Minggu, 06 Juli 2014

PERBEDAAN ANTARA UJIAN DAN AZAB

Pengertian Musibah

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Kata musibah (dalam bahasa Arab) berasal dari kata yang bermakna lemparan dengan anak panah. Kemudian kata itu digunakan untuk setiap bencana, musibah, dan malapetaka.” Ar-Raghib berkata, “Kata أَصَابَ digunakan pada perihal kebaikan dan keburukan yang menimpa.” Allah berfirman: 
Jika kamu ditimpa oleh suatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang karenanya; dan jika kamu ditimpa oleh suatu bencana .” (at-Taubah: 50)
Ada yang berpendapat, kata musibah (dalam bahasa Arab) jika digunakan pada perihal kebaikan, berasal dari kata الصَّوْبُ yang artinya hujan. Maksudnya, hujan yang turun sebatas keperluan, tidak membahayakan dan merugikan. Jika digunakan pada perihal keburukan, ia berasal dari kata إِصَابَةُ السَّهْمِ artinya bidikan atau sasaran anak panah.

Al-Kirmani berkata, “Kata musibah jika ditinjau dari segi bahasa, bermakna apa saja yang menimpa manusia secara mutlak (umum). Jika ditinjau dari segi istilah, bermakna peristiwa-peristiwa tertentu yang tidak disukai yang terjadi. Makna inilah yang dimaksud dalam pembahasan ini.” (Fathul Bari, dalam Kitabul Mardha)

Ahli bahasa berkata, “Pada kata musibah dikatakan: 

مَصُوبَةٌ – مُصَابَةٌ – مُصِيبَةٌ .

Hakikatnya adalah perkara yang tidak disukai yang menimpa manusia.”

Al-Qurthubi  menerangkan, ”Musibah adalah segala sesuatu yang menyakitkan, merugikan, menyusahkan orang mukmin, dan menimpa dirinya.”

Perbedaan Musibah dan Cobaan

Musibah adalah suatu hal yang menyebabkan manusia kehilangan nikmat-nikmat Allah  yang telah Dia anugerahkan kepadanya, berupa anak, orang tua, saudara, harta. Sakit yang menimpanya atau hal yang serupa dengan itu disebut musibah.

Adapun cobaan, lebih umum daripada musibah. Cobaan terkadang berbentuk kenikmatan. Hal seperti ini, bisa jadi lebih sulit dibandingkan dengan cobaan dalam bentuk musibah karena seringnya menyebabkan seseorang lupa akan akhirat, lupa kepada Rabbnya. Kebanyakan manusia hatinya tetap baik jika diuji dengan kefakiran, sakit, musibah, tetapi justru rusak jika diuji dengan kenikmatan. Hal ini sebagaimana firman Allah : “Ketahuilah, sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (al-‘Alaq: 6—7) (Syarh Kitab at-Tauhid, oleh asy-Syaikh al-Ghunaiman)

Definisi Azab

Adapun pengertian azab adalah siksaan dan hukuman. Dikatakan dengan kalimat عَذَّبْتُهُ تَعْذِيبًا وَعَذَابًا, yakni “Aku menyiksanya.” Sekilas, banyak orang mengira bahwa azab merupakan istilah yang digunakan hanya untuk azab yang besar, berat, dan mengerikan. Hal ini karena penyebutan azab dalam Al-Qur’an seringnya berupa azab yang keras, pedih, hina, besar, berat, kekal, dan sebagainya. Semua itu sebagai bentuk ancaman bagi mereka yang terjerumus dalam syahwat, syubhat, kesesatan, dan pelanggaran.

Namun, Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa Allah  mengancam orang-orang yang menentang dan membuat kerusakan dengan suatu azab selain azab yang besar. Dengan harapan, mereka mau kembali dari kesesatan kepada ketaatan dan tersadarkan dari perbuatannya. Allah  menjelaskan bahwa bencana dan malapetaka yang menimpa orang-orang yang menentang di dunia ini itu hanya azab yang dekat (kecil).

Allah berfirman: “Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (kepada ketaatan).” (as-Sajdah: 21)

Para ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam memaknai “azab yang dekat”.
  1. Maknanya adalah musibah dunia, penyakit, bencana yang menimpa jiwa dan harta, yang Allah menjadikannya sebagai ujian bagi hamba-Nya agar mereka bertaubat. Ulama yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’b, Abul Aliyah, adh-Dhahhak, al-Hasan, Ibrahim an-Nakha’i, Alqamah, Athiyah, Mujahid, dan Qatadah, semoga Allah  merahmati mereka semua. Mereka memandang bahwa apa yang telah berlalu, baik berupa bathsyah (hantaman), sebagaimana dalam firman Allah : “(Ingatlah) hari (ketika) Kami menghantam mereka dengan hantaman yang keras, sesungguhnya Kami benar-benar menimpakan hukuman.” (ad-Dukhan: 16), atau lizam (kebinasaan), sebagaimana dalam firman Allah : “Sesungguhnya kalian telah mendustakan-Nya, kelak akan menjadi kebinasaan bagi kalian.” (al-Furqan: 77), atau dukhan (kabut), sebagaimana dalam ayat: “Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata.” (ad-Dukhan: 10). Demikian pula yang menimpa orang-orang kafir Quraisy, berupa pembunuhan dan penawanan pada Perang Badar, termasuk azab yang diisyaratkan di sini.Itu semua merupakan musibah-musibah dunia. Dalam Tafsir-nya, as-Suyuthi  menyebutkan riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Mardawaih dari Ibnu Idris al-Khaulani, ia berkata, “Aku bertanya kepada Ubadah bin ash-Shamit  tentang ayat ini. Beliau menjawab, ‘Aku pernah menanyakan ayat ini kepada Rasulullah . Beliau  bersabda, ‘Itu adalah musibah, sakit, dan kesusahan, sebagai azab di dunia bagi orang yang melampaui batas sebelum datang azab akhirat.’ Aku bertanya kembali kepada Rasulullah , ‘Wahai Rasulullah, apa yang kita peroleh jika semua itu menimpa kita?’ Beliau menjawab, ‘Suci dan bersih’.”
  2. Maknanya adalah azab kubur. Pendapat ini diriwayatkan dari al-Bara’ bin ‘Azib, Abu ‘Ubaidah, dan Mujahid.
  3. Maknanya adalah hukum-hukum had. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu ‘Abbas.
  4. Maknanya adalah pedang, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Abdullah bin al-Harits bin Naufal.
Beliau berkata, “Maksudnya adalah dibunuh dengan pedang. Segala sesuatu yang Allah mengancam umat ini dengan ancaman azab yang dekat, maksudnya adalah pedang.”

Ibnu Jarir  memandang bahwa pendapat yang paling utama dalam masalah ini adalah bahwa Allah  mengancam orang-orang fasik dan pendusta dengan ancaman-Nya di dunia berupa azab yang dekat, agar Dia merasakan azab tersebut kepada mereka sebelum azab yang besar. Azab ini adalah apa yang terjadi di dunia, yaitu bencana, kelaparan yang mematikan, pembunuhan, atau musibah lain yang menimpa. Terkadang, Allah  mengancam hamba-Nya dengan salah satu jenis azab, terkadang dengan semuanya.

Adapun hakikat azab yang dekat adalah setiap azab yang dengannya Allah  mengazab suatu umat atau individu, di dunia atau di alam kubur, baik bersifat merata seperti yang menimpa kaum Nuh maupun secara khusus, seperti yang menimpa Qarun.

Azab kadang bersifat hissi (fisik, tampak) seperti ditenggelamkan ke air, dibenamkan ke dalam bumi, diubah bentuk atau rupa (menjadi kera atau babi), gempa, suara keras yang mengguntur. Namun, terkadang azab juga bersifat maknawi (abstrak), seperti dilenyapkan penglihatannya (buta mata), ditutup, dan dikunci mata hatinya (buta hati), ditolak doanya, dan dikuasai oleh setan. Sama saja, dosa yang dilakukan berupa sikap congkak, melampaui batas terhadap sang Pencipta, seperti syirik dan mendustakan para rasul; atau melampaui batas terhadap hak manusia, seperti membunuh orang-orang yang lemah atau curang dalam menimbang.

Allah terkadang menyegerakan azab dan menimpakannya secara tiba-tiba karena suatu dosa. Adakalanya Ia menunda azab duniawi dalam keadaan orang yang tertipu menyangka bahwa ia berada di atas kebaikan. Apalagi jika ia melihat nikmat dan karunia-Nya datang terus-menerus dan silih berganti. Ia tidak tahu bahwa jarak antara dirinya dengan azab Allah lhanya sekejap mata, sebagaimana azab yang menimpa kaum Nabi Luth .

Semua yang terjadi itu menjadi tanda kekuasaan Allah bagi semesta alam, nasihat bagi orang-orang yang bertakwa, dan peringatan serta contoh bagi siapa saja yang meniru amalan/perbuatan orang-orang yang berbuat dosa. Allah terkadang mengakhirkan azab hingga di negeri akhirat supaya siksaan itu bertambah. Orang kafir menyangka, penangguhan azab Allah  terhadapnya lebih baik baginya.
“Dan janganlah sekali-kali orang-orang yang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.” (Ali ‘Imran: 178)
Orang yang tidak berilmu menyangka bahwa orang kafir berada di atas kebenaran dengan kenikmatan hidup yang mereka dapati dan keselamatan mereka dari azab di dunia. Ia tidak mengira bahwa kenikmatan hidup yang mereka dapati itu hanya bagian dari disegerakannya balasan atas perbuatan mereka.

Ibnu Katsir  menafsirkan surat al-Ahqaf ayat 20, “Mereka dibalas sesuai dengan amalannya. Sebagaimana mereka lebih suka memuaskan hawa nafsu, menyombongkan diri dari mengikuti kebenaran, senang melakukan kefasikan dan kemaksiatan, Allah  pun membalas mereka dengan azab kehinaan, yaitu kehinaan, kerendahan, rasa sakit yang menyakitkan, penyesalan yang terus-menerus, dan tempat tinggal di lapisan neraka yang mengerikan.”

Perbedaan Musibah sebagai Cobaan dan Azab

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz  pernah ditanya, “Kapan seorang hamba mengetahui bahwa musibah yang menimpa itu merupakan cobaan atau azab (siksaan)? Jika seseorang diuji dengan sakit atau musibah jelek yang menimpa jiwa atau hartanya, bagaimana ia tahu bahwa musibah itu adalah cobaan atau kemurkaan dari sisi Allah ”

Beliau menjawab, “Allah menguji para hamba-Nya dengan kesenangan dan penderitaan, kesempitan dan kelapangan. Allah terkadang mengujinya untuk mengangkat derajat, meninggikan nama, dan melipatgandakan pahala mereka, seperti yang Ia lakukan terhadap para nabi, rasul, dan hamba-Nya yang saleh. 

Hal ini sebagaimana termuat dalam riwayat dari jalan Mush’ab bin Sa’d bin Abi Waqqash, dari ayahnya Sa’d bin Abi Waqqash  Ia bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa manusia yang berat cobaannya?” Beliau n bersabda:
أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ

“Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian yang semisal mereka, kemudian yang semisal.” (HR. al-Imam al-Hakim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan yang lain)

Terkadang, Allah  menimpakan hal itu karena kemaksiatan dan dosa sehingga musibah itu menjadi hukuman yang disegerakan. Hal ini sebagaimana firman Allah : “(Dan) apa saja musibah yang menimpamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahanmu).” (asy-Syura: 30)

Keumuman manusia menyepelekan dan tidak menunaikan kewajiban. Jadi, musibah apa pun yang menimpa adalah karena dosa dan sikap mereka menyepelekan perintah Allah . Sebab itu, apabila seorang hamba yang saleh diuji dengan sakit atau semisalnya, hal ini sejenis dengan ujian yang diberikan kepada para nabi dan rasul. Tujuannya adalah meninggikan derajat, membesarkan pahala, dan agar menjadi teladan bagi yang lain dalam kesabaran dan keikhlasan.

1. Terkadang cobaan itu untuk meninggikan derajat dan memperbesar pahala.

Hal ini sebagaimana yang telah Allah  perbuat terhadap para nabi dan sebagian orang pilihan (musibah sebagai cobaan).

2. Cobaan tersebut kadang bermaksud untuk menghapuskan dosa-dosa (musibah sebagai kaffarah), sebagaimana firman Allah : “Barang siapa yang mengerjakan keburukan niscaya akan diberi balasan akibat keburukan itu.” (an-Nisa’: 123). Demikian juga sabda Nabi :

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tiadalah seorang muslim yang ditimpa musibah dalam bentuk kelelahan, sakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, dan kecemasan, melainkan Allah menghapuskan segala kesalahan dan dosanya dengan musibah itu, hingga duri yang menusuknya juga sebagai penghapus dosa.” (HR. al-Bukhari, no. 5318). Demikian pula sabda beliau : 

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرا يُصِبْ مِنْهُ

“Barang siapa yang Allah l inginkan kebaikan, Allah lmenimpakan musibah kepadanya.”(HR. al-Bukhari, no. 5321)

3. Terkadang, azab itu disegerakan karena kemaksiatan dan tidak segeranya bertaubat (musibah sebagai hukuman/kemurkaan).

Hal ini sebagaimana dalam hadits Rasulullah :

إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Apabila Allah  menghendaki kebaikan pada hamba-Nya, disegerakanlah hukuman baginya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan pada hamba-Nya, Allah  akan menahan dia lantaran dosa-dosanya hingga (dibalas) secara sempurna kelak pada hari kiamat.” (HR. at-Tirmidzi, no. 2396) 

Dan manakah musibah-musibah dan kesulitan-kesulitan dunia yang harus kita anggap sebagai sebuah bala dari Tuhan dan manakah yang merupakan akibat dari perbuatan tak baik kita? Bagaimana cara untuk membedakannya?. Tentunya sebagian persoalan secara pasti merupakan bagian dari musibah dan ujian-ujian Tuhan supaya manusia bisa memberikan reaksi yang jelas dalam menghadapinya, dan reaksi mereka dalam menghadapi kejadian ini akan membentuk karakter pribadi dan batinnya secara hakiki. 

Demikian juga dari sisi niat dan kebiasaan dalam memberikan reaksi atas musibah, terdapat perbedaan antara para mukmin, kafir dan para munafik. Musibah-musibah yang tergolong dalam persoalan-persoalan ini antara lain adalah masalah kematian dan kehidupan, kemiskinan dan kekayaan, akal dan syahwat, anbiya dan ausiya dari satu sisi, dan setan serta manusia-manusia setan dari sisi lain, demikian juga kekontanan dunia dan kebertahapan akhirat, perbedaan penciptaan masing-masing individu dari sisi keturunan, potensi dsb, adanya keburukan, kejahatan, eksistensi-eksistensi yang membahayakan atau tidak dan lain sebagainya.

Manusia baik dia menghendaki ataupun tidak, dan baik dia shaleh ataupun tidak shaleh, mereka harus melewati ujian-ujian ini, bahkan musibah-musibah yang datang dan terjadi karena dosa dan hukuman serta siksaan bisa menjadi pelajaran bagi manusia untuk meninggalkan dosa dan memohon ampunan. 

Dan kesabarannya dalam menanggung beratnya musibah ini akan menyebabkan diampuninya dosa-dosanya karena dengan demikian berarti manusia telah mampu melihat jiwanya sendiri dan mampu menentukan kesalahan yang telah dilakukannya dan datangnya kesulitan-kesulitan yang mengiringi dosa tersebut merupakan tanda-tanda yang membedakannya dari seluruh musibah-musibah lainnya.

Secara tabiat jika manusia tidak memiliki satupun kesulitan khas yang menimpanya maka dia akan bangga dengan dirinya sendiri yang hal ini akan menjerumuskannya ke arah takabbur dan kesombongan. Dan kesombongan semacam inilah yang akan melalaikannya dari akibat-akibat yang akan timbul dikemudian hari karena perbuatan-perbuatannya sendiri. Untuk menghindarkan diri dari keburukan semacam ini, kebijakan Ilahi meniscayakan bahwa dalam kehidupan duniawinya manusia diperhadapkan pada kelemahan-kelemahan, kesulitan-kesulitan dan hambatan-hambatan alami atau sesuatu yang diciptakan sendiri oleh mereka. 

Dari sinilah sehingga peristiwa-peristiwa seperti sakit, kematian dan cacat, demikian juga dengan kefakiran, kekayaan, banjir, gempa bumi, angin topan, ledakan gunung berapi, serangga-serangga yang membahayakan serta binatang-binatang buas diletakkan melingkupi jasmani manusia sedangkan jiwanya dibatasi dengan akal, syahwat dan pembimbing-pembimbing Ilahi dari satu sisi, dan setan serta manusia-manusia setan dari sisi yang lain, juga adanya keterbatasan di dunia serta pentingnya ilmu dan iman terhadap gaib.

Bagaimana manusia menanggapi ketaksempurnaan jasmani dan jiwanya ini akan membentuk karakter pribadi dan identitasnya. Akal dan fitrah yang merupakan faktor dari dalam serta anbiya serta auliya Ilahi sebagai faktor dari luar merupakan pembimbing dan penunjuk ke arah bagaimana berperilaku dan bagaiamana bereaksi secara benar yang akan mengantarkan manusia meraih kesempurnaannya, sedangkan syahwat hewani dan kecenderungan serta harapan-harapan yang panjang sebagai faktor dari dalam, dan setan, jin serta manusia sebagai faktor dari luar merupakan penghambat jalan manusia dalam menggapai kebahagiaan dan menjauhkannya dari jalan yang seharusnya dia lalui, namun manusia tetap harus memilih jalannya karena keadilan Ilahi berada dalam kekuasaan mereka dan tidak ada manusia yang mampu menghindar dari persoalan ini.

Dari sini harus dikatakan bahwa seluruh alam keberadaan dengan segala nikmat dan musibahnya sebenarnya merupakan area uji bagi manusia, sementara bala serta musibah-musibah yang menimpanya pun pada dasarnya merupakan nikmat dan penyebab yang memungkinkannya untuk memilih dan selanjutnya akan mengantarkannya pada lompatan dan ketinggian jiwa baik di dunia maupun di akhirat, dan andai saja tidak ada hambatan-hambatan tersebut, maka lompatan dan kenaikan ini merupakan suatu hal yang sangat mungkin didapatkan oleh manusia.

Dalam masalah ini para auliyaullah lebih banyak mendapatkan dan menanggung sulitnya bala dan musibah, karena hal ini mereka butuhkan untuk mendukungnya mengalami lompatan dan kulminasi. Musibah-musibah yang datang menimpa para auliya akan menghasilkan beberapa persoalan di bawah ini:
  1. Memperkuat kehendak dan jiwa mereka dan memperluas lingkup eksistensinya serta memperkuat wilayah takwini dan penciptaan mereka;
  2. Mempertinggi derajat mereka di akhirat;
  3. Membentuk kebencian mereka yang semakin mendalam kepada dunia dan hal-hal yang berkaitan dengannya dan memberikan kedekatan dan kecintaan yang semakin banyak kepada akhirat, dan apa yang berada di dekat-Nya akan disediakan kepada mereka;
  4. Memperbanyak tadharu' dan mengingat-Nya serta memacunya untuk mempersiapkan bekal yang lebih banyak untuk akhiratnya. Tentunya para auliya itu sendiripun menyambut musibah-musibah yang menimpanya dengan perasaan yang rela dan pandangan yang positif. Datangnya kesulitan-kesulitan ini justru akan menambah keyakinan, keimanan dan kerelaan mereka,dan akan membuat keinginan untuk bertemu dengan Tuhan menjadi semakin besar, karena di balik segala ujian ini akan diikuti dengan kenaikan maqam, sedangkan usia yang pendek di dunia beserta musibah-musibah yang menyertainya samasekali tidak bisa diperbandingkan dengan nikmat abadi yang terdapat di akhirat.
Jika kita sedikit memperhatikan apa yang terjadi di Karbala pada tahun 61 Hijriah maka kita akan mengetahuinya sebagai sebuah contoh yang jelas dari rasa kecintaan seperti ini.

Akan tetapi mereka yang memiliki kapasitas lebih sedikit, hanya akan diuji seukuran dengan kemampuan mereka, jika mereka menang dalam ujian ini barulah akan menghadapi ujian-ujian selanjutnya.

Poin yang harus diperhatikan di sini adalah bahwa seluruh ujian tidak senantiasa berada dalam satu bentuk dan tingkatan. Pada seseorang kadangkala ujian diberikan dalam bentuk kefakiran sementara kepada yang lainnya dalam bentuk kekayaan, yang satu diuji dengan musibah sementara yang lainnya dengan kenikmatan, yang satu dengan keberadaannya anak sementara yang lainnya dengan ketiadaan menikmati kehadiran anak, yang satu dengan kesehatan sementara yang lainnya dengan penyakit dan barangkali yang satu dengan ilmu dan kesuksesan ilmunya sementara yang lain dengan kesuksesannya dalam beribadah. 

Mungkin pula seorang manusia kadangkala diuji dengan hal-hal seperti ini dan kadangkala dengan bentuk yang itu atau yang lainnya, dan hal ini bergantung pada sejauh mana dia mempersiapkan diri untuk menerima ujian. Tentu saja kesiapan ini merupakan hasil dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan sebelumnya yang bisa jadi dirinya sendiri tidak menyadari akan hal ini.

Sebenarnya musibah-musibah dan bala-bala yang ada lebih luas dari apa yang telah kami sebutkan di atas. Dan setiap manusia senantiasa berhadapan dengan hal-hal tersebut dalam bentuknya sendiri-sendiri dan tidak ada jalan untuk menghindarkan diri darinya.

Akan tetapi sebagian dari musibah-musibah terjadi dikarenakan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh manusia atau karena penyimpangan dan penentangan yang dilakukannya terhadap aturan-aturan Ilahi. Musibah seperti ini terjadi sebagai sarana untuk memberikan pelajaran supaya manusia sadar dengan kesalahan yang dilakukannya. Dan tentunya musibah jenis ini hanya akan ditemukan pada orang-orang yang tak maksum, karena orang-orang maksum terlepas dari segala kelalaian dan kesalahan, sehingga musibah-musibah yang menimpa mereka tidak bisa dimaknakan sebagai ampunan dan penebus dosa.

Sementara mengenai yang lainnya musibah-musibah ini akan terwujud dalam beberapa bentuk:
  1. Azab yang terputus dan pendek yang muncul untuk memberikan ibrah dan pelajaran kepada manusia, menghilangkan kesombongan dan takabbur serta mendorong mereka untuk berendah diri di hadapan Ilahi, mengajaknya untuk berdzikir dan mengingat-Nya, juga berguna untuk menyempurnakan hujjah atas mereka;
  2. Azab dan siksa yang bertahap adalah untuk mereka yang membangkang dan membandel dan tidak berkehendak melepaskan dirinya dari kesombongan dan takabbur. Kelompok ini telah melupakan keberadaan Tuhan, hari kiamat, kematian dan kemuliaan-kemuliaan manusia karena tenggelam dalam kenikmatan duniawi;
  3. Azab dan siksa istishal (yaitu siksa yang berkepanjangan), hal ini akan terjadi pada mereka yang berada di puncak kesombongan. Mereka akan diselimuti oleh siksa Ilahi dan sekaligus akan dimasukkan ke dalam jahannamnya alam barzakh, dan hingga kiamat pun mereka akan tetap berhubungan dan berteman akrab dengan azab ukhrawi.
Bentuk pertama merupakan bagian dari kenikmatan itu sendiri, karena musibah semacam ini akan memeberikan kesadaran dan peringatan kepada manusia dan akan menjadi penjaganya dalam sepanjang hidupnya. Kesabaran manusia dalam menghadapi musibah-musibah semacam ini serta memperbanyak istighfar dan memohon ampunan akan segala dosa yang telah dilakukannya akan menyebabkan sirnanya kejelekan-kejelekan dan keburukan-keburukannya lalu akan mengubahnya ke dalam kebaikan-kebaikan dan meninggikan derajatnya di sisi-Nya, demikian juga akan menjauhkannya dari kelalaian dan ketaksadaran. Dan akhirnya hal ini akan melepaskannya dari murka Tuhan dan azab ukhrawi, bahkan akan mendekatkannya ke haribaan-Nya.

Akan tetapi dua bentuk azab yang lainnya merupakan azab Ilahi yang menjadi milik para perusak dan para pembuat kezaliman di dunia, meskipun secara lahiriah mereka menikmati kehidupannya di puncak kulminasi kesejahteraan dan kemakmuran.

Dengan ungkapan al-Quran dikatakan, “Bahkan manusia itu mengetahui tentang keberadaan dirinya sendiri meskipun dia membuat-buat alasan. Dan sebenarnya seseorang lebih mengetahui dirinya sendiri dari pada orang lain dalam niat dan tujuan dari amal dan perbuatan yang dilakukannya. Jika dia memandang dengan sadar dan adil serta menghindarkan diri dari mencari alasan serta membebankan segala sesuatu kepada selainnya maka dia akan mampu mengetahui keburukan dan kebaikan yang ada dalam dirinya. 

Dari sinilah jika sebuah musibah mendatanginya seiring dengan niat tak baiknya atau kelalaian yang dilakukannya, hal ini menunjukkan bahwa Tuhan memberikan inayah dan perhatian-Nya kepadanya dan dengan ini sebenarnya Tuhan bermaksud menyadarkannya untuk meninggalkan tujuan dan niat tak baiknya tersebut, dimana jika dia bersyukur dengan nikmat yang diberikan ini (musibah dan hukuman) dan meninggalkan persoalan tak baiknya tersebut, maka rahmat dan nikmat-nikmat Ilahi akan melingkupunya dan kebaikan-kebaikan dan ilham-ilham Ilahi akan menghambat dan menghalanginya dari jalan-jalan yang tak layak dan dari perbuatan-perbuatan yang tak terpuji. 

Akan tetapi jika dia tidak memberikan perhatian yang serius terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan Ilahi dan menyepelekan peringatan-peringatan dan hujah-hujah Tuhan, maka Tuhan pun akan meninggalkannya dan membiarkannya seorang diri sehingga dia tidak akan lagi mendapatkan peringatan maupun hukuman dari-Nya melainkan akan tenggelam dalam kesejahteraan dan kemakmuran sehingga secara bertahap dan secara sempurna dia akan mengambil jarak dari Tuhannya hingga akhirnya berhak untuk mendapatkan siksa abadi (secara bertahap).

Dunia dan kehidupan materi serta gemerlap sinar serta sekumpulan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya merupakan ujian dan musibah Ilahi yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia supaya dengan reaksi yang benar dalam menghadapinya akan memberikan kekuatan karakter pribadi dan identitas manusia dan meningkatkan maqam insaniyahnya –jika kita mampu menanggapinya dengan benar akan mendapatkan manfaat dari persoalan-persoalan ini, dan dengan bimbingan dari para nabi kita akan memiliki reaksi dan perilaku yang benar dalam menghadapinya- sedangkan apabila terlanjur melakukan kesalahan maka, dia akan diperingatkan berkali-kali sehingga meninggalkan kebandelannya, akan tetapi jika tetap tidak berubah maka dia akan menerima azab secara terus menerus atau secara bertahap.

Mungkin ada dari kita yang bertanya-tanya, bagaimana membedakan antara ujian dan azab?, Musibah atau bencana yang menimpa orang yang beriman yang tidak lalai dari keimanannya, sifatnya adalah ujian dan cobaan. Allah ingin melihat bukti keimanan dan kesabaran kita. Jika kita bisa menyikapi dengan benar, dan mengembalikan semuanya kepada Allah, maka Allah akan memberikan pertolongan dan rahmat sesudah musibah atau bencana tersebut.

Sebaliknya bagi orang-orang yang bergelimang dosa dan kemaksiatan, bencana atau musibah yang menimpa, itu adalah siksa atau azab dari Allah atas dosa-dosa mereka. Apabila ada orang yang hidupnya bergelimang kejahatan dan kemaksiatan, tetapi lolos dari bencana/musibah, maka Allah sedang menyiapkan bencana yang lebih dahsyat untuknya, atau bisa jadi ini merupakan siksa atau azab yang ditangguhkan, yang kelak di akhirat-lah balasan atas segala dosa dan kejahatan serta maksiat yang dilakukannya.

Sebenarnya yang terpenting bukan musibahnya, tetapi apa alasan Allah menimpakan musibah itu kepada kita. Untuk di ingat, jika musibah itu terjadi, disebabkan dosa-dosa kita, maka segera-lah bertobat kepada Allah. Kalau musibah yang terjadi karena ujian keimanan kita, maka kuatkan iman dan berpegang teguhlah kepada Allah. 

Siapa saja berbuat kebaikan, maka manfaatnya akan kembali kepadanya. Sedangkan siapa saja berbuat kejahatan, maka bencananya juga akan kembali kepada dirinya sendiri. Bisa dibalas didunia atau di akhirat.

Perhatikan firman Allah SWT berikut ini : ”Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab”. (QS. Al Mukmin [40] : 40).

Perhatikan juga dengan seksama firman Allah SWT berikut ini : “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (QS. An Nissa [4] : 79)

Ibnu Katsir mengatakan bahwa makna “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah” adalah dari karunia dan kasih sayang Allah SWT. Sedangkan makna “dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Berarti dari dirimu sendiri dan dari perbuatanmu sendiri.

Musibah bisa jadi sebagai peringatan

Musibah ini diberikan kepada kaum mukmin yang merosot keimanannya. Peringatan ini karena kasih sayang Allah SWT. Misalnya seseorang yang berada dalam kesempitan rezki. Kemudian ia bermunajat di malam hari agar Allah memberikannya keluasan rezeki. Shalat tahajud, shalat Dhuha, puasa sunah senin kamis dan perbaikan ibadah lainnya dengan semaksimal mungkin. 

 Hingga Allah SWT memberikan jalan keluar. Bisnisnya berkembang, karyawan bertambah, kesibukan semakin meningkat. Tapi justru dikarenakan sibuknya, satu persatu ibadah sunahnya mulai ia tinggalkan. Shalat-shalatnya pun semakin tidak khusyu’. Seharusnya bertambahnya nikmat, membuat ia bertambah syukur dan semakin dekat dengan Allah, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, nikmat bertambah malah membuatnya semakin jauh dari Allah.

Orang ini sebenarnya sedang mengundang datangnya musibah atau azab Allah. Musibah yang datang kepadanya sebagai peringatan untuk meningkatkan kembali keimanannya yang merosot itu. Bisa saja terjadi tiba-tiba usahanya macet dan banyak mengalami kerugian. Akibatnya ia terlilit hutang. Dalam keadaan bangkrut tadi tidak ada yang mau menolongnya. Ketika itulah ia kembali kepada Allah untuk memohon pertolongan dengan cara memperbaiki ibadah-ibadahnya yang selama ini sudah tidak ia perhatikan lagi.Tercapailah tujuan musibah yaitu pemberi peringatan.

Musibah juga bisa sebagai penggugur dosa-dosa kita. Perhatikan sabda Rasulullah SAW berikut ini: “Tak seorang muslim pun yang ditimpa gangguan semisal tusukan duri atau yang lebih berat daripadanya, melainkan dengan ujian itu Allah menghapuskan perbuatan buruknya serta menggugurkan dosa-dosanya sebagaimana pohon kayu yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Perhatikan dengan seksama firman Allah SWT berikut ini : “Dan Sesungguhnya kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), Mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. As Sajdah : 21)

Jadi sebenarnya, Allah SWT menurunkan musibah atau azab pada kita di dunia ini, sebagai peringatan bagi kita, untuk kembali pada kebenaran.

 Musibah sebagai ujian keimanan

Musibah ini adalah tanda kecintaan Allah SWT pada seseorang hamba. Semakin tinggi derajat keimanan dan kekuatan agama seseorang, justru ujian (musibah) yang menimpanya akan semakin berat. Perhatikan sabda Nabi SAW berikut ini : Dari Mush’ab bin Sa’d dari ayahnya. Ayahnya berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah SAW,” Manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Rasulullah SAW menjawab,” Para Nabi, kemudian disusul yang derajatnya seperti mereka, lalu yang di bawahnya lagi. Seseorang diuji sesuai keadaan agamanya. Jika agamanya itu kokoh maka diperberatlah ujiannya. Jika agamanya itu lemah maka ujiannya pun disesuaikan dengan agamanya. Senantiasa ujian menimpa seorang hamba hingga ia berjalan di muka bumi tanpa dosa sedikit pun.” (HR. al-Ahmad, al-Tirmidzi dan Ibn Majah,berkata al-Tirmidzi: hadits hasan shahih)

Sedangkan bala atau cobaan maupun ujian juga telah disebutkan didalam Al Qur’an seperti tertulis dalam firman Allah SWT : 
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al Anbiya [21] : 35)
Cobaan atau ujian yang menimpa setiap orang, bisa berupa keburukan atau kebaikan, kesenangan atau kesengsaraan, sebagaimana disebutkan pula didalam firman-Nya yang lain yaitu : “ Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran) (QS. Al A’raf [7] : 168).

Sekarang coba tanyakan dengan jujur pada diri sendiri, bagaimana keimanan kita terhadap Allah SWT ? Apabila kita termasuk orang yang lalai, maka jawaban atas musibah yang menimpa, adalah sebagai azab dan peringatan atas kelalaian kita, agar kita sadar dari kelalain kita selama ini. Dan segeralah bertobat.

Dan kalau kita bukan hamba-Nya yang lalai, maka segala ujian yang terjadi menimpa kita, adalah sebagai suatu ujian, dimana dengan ujian itu, Allah telah menyiapkan tingkat keimanan yang lebih tinggi untuk kita. Seperti menjadikan kita hamba pilihan-Nya yang sabar. Dan pahala orang yang sabar sungguh tanpa batas. Seperti tertulis dalam firman-Nya 
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas (Az Zumar [39] : 10)
 Dengan kesabaran, akan bisa meraih ridha Allah, dan ridha Allah adalah segalanya. 

Secara tabiat jika manusia tidak memiliki satupun kesulitan khas yang menimpanya maka dia akan bangga dengan dirinya sendiri yang hal ini akan menjerumuskannya ke arah takabbur dan kesombongan. Dan kesombongan semacam inilah yang akan melalaikannya dari akibat-akibat yang akan timbul dikemudian hari karena perbuatan-perbuatannya sendiri. Untuk menghindarkan diri dari keburukan semacam ini, kebijakan Ilahi meniscayakan bahwa dalam kehidupan duniawinya manusia diperhadapkan pada kelemahan-kelemahan, kesulitan-kesulitan dan hambatan-hambatan alami atau sesuatu yang diciptakan sendiri oleh mereka. 

Dari sinilah sehingga peristiwa-peristiwa seperti sakit, kematian dan cacat, demikian juga dengan kefakiran, kekayaan, banjir, gempa bumi, angin topan, ledakan gunung berapi, serangga-serangga yang membahayakan serta binatang-binatang buas diletakkan melingkupi jasmani manusia sedangkan jiwanya dibatasi dengan akal, syahwat dan pembimbing-pembimbing Ilahi dari satu sisi, dan setan serta manusia-manusia setan dari sisi yang lain, juga adanya keterbatasan di dunia serta pentingnya ilmu dan iman terhadap gaib.

Tafsir surat Al Ankabut ayat 2

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (Al Ankabut ayat 2)

Ujian adalah sebuah konsekuensi dari syahadat yang telah kita ucapkan, selayaknya seperti sebuah ucapan janji setia pada kekasih hati, maka kelak tentu saja kekasih hati kita akan meminta sesuatu dari diri kita (sebuah pengorbanan) untuk membuktikan tulusnya janji setia yang telah kita ucapkan.

Bila ujian dari kekasih bisa kita lalui dengan selamat, maka hasilnya adalah semakin cinta dan sayang perasaan kekasih kita pada diri kita, demikian juga Allah swt, Dia adalah Tuhan yang memiliki nama Ar Rohman dan Ar Rahim, Cinta Kasih dan Sayang yang ada didunia ini berasal dari nama dan sifat Allah Ar Rohman dan Ar Rohim. Bila mahkluk –Nya saja bisa sedemikian setianya karena pembuktian kalimat cinta, maka Allah akan lebih membalas hamba-hamba Nya (melebihi semua rasa yang ada) yang mengaku beriman padanya.

Ujian adalah sarana bagi mahkluk untuk membuktikan kesungguhan pengabdian dan cintanya mahkluk pada Allah swt dan utusan-Nya Rosul Muhammad saw.

Bentuk dari ujian yang Allah berikan pada manusia itu sangat beragam macamnya dan dapat dalam bentuk yang tak disangka oleh kita.

Ujian dan Cobaan dalam hidup ini adalah seperti dua tepi sisi mata uang logam, Ujian lebih sering Allah gunakan dalam dasar sayang Nya Allah untuk mengetahui derajat cinta dan iman hamba-Nya, dan dengan sarana itu Allah swt akan menaikan derajat hamba Nya yang lulus ujian itu beberapa derajat lebih tinggi dari hamba-hamba Nya yang lain.

Cobaan lebih sering Allah gunakan dengan rasa sayang Nya untuk menegur, menyapa hamba Nya dengan sapaan mesra dan sayang, sapaan yang penuh pengajaran supaya hamba yang dicintainya itu kembali lagi pada jalur cinta Nya.

Sedangkan Azab/Adzab adalah sarana yang Allah swt gunakan untuk membalas perbuatan mahkluk yang Dia ciptakan dan Dia perintahkan untuk tunduk taat pada Nya namun mahkluk tersebut dengan lancangnya berani menantang kekuasaan dan kebesaran Allah swt.

Adzab Allah bisa Dia tumpahkan di dunia maupun Dia tunda kelak di akhirat.

Salah satu bentuk Ujian/Cobaan yang Allah swt berikan pada manusia adalah dengan manusia yang lainnya sebagaimana Allah SWT jelaskan dalam firman-Nya;
Dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu maha Melihat. (QS Al Furqon ayat 20)
Jadi sangat tidak aneh dan mengherankan kenapa kok didunia ini ada orang-orang jahat atau orang-orang jahil yang suka menganggu sebagian orang-orang baik lainnya. Mereka Allah ciptakan untuk mengasah ke-Imanan kita.

Saat melihat suatu kejahatan dilakukan oleh orang lain maka yang harus kita lakukan adalah menegakannahi mungkar ;

Dari Abu Sa’id Al-Khudri rodhiallohu ‘anhu dia berkata: Aku mendengar Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika ia masih tidak mampu, maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

Mengubah kemungkaran dengan tangan, berarti mengubah/mencegah kemungkaran yang terjadi dengan kekuasaan atau dengan kekuatan yang ia miliki.

Mencegah dengan kekuasaan dan atau dengan kekuatan bukan berarti kita boleh memukuli, atau main hakim sendiri atas pelaku kejahatan/kemungkaran/ dan atau kejahilan sehingga orang tersebut akhirnya mati ditangan kita (atau ditangan masa), bila orang tersebut tidak sampai mati maka orang tersebut sekarat kesakitan dirumah sakit.

Coba kita pikirkan, bila orang tersebut yang dihajar masa adalah benar pelaku kejahatan maka saat dia sembuh dari rumah sakit kemungkinan besar dia akan insyaf dari perbuatannya malah akan sangat tipis sekali, kenapa demikian?, karena tabiat manusia adalah mendendam.

Bila yang dipukuli oleh masa itu ternyata bukan pelaku kejahatan yang sebenarnya, tapi teryata korban salah tangkap? Maka sama halnya bahwa kita telah melakukan kemungkaran itu pada orang lain. Dan bila ini kita lakukan lalu sampai orang tersebut meninggal dunia, maka kita telah melakukan dosa besar pada Allah swt karena telah berani mengambil hak Allah akan kehidupan (nyawa) seseorang.

Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: “Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.”(AL Kahfi ayat 74)

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (Al Israa ayat 30)

Jika kita menjadikan hadits mencegah kemungkaran tersebut dan Al Israa ayat 30 ini sebagai dalil diperbolehkannya untuk membunuh, atau melakukan kemungkaran (main hakim sendiri/mengeroyok orang lain), maka artinya kita bukan termasuk orang-orang yang disebut muslim dan mukmin.

Membunuh jiwa makluk lain (termasuk manusia)telah Allah atur dalam keadaan bagaimana dan kapan boleh membunuh tersebut. Kita boleh membunuh manusia lain antara lain untuk hal berikut ini, membela diri (dan ini pun niat awalnya bukan membunuh/menghakimi namun tak tersengaja dalam pembelaan diri tersebut terpaksa kita harus membunuh orang lain), dan yang kedua adalah dalam keadaan perang (jihad) dan dalam keadaan Jihad pun niat kita membela agama Allah bukan nafsu kita, seperti kisah syaidina Ali ra., saat beliau dalam keadaan Jihad dan hamper saja batang pedang beliau menebas leher musuhnya, dan saat itu musuh beliau meludahinya maka seketika itupula beliau mengurungkan niat nya untuk membunuh musuh beliau tersebut. Saat ditanya oleh musuhnya kenapa beliau lakukan itu, jawab beliau aku takut aku membunuhmu bukan karena Allah tapi karena nafsuku.

Dan bahkan sekalipun dalam keadaan Jihad, membunuh musuh atau membunuh karena Qishos pun Allah swt telah memberikan batasan aturan, yaitu kita tidak boleh berlebihan dalam cara membunuh, maksudnya tidak boleh menyiksa musuh.

Lalu bagaimanakah kita harus mensikapi bila ada seseorang Jahil yang suka menganggu dan menjahati diri kita, seolah-olah kesabaran kita telah habis dibuatnya sedang tingkah lau jahilnya tidak juga berhenti?

Allah swt menjawabnya dalam firman-Nya;
Dan ( bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri.
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.

Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satu dosapun terhadap mereka.

Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.

Tetapi orang yang bersabar dan mema’afkan, sesungguhnya (perbuatan ) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.

QS. Asy Syuura ayat 39 – 43

Dan Allah menegaskannya kembali dalam firman-Nya;
Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.(Al A’raf ayat 199)
Bahkan Rosullullah Muhammad saw mengajarkan kepada kita untuk tidak ikut-ikutan menjadi seorang yang berbuat kemungkaran dalam menegakkan nahi mungkar, dalam sabdanya ;

Janganlah kamu menjadi orang yang “ikut-ikutan” dengan mengatakan “Kalau orang lain berbuat kebaikan, kami pun akan berbuat baik dan kalau mereka berbuat zalim kami pun akan berbuat zalim”. Tetapi teguhkanlah dirimu dengan berprinsip, “Kalau orang lain berbuat kebaikan kami berbuat kebaikan pula dan kalau orang lain berbuat kejahatan kami tidak akan melakukannya”. (HR. Tirmidzi)

Kenapa kita harus berbuat demikian?, karena Allah jadikan diri kita adalah ujian untuk manusia yang lain, dan Allah jadikan manusia lain adalah sebagai ujian bagi kita, dan setiap dari diri kita telah Allah ilhami dengan Taqwa dan Fujur, dan tiap diri kita telah mengerti atas dasar taqwa dan fujur tersebut apa yang dinamakan dengan kebaikan dan keburukan, maka dari itu pada hakikatnya tiap diri kita tidak berhak sombong menganggap kita yang paling baik dan taqwa saat kita menatap kejahatan yang dilakukan saudara kita yang lain.

Bencilah pada kejahatan dan kejahilan yang diperbuatnya, namun jangan benci individunya, serulah kejahatan itu dengan hikmah dan kebaikan, tolaklah dengan kekuatan sayang dan cinta, belalah dirimu dengan pembelaan yang sewajarnya dan jangan menganiyaya.

Bila semua itu telah kita kerjakan namun kejahatan masih menganggu kita maka pasrahkan saja semuanya pada Allah swt, dan doakan kebaikan;

“ya Allah hamba pasrah pada Mu atas sikap dan perilaku kaum dholimin, ya Allah Engkau maha mengetahui keadaan hamba Mu maka tolonglah aku, berikanlah mereka kebaikan dan kesadaran atas sikap mereka dengan cara Mu ya Allah,dan ampunilah mereka dalam kasih sayang Mu.”

terakhir sebagai kesimpulan saya ambilkan firman Allah swt berikut ini sebagai bahan perenungan bagi kita,

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.(Al Anbiya ayat 35)

Semoga Allah memberikan kemampuan bagi kita untuk menempuh Jalan Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar