dimana api ini sifatnya hidup, membutuhkan oksigen dan mengeluarkan unsur panas. Api tidak dapat disentuh tetapi dapat dilihat karena adanya cahaya yang merupakan hasil dari pembakarannya dan dapat dirasakan yakni adanya panas. Api juga memiliki warna sehingga cahaya yang dihasilkannya juga bisa menghasilkan warna tergantung unsur pembakarnya. Mahluk yang tercipta dari api ini adalah sebangsa jin yang berada di Dimensi 4.

Partikel yang sangat halus adalah cahaya, cahaya ini sebenarnya berasal dari adanya api atau pembakaran. Cahaya tidak terpengaruh dengan hukum2 fisika dan momentum. Cahaya dapat mengisi ruang gelap, dan dapat pula berwarna sesuai dengan warna dari unsur padat yang dipantulkannya. Cahaya tidak dapat dipegang, kalaupun bisa dilihat sifatnya adalah semu… dan tidak bisa kita gambarkan dengan rumus kimia apapun. Mahluk yang tercipta dari cahaya ini adalah bangsa Malaikat dan berada di Dimensi 9.

Selanjutnya ada lagi yang misteri, yaitu ruh… apakah ruh ini bisa digambarkan dengan lugas seperti yang dijelaskan dalam dimensi2 diatas? Kemungkinan, ruh ini lebih halus lagi dari semua unsur yang kita kenal.. ruh inilah yang hidup dan kekal tidak mati. Artinya meskipun jasad kita telah mati, akan tetapi itu tidak berlaku pada ruh. Apakah benar ruh juga berada pada dimensi yang berbeda seperti yang dijelaskan pada cerita diatas? Ruh orang yang telah mati akan tertahan sementara di alam atau dimensi lain sebelum akhirnya nanti dikumpulkan dan dihidupkan kembali, yaitu alam barzah. Benarkah..? ini opini berdasarkan yang pernah saya baca dan dengar saja. Ruh ini tidak terpengaruh oleh waktu, sehingga sifatnya kekal.

Dengan demikian berarti kita manusia adalah mahluk yang paling rendah unsur penyusunnya, itulah sebabnya mengapa bangsa jin tidak mau bersujud dihadapan Adam karena mereka merasa bahwa mereka mahluk yang lebih tinggi dari manusia. Tetapi dari semua mahluk ciptaan Allah SWT, ruh kita adalah sama meskipun unsur penyusunnya berbeda. Benarkah demikian? Belum tahu kebenarannya ni karena belum ada juga dalil dan teorinya atau mungkin saya belum pernah baca kali ya?

Zat Sang Pencipta

Zat sang maha pencipta adalah zat yang maha mulia dan maha sempurna, kita tidak akan bisa mengetahui seperti apa zatnya dan seperti apa bentuknya. Allah SWT tidak berada di dimensi manapun, tapi meliputi semua dimensi itu. Wajah Allah tidak serupa dengan wajah manapun. Dalam keberadaannya,Tuhan tidak bukan berada di sini bukan di situ, bukan begini bukan begitu. Tidak ada yang bisa menjelaskan kecuali Allah sendiri yg menjelaskan.

Muhammad SAW sendiri terpesona dan tidak mampu berkata apa-apa ketika berhadapan dengan Allah Swt, lalu beliau tersungkur dan tidak mampu memandang. Nabi Musa As pun tersungkur menatap kehadiran Allah di bukit Sinai, untuk itu Allah “terpaksa” menghadirkan simbol di dimensi ketiga berupa pancaran api yang membakar ilalang agar Musa sanggup menghadapinya.

Keajaiban Isra dan Miraj

Cerita mengenai luasnya alam semesta ini sebenarnya bisa dijelaskan melalui peristiwa perjalanan Rasulullah saat Isra’ Mi’raj… Saya aja baru menyadari akan hal ini, padahal dari kecil acara Isra’ Mi’raj selalu saya ikuti tapi maksudnya yang diambil hikmahnya hanya perintah menunaikan ibadah Sholat lima waktu. Ternyata ada ilmu pengetahuannya juga bila kita lihat dari sudut pandang yang berbeda, yaitu segi keilmuan.

Allah Swt berfirman di dalam Alquran Surah Al-Israa’ ayat 1:

“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda–tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Dari ayat tersebut tampak jelas bahwa perjalanan luar biasa itu bukan kehendak dari Rasulullah Saw sendiri, tapi merupakan kehendak Allah Swt. Untuk keperluan itu Allah mengutus malaikat Jibril as (makhluk berdimensi 9) beserta malaikat lainnya sebagai pemandu perjalanan suci tersebut. Dipilihnya malaikat sebagai pengiring perjalanan Rasulullah Saw dimaksudkan untuk mempermudah perjalanan melintasi ruang waktu.

Selain Jibril as dan kawan-kawan, dihadirkan juga kendaraan khusus bernama Buraq, makhluk berbadan cahaya dari alam malakut. Nama Buraq berasal dari kata barqun yang berarti kilat. Perjalanan dari kota Makkah ke Palestina berkendaraan Buraq tersebut ditempuh dengan kecepatan cahaya, sekitar 300.000 kilo meter per detik.

Pertanyaan mendasar adalah bagaimanakah perjalanan dengan kecepatan cahaya itu dilakukan oleh badan Rasulullah Saw yang terbuat dari materi padat? Untuk malaikat dan Buraq tidak ada masalah karena badan mereka terbuat dari cahaya juga. Seandainya badan bermateri padat seperti tubuh kita dipaksakan bergerak dengan kecepatan cahaya, bisa diduga apa yang akan terjadi. Badan kita mungkin akan terserai berai karena ikatan antar molekul dan atom bisa terlepas.

Jawaban yang paling mungkin untuk pertanyaan itu adalah tubuh Rasulullah Saw diubah susunan materinya menjadi cahaya. Bagaimanakah hal itu mungkin terjadi?

Teori yang memungkinkan adalah teori Annihilasi. Teori ini mengatakan bahwa setiap materi (zat) memiliki anti materinya. Dan jika materi direaksikan dengan anti materinya, maka kedua partikel tersebut bisa lenyap berubah menjadi seberkas cahaya atau sinar gamma.

Hal ini telah dibuktikan di laboratorium nuklir bahwa jika partikel proton direaksikan dengan antiproton, atau elektron dengan positron (anti elektron), maka kedua pasangan tersebut akan lenyap dan memunculkan dua buah sinar gamma, dengan energi masing-masing 0,511 MeV (Multiexperiment Viewer) untuk pasangan partikel elektron, dan 938 MeV untuk pasangan partikel proton.

Sebaliknya apabila ada dua buah berkas sinar gamma dengan energi sebesar tersebut di atas dilewatkan melalui medan inti atom, maka tiba-tiba sinar tersebut lenyap berubah menjadi 2 buah pasangan partikel tersebut di atas. Hal ini menunjukkan bahwa materi bisa dirubah menjadi cahaya dengan cara tertentu yang disebut annihilasi dan sebaliknya.

Nah, kalau dihitung jarak Mekkah – Palestina sekitar 1500 km ditempuh dengan kecepatan cahaya, maka hanya dibutuhkan waktu sekitar 0,005 detik dalam ukuran waktu kita di bumi.

Sesampainya di Palestina tubuh Rasulullah Saw dikembalikan menjadi materi. Peristiwa ini mungkin lebih dikenal seperti teleportasi dalam teori fisika kwantum. Dari Palestina dilanjutkan dengan perjalanan antar dimensi ke Sidratul Muntaha, yakni dari langit dunia (langit pertama) ke langit kedua, ketiga sampai dengan langit ketujuh dan berakhir di Sidratul Muntaha.

Yang perlu dipahami adalah perjalanan antar dimensi bukanlah perjalanan berjarak jauh atau pengembaraan angkasa luar, melainkan perjalanan menembus batas dimensi. Karena walaupun tubuh Rasulullah Saw diubah menjadi cahaya seperti perjalanan dari Mekkah ke Palestina, tidak akan selesai menempuh perjalanan di langit pertama saja. Bukankah untuk menempuh diameter alam semesta diperlukan 30 miliar tahun dengan menggunakan kecepatan cahaya. Jadi bagaimana caranya?

Seperti telah disebutkan di atas dalam penjelasan posisi antar dimensi bahwa posisi langit kedua dengan langit pertama dianalogikan seperti sebuah ruangan berdimensi 3 dengan dinding tembok berdimensi 2. Makhluk bayangan berdimensi 2 di tembok tidak bisa memasuki ruangan berdimensi 3, kecuali ada bantuan dari makhluk berdimensi lebih tinggi, minimal dari makhluk berdimensi 3, yakni balok. Caranya si balok menempelkan salah satu sisinya ke tembok dan makhluk bayangan menempelkan diri ke sisi balok itu. Dengan menempel di sisi balok dan mengikutinya, makhluk bayangan bisa memasuki ruang berdimensi 3 dan meninggalkan wilayah berdimensi 2, yakni dinding tembok.

Begitulah kira-kira analogi bagaimana Rasulullah Saw melakukan perjalanan antar dimensi. Dengan kehendak Allah Swt, Jibril membawa Rasulullah Saw melakukan perjalanan dari langit pertama hingga langit ketujuh lalu ke Sidratul Muntaha. Perjalanan ini bukan perjalanan jauh seperti telah disebutkan tadi. Kejadian itu terjadi di tempat Rasulullah Saw terakhir duduk shalat di Masjidil Aqsa Palestina, karena ruang berdimensi 4, 5 dan seterusnya itu persis berada di sebelah kita, hanya kita tidak melihatnya dan tidak bisa mencapainya.

Wajar saja perjalanan Isra Miraj Rasulullah Saw dari Mekkah ke Palestina dan kemudian dilanjutkan dengan perjalanan ke Sidratul Muntaha hanya terjadi dalam semalam. Bayangkan dalam zaman ketika pemahaman manusia tentang sains dan teknologi belum seperti sekarang, seorang Abu Bakar Ash Shiddiq Ra. Sahabat yang suci bisa beriman dan menerima kebenaran cerita Rasulullan Saw tanpa sanggahan.

Begitu dekatnya jarak alam dunia (langit pertama) dengan alam akhirat (langit ketujuh) yang sangat dekat sudah digambarkan oleh hadist dari Jabir bin Abdullah. Ketika itu Rasulullah Saw didatangi oleh lelaki berwajah bersih dan berbaju putih (yang ternyata adalah malaikan Jibril as yang memasuki dimensi alam manusia) :

Bertanya orang itu lagi (yakni Jibril as), “Berapakah jaraknya dunia dengan akhirat?” Bersabda Rasulullah SAW, “Hanya sekejap mata saja.”

Wallahua’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar