FALSAFAH JAWA, KEJAWEN DAN ISLAM JAWA dan KEJAWEN seolah tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kejawen bisa jadi merupakan suatu sampul atau kulit luar dari beberapa ajaran yang berkembang di Tanah Jawa, semasa zaman Hinduisme dan Budhisme. Dalam perkembangannya, penyebaran islam di Jawa juga dibungkus oleh ajaran-ajaran terdahulu, bahkan terkadang melibatkan aspek kejawen sebagai jalur penyeranta yang baik bagi penyebarannya. Walisongo memiliki andil besar dalam penyebaran islam di Tanah Jawa.
Unsur-unsur dalam islam berusaha ditanamkan dalam budaya-budaya jawa semacam pertunjukan wayang kulit, dendangan lagu-lagu jawa, ular-ular (putuah yang berupa filsafat), cerita-cerita kuno, hingga upacara-upacara tradisi yang dikembangkan, khususnya di Kerjaan Mataram (Yogya/Solo). Dalam pertunjukan wayang kulit yang paling dikenal adalah cerita tentang Serat Kalimasada (lembaran yang berisi mantera/sesuatu yang sakral) yang cukup ampuh dalam melawan segala keangkaramurkaan dimuka bumi.
Dalam cerita itu dikisahkan bahwa si pembawa serat ini akan menjadi sakti mandraguna. Tidak ada yang tahu apa isi serat ini. Namun diakhir cerita, rahasia dari serat inipun dibeberkan oleh dalang. Isi serat Kalimasada berbunyi "Aku bersaksi tiada Tuhan Selain Allah dan Aku bersaksi Muhammad adalah utusan-Nya" , isi ini tak lain adalah isi dari Kalimat Syahadat. Dalam pertunjukan wayangpun sang wali selalu mengadakan di halaman masjid, yang disekelilingnya di beri parit melingkar berair jernih. Guna parit ini tak lain adalah untuk melatih para penonton wayang untuk wisuh atau mencuci kaki mereka sebelum masuk masjid.
Simbolisasi dari wudu yang disampaikan secara baik. Dalam perkembangan selanjutnya, sang wali juga menyebarkan lagu-lagu yang bernuansa simbolisasi yang kuat. Yang terkenal karangan dari Sunan Kalijaga adalah lagu Ilir-Ilir. Memang tidak semua syair menyimbolkan suatu ajaran islam, mengingat diperlukannya suatu keindahan dalam mengarang suatu lagu. Sebagian arti yang kini banyak digali dari lagu ini di antaranya : “Tak ijo royo-royo tak senggoh penganten anyar” : Ini adalah sebuah diskripsi mengenai para pemuda, yang dilanjutkan dengan, “Cah angon,cah angon, penekna blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekna kanggo seba mengko sore” : Cah angon adalah simbolisasi dari manusia sebagai Khalifah Fil Ardh, atau pemelihara alam bumi ini (angon bhumi). Penekno blimbing kuwi, mengibaratkan buah belimbing yang memiliki lima segi membentuk bintang. Kelima segi itu adalah pengerjaan rukun islam (yang lima) dan Salat lima waktu.
Sedang lunyu-lunyu penekno, berarti tidak mudah untuk dapat mengerjakan keduanya (Rukun islam dan salat lima waktu) ,dan memang jalan menuju ke surga tidak mudah dan mulus. Kanggo sebo mengko sore, untuk bekal di hari esok (kehidupan setelah mati). “Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane” : Selagi masih banyak waktu selagi muda, dan ketika tenaga masih kuat, maka lakukanlah (untuk beribadah). Memang masih banyak translasi dari lagu ini, namun substansinya sama, yaitu membumikan agama, menyosialisasikan ibadah dengan tidak lupa tetap menyenangkan kepada pengikutnya yang baru.
Dalam lagu-lagu Jawa, ada gendhing bernama Mijil, Sinom, Maskumambang, kinanthi, asmaradhana, hingga megatruh dan pucung. Ternyata kesemuanya merupakan perjalanan hidup seorang manusia. Ambillah Mijil, yang berarti keluar, dapat diartikan sebagai lahirnya seorang jabang bayi dari rahim ibu. Sinom dapat di artikan sebagai seorang anak muda yang bersemangat untuk belajar. Maskumambang berarti seorang pria dewasa yang cukup umur untuk menikah, sedangkan untuk putrinya dengan gendhing Kinanthi. Proses berikutnya adalah pernikahan atau katresnan antar keduanya disimbolkan dengan Asmaradhana. Hingga akhirnya Megatruh, atau dapat dipisah Megat-Ruh. Megat berarti bercerai atau terpisah sedangkan ruh adalah Roh atau jiwa seseorang.
Ini proses sakaratul maut seorang manusia. Sebagai umat beragama islam tentu dalam prosesi penguburannya, badan jenazah harus dikafani dengan kain putih, mungkin inilah yang disimbolkan dengan pucung (atau Pocong). Kesemua jenis gendhing ditata apik dengan syai-syair yang beragam, sehingga mudah dan selalu pas untuk didendangkan pada masanya. Ada banyaknya filsafat Jawa yang berusaha diterjemahkan oleh para wali, menunjukkan bahwa walisongo dalam mengajarkan agama selalu dilandasi oleh budaya yang kental. Hal ini sangat dimungkinkan, karena masyarakat Jawa yang menganut budaya tinggi, akan sukar untuk meninggalkan budaya lamanya ke ajaran baru walaupun ajaran tesebut sebenarnya mengajarkan sesuatu yang lebih baik,seperti ajaran agama islam . Sistem politik Aja Nabrak Tembok (tidak menentang arus) diterapkan oleh para dunan.. Dalam budaya jawa sebenarnya sangat sarat dengan filsafat hidup (ular-ular). Ada yang disebut Hasta Brata yang merupakan teori kepemimpinan, berisi mengenai hal-hal yang disimbolisasikan dengan benda atau kondisi alam seperti Surya, Candra, Kartika, Angkasa, Maruta, Samudra, Dahana dan Bhumi.
- Surya (Matahari) memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan. Pemimpin hendaknya mampu menumbuh-kembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negaranya.
- Candra (Bulan), yang memancarkan sinar ditengah kegelapan malam. Seorang pemimpin hendaknya mampu memberi semangat kepada rakyatnya ditengah suasana suka ataupun duka.
- Kartika (Bintang), memancarkan sinar kemilauan, berada ditempat tinggi hingga dapat dijadikan pedoman arah, sehingga seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan bagi untuk berbuat kebaikan
- Angkasa (Langit), luas tak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang padanya.Prinsip seorang pemimpin hendaknya mempunyai ketulusan batin dan kemampuan mengendalikan diri dalam menampungpendapat rakyatnya yang bermacam-macam.
- Maruta (Angin), selalu ada dimana-mana tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang yang kosong. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat da martabatnya.
- Samudra (Laut/air), betapapun luasnya, permukaannya selalu datar dan bersifat sejuk menyegarkan. Pemimpin hendaknya bersifat kasih sayang terhadap rakyatnya.
- Dahana (Api), mempunyai kemampuan membakar semua yang bersentuhan dengannya. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani menegakkan kebenaran secara tegas tanpa pandang bulu.
- Bhumi (Bumi/tanah), bersifat kuat dan murah hati. Selalu memberi hasil kepada yang merawatnya. Pemimpin hendaknya bermurah hati (melayani) pada rakyatnya untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya.
Dalam teori kepemimpinan yang lain ada beberapa filsafat lagi yang banyak dipakai , agar setiap pemimpin (Khususnya dari Jawa) memiliki sikap yang tenang dan wibawa agar masyarakatnya dapat hidup tenang dalam menjalankan aktifitasnya seperti falsafah : Aja gumunan, aja kagetan lan aja dumeh. Maksudnya, sebagai pemimpin janganlah terlalu terheran-heran (gumun) terhadap sesuatu yang baru (walau sebenarnya amat sangat heran), tidak menunjukkan sikap kaget jika ada hal-hal diluar dugaan dan tidak boleh sombong (dumeh) dan aji mumpung sewaktu menjadi seorang pemimpin.Intinya falsafah ini mengajarkan tentang menjaga sikap dan emosi bagi semua orang terutama seorang pemimpin.
Falsafah sebagai seorang anak buahpun juga ada dalam ajaran Jawa, ini terbentuk agar seorang bawahan dapat kooperatif dengan pimpinan dan tidak mengandalkan egoisme kepribadian, terlebih untuk mempermalukan atasan, seperti digambarkan dengan “Kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni, kena takon ning aja ngrusuhi”. Maksudnya, boleh cepat tapi jangan mendahului (sang pimpinan) , boleh pintar tapi jangan menggurui (pimpinan), boleh bertanya tapi jangan menyudutkan pimpinan. Intinya seorang anak buah jangan bertindak yang memalukan pimpinan, walau dia mungkin lebih mampu dari sang pimpinan. Sama sekali falsafah ini tidak untuk menghambat karir seseorang dalam bekerja, tapi, inilah kode etik atau norma yang harus di pahami oleh tiap anak buah atau seorang warga negara, demi menjaga citra pimpinan yang berarti citra perusahaan dan bangsa pada umumnya.
Penyampaian pendapat tidak harus dengan memalukan, menggurui dan mendemonstrasi (ngrusuhi) pimpinan, namun pasti ada cara diluar itu yang lebih baik. Toh jika kita baik ,tanpa harus mendemonstrasikan secara vulgar kebaikan kita, orang pun akan menilai baik. Dalam kehidupan umum pun ada falsafah yang menjelaskan tentang “The Right Man on the Right Place” (Orang yang baik adalah orang yang mengerti tempatnya). Di falsafah jawa istilah itu diucapakan dengan “Ajining diri saka pucuke Lathi, Ajining raga saka busana”. Artinya harga diri seseorang tergantung dari ucapannya dan sebaiknya seseorang dapat menempatkan diri sesuai dengan busananya (situasinya). Sehingga tak heran jika seorang yang karena ucapan dan pandai menempatkan dirinya akan dihargai oleh orang lain.
Tidak mengintervensi dan memasuki dunia yang bukan dunianya ini, sebenarnya mengajarkan suatu sikap yang dinamakan profesionalisme, yang mungkin agak jarang dapat kita jumpai (lagi). Sebagai contoh tidak ada bedanya seorang mahasiswa yang pergi ke kampus dengan yang pergi ke mal , dan itu baru dilihat dari segi busana/bajunya , yang tentu saja baju akan sangat mempengaruhi tingkah laku dan psikologi seseorang.
Masih banyak filsafat Jawa yang mungkin, tidak dapat diuraikan satu persatu, terlebih keinginan saya bukan untuk banyak membahas hal ini, mengingat ini bukan bidang saya, namun hanya ingin memberikan suatu wacana umum kepada pembaca, bahwa banyak sekali ilmu yang dapat kita gali dari budaya (Jawa), Saat ini kebudayaan Jawa, terutama Filsafat Jawa hampir hilang dari kehidupan masyarakat. Kehidupan kita yang cenderung “western” telah mengabaikan filsafat- filsafat Jawa tersebut.
Padahal dalam filsafat-filsafat tersebut mengandung ajaran “adiluhung” yang sangat berguna bagi kehidupan masyarakat. Filsafat Jawa pada dasarnya bersifat universal. Jadi filsafat Jawa bukan hanya diperuntukkan bagi masyarakat Jawa saja, tetapi juga bagi siapapun yang ingin mempelajarinya.
Memilih Jodoh Berdasar Bibit Bebet dan Bobot
Dalam dunia dongeng pernikahan seorang pangeran dan seorang putri sering menjadi puncak cerita. Setelah melalui jalan berliku penuh perjuangan, akhirnya mereka berhasil mewujudkan impiannya menikah. Selanjutnya cerita usai dengan penutup bahwa pangeran dan putri itu hidup bahagia selamanya. Itu di dunia dongeng, yang memang selalu berakhir indah dan bahagia. Tapi bagaimana dengan kehidupan nyata masa kini? Sering terjadi berbeda seratus delapan puluh derajat. Setelah melalui masa – masa pacaran penuh kegembiraan, pernikahan sering menjadi awal datangnya ‘kepahitan’ dalam hidup.
Tidak sedikit kita melihat pesta pernikahan yang sangat mewah dan meriah, banyak puja – puji bagi pasangan yang dikatakan sangat serasi, cocok, pas, bagai pangeran yang tampan dan putri yang cantik dll, kemudian berakhir menyedihkan. Perkawinan bahagia yang diidamkan gagal dibina. Tak peduli masyarakat biasa, artis, tokoh politik bahkan seorang tokoh agama sekalipun. Sementara pada jaman yang semakin maju dengan teknologi yang makin canggih, juga kehidupan keagamaan yang terlihat semakin mendapat perhatian besar, seharusnya memberikan kekuatan yang lebih kuat dan baik dalam mendorong setiap pasangan dalam memilih calon dan menyiapkan rumah tangganya. Namun realitasnya ternyata berbeda. Perceraian demi perceraian pasangan semakin sering kita dengar.
Melihat hal itu saya mengajak menoleh sejenak kearah warisan leluhur, dalam hal ini tradisi masyarakat Jawa dalam memilih pasangan dan mempersiapkan pernikahan. ( Setiap agama senyatanya telah mengajarkan hal ini dan pastilah itu suatu kebenaran penuh dan tak terbantahkan. Maka hal ini tentunya sebagai pelengkap saja. Itu pun jika cocok.) Ada tiga hal penting dalam tradisi Jawa dalam memilih calon pasangan pasangan adalah sesuatu yang sangat penting agar tidak ‘salah’ pilih dan harapannya pernikahan adalah sekali seumur hidup. 1. Bibit Bibit berarti benih.
Dalam hal ini pasangan diharapkan tahu persis siapa sesungguhnya calon pasangannya. Apakah ia berasal dari keluarga baik –baik? Bagaimana dengan keadaan fisik keluarganya, adakah cacat dalam keluarganya, baik fisik, mental maupun moral? Cacat fisik dalam keyakinan masyarakat jawa itu bisa menurun kepada anak – anak yang dilahirkan. (dalam teori ilmu yang modern, mungkin jika kecacatan dengan factor gen yang bisa menurun) Secara mental pun juga perlu diperhatikan. Misalnya jika ada salah satu keluarga yang sakit ‘gila’, biasanya keluarganya sulit untuk mendapatkan jodoh.
Selain soal fisik dan mental ada satu cacat lagi yang menjadi perhatian, yaitu cacat social. Cacat social biasanya berhubungan dengan perilaku keluarganya. Misalnya adakah orang tua atau keluarga yang lain pernah terlibat criminal berat? Lebih – lebih sampai masuk penjara. Ini biasanya juga menjadi pertimbangan yang penting juga. Selain hal – hal di atas masih ada bibit lain yang perlu diteliti yaitu Perhitungan menurut neptu Saptawara dan Pancawara. Untuk penjelasan lebih jauh ada dibagian bawah tulisan ini. 2. Bebet Bebet berarti kekayaan. Dalam hal ini pasangan diharapkan tahu keadaan ekonomi/kekayaan yang sebenar – benarnya akan si calon.
Hal ini penting agar pasangan kelak dapat memperhitungkan kehidupan ekonominya secara tepat setelah pernikahan juga diharapkan tak muncul rasa kecewa dikemudian hari yang bisa menjadi bibit percekcokan. 3. Bobot Bobot berarti kepandaian. Dalam hal ini pasangan diharapkan mengenal betul akan tingkat kepandaian calon pasangan. Agar relasi yang dibangun dalam rumah tangga dapat seimbang dan saling melengkapi. Ketidak seimbangan daya pikir pasangan juga bisa menjadi pemicu ketidak harmonisan rumah tangga. Dalam melihat neptu, ada dua hal yang perlu diperhitungkan.
Pertama soal hari kelahiran calon pasangan dan yang kedua soal hari pelaksanaan perkawinan. Dalam hal dalam tradisi jawa ada sepuluh jenis penghitungan hari dari Eka Wara sampai Dasa Wara. Namun dari sepuluh jenis perhitungan hari tersebut kebanyakan hanya dua perhitungan hari yang gunakan sebagai perhitungan utama yaitu Panca Wara dan Sapta Wara. Panca Wara yaitu perhitungan hari sesuai hari pasaran yang terdiri dari lima hari yaitu Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Paing. Lalu yang ke dua adalah Sapta Wara, perhitungan hari yang digunakan secara umum yaitu hari Minggu – Sabtu. Masing – masing hari tersebut mempunyai nilai hidup/neptu. Di bawah ini table Sapta Wara dan Panca Wara secara lengkap.
Dalam hal mempertimbangkan jodoh menurut hari kelahiran ada beberapa cara untuk menghitungnya. 1. Perhitungan jodoh berdasarkan Sapta Wara kelahiran pasangan. Ada keyakinan bahwa seseorang dengan kelahiran masing – masing pasangan akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan pasangan tersebut. Berikut contoh perhitungan tersebut.
2. Perhitungan jodoh berdasarkan gabungan neptu. Perhitungan menurut gabungan neptu caranya adalah menggabungkan neptu Panca Wara dan Sapta Wara dari Pria dan Wanita kemudian jumlahnya tersebut dibagi. Ada dua cara perhitungan yaitu dibagi 5 dan 4. Sisa dari pembagian tersebut yang diperhatikan untuk dilihat maknanya. Berikut table perhitungan dengan cara menghitung gabungan neptu. Gabungan Neptu dibagi 5
Gabungan Neptu dibagi 4
3. Perhitungan jodoh berdasarkan jumlah neptu. Menghitung berjodohan berdasarkan jumlah gabungan netpu dilakukan dengan cara menjumlah Sapta Wara dan Panca Wara pasangan. Kemudian masing – masing dibagi 9. Sisa pembagian pihak pria diletakkan di depan dan wanita dibelakang. Contoh table perhitungan dengan cara ini.
Selain memperhatian Bibit, Bebet dan Bobot tersebut, dalam tradisi jawa memilih tanggal, hari dan bulang yang baik juga dipercaya mempunyai peran penting bagi pasangan untuk mewujudkan harapannya. Dalam hal mempertimbangkan perjodohan dalam memilih hari pelaksanaan pernikahan. 1. Baik Buruknya Sapta Wara
2. Baik Buruknya Tanggal Ada kepercayaan tanggal – tanggal yang baik digunakan untuk melangsungkan pernikahan adalah tanggal – tanggal setelah bulan tidur. Yaitu dari tanggal 1 – 15. 3. Baik Buruknya Sasi/Bulan
Hal – hal yang diuraikan di atas merupakan tradisi turun menurun yang diyakini oleh masyarakat Jawa. Entah bagaimana awal mulanya, sehingga para leluhur mampu membuat perhitungan – perhitungan semacam itu, saya sendiri tidak tahu. Namun hingga kini, masih banyak masyarakat yang menggunakan perhitungan – perhitungan semacam ini dalam memilih jodoh dan melakukan pernikahan. Mereka yang takut melanggar tradisi – tradisi semacam ini masih cukup banyak. Namun tak kalah banyak pula yang sudah tidak lagi menghiraukan perhitungan – perhitungan semacam ini. Semua kembali ke manusianya, saat mempunyai kehendak dan keyakinan yang kuat, bukan tak mungkin itu sebetulnya kunci utama dalam memperoleh kebahagiaan dalam berumah tangga, dan seperti yang diharapkan oleh setiap pasangan, perjodohan adalah sekali untuk seumur hidup.
MILIH JODOH ADAD JOWO
Bobot, lare ingkang badhe kapundhut mantu/semah kangge anak punika, kados pundi menggah kawontenanipun ing babagan drajat, pangkat, lan pasinaonipun.
- Bibit, lare ingkang badhe kapundhut mantu/semah kangge anak punika turunipun sinten. Liripun tedhaking atapa, wijiling ngawirya, punapa namung trahing kawula limrah. Sarta ingkang nuturaken panapa dene larenipun nggadhahi sasakit ingkang dados awisanipun jejodhohan punapa boten. Kajawi punika kados pundi menggah watak lan budipekertinipun.
- Bebet, lare ingkang badhe kapundhut mantu/semah kangge anak punika kados pundi menggah kawontenanipun ing bab kasugihan utawi kadonyan cekap punapa boten.Terjemahan dalam bahasa Indonesia :Bobot : kalau ingin mencari jodoh harus memperhatikan dalam hal pangkat, keduduka danderajadnya.
- Bibit : apakah calonnya itu pesakitan dan bagaimana budi pekerti dan martabatnya.
- Bebet : apakah calonnya itu keturunan dari orang berada/kaya.
Kemudian setelah menjadi jodohnya dan terjalin perkawinan, selanjutnya bekerja untuk cari duit (benwit) he he he he.
Saya serahkan kepada sampeyan semua untuk menjelaskan sendiri piwulang utami ini.
Piwulang Utami
Untuk melengkapi postingan sebelumnya mengenai istilah bobot, bibit dan bebet, berikut ini Kang Suko lengkapi terkait dengan piwulang utami. Piwulang ini sangat cocok dan berguna sekali khususnya bagi mereka yang akan memasukki bahtera kehidupan baru, dan umat manusia umumnya.
- Secatur (sarupa, sajiwa, sawanda lan saekapraya)
- Sarupa : kekalihipun rumaos menawi garwanipun punika bagus/ayu piyambak
- Sajiwa : kedah saged momong watak satunggal-satunggalipun
- Sawanda : adeging bebrayan pamonging gesang kekalih
- Saekapraya : kedah jumurung dhateng karsa, cipta tuwin sedya ingkang sae lan utami
- Tepa ing rasa, Dana ing tepa, Temen tobating rila
- Tepa ing rasa : tepa menika ukuran, rasa punika pangraos. Samukawis patrap lan makarti punika kedah manut raosipun piyambak. Menawi tumrap raosipin boten sekeca ing prayogi, sampun dipun cakaken dhateng tiyang sanes
- Dana ing tepa : rasa pangraosbmakaten punika, kula aturi ngecakaken ing bebrayan agung, adatipun saged sumingkir saking watak srei drengki, jahil methakil, dahwen, panasthen, kamiopen
- Temen tobating rila : tumrap kakung, kanthi temen tresna garwa, martobat sampun tuman rabi malih, rila legawa narima trusing batos garwa satunggal boten telas salaminipun, adatipun saged nyaketaken tresna bektinipun garwa. Tumrap putrid semanten ugi, adatipun nyaketaken sih tresnanipun kakung
- Guna, Kaya lan Sura
- Guna : sugih kabisan
- Kaya : saged ngendalekaken asil
- Sura : pun wani utawi kendel
- Sadaya gegayuhan saged kaleksanan, jer linambaran kuwanen, kados piwulangipun Prabu Rama dhateng Wanara Seta Anoman “Sapa wani ing gampang, wedi ing kewuh, samubarang nora bakal bisa kelakon”
- Gemi, Nastiti, Ngati-ati
- Gemi : ora gelem ngetokake waragat kang ora perlu
- Nastiti : weruh ing petung, ora gampang keblithuk
- Ngati-ati : bias ngormati marang guna kayaning laki
- Rigen, Mugen, Tengen
- Rigen : bias nata amrih tata lan prayoga
- Mugen : manut sapakon, nora rongeh
- Tengen : teteg utawi tawakal
- Kabrayan, Kahartan, Kayuswan, Kawibawan (Panca utamaning gesang balewisma)
- Kabrayan : sugi anak
- Kahartan : sugih dhuwit/rejeki
- Kayuswan : dawa umure
- Kawibawan : hanggadhahi watak budi luhur
- Sasana, Busana, Baksana
- Sasana : mbudidaya papan manut sakuwasanipun, dhedhasar sarujukan
- Busana : ngagem busana manut sakuwasanipun, dhedhasar narima
- Baksana : dhedhaharan ingkang jumbuh kaliyan wulu, wedalipun
- Sama, Beda, Dana, Dhendha
- Sama : pengrengkuhipun sami-sami ahli waris sami
- Beda : nadyan darajat padha, reh kawajibanipun tetep beda
- Dana : saged jagi asmanipun satunggal-satunggalipun
- Dhendha : adiling ukum, boten wigah-wigih, elik-elik dhumateng sasaring tumindak satunggal-satunggalipun
Malima (Momong, Momot, Momor, Mursid, Murakabi)
- Momong : sage ding ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Kajwi dhawuh ugi saged nuladhani
- Momot : ing atasipun kakung sasaged-saged kedah asipat bebasan weteng segara gulu bengaan. Tegesipun sarwa saged hamadhani awon lan sae, tan gampil serik lamun cinacat, ugi boten gampil bombing menawi kaalembana
- Momor : gampil ing pasrawungan, ingkang esthinipun mamrih jembaring pasrawungan, miwah ngrembakaning karukunan, kanthi boten mbenten-mbentenaken derajat lan pangkat
- Mursid : landep ing panggrahita, boten cengkah kaliyan tegesipun kautaman, ing idhep hamung mamrih saya indhaking darajat brayat lan kulawarga, ingkang pungkasanipun migunani tumrap bebrayan
- Murakabi : boten among kangge kabetahaning brayat kemawon
Upacara Siraman
Ini adalah panduan ataupun tuntunan untuk acara pernikahan dengan adat jawa (yang cukup rumit), sebelum acara pahargyan. Pada malam midodareni disana ada upacara siraman yang dilakukan oleh Bapak dan Ibu kepada kedua calon mempelai. Berikut cara melakukan siraman yang dikemas dalam bahasa jawa.
Upacara siraman, tinarbuka kanthi sowanipun putra calon penganten putri mjil saking sasana busana, manjing ing madyaning sasana upacara
Kalajengaken adicara pangabekten atur bektinipun putra calon penganten putri kakanthi dening rama lan ibu, tumuju dhumateng papan pasiraman, ingkang kawiwitan saking para pinisepuh, lajeng dipun pungkasi dening keng ramanipun putra calon penganten putrid. Wekasing sedya, tinengeran pamecahing Kendhisari.
Rapal mecah kendhi : Ora pati-pati mecah kendhi, nanging mecah Kendhisari, mecah pamore anakku jabang bayine Dyah …………………………….. (naminipun putra calon penganten putri), kadya mas sinangling, saking karsaning Allah.
Sabidaripun siraman, putra calon penganten putrid kapobong dening ingkang rama, tumuju dhumateng sasana busana, saperlu nindakaken upacara potong/pagas rikma. Sasampunipun rikma kapotong dening ingkang rama, tinampi dening ingkang ibu lajeng katanem wonten sangajenging dalem.
Rapal potong rikma : Ora ngguwang-ngguwang rambut, nanging angguwang sesukering anakku, kariya beja mulya, rahayu uripe.
Sasampunipun pegas rikma, kalajengaken adicara sadean dhawet. Kang rama saha ibunipun putra calon penganten putrid tumuju dhateng sasana sadean dhawet. Ingkang ibu anggendong senik wadah arta. Wondene ingkang rama hamuyungi. Sade dhawet kawiwitan dening ingkang ibu, dene ingkang rama hanampi arta sinambi mayungi. Pikantukipun arta kabuntel lajeng kaparingaken dhateng putra calon penganten putrid. Wondene pangandikanipun ibu dhumateng putranipun mekaten :
Ibu : Anakku ngger Dyah ……………………………… tampanana dhuwit, oleh-olehane dodol dhawet, muga-muga kena kanggo pawitane uripmu, lan iki jajan pasar maneka warna, pinangka pralampita Manawa ing bebrayan agung kuwi isine maneka warna, sing bisa anggonmu leladi ing bebrayan ya ngger.
Putra : Inggih Ibu, ngestokaken dhawuh.
Wondene minangka paripurnaning upacara siraman, inggih punika dhahar sekul tumpeng. Keng ramanipun putra calon penganten putri motong tumpeng sajen siraman, kaparingaken dhateng keng ibunipun putra calon penganten putri, lajeng diparingi lawuh, tumunten kaparingaken dhumateng ingkang putra calon penganten putri. Mekaten pangandikanipun ibu dhumateng putranipun.
Ibu : Anakku ngger, sing tak tresnani, tampanana rejeki peparinging Gusti lumantar rama lan ibu, muga-muga sega salawuhe iki murakabi sarandhuning badan lan ndadekake seger bagas waras jiwa lan ragamu.
Putra : Inggih Ibu
Panata Cara Pahargyan
Memenuhi permintaan dari penggemar panata cara, berikut ini akan saya muat dalam blog ini secara berkala tentang tuladha bagi para panata cara untuk pahargyan. Pada panata acara pahargyan
(1) saya awali dari panata cara pasrah panampining lamaran.
Atur Pambuka Panata Cara
Pasrah Panampining Lamaran
Bismillah hirrohman nirrohim
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Panjenenganipun para pepundhen, para sesepuh, para pinisepuh ingkang hanggung mastuti dhumateng pepayoning kautaman, ingkang pantes pinundhi, para duta saraya saking kadang besan sutresna ingkang pantes kinurmatan, para lenggah kakung putri, kadang wredha mudha ingkang winantu suka basuki..
Mradapa keparengipun Bp. …………………… sekalihan sumrambah para kulawangsa ing kelenggahan punika, kula piniji pinangka pambicara wontenipun upacara pasrah panampining upakarti miwah lamaran pinangka jejangkeping tata cara salaki rabi.
Namung sakderengipun kula ngaturaken urut reroncening adi cara ingkang sampun karakit dening para kulawarga, cundhuk kalihan kuncaraning bangsa ingkang linambaran agunging Pancasila, sumangga nun kula dherekaken ngaturaken puji syukur wonten ngarsa dalem Allah ingkang Maha Agung, karana ageng barokah saha rohmat ingkang sampun kaparingaken dhumateng panjenengan sadaya dalasan kula.
Sinawung raos syukur ing ngajeng, mugi lampahing adi cara pasrah panampi lamaran saha upakarti pinangka jejangkeping pala karma tansah pinaringan rahayu tebih ing sambekala.
Nun inggih para lenggah ingkang sinuba ing pakurmatan, keparenga panata cara murwani lekasing sedya ingkang punika enggal badhe binuka lampahing adi cara ingkang rinamtam para kulawangsa.
Nun inggih :
Tinarbuka atur pambagyaharjo saking ingkang hamengku gati dening tetuwangga ingkang sampun paniji.
Atur panampi dening tetuwangga ingkang pinangka sulih saliranipun Bp. ……………… ingkang mengku gati. Kaleksananing adi cara liru kalpika (menawi wonten). Tanggap wacana sawatawis saking pinisepuh pinangka tumuju dhumateng kasaenan (menawi wonten).
Paripurnaning sedya hambok bilih ing mangke wonten pratandha saking kulawarga minangka paran para.
Mekaten para tamu saha para lenggah urut reroncening tata adi cara pasarah lamaran ingkang sinanggit dening para kulawarga, kasuwun wontena suka lilaning penggalih para lenggah tansah hanjenengi ngantos dumugi purnaning gati.
Nuwun, nwun, matur nuwun.
Kumpulan tuladha lengkapnya dapat diunduh dibawah ini :
atur-pambuka
atur-badhe-pambagyaharja
atur-pambagya-pasrah-lamaran
Panata Cara Pahargyan
Melanjutkan postingan panata cara pahargyan [1], berikut ini masih dalam konteks adicara lamaran temanten, yaitu mulai dari atur pasarah lamaran, panampi lamaran, liru kalpika (tukar cincin), dan atur paripurnaning gati. Lengkapnya dapat diunduh pada file pdf dibawah ini :
- Atur Panata Cara Sesampunipun Adicara Pambagyaharjo
- Atur Pasrah Lamaran Saking Duta Saraya
- Atur Panatacara Sesampunipun Pasarh Lamaran Ngancik Panampi
- Atur Panampi Pasrah Lamaran
- Atur Panatacara Sasampunipun Panampi Pasrah Lamaran
- Atur Panatacara Badhe Liru Kalpika
- Atur Panatacara Salebetipun Liru Kalpika
- Atur Panatacara Badhe Tanggap Wacana (menawi wonten)
- Atur Panatacara Wonten ing Swasana Mirunggan
- Atur Panatacara ndungkap Paripurnaning Gati
Rerepan Jengkaring Suba Manggala
Berikut ini rerepan Dhandhanggula untuk mengiringi jengkaring Suba Manggala pada upacara temanten adat Jawa, untuk melengkapi postingan sebelumnya.
Rerepan Dhandhanggula Kangge Nyarengi Jengkaring Suba Manggala
Hanyarkara sinanggit memanis,
hangrumpaka pahargyan prasaja,
dahat edi sanyatane,
sinten kang nembe mantu,
hamiwaha atmajaneki,
mahargya marang putra,
ingkang sampun dhaup,
bapak ………………………….
sekalian kang hanggung tulus marsudi,
budayaning priyangga.
Wus manunggal keblat hanyawiji,
amrih bisa lestari widada,
Sri penganten sakarone,
jinangkung ing Hyang Agung,
saniskara ingkang kaesthi,
sembada kang sinedya,
jumbuh kang ginayuh,
guyub rukun ing bebrayan,
runtut atut tumekaning kaki lan nini,
manggiha bagya mulya.
Satelasing sekar Dhandhanggu kalih pada punika, menawi dereng cekap saget dipun sambung Ayak-Ayak Sl.9
Untuk mengiringi kirab kasatriyan pada upacara penganten adat jawa, biasanya dikumandangan kidungan atau rerepan. Berikut ini salah satu rerepan dengan tembang sekar sinom.
Rerepan Kangge Nyarengi Kirab Kasatriyan
Sekar Sinom
Mijil kang pindha narendra,
den garubyuk para cethi,
mancorong ponang wadana,
pindha Komajaya Ratih,
rinengga-rengga peni,
gawok ngungun kang handulu,
sinung prabawa maya,
hangadhang mulya sejati,
jroning driya asung pamuji Hyang Suksma.
Pamujine mengku brata,
meminta sihing Hyang Widhi,
satindak lan tandukira
mugyantuk berkahing Gusti
uga muna lan muni,
tinebihna salah dudu,
tinuntun budi tama,
pantes tinulad para janmi,
pindha nata gya salin agem satriya.
Hageman satriya tama,
pinhane sang Gunungsari,
iku kang temanten priya,
kang putri lir ragil kuning,
prasetya trus nyawiji,
mrih lestari runtut-atut,
ngesti mengkoni putra,
tali tresna jaman mangkin,
dwi kang putra wus cukup rengganing karma.
Tindake sang sinatriya,
kairing puji hastuti,
wiraga mengku prabawa,
mrabawani kang mriksani,
hamemayu sesame,
mahambeg satriya tuhu,
yeku trah Pancasila,
ngudi mulya lahir batin,
tansah eling waspada bakti mring praja
Widada manggih yuwana,
sari kang pindha Narpati,
rineksa pra wredha mudha,
sumunar lir Dewa-Dewi,
kongsi kaki lan nini,
paminta kapranan kalbu,
amrih bisa sembada
ing akhir manggih Swarga di,
wiji mulya kinarya ngrengga Nagara
Panjenenganipun para rawuh saha para lenggah, sampun handungkap prapteng unggyan ingkang tinuju, subamanggala gya sung sasmita mring sri temanten nulya kalenggahaken wonten sasana adi, sang suba manggala sumawana para kadang Wandawa binger jroning wardaya karana wus bangkit hangentasi karya mulya wangsul mring papanira sowang-sowang nedya lerem salira kanthi suka pari suka sumangga nun nuwun.
Rerepan Upacara Sungkem
Pada acara sungkeman oleh kedua calon mempelai kepada orang tua, biasanya dialunkan rerepan atau kidungan dhandhanggula. Sebelumnya hal yang sama juga telah saya upload rerepan jengkaring suba manggala , dan rerepan untuk kirab kasatriyan
Rerepan Dhandhanggula, Kangge Nyarengi Upacara Sungkem
Rama ibu kang luhuring budi,
Ingkang hangukir jiwa lan raga,
Kang agung pangurbanane,
Paring pituduh luhur,
Rina wengi tansah hangesthi,
Mrih rahayuning putra,
Lulus kang ginayuh,
Sadaya ribet rubeda,
Linambaran kanthi sabarang penggalih,
Tuhu pantes sinembah.
Kadya sinendhal rasaning ati,
Panyungkeme kang putra sayuga,
Tumetes deres waspane,
Tan kanawa jroning kalbu,
Ngondhok-ondhok rasaning galih,
Alon ngandikanira,
Dhuh angger putraku,
Sun tampa panyungkemira,
Muga-muga antuk barkahing hyang Widi,
Nggonira jejodhohan.
Piwelingku aja nganti lali,
Anggonira mbangun bale wisma,
Runtut atut sakarone,
Adohna tukar padu,
Tansah eling sabarang ati,
Kuwat nampa panandhang,
Tan gampang amutung,
Dadiya tepa tuladha,
Uripira migunani mring sesame,
Hayu-hayu pinanggya.
Pemimpin Wicaksana
Sinten nggih mangke pimpinan negari ingkang gemah ripah loh jinawe, tata tentrem kerta raharja. Miturut piwulangipun para pinisepuh, pemimpin ingkang wicaksana meniko ancer-anceripun kirang langkung kasebat ing ngandap meniko.
- Dadi pemimpin/pangarsa iku perlu handuweni Panca – Pratama. Pali Darma : tegese tansah aweh pitutur marang kelakuan kang becik marang andhahane. Pali Marma : tegese sugih pangapura, ora seneng nibakake paukuman marang andhahane , Mulat : tegese ora wor-suh paminta-pranataning pakaryan. Sarta tansah waspada sakabehing tumindak. Miluta : tegese angraket/raket marang andhahane. Milala : tegese seneng peparing marang andhahane, ora malah kosok baline. Ya Panca Pratama iku kang anjalari bisa nukulake kawibawaning Pemimpin. Wibawa iku tembung Bawa oleh ater-ater Wi (Wi = Bawa) tegese : Wi = Luhur = Linuwih. Bawa = Laku. Tukuling “Wibawa” manawa handuweni watak Budi Luhur.
- Pemimpin iku paribasaning Gendheng (genteng) saupamane. Kuwajibanne Gendheng iku dadi Pangayoman kang ndalemi. Menawa gendheng mau pecah, mesthi dilorot, diganti sing wutuh, sing pecah terus diguwak, amarga wis ora ana gunane
- Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa. Tut wuri handayani.
- Aja gampang nganggep sepele, kadhang-kdahang bisa dadi gawe.
- Yen kuwasa aja kumawasa, yen pinter aja kuminter, yen sugih aja sumugih, yen banter aja seneng nglancangi, yen mandi aja mateni.
- Ajining diri hamung saking pakarti lan kedaling lathi.
- Memayu hayuning bawana : Tansah marsudi mbangun pribadine dewe
- Memayu hayuning sasama : Kudu bisa gawe tentreming para kawulane
- Dados juru ladosing bebrayan ingkang sae : Punapa ingkang dados kaperluanipun para kawulanipun, kedah dipun penggalihaken ingkang saestu.
- Sadaya keputusanipun tansah adamel senenging tiyang sanes, adil, hambeg paramarta.
- Sedaya tumindakipun linandhesan tresna welas asih dhumateng sintena kemawon.
- Panguasa iku ora kanggo nguwasani, nanging kanggo hangayomi.
- Aja sok sewenang-wenang, tundhone bakal kesurang-surang.
- Berbudi bawa laksana, welas asih mring sapadha-padha.
- Aja seneng nenacad ing liyan, menawa pribadine dhewe durung resik temenan.
Upacara Krobongan Temanten
Pada acara pahargyan temanten adat jawa, biasanya dilakukan upacara krobongan. Adapun urutan upacara sakral tersebut sebagai berikut :
1. Upacara Timbangan
Temanten kakung lenggah ing pangkon sisih tengen keng ramanipun temanten, dene temanten putrid lenggah ing pangkon sisih kiwa. Wondene Ibunipun temanten lenggah ing sangajengipun temanten sarimbit. Salajengipun Rama lan Ibu sami pangandikan:
Ibu : Bapakne, piye bobote anakmu sakeloron, apa yaw is timbang.
Rama : Ibune, miturut pangrasaku kaya wis ora ana kaceke, tegese padha abote.
Pasemonipun : mujudaken pepenget dhumateng tiyang sepuhipun temanten, supados boten kadunungan raos emban cidhe emban siladan utawi mboten mbedak-mbedakaken ing antawisipun putra lan putrid mantu, sadaya sampun karengkuh putra piyambak.
2. Kacar Kucur
Temanten kakung nyuntak kampil ingkang sampun kacawisaken, isi arta receh/krincing mawi dipun tadhahi tilam lampus (klasa Bangka).
Pasemonipun : mujudaken cuwilaning gegambaran ingkang jejering guru laki puniko, kedah rumaos anggadhahi wajib masrahaken asil guna kayanipun dhumateng rabinipun (garwanipun), lan rabinipun kedah saged nyekapaken ing reh sadaya kabetahaning bale wisma.
3. Dulangan
Temanten kakung putrid sami ngasta piring isi sekul punar, inggih punika sekul ingkang warnanipun jene, lajeng dulang-dulangan.
Pasemonipun : mujudaken satunggaling kekudangan supados temanten kakung putrid, tetepa setunggal raos ing lahir lan batos, jumbuh ing sadaya reh gegayuhipun.
4. Ngunjuk Rujak Degan
Temanten kakung putrid ngunjuk rujak degan, kawiwitan saking temanten kakung, lajeng temanten putrid. Degan ingkang kadamel rujak, miturut kapitadosanipun para sepuh milih klapa ingkang nembe awoh sepisanan.
Pasemonipun : ugi mujudaken kekudangan mugi temanten enggala kaparingan momongan (putra). Dene rujak degan kaistha kadidene pepenget kagem temanten supados ing sugengipun lelumban wonten ing pasrawungan puniko mboten ngepang-ngepang, lan saged dados wadhahing kautaman ingkang pantes dados tuladhaning bebrayan.
5. Sungkeman
Temanten putri sungkem dhumateng temanten kakung
Pasemonipun : pepenget dhumateng temanten putrid, supados tansah ngabekti dhumateng temanten kakung. Kosok wangsulipun temanten kakung (sang guru laki) ugi nggadhahana raos hangayomi kanthi tuladha pakarti utama dhumateng temanten putri.
BASA RINENGGA ANGGE ING PAHARGYAN/PAWIWAHAN MANTU
- Binarung swaraning pradangga hangrangin hambabar Ketawang Puspawarna, ana ganda hanggambar arum katiyub ing samirana manda, kawistara jengkaring Sri Atmaja Temanten putri mijil saking tepas wangi, tepas mengku werdi “papan”, wangi wus hangarani.
- Tindakira Sri Atmaja temanten putri hamucang kanginan, lengkeh-lengkeh pindha singa lupa, sapecak mangu satindak kendel, pangudasmaraning driya ingkang dereng kawijil ing lesan, hangrantu praptaning mudha taruna minangka gegantilaning nala.
- Kawistara Sri Atmaja penganten putri sampun lenggah hanggana raras wonten sasana adi, inggih sasana rinengga.
- Binarung swaraning gangsa ingkang hambabar Ladrang Wilujeng, kawistara jengkaring putra temanten kakung saking wisma palereman, ing pangajab mugi tansah manggih kawilujengan kali sing sambekala. Gumebyar busananing putra temanten kakung, hangagem busana ingkang tinaretes benang sotya, ngagem kuluk kanigara hememba busananing Nata.
- Wus tinata titi tataning gati, nuninggih putra temanten kakung sampun jumeneng wonten sangajenging wiwara kepareng badhe hanetepi upacara pasrah.
- Hangemban dhawuh wigatosing sedya, kepareng hing mangke penganten kakung kula pasrahaken tuwin kula sumanggakaken dhumateng pinangka sulih salira Bp. ………………………………………. Cundhuk kaliyan lampahing upacara ingkang sampun rinantam.
- Saya caket tindakira putra temanten kekalih, gya temanten kekalih samya apagut tingal, tempuking catur netra handyani pangaribawa ingkang hambabar manunggaling nala ingkang tumanem ing sanubari.
- Mila winastan “Suruh” lamun dinulu beda lumah lawan kurebe yen ginigit tunggal rasane, mengku pralampita dhumateng putra temanten mugi tansah manunggal cipta, rasa miwah karsane. “Suruh” asung pituduh “Samurupa nganti weruh” bisoa nganti tekan “Rosing rasa” inggih rasa sejati.
- 9. Paripurnaning titi laksitaning upacara panggih, putra temanten sekalian gya sinegeban sindur dening ingkang rama, asung pralampita putra temnaten tansah tinuntuna ing reh kautaman anggenipun ngancik ing alam madya, tansah pinaringan karaharjan, kamulyan hanjayeng bawana salaminya.
PERHITUNGAN JODOH DAN HARI PERNIKAHAN SESSION 2
Perhitungan hari tersebut sudah ada sejak dahulu kala. Yang akan kita bahas adalah, tentang fanatisme pada perhitungan Jawa. Dari nama-nama hari, dapat dihitung nilai-nilai tertentu, yang disebut dengan WETON. Dari nilai WETON inilah, dapat ditentukan apa-apa saja yang boleh atau tidak, bagaimana kita berbuat, dll. Misalnya mau pergi mencari rejeki, mencari obat, termasuk juga adalah tentang perjodohan!.Sekarang mari kita bahas mengenai perjodohan.
Perhitungan dalam memilih calon pasangan tidak lepas dari 'BOBOT', 'BIBIT' dan 'BEBET'.
Bobot Bibit Bebed merupakan istilah untuk melakukan seleksi awal dalam memilih pasangan yang berkualitas.
- BOBOT diartikan dengan berbobot atau bermutu. Dari kemampuan berpikir, cara mengolah emosi dan prestasi yang dihasilkan, seseorang akan menunjukan seberapa tinggi kemampuannya serta seberapa besar bobotnya.
- BIBIT ‘benih’ keturunan. Di mana ia dilahirkan? Siapa orang tuanya? Dari lingkungan sosial dan keluarga yang baik-baik, biasanya akan melahirkan keturunan yang baik pula.
- BEBET – "bebedan" adalah istilah Jawa yang artinya cara berpakaian atau penampilan. Bebed menunjukan cara seseorang membawa diri, bergaul dan bertingkah laku.
Idealnya, ketiga hal tersebut di atas baik adanya.
Setelah didapatkan calon pasangan yang bobot, bibit dan bebednya baik, bahkan mendekati sempurna, ada satu hal esensial yang perlu dipertimbangkan, sebelum melangkah lebih jauh, yaitu menghitung hari, pasaran, tanggal, bulan dan tahun kelahiran masing-masing calon pasangan. Di dalam primbon terdapat perhitungan yang menunjukan apakah kedua calon pasangan tersebut, jika bersatu membangun rumah tangga akan mengalami kehidupan yang baik, atau mengalami kehidupan yang tidak baik. Calon pasangan pria dan calon pasangan wanita, yang masing-masing memiliki bobot, bibit, bebed baik, belum tentu mereka cocok ketika harus membangun rumah tangga.
Ada istilah: mencari ‘bojo’(suami/istri) itu mudah, tetapi memilih ‘jodho’(jodoh) itu susah, perlu pertimbangan dan perhitungan yang cermat. Karena yang namanya jodoh dalam konteks ini diartikan dengan, jika pasangan tersebut bersatu akan saling melengkapi kekurangannya, saling menutupi kelemahannya dan saling menambah kelebihannya. Sehingga pasangan yang sudah jodoh ketika membangun rumah tangga, masing-masing pasangan dapat mengembangkan diri dengan maksimal.
Untuk mengetahui apakah calon pasangan tersebut jodohatau tidak jodoh, ada beberapa macam cara menghitung:
Caranya:
- Hari dan Pasaran kelahiran pasangan pria dan wanita masing-masing diangkakan sesuai dengan Tabel Adan Tabel B, kemudian dijumlah.
- Jumlahnya dibagi 10 ( sepuluh). Jika dibagi 10 sisanya lebih dari tujuh, maka tidak dibagi sepuluh melainkan dibagi 7. Prinsipnya sisanya tidak boleh lebih dari 7.
Contoh:
Pasangan pria lahir pada Hari Senin, Pasaran Paing. Senin 4 + Paing 9 = 13 (lihat tabel A & B)
Pasangan wanita lahir pada Hari Kamis Pasaran Kliwon Kamis 8 + Kliwon 8 = 16 (lihat tabel A & B)
Kelahiran Pria diangkakan = 13
Kelahiran wanita diangkakan = 16
Jumlah 29
Pertama kali yang untuk membagi angka 29 adalah bilangan 10.
29 : 10 = 2, sisanya 9.
Karena sisanya lebih dari 7 maka memakai kemungkinan yang ke dua, yang untuk membagi tidak 10 tetapi 7.
29 : 7 = 4, sisanya 1.
Angka sisa 1 (satu) tersebut yang menjadi kunci untuk dihitung.
Angka sisa 1, namanya Wasesa Sagara, artinya besar wibawanya, luas budinya, panjang sabar dan pemaaf. (lihat Tabel C). Artinya bahwa pasangan tersebut jodoh. Kehidupan rumah tangganya kelak akan penuh wibawa, disegani karena kebaikan budinya.
Perhatikan tabel-tabel di bawah ini.
TABEL A
Hari Nilai Angka
Senin 4
Selasa 3
Rabu 7
Kamis 8
Jumat 6
Sabtu 9
Minggu 5
TABEL B
Pasaran Nilai Angka
Pon 7
Wage 4
Kliwon 8
Legi 5
Paing 9
TABEL C
Sisa Nama Artinya
- Wasesa Sagara Besar wibawanya, luas budinya, sabar, pemaaf
- Tunggak Semi Rejekinya mudah dan melimpah.
- Satriya Wibawa Mendapat keluhuran dan kemuliaan
- Sumur Seneba Banyak yang datang berguru
- Satriya Wirang Mengalami dukacita dan kewirangan.
- Bumi Kapethak Banyak mengalami kesedihan, tetapi tabah dan pekerja keras
- Lebu Katiyup Angin Mengalami duka nestapa, tdk pernahkesampaian yg dicita-citakan
Catatan : Sisa angka 7 artinya bahwa angka hasil dari penjumlahan habis dibagi 7.
Dilihat dari Tabel C jumlah hari pasaran kelahiran pasangan yang setelah dibagi 10 atau 7 menyisakan angka 1, 2, 3, dan 4 kategori Jodho, semuanya baik adanya.
Bagi pasangan yang menyisakan angka 5, 6 atau 7, digolongkan dalam pasangan yang kurang jodho, karena berpengaruh jelek. Tetapi jika sudah mantap dengan pasangannya, dapat disyarati agar kejadian buruk tidak menimpa keluarganya kelak
- Angka 5 (Satriya Wirang) :
- Syaratnya sebelum pelaksanaan upacara perkawinan salah satu calon pengantin menyembelih ayam.
- Angka 6 (Bumi Kapethak) :
- Syaratnya sebelum menikah salah satu calon pengantin mendhem Siti atau menamam tanah.
- Angka 7 (Lebu Katiyup Angin) :
- Syaratnya sebelum pernikahan berlangsung, salah satu pasangan menghambur-hamburkan tanah.
Neptu hari atau pasaran kelahiran untuk perkawinan
Hari dan pasaran dari kelahiran dua calon temanten yaitu anak perempuan dan anak lelaki masing-masing dijumlahkan dahulu, kemudian masing masing dibuang (dikurangi) sembilan.
Misalnya :
- Kelahiran anak perempuan adalah hari Jumat (neptu 6) wage (neptu 4) jumlah 10, dibuang 9 sisa 1
- Sedangkan kelahiran anak laki-laki ahad (neptu 5) legi (neptu 5) jumlah 10 dikurangi 9 sisa 1.
Menurut perhitungan dan berdasarkan sisa diatas maka perhitungan seperti dibawah ini:
Apabila sisa:
- 1 dan 4 : banyak celakanya
- 1 dan 5 :bisa
- 1 dan 6 : jauh sandang pangannya
- 1 dan 7 : banyak musuh
- 1 dan 8 : sengsara
- 1 dan 9 : menjadi perlindungan
- 2 dan 2 : selamat, banyak rejekinya
- 2 dan 3 : salah seorang cepat wafat
- 2 dan 4 : banyak godanya
- 2 dan 5 : banyak celakanya
- 2 dan 6 : cepat kaya
- 2 dan 7 : anaknya banyak yang mati
- 2 dan 8 : dekat rejekinya
- 2 dan 9 : banyak rejekinya
- 3 dan 3 : melarat
- 3 dan 4 : banyak celakanya
- 3 dan 5 : cepat berpisah
- 3 dan 6 : mandapat kebahagiaan
- 3 dan 7 : banyak celakanya
- 3 dan 8 : salah seorang cepat wafat
- 3 dan 9 : banyak rejeki
- 4 dan 4 : sering sakit
- 4 dan 5 : banyak godanya
- 4 dan 6 : banyak rejekinya
- 4 dan 7 : melarat
- 4 dan 8 : banyak halangannya
- 4 dan 9 : salah seorang kalah
- 5 dan 5 : tulus kebahagiaannya
- 5 dan 6 : dekat rejekinya
- 5 dan 7 : tulus sandang pangannya
- 5 dan 8 : banyak bahayanya
- 5 dan 9 : dekat sandang pangannya
- 6 dan 6 : besar celakanya
- 6 dan 7 : rukun
- 6 dan 8 : banyak musuh
- 6 dan 9 : sengsara
- 7 dan 7 : dihukum oleh istrinya
- 7 dan 8 : celaka karena diri sendiri
- 7 dan 9 : tulus perkawinannya
- 8 dan 8 : dikasihi orang
- 8 dan 9 : banyak celakanya
- 9 dan 9 : liar rejekinya
Neptu hari dan pasaran dari kelahiran calon mempelai laki-laki dan perempuan, ditambah neptu pasaran hari perkawinan dan tanggal (bulan Jawa) semuanya dijumlahkan kemudian dikurangi/ dibuang masing tiga, apabila masih sisa :
- berarti tidak baik, lekas berpisah hidup atau mati
- berarti baik, hidup rukun, sentosa dan dihormati
- berarti tidak baik, rumah tangganya hancur berantakan dan kedua-duanya bisa mati.
Neptu hari dan pasaran dari kelahiran calon mempelai laki-laki dan perempuan, dijumlah kemudian dikurangi / dibuang empat-empat apabila sisanya :
- Getho, jarang anaknya,
- Gembi, banyak anak,
- Sri banyak rejeki,
- Punggel, salah satu akan mati
Hari kelahiran mempelai laki-laki dan mempelai wanita, apabila :
- Ahad dan Ahad, sering sakit
- Ahad dan Senin, banyak sakit
- Ahad dan Selasa, miskin
- Ahad dan Rebo, selamat
- Ahad dan Kamis, cekcok
- Ahad dan Jumat, selama
- Ahad dan Sabtu, miskin
- Senen dan Senen, tidak baik
- Senen dan Selasa, selamat
- Senen dan Rebo, anaknya perempuan
- Senen dan Kamis, disayangi
- Senen dan Jumat, selamat
- Senen dan Sabtu, direstui
- Selasa dan Selasa, tidak baik
- Selasa dan Rebo, kaya
- Selasa dan Kamis, kaya
- Selasa dan Jumat, bercerai
- Selasa dan Sabtu, sering sakit
- Rebo dan Rebo, tidak baik
- Rebo dan Kamis, selamat
- Rebo dan Jumat, selamat
- Rebo dan Sabtu, baik
- Kamis dan Kamis, selamat
- Kamis dan Jumat, selamat
- Kamis dan Sabtu, celaka
- Jumat dan Jumat, miskin
- Jumat dan Sabtu celaka
- Sabtu dan Sabtu, tidak baik
Memilih Saat Ijab, Ijab kabul yang unik
Dalam perkawinan Dra. Pharmasi Endang Ontorini Udaya dengan Sutrisno Sukro di Sala, ayah penggantin putri Bpk. Samsuharya Udaya telah memilih saat ijab kabul secara unik, yaitu pada malam Ahad Legi (27 Mei 73) jam 2.30 pagi.
Ketetapan itu didasarkan saat lahirnya temanten putri. Segala waktunya berjalan baik, lancar dan selamat.
Mungkin hal tersebut suatu ajaran : kalau tidak memakai perhitungan, pakailah hari kelahiran untuk hal-hal yang penting pindah rumah dsb.
Hari yang membawa kelahirannya selamat, demikian pulalah untuk hal lain-lain dalam hidupnya.
HARI-HARI UNTUK MANTU DAN IJAB PENGANTIN
(baik buruknya bulan untuk mantu):
- Bulan Jw. Suro : Bertengkar dan menemui kerusakan (jangan dipakai)
- Bulan Jw. Sapar : kekurangan, banyak hutang (boleh dipakai)
- Bulan Jw Mulud : lemah, mati salah seorang (jangan dipakai)
- Bulan jw. Bakdamulud : diomongkan jelek (boleh dipakai)
- Bulan Jw. Bakdajumadilawal : sering kehilangan, banyak musuh (boleh dipakai)
- Bulan Jw. Jumadilakhir : kaya akan mas dan perak
- Bulan Rejeb : banyak kawan selamat
- Bulan Jw. Ruwah : selamat
- Bulan puasa : banyak bencananya (jangan dipakai)
- Bulan Jw. Syawal : sedikit rejekinya, banyak hutang (boleh dipakai)
- Bulan Jw. Dulkaidah : kekurangan, sakit-sakitan, bertengkar dengan teman (jangan dipakai)
- Bulan Jw. Besar : senang dan selamat
BULAN TANPA ANGGARA KASIH
Hari anggara kasih adalah selasa kliwon, disebut hari angker sebab hari itu adalah permulaan masa wuku. Menurut adat Jawa malamnya (senin malam menghadap) anggara kasih orang bersemedi, mengumpulkna kekuatan batin untuk kesaktian dan kejayaan. Siang harinya (selasa kliwon) memelihara, membersihkan pusaka wesi aji, empu mulai membikin keris dalam majemur wayang.
Bulan – bulan anggoro kasih tidak digunakan untuk mati, hajat-hajat lainnya dan apa saja yang diangggap penting.
Adapun bulan-bulan tanpa anggara kasih adalah:
- Dalam tahun Alib bulan 2 : Jumadilakhir dan besar
- Dalam tahun ehe bulanl 2 dan : jumadilakhir
- Dalam tahun jimawal bulan 2 : Suro dan rejeb
- Dalam tahun Je bulan 2 : Sapar
- Dalam tahun Dal bulan 2 : yaitu sapar dan puasa
- Dalam tahun Be bulan 2 : mulud dan syawan
- Dalam tahun wawu bulan 2 : Bakdomulud/syawal
- Dalam tahuin Jimakir bulan 2 : Jumadilawal dan Dulkaidkah
SAAT TATAL
Saat tatal dibawah ini untuk memilih waktu yang baik untuk mantu juga untuk pindah rumah, berpergian jauh dan memulai apa saja yang dianggap penting.
Kerentuan saat itu jatuh pada pasaran (tidak pada harinya ) :
- Pasaran legi : mulai jam 06.00 nasehet.mulai jam 08.24 Rejeki : mulai jam 25.36 rejeki mulai dri jam 10 48 selamat, mulai jam 13.12 pangkalan atau (halangan) mulai jam 15.36 pacak wesi
- Pasaran pahing : mulai jam 06.00 rejeki, jam 08.24 selamat, jam 10.48 pangkalan, jam 13.12 pacak wesi, jam 15.36 nasehat.
- Pasaran pon : mulai jam 06.00 selamat, jam 08.24 pangkalan, jam 10.48 pacak wesi, jam 13.12 nasehat, jam 15.36 rejeki
- Pasaran wage mulai jam 06.00 pangkalan, jam 08.24 pacak wesi, jam 13.12 nasehat jam 15.36 selamat.
- Pasaran kliwon, mulai jam 06.00 pacak wesi, jam 08.24 nasehat, jam 10.48 rejeki, jam 13-12 selamat jam 13.36 pangkalan.
HARI PASARAN UNTUK PERKAWINAN
Neptu dan hari pasaran dijumlah kemudian dikurangi/dibuang enam-enam apabila tersisa:
- Jatuh, mati, (tidak baik) asalnya bumi
- Jatuh, jodoh (baik) asalnya jodoh dengan langit
- Jatuh , selamat atau baik asalnya barat
- Jatuh, cerai atau tidak baik asalnya timur
- Jatuh, prihatin (tidak baik) asalnya selatan
- Jatuh, mati besan (tidak baik) asalnya utara
Dalam berdagang orang jawa mempunyai petungan (prediksi) khusus untuk mencapai sukses atau mendapatkan angsar (pengaruh nasib) yang baik, sehingga menjadikan rezekinya mudah. Diantaranya petungan tersebut sebagai berikut :
Dalam “kitab primbon” (pustaka kejawen) terdapat berbagai cara dan keyakinan turun-temurun yang harus dilakukan orang yang akan melakukan kegiatan usaha perdagangan. Untuk memulai suatu usaha perdagangan orang jawa perlu memilih hari baik, diyakini bahwa berawal dari hari baik perjalanan usahapun akan membuahkan hasil maksimal, terhindar dari kegagalan.
Menurut pakar ilmu kejawen abdi dalem Karaton Kasunanan Surakarta, Ki KRM TB Djoko MP Hamidjoyo BA bahwa berdasarkan realita supranatural, menyiasati kegagalan manusia dalam usaha perlu diperhatikan. Prediksi menurut primbon perlu diperhatikan meski tidak sepenuhnya diyakini. Menurut Kitab Tafsir Jawi, dina pitu pasaran lima masing-masing hari dan pasaran karakter baik. Jika hari dan pasaran tersebut menyatu, tidak secara otomatis menghasilkan karakter baik. Demikian juga dengan bulan suku, mangsa, tahun dan windu, masing-masing memiliki karakter baik kalau bertepatan dengan hari atau pasaran tertentu.
Golek dina becik (mencari hari yang baik) untuk memulai usaha dagang pada hakekatnya adalah mencari perpaduan hari, pasaran, tahun, windu dan mangsa yang menghasilkan penyatuan karakter baik. Misalnya pada hari rebo legi mangsa kasanga tahun jimakir windu adi merupakan penyatuan anasir waktu yang menghasilkan karakter baik.
Menurut Ki Djoko, suatu karya yang terjadi pada hari yang karakternya tidak baik, diperkirakakan karakter itu akan mengganggu usaha yang dilakukan. Akibatnya usaha dagangnya juga banyak kendala, bahkan mengalami kegagalan.
Aura pencemar tersebut dalam primbon disebut naas, sangar tahun, sangar sasi dan sangar dina. Sedangkan anasir pencemar tersebut dikenal sebagai naga dina, naga tahun dan sebagainya. Menurut Ki Djoko sampai kapan pun kebiasaan atau tradisi memilih dina becik (hari baik) seyogyanya dilakukan. Tentunya kalau tidak ingin berspekulasi dengan resiko kegagalan.
Setiap karya akan berhasil sesuai dengan kodrat, jika dilakukan dalam kondisi waktu yang netral dari pencemaran, sengkala maupun sukerta. Manusia diberi kesempatan oleh Tuhan untuk beriktiar menanggulangi sukerta dan sengkala dengan melakukan wiradat. Misalnya dengan ruwatan atau dengan ajian rajah kalacakra, sehingga kejadian buruk tidak menjadi kenyataan.
Orang yang akan membuka usaha pun dapat melakukan upaya sendiri pada malam hari sebelum memulai usaha, yaitu berdoa mendasari doa kepada Tuhan sambil mengucapkan mantera rajah kalacakra Salam, salam, salam Yamaraja jaramaya, yamarani niramaya, yasilapa palasiya, yamidora radomiya, yamidasa sadamiya, yadayuda dayudaya, yasilaca silacaya, yasihama mahasiya. Kemudian menutup dengan mantera Allah Ya Suci Ya Salam sebanyak 11 kali.
Untuk usaha perdagangan orang jawa yang masih percaya pada petung, akan menggunakannya baik untuk menentukan jenis barang maupun tempat berdagang dan sebagainya. Petung tersebut didasarkan weton (kelahiran dari yang bersangkutan)
Menurut Dosen Jurusan Sastra Daerah – Fakultas Sastra UNS Drs. Usman Arif Mpd, peluang merupakan filsafat kosmosentris bahwa manusia dan alam tidak dapat dipisahkan. Manusia merupakan bagian dari alam semesta sehingga geraknya tidak dapat lepas dari gerak alam, sebagaimana waktu dan arah mata angin.
Orang jawa mempunyai keyakinan bahwa saat dilahirkan manusia tidak sendirian karena disertai dengan segala perlengkapannya. Perlengkapan itu merupakan sarana untuk bekal hidup dikemudian hari, yaitu bakat dan jenis pekerjaan yang cocok. Di dalam ilmu kejawen kelengkapan itu dapat dicari dengan petung hari lahir, pasaran, jam, wuku tahun dan windu.
Menurut Usman petung sekedar klenik atau gugon tuhon melainkan merupakan hasil analisa dari orang-orang jawa pada masanya. Hasil analisa itu ditulis dalam bentuk primbon. Dengan petungan jawa, orang dapat membuat suatu analisa tentang anak yang baru lahir berdasarkan waktu kelahirannya. Misalnya anak akan berhasil jika menjadi wartawan, atau sukses jika menjadi pedagang.
Petung yang demikian itu juga digunakan di dalam dunia perdagangan. Orang jawa masih mempercayainya, akan menggunakan petung dengan cermat. Dari menentukan jenis dagangan waktu mulai berdagang diperhitungkan. Semua sudah ada ketentuannya berdasar waktu kelahiran yang bersangkutan.
Penerapan petung untuk usaha perdagangan akan menambah kemungkinan dan percaya diri untuk meraih sukses. Kepercayaan diri akan membuat lebih tepat dalam mengambil keputusan. Prediksi menurut petung di dalam perdagangan bukan hanya ada pada budaya orang jawa saja. Dalam budaya Cina misalnya, hingga kini perhitungan itu masih berperan besar, sekali pun pengusaha Cina itu sudah menjadi konglomerat.
Di Cina petung itu ada dalam Kitab Pek Ji atau Pak Che (delapan angka) yang juga berdasarkan kelahiran seseorang, yaitu tahun kelahiran memiliki nilai 2, bulan nilai 2, hari memiliki nilai 2 dan jam kelahiran nilai 2.
Meskipun orang lahir bersamaan waktu, rezeki yang diperoleh tidak sama karena yang satu menggunakan petung sedangkan yang lainnya tidak.
Banyak pula orang yang tidak mempercayai petung. Mereka menganggapnya klenik atau tahayul. Mereka berpendapat dengan rasionya dapat manipulasi alam. Anggapan demikian belum pas, meskipun manusia dapat merekayasa, alam ternyata akan berjalan sesuai dengan mekanismenya sendiri
Untuk perhitungan mendirikan / pindahan rumah
A. Pertama-tama yg diperhitungakan adalah Bulan Jawa, yaitu :
1. Bulan Sura = tidak baik
2. Bulan Sapar = tidak baik
3. Bulan Mulud (Rabingulawal) = tidak baik
4. Bulan Bakdamulud (Rabingulakir) = baik
5. Bulan Jumadilawal = tidak baik
6. Bulan Jumadilakir = kurang baik
7. Bulan Rejeb = tidak baik
8. Bulan Ruwah (Sakban) = baik
9. Bulan Pasa (Ramelan) = tidak baik
10. Bulan Sawal = sangat tidak baik
11. Bulan Dulkaidah = cukup baik
12. Besar = sangat baik
Berdasarkan perhitungan diatas, bulan yg baik adalah : Bakdamulud, Ruwah, Dulkaidah, dan Besar.
B. Langkah kedua yaitu menghitung jumlah hari dan pasaran dari suami serta istri.
1. Suami = 29 Agustus 1973
- Rabu = 7
- Kliwon = 8
- Neptu (Total) = 15
- Tahun Jawa = 29 Rejeb 1905 TAhun WAWU Windu ADI
- Tahun Hijriah = 30 Rajab 1393 H
2. Istri = 21 Desember 1976
- Selasa = 3
- Kliwon = 8
- Neptu (Total) = 11
- Tahun Jawa = 28 Besar 1908 Tahun EHE Windu KUNTARA
- Tahun Hijriah = 29 Dzulhijah 1396 H
Jumlah Neptu Suami + Istri = 15 + 11 = 36
C. Langkah ketiga, menghitung Pancasuda.
Jumlah ((Neptu suami + Neptu Istri + Hari Pindahan/Pendirian Rumah) : 5). Bila selisihnya 3, 2, atau 1 itu sangat baik. Cara ini disebut PANCASUDA.
PANCASUDA :
1. Sri = Rejeki Melimpah
2. Lungguh = Mendapat Derajat
3. Gedhong = Kaya Harta Benda
4. Lara = Sakit-Sakitan
5. Pati = Mati dalam arti Luas
Lalu mengurutkan angka hari pasaran mulai dari jumlah yang paling kecil yaitu (selasa (3) + wage (4) = 7), hingga sampai jumlah yang paling besar yaitu (Sabtu (9) + Pahing (9) = 18.
7 + 36 = 43 : 5 sisa 3 = Cukup Baik
8 + 36 = 44 : 5 sisa 4 = Tidak Baik
9 + 36 = 45 : 5 sisa 5 (yg habis dibagi 5 dianggap sisa 5) = Jelek Sekali
10 + 36 = 46 : 5 sisa 1 = Baik Sekali
11 + 36 = 47 : 5 sisa 2 = Baik
12 + 36 = 48 : 5 sisa 3 = Cukup Baik
13 + 36 = 49 : 5 sisa 4 = Tidak Baik
14 + 36 = 50 : 5 sisa 5 = Jelek Sekali
15 + 36 = 51 : 5 sisa 1 = Baik Sekali
16 + 36 = 52 : 5 sisa 2 = Baik
17 + 36 = 53 : 5 sisa 3 = Cukup Baik
18 + 36 = 54 : 5 sisa 4 = Tidak Baik
Dari paparan tersebut diketahui hari baik untuk mendirikan rumah tinggal, khusus bagi pasangan suami–istri yang hari-pasaran-lahir keduanya berjumlah 36 adalah :
Terbaik 1 :
- Hari-pasaran berjumlah 10 ( Selasa Pon, Jumat Wage dan Minggu Legi)
- Hari-pasaran berjumlah 15 (Rabu Kliwon, Kamis Pon dan Jumat Pahing)
Terbaik 2 :
- Hari-pasaran berjumlah 11 (Senin Pon, Selasa Kliwon, Rabu Wage dan Jumat legi)
- Hari-pasaran berjumlah 16 (Rabu Pahing, Kamis Kliwon dan Sabtu Pon)
Terbaik 3 :
- Hari-pasaran berjumlah 7 (Selasa Wage)
- Hari-pasaran berjumlah 12 (Senin Kliwon, Selasa Pahing, Rabu Legi, Kamis Wage dan Minggu Pon)
- Hari-pasaran berjumlah 17 (Kamis Pahing dan Sabtu Kliwon)
D. Selanjutnya pilih salah satu dari 21 hari baik yang berada dalam bulan Bulan Bakdamulud, Bulan Ruwah, Bulan Dulkaidah dan Bulan Besar,
yaitu:
- Bulan Bakdamulud (Rabingulakir), Bulan baik untuk mendirikan sesuatu termasuk rumah tinggal. Keluarga yang bersangkutan mendapat wahyu keberuntungan, apa yang diinginkan terlaksana, cita-citanya tercapai, selalu menang dalam menghadapi perkara, berhasil dalam bercocok-tanam, berkelimpahan emas dan uang, mendapat doa restu Nabi, dan lindungan dari Allah.
- Bulan Ruwah (Sakban), Bulan baik untuk mendirikan rumah tinggal. Rejeki melimpah dan halal, disegani, dihormati dan disenangi orang banyak, mendapat doa Rasul.
- Bulan Dulkaidah, Cukup baik, dicintai anak istri, para orang tua, saudara, dan handaitaulan. Dalam hal bercocok-tanam lumayan hasilnya. Banyak rejeki dan cukup uang. Keadaan keluarga harmonis, tentram, damai dan mendapatkan doa dari Rasul.
- 4. Bulan Besar. Baik, banyak mendapat rejeki, berkelimpahan harta-benda dan uang. Anggota keluarga yang berdiam di areal rumah-tinggalnya yang dibangun pada bulan Besar merasakan ketentraman lair batin, serta dihormati.
Terbaik 1 :
1. Selasa Pon,
2. Jumat Wage,
3. Minggu Legi,
4. Rabu Kliwon,
5. Kamis Pon,
6. Jumat Pahing,
Terbaik 2 :
7. Senin Pon,
8. Selasa Kliwon,
9. Rabu Wage,
10. Jumat legi,
11. Rabu Pahing,
12. Kamis Kliwon,
13. Sabtu Pon,
Terbaik 3 :
14. Selasa Wage,
15. Senin Kliwon,
16. Selasa Pahing,
17. Rabu Legi,
18. Kamis Wage,
19. Minggu Pon,
20. Kamis Pahing,
21. Sabtu Kliwon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar