Ketahuilah bahwa semua maksiat dalam bentuk apapun adalahmerupakan racun bagi hati, penyebab sakitnya hati bahkan juga penyebab matinya hati. Berkata Abdullah Mubarak: "Meninggalkan dosa dan maksiat dapat menjadikan hidupnya hati, dan sebaik-baik jiwa adalah yang mampu meniadakan perbuatan dosa dalam dirinya. Maka barang siapa yang menginginkan hatinya menjadi hati yang selamat hendaklah membersihkan diri dari racun-racun, kemudian dengan menjaga tatkala ada ada racun hati yang berusaha menghampirinya, dan apabila terkena sedikit dari racun hati bersegeralah untuk menghilangkannya dengan taubat dan istighfar.
Racun-racun hati itu banyak macamnya, di antaranya adalah berlebih-lebihan (banyak) bicara atau fudhulul kalam. Dikatakan bahwa belumlah bisa istiqamah iman seseorang sebelum istiqamah lisannya.Maka lurus dan istiqamahnya hati dalam keimanan itu dimulai dari lisan yang istiqamah. Oleh karena itulah Islam mengajarkan kepada umatnya agar tidak banyak bicara tanpa disertai dzikir kepada Allah karena akan mengakibatkan kerasnya hati.
Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah SAW pernah bicara kepada sahabat Mu'adz: "Apakah engkau mau aku tunjukkan yang menjadi landasan itu semua (ibadah-ibadah)?" "Baik, ya Rasulullah," jawab Mu'adz. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: "Cegahlah ini," sambil mengisyaratkan dengan jari pada mulutnya), lalu Mu'adz berkata: "Ya Rasulullah, apakah kita akan dmintai tanggung jawab dari apa yang kita ucapkan?" Kemudikan Rasulullah SAW bersabda: "Sebrono kamu wahai Mu'adz, tidaklah seseorang akan ditelunkupkan wajahnya dan punggungnya ke dalam neraka melainkan hasil dari lisannya." (Diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi)
"Ada dua lubang yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka, yaitu mulut dan kemaluan." (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan di-shahihkanya)
Kemudian dalam riwayat lain Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya ada seorang lelaki mengucapkan sepatah kata yanng dianggap tidak apa-apa tetapi ternyata bisa menjerumuskannya ke neraka sampai tujuh puluh tahun." (Hr. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah). Dan tatkala Uqban bin Amir bertanya kepada Rasulullah: "Ya Rasulullah, apakah sesuatu yang dapat menyelamatkan?" Lalu Rasulullah SAW menjawab:"Tahanlah olehmu lisanmu."
Lalu dalam kesempatan lain Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa yang dapat memberi jaminan kepadaku dari apa yang ada dijenggot dan kumisnya (lisan) dan kedua pahanya (kemaluan), maka aku jamin untuknya surga." (HR. Bukhari)
Maksud dalam hadits di atas, barang siapa yang bisa memelihara apa yang ada di antar kedua bibirnya, yaitu mulut dari semua perkataan yang tidak bermanfaat, dan bisa menjaga apa yang ada di antara kedua pahanya yaitu farji agar tidak diletakkan di tempat yang tidak dihalalkan Allah. maka jaminannya surga.
Kemudian dalam hadits yang lain Rasulullah SAW juga bersabda: "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan beriman kepada hari akhirat, hendaklah berbicara yang baik atau agar diam." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan dalam suatu riwayat dari Abu Hurairah, Rasulullah SWA bersabda: "Sabagian dari tanda bagusnya Islam seseorang apabila ia bisa meninggalkan ucapan yang tidak berguna bagiya."
Berkata Sahl: "Barang siapa yang masih suka bicara yang tidak berguna maka ia tidak layak dikatakan shiddiq."
Apalagi bila ucapan seseorang sampai menyakiti orang lain maka belum bisa dijadikan jaminan iman yang dimilikinya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Demi Allah, tidaklah beriman, demi Allah, tidaklah beriman." Kemudian ditanyakan: "Siapakah gerangan yang engkau maksudkan wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Orang yang menjadikan tetangganya merasa tidak aman lantaran kejahatannya."
Dengan demikian maka hendaklah seorang mukmin mencukupkan diri dari ucapan yang tidak berguna seperti; berdusta, suka mengadu domba, ucapan yang keji, ghibah, namimah, suka mencela, menyakiti orang lain, dan sebagainya.
Itu semua merupakan racun-racun yang sehingga apabila seseorang banyak melakukan hal seperti ini, maka hatinya akan teracuni dan bila hati sudah teracuni maka lambat laun, cepat atau lambat akan mengakibatkan sakitnya hati. Semakin banyak racunya akan semakin parah penyakit dalam hati, dan kalau tidak tertolong akan mengakibatkan matinya hati.
Macam Macam Hati
Hati merupakan bagian terpenting dalam tubuh manusia. Hati ini tidak akan terlepas dari tanggung jawab yang dilakukan kelak di akhirat, sebagaimana firman Allah SWT: "Sesungguhnya pendengaran, penglihatan danhati semuanya itu akan dimintai pertanggangg jawabannya." (QS. Al-Isra': 36)
Dalam tubuh manusia kedudukan hati dengan anggota yang lainya ibarat seorang raja dengan seluruh bala tentara dan rakyatnya, yang semuanya tunduk di bawah kekuasaannya dan perintahnya,dan bekerja sesuai dengan apa yang dekehendaki.
"Ketahuilah bahwa dalam jasad ini ada segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik, maka akan menjadi baik semua. Dan apabila segumal daging itu jelek, maka akan jeleklah semuanya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hati yang Sehat
Yaitu hati yang terbebas dari berbagai penyakit hati. Firman Allah SWT: "(Yaitu) dihari yang harta dan anak tidak akan bermanfaat kecuali siapa yang mengharap Allah dengan membawa hati yang selamat." (QS. Asy-Syura: 88-89)
Hati yang Mati
Yaitu kebalikan dari hati yang sehat, hati yang tidak mengenal Rabbnya. Tidak melakukan ibadah sesuai dengan apa yang diperintahkan-Nya. Bahkan selalu memperturutkan hawa nafsunya walaupun ia tahu bahwa itu amatlah dimurkai oleh Allah dan dibenci-Nya.
Ia tidak pernah peduli tatkala memuaskan diri dengan nafsu syahwatnya itu dirdhai-Nya atau dimurkai-Nya, dan ia menghambakan dalam segala bentuk kepada selain Allah. Apabila ia mencintai, maka cintanya itu hanya karena nafsu. Apabila ia membenci, maka bencinya itu hanya karena nafsu. Dan lain sebagainya.
Hati yang Sakit
Yaitu hati yang hidup tapi ada penyakitnya, hati orang yang taat kepada terhadap Allah, tetapi kadang kala juga berbuat maksiat, dan kadang-kadang salah satu di antara keduanya saling berusaha untuk mengalahkannya.
Hatijenis ini, mencintai Allah, iman kepada-Nya, beribadah kepada-Nya dengan ikhlas dan tawakkal kepada-Nya, itu semua selalu dilakukanya. Tetapi itu juga mencintai nafsu syahwat dan kadang-kadang berperan dalam hatinya serta berusaha untuk mendapatkannya.
Diantara racun-racun hati, yang selalu disebut pertama kali oleh para ulama adalah racun lisan. Ini dikarenakan banyaknya kemaksiatan dan kerusakan yang disebabkan oleh lisan. Hati dan perasaan bisa tersinggung karena lisan. Gosip yang memerahkan telinga bisa berhembus dengan cepat karena lisan. Fitnah yang dahsyat bisa tersebar karena lisan. Kesalahpahaman terjadi karena lisan. Konflik, pertikaian dan bahkan pertumpahan darah terjadi karena lisan.
Sedemikian vitalnya lisan ini sampai-sampai Rasulullah mengukur kualitas keimanan seseorang dari lisannya. Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda, ”Tidaklah lurus iman seseorang sampai lurus hatinya. Dan tidaklah lurus hati seseorang sampai lurus lisannya.” (HR Ahmad). Dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, ”Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata-kata yang baik atau diam saja.” (HR Bukhari dan Muslim).
Menegaskan bisa sedemikian berbahayanya lisan jika tidak dijaga, Umar bin Khaththab berkata, ”Barangsiapa banyak bicaranya maka akan banyak tergelincirnya. Barangsiapa banyak tergelincirnya maka banyaklah dosanya. Dan barangsiapa banyak dosanya maka neraka lebih pantas untuknya.”
Mu’adz bin Jabal pernah menanyakan berbagai kebaikan kepada Rasulullah. Semuanya pun dijawab oleh Rasulullah. Setelah itu, Rasulullah balik bertanya kepada Mu’adz, ”Maukah engkau aku beritahu yang lebih besar dari semua kebaikan itu?” Mu’adz menjawab, ”Tentu, wahai Rasulullah.” Maka sambil memegang lisan, Rasulullah bersabda, ”Jagalah ini!” Mu’adz bertanya dengan nada agak protes, ”Wahai Nabi Allah, apakah kita akan dicelakakan oleh apa yang kita ucapkan?” Rasulullah menjawab, ”Kasihan engkau, Mu’adz. Mestinya engkau tahu itu.” Lalu beliau melanjutkan, ”Apakah kiranya yang akan menjerumuskan manusia kedalam api neraka kecuali lisannya?” (HR Turmudzi dan Hakim).
Mu’adz bin Jabal pernah menanyakan berbagai kebaikan kepada Rasulullah. Semuanya pun dijawab oleh Rasulullah. Setelah itu, Rasulullah balik bertanya kepada Mu’adz, ”Maukah engkau aku beritahu yang lebih besar dari semua kebaikan itu?” Mu’adz menjawab, ”Tentu, wahai Rasulullah.” Maka sambil memegang lisan, Rasulullah bersabda, ”Jagalah ini!” Mu’adz bertanya dengan nada agak protes, ”Wahai Nabi Allah, apakah kita akan dicelakakan oleh apa yang kita ucapkan?” Rasulullah menjawab, ”Kasihan engkau, Mu’adz. Mestinya engkau tahu itu.” Lalu beliau melanjutkan, ”Apakah kiranya yang akan menjerumuskan manusia kedalam api neraka kecuali lisannya?” (HR Turmudzi dan Hakim).
Abu Hurairah pernah menceritakan bahwa suatu ketika Nabi ditanya tentang apa yang paling banyak menjadikan manusia masuk surga. Beliau saw menjawab, ”Taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Sesudah itu Nabi ditanya apa yang paling banyak menjerumuskan manusia kedalam neraka. Beliau saw menjawab, ”Mulut dan kemaluan.” (HR Ahmad dan Turmudzi).
Dari sini jelas bagi kita semua bahwa ternyata lisan kita amat menentukan nasib kita di akhirat. Selamat dan celakanya kita pada hari pembalasan kelak sangat ditentukan oleh sejauhmana kita bisa menjaga lisan kita. Sayangnya, seringkali kita tidak sadar. Seringkali kita lalai terhadap setiap kata yang meluncur dari lisan kita. Padahal dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, ”Sesungguhnya seseorang mengucapkan satu kata yang ia sangka bukan apa-apa (tidak berdosa) padahal satu kata itu ternyata akan menggelincirkannya selama tujuh puluh tahun didalam neraka.” Dalam redaksi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda, ”Sesungguhnya seseorang mengucapkan satu kata yang tidak ia teliti sebelumnya sehingga akibat satu kata itu ia tergelincir kedalam neraka sejauh jarak antara timur dan barat.” Masya-allah! Jika demikian, bagaimana dengan keadaan kita selama ini? Apakah kita senantiasa meneliti setiap kata yang keluar dari lisan kita? Ataukah kita tidak pernah mengendalikannya sehingga tanpa sadar hal itu akan melemparkan kita kedalam neraka?
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ummu Habibah, Rasulullah bersabda, ”Setiap perkataan anak Adam akan menjadi beban baginya kecuali amar makruf nahi munkar dan dzikrullah.” (HR Ibnu Majah dan Turmudzi).
Oleh karena itu, Al-Qur’an dalam banyak tempat memerintahkan kepada kita untuk berbicara dengan tepat. Allah swt berfirman, ”Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bertuturkatalah dengan tepat, niscaya Allah akan memperbaiki untuk kalian amal-amal kalian dan Dia akan mengampuni untuk kalian dosa-dosa kalian.” Demikianlah Allah memerintahkan kepada kita untuk berkata-kata dengan tepat, sesuai dengan tempat, waktu, situasi dan kondisi. Betapa banyak orang yang bermaksud baik akan tetapi ketika ia menyampaikannya dengan tidak tepat maka justru muncul masalah besar.
Akhirnya, marilah kita benar-benar menjaga lisan kita. Katakan tidak pada ghibah (menggosip), namimah (memfitnah), kata-kata batil, kata-kata keji, mau menang sendiri, debat kusir, cekcok mulut, nyanyian-nyanyian batil, memuji-muji tidak pada tempatnya, menjelek-jelekkan orang, dan sebagainya.
Sebagai penutup, marilah kita dengar pesan Rasulullah ketika Uqbah bin Amir bertanya kepada beliau, ”Wahai Rasulullah, apakah jalan keselamatan itu?” Rasulullah bersabda, ”Tahanlah (jagalah) lisanmu, bahagiakan keluargamu, dan menangislah atas kesalahan-kesalahanmu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Perbandingan Nafsu & Hati
Nafsu menginginkan keanekaragaman sedangkan hati menginginkan kesatuan. Bagi para Sufi, nafsu adalah penjaga pintu hati, yang selalu berjaga jaga dan siap melayani, sedangkan hati merupakan tempat keberadaan, pembawa sifat ketuhanan dan pengatur wilayah.
Nafsu mengingkari Allah, sedangkan hati meyakini keberadaan Allah. Merasakan kesenangan adalah pekerjaan nafsu. Karena meyakini keberadaannya, hati dilarang untuk menginginkan makhluk. Sebelum nafsu benar-benar terlepas dari makhluk, ia tidak dapat disucikan, karena Allah adalah suci dan menyenangi kesucian.
Hati merupakan medan peperangan antara Kesatuan dan keanekaragaman, yang berperang untuk mendominasi wilayah. Jika wilayah tersebut didominasi oleh keanekaragaman, maka ia menjadi buruk, sedangkan jika berada di bawah kekuasaan Kesatuan, dia menjadi murni.
Rumi menyatakan hal ini dengan penuh perasaan:
Allah telah mengatakan, "Perhatian Ku adalah hati, bukan pada bentuk karena bentuk itu hanyalah air dan tanah.?
Kalian berkata, "aku juga memiliki hati,"
Hati berada di atas 'Arsy, bukan berada di bawahnya.
Dalam tanah yang gelap, juga terdapat air.
Tetapi tidaklah tepat jika ingin mengerjakan pembersihan dengan air itu Karena, meskipun itu air, ia penuh dengan tanah.
Jadi, jangan katakan tentang hati kalian, "ini juga sebuah hati.?
Hati yang lebih mulia daripada surga. Surga Adalah hati para kekasih Allah atau hati para Nabi.
Hati itu telah jauh berkembang dan menjadi sempurna.
Hati itu menolak tanah dan datang ke lautan;
Terlepas dari penjara tanah, air telah menjadi laut.
Air sebagaimana kita masih tetap terkurung dalam tanah.
Wahai Lautan Rahmat, bawalah kami keluar dari tanah!
Lautan itu berkata, "Aku akan membawa engkau ke dalam diriku sendiri, namun engkau harus tetap berusaha untuk menjadi air yang segar,
Kata-katamu menahanmu kembali, biarkanlah anggapan itu hilang dan datanglah kepadaku.
Air di dalam tanah tubuhmu berusaha untuk memasuki lautan.
Tetapi tanah menghambat perkembangannya dan membuatnya kembali.
Perbandingan Akal dan Hati
Melalui perputaran Allah (taqallub), hati (qalb) berubah-ubah melalui dorongan dorongan, sifat-sifat dan kondisi kondisinya. Untuk itu, seseorang dapat mengatakan bahwa hati menjadi berubah (taqlib) melalui dorongan dorongan. Menurut Al Qur'an: "Sesungguhnya pada yang demikian itu benar benar terdapat peringatan bagi orang orang yang mempunyai hati", karena hati berubah-ubah dalam bentuk maupun perubahan sifat.
Petunjuk ini dibuat untuk hati dan bukan untuk akal. Akal terikat pada anggapan anggapan individu dengan keterbatasan pemahamannya, berusaha membatasi perintah perintah Allah, yang tidak terbatas. Ini berbeda sekali dengan hati, yang merupakan tempat perwujudan sifat sifat Ketuhanan.
Dalam bentuk bentuk perwujudan tersebut, hati mengalami perubahan, yang mengingat apa yang telah dilupakannya. Di sini hati akan mengingat apa yang diberikan sebelum kemunculannya dalam wujud fisik dan karena itu juga mengingat apa yang telah hilang. Sebagaimana Rasulullah bersabda, "Hikmah adalah tujuan utama dari orang-orang yang beriman."
Seseorang harus menyadari bahwa di antara hati (qalb), penerimaan (qabul) dan kemampuan (qabiliyat), terdapat hubungan spiritual ataupun hubungan anagramatis (pertukaran huruf). Ruh melibatkan kemampuan untuk menerima bentuk-bentuk dari semua perwujudan sifat-sifat Ketuhanan.
Pertukaran huruf adalah jika akar huruf-huruf qalb (hati), yaitu q-l-b, dan qabil (mampu) diubah susunannya, mereka dapat dipindah-pindahkan, Yang menunjukkan hubungan dua arah antara keduanya. Jika kita membaca istilah qalb', seperti taqlib (perubahan), suatu perkembangan akar kata bahasa Arab yang sama, q-1-b, perubahannya menjadi penerimaan (qabul) dan kemampuan (qabiliyat, yang juga berakar pada kata qbI).
Sekarang 'aql (akal) adalah kata yang berkonotasi balutan, hubungan atau pengikatan, yang mengandaikan adanya pembatasan. Realitas dzikir melalui Allah dan di dalam Allah terlepas dari semua keterbatasan dan tidak cocok dengan akal. Situasinya sedemikian rupa sehingga batasan atau ikatan ini pertama kali terlihat dalam Akal Pertama sewaktu ia memahami cahaya perwujudan sifat Ketuhanan dari Yang Mutlak dengan kepandaian dan kernampuannya sendiri yang terbatas.
Karena rahasia yang telah dibuat ini terwujud, ada suatu batas yang telah ditetapkan Allah. jadi hakikat akal adalah keterbatasan cahaya Kemutlakan.
Allah berfirman kepada Akal Pertama, "Tulislah!" Itulah yang dikatakan bahwa akal itu terbatas dan harus menyatukan pengetahuan Allah dalam makhluknya sampai Hari Kebangkitan. Inilah keterbatasan yang hanya bisa menghasilkan keterbatasan. Penerimaan semua perwujudan sifat ketuhanan hanyalah mungkin terjadi untuk realitas kemanusiaan, yang merupakan keesaan yang terkonsentrasi serta kesempurnaan azali dan ukhrawi. Inilah dalam kenyataannya, hati dari Wujud Allah dan makna yang ada di balik semua dzikir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar