Adalah kata-kata yg akrab di telinga kita, bahkan saya pernah mendengar kata “prihatin” saban hari selama sebulan. Tapi saya semakin judeg memaknainya. Setelah sekian lama, barulah saya pahami bahwa “prihatin” mungkin singkatan dari “perih ing batin” (pedih yang dirasakan oleh batin). Mengapa pedih ? Yah, tentu saja, karena batin (jiwa) ini tidak diujo (dibiarkan semau gue) memuaskan hawa nafsu. Padahal tahu sendiri kan, betapa nikmatnya bila kita sedang keturutan (terpenuhi) hawa nafsunya. Apalagi untuk urusan “under ground stomach“.. namun dalam suasana jiwa yang “prihatin” pemuasan nafsu jasadiah sangat dikendalikan, sekalipun sudah menjadi hak kita. Sampai ada wewaler “ngono yo ngono ning ojo ngono” (gitu ya gitu tapi jangan gitu dong..).
Sebagai rambu-rambu agar
supaya tidak sampai berlebihan atau melampaui batas kewajaran. Jadi, garis
besarnya “laku prihatin” adalah upaya kita agar badan/jasad ini selalu
berkiblat mengikuti kehendak guru sejati/rahsa sejati (kareping rahsa sejati)
yang selalu dalam koridor kesucian (berkiblat pada kodrat Tuhan). Sehingga
kecenderungan nafsu/hawa/nafs/jiwa/soul kita yang cenderung ingin berbuat
negatif nuruti rahsaning karep (nafsu negatif), senaniasa kita belokkan
kepada kesucian sang guru sejati dan rahsa sejati. Sehingga menjadi nafsu yang
selalu berkeinginan baik (an nafsul mutmainah). Nah, “kekalahan” jasad (bumi)
atas jiwa yang suci ini seringkali terasa pedih/gundah/marah di dalam kalbu.
Karena banyaknya
pertanyaan mengenai tata cara atau apa yang harus ditempuh dalam mengawali
sebuah perjalanan spiritual (laku prihatin) untuk menggapai tataran
kesejatian, maka perlu kami paparkan tulisan berikut ini. Seluruh catatan di
sini, semua semata-mata sebagai salah satu upaya saya untuk mewujudkan rasa
syukur yang paling konkrit kepada Gusti Allah yang sudah menganugrahkan
rahmat, kebahagiaan, ketentraman, dan kecukupan pada kami & keluarga. Bagi
saudara-saudaraku para pembaca yang budiman dan seluruh sahabat handai taulan
yang menanyakan bagaimana memulai sebuah “laku” prihatin untuk menggapai
spiritualitas sejati, berikut ini yang dapat kami paparkan secara sederhana
agar mudah dipahami. Apa yang saya paparkan di bawah ini sekedar contoh
langkah-langkah yang saya lakukan selama ini untuk memahami kehidupan sejati
dan selanjutnya menggapai kemuliaan hidup. Terdiri dari 5 jurus atau empat
tahapan yakni;
0. Nol adalah
nihil. Substansi nihil
Di sini berarti belum
ada manifestasi perbuatan konkrit. Masih berupa niat; niat ada dua level yakni;
Niat Demi Tuhan, dan Niat Ingsun. Yang pertama menyiratkan
pemahaman saya yang belum utuh akan jati diri. Setiap mengikrarkan Demi
Tuhan; saya terbayang bahwa perbuatan baik saya tujukan kepada Tuhan,
dengan membayangkan Tuhan itu nun jauh di atas langit ke tujuh. Akan tetapi
kemudian dalam perjalanan spiritual ini sampailah pada pemahaman bahwa saya
lebih merasa mantab bila berkata; Niat Ingsun. Alasannya ; niat Ingsun
lebih pas, karena bukankah Tuhan itu lebih dekat dengan urat leher kita
? Tuhan (Sifat hakekat) berada dalam JATI DIRI (sifat zat). Maka Ingsun
bermakna “Aku” . Sedangkan “Aku atau Ingsun” merupakan hakekat Tuhan (sifat
zat) dalam diri. Aku (manusia) melakukan apa yang diridhoi AKU (hakekat Tuhan
di dalam makhlukNya). Saya temukan suatu makna bahwa melakukan kebaikan pada
sesama itu tidak lain memposisikan diri kita pada jalur “kodrat” Ilahi.
Jelasnya menurut pemahaman saya, bahwa Niat Ingsun ternyata memiliki
makna; sebuah ucapan yang keluar dari hakekat “manunggaling kawula-Gusti”.
1.
Membersihkan hati;
Dengan cara membiasakan
berfikir positif, sekalipun menghadapi situasi yang buruk dan tidak
menyenangkan, tetapi selalu berusaha mengurai sisi baiknya. Sebaliknya waspadai
diri kita sendiri, selalu mengevaluasi diri, karena setiap orang akan cenderung
merasa sudah melakukan banyak amal kebaikan maupun merasa telah beriman. Namun
mengapa banyak pula orang yang merasa banyak amal,
banyak membantu,
merasa sudah banyak sodaqah, merasa sudah bersih hati, merasa sudah menjalankan
sariat, tapi kehidupannya kontradiktif; masih selalu merasa sial, dirundung
musibah dan kesulitan. Dan dengan percaya diri lantas menganggapnya sebagai
cobaan bagi orang-orang beriman. Ini menjadi suatu “kelucuan” hidup yang sering
tidak kita sadari.
2.
Berusaha
setiap saat agar hidup kita bermanfaat bagi sesama.
Dalam terminologi
ajaran Jawa disebut donodriyah; atau sodaqoh. Dhonodriyah ada 4
cara dan tingkatan; yakni (1) dhonodriyah doa; (2) dhonodriyah
tutur kata/nasehat yg baik dan menentramkan, (3) dhonodriyah tenaga,
(4) dhonodriyah harta. Yang terakhir inilah yang paling sulit
dilakukan tapi nilainya paling tinggi. Kita lakukan semua kebaikan kepada
sesama dengan tulus dan ikhlas. Kita jadikan sebagai sarana tapa ngrame;
ramai/giat dalam membantu sesama, tetapi sepi dalam berpamrih.
3.
Belajar tulus dan ikhlas sepanjang
masa.
Agar supaya mampu
mewujudkan keikhlasan yg sempurna. Ukuran kesempurnaan ikhlas itu dapat
diumpamakan “keikhlasan” kita sewaktu buang air besar. Kita enggan
menoleh, bahkan selekasnya dilupakan dan disiram air agar tidak berbau dan
membekas. Setelah itu kita tak pernah membahas dan mengungkit-ungkit lagi di
kemudian hari. Itu yang harus kita lakukan, sekalipun yang kita perbantukan
berupa harta paling berharga. Mengapa harus belajar ketulu-ikhlasan sepanjang
masa ? Tidak lain karena keihklasan hari ini dan dalam kasus tertentu, belum
tentu berhasil kita lakukan esok hari, belum tentu berhasil dalam kasus lain,
dan belum tentu sukses kita wujudkan dalam kondisi mental yang berbeda.
4.
Meghilangkan sikap ke-aku-an (nar/api/iblis);
Menghindari watak
mencari benernya sendiri, mencari menangnya sendiri, dan mencari butuhnya
sendiri. Sebaliknya, jaga kesucian badan dan batin dari polusi hawa nafsu
negatif agar sinar kesucian (nur) menjadi semakin terang dalam kehidupan anda.
5.
Perbanyak bersyukur,
Sebab tiada alasan
sedikitpun untuk menganggap Tuhan belum memberikan anugrah kepada kita. Coba
hitung saja anugrah Tuhan dalam setiap detiknya, berpuluh-puluh anugrah selalu
mengalir pada siapapun orangnya; sekali lagi dalam setiap detiknya. Maka
bersyukur yang paling ideal adalah mewujudkannya dalam perbuatan. Misalnya kita
diberi kesehatan; bersukurnya dengan cara gemar membantu orang yang sedang
sakit dan menderita. Latih diri kita agar selalu membiasakan bersukur TIDAK
dengan mulut saja, tetapi dengan sikap dan perbuatan konkrit.
Dalam setiap
melakukan amal baik kepada sesama, kita “transaksikan” kebaikan itu dengan
Tuhan, jangan dengan orang yang kita baiki. Jika kita “bertransaksi” dengan
orang, maka kita hanya akan mendapat pujian atau upah saja. Jika 5 tahap itu
bisa dilaksanakan menjadi kebiasaan sehari-hari, niscaya hidup kita akan
menemukan kamulyan sejati. Baik dunia maupun akhirat. Bahkan kita dapat
meraih anugrah Tuhan berupa “ngelmu beja” atau “ilmu” keberuntungan. Tidak
dapat dicelakai orang, selalu menemukan keberuntungan, selalu hidup kecukupan,
dan tenteram. Bahkan semakin banyak kita memberi, semakin banyak pula kita
menerima.
Selamat
menjalankan, dan lihatlah buktinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar