Ini adalah jilid ke sembilan dari kedua belas jilid Serat Centini
yang sangat mashur itu. Hampir seluruh isinya bercerita tentang syahwat.
Tapi ia terselamatkan oleh keluhuran tembang yang sarat muatan ajaran
tauhid dan tasawuf. Ia mengajarkan nilai-nilai luhur kearifan jawa yang
bijaksana. Meski kerap kali tak teralakkan dibawa ke kubangan nafsu
syahwati yang liar, mewarnai pengembaraan Amongraga yang suci untuk
mencapai kehadiranNya. Nafsu Terakhir diadaptasi oleh Elizabeth D.
Inandiak. Centini disusun atas perintah putra mahkota Kesultanan
Surakarta Adiningrat untuk menyusun kembali sebuah cerita kuno dalam
bentuk tembang yang menyarikan segala ngelmu Jawa. Tembang ini disusun dalam bahasa Jawa, dengan syair yang luar biasa indah. Syair yang mahadahsyat itu diberinama Suluk Tembangraras, tapi orang lebih mengenalnya dengan nama Serat Centini. Untuk melaksanakan misi ini, diutuslah tiga pujangga keraton: Sastranegara (Yasadipura II atau Ranggawarsita I), Ranggasutrasna dan Sastradipura.
Dikisahkan Jayengsari dan Rencangkepti tak terpisah. Mereka juga mencari kakaknya di reruntuhan Giri. Tapi pencarian mereka sia-sia. Merekapun mengembara jauh, menghilang dari kejaran pasukan Mataram di bawah komando Pangeran Pekik. Dalam pengembaraannya, Jayengresmi sudah berubah nama menjadi Amongraga. Ia tiba di pondok Wanamarta dan di sana ia menikahi Tembangraras, putri Ki Bayi Panurta, Kiai pesantren di sana.
Ranggasutrasna diberi tugas menjelajahi
Jawa bagian Timur untuk mengecek keadaan dan menghimpun pengetahuan.
Sastradipura mendapat tugas menunaikan ibadah haji dan menyempurnakan
pengetahuannya tentang agama islam. Sedang Sastranegara mendapat tugas
menjelajahi Jawa Barat sekaligus menghimpun pengetahuan lahir bathin.
Ranggasutrasna yang pulang terlebih dulu, segara
memulai pekerjaannya. Hasil karyanya menjadi 4 jilid, berisi 321 buah
lagu, menceritakan sejarah Giri hingga keruntuhannya dan tiga orang
putra Giri dalam satu jilid. Namun karya Ranggasutrasna ini belum
memuaskan keinginan Sang Pangeran karena bagian seksualnya masih kurang
menonjol. Begitupula setalah kedua rekannya, Sastradipura dan
Satranegara merampungkan bagiannya. Sang Pangeran masih
belum juga puas. Bagian senggamanya masih kurang greget. Maka
dikerjakanlah sendiri oleh Sang Pangeran dari jilid 5-10, kemudian
penulisannya diserahkan kepada ketiga pujangga keraton itu (Wayan
Susetya, 2007:109-110).
Dalam buku ini dikisahkan Tembangraras meratapi
kepergian suaminya, Amongraga. Berhari-hari ia mengurung diri di kamar.
Ia tak mau berkomunikasi dengan siapapun, termasuk abdi setianya,
Centini, yang memahami setiap bahasa isyarat Tuan Putrinya. Ayahanda dan
ibunda Tembangraras cemas tak karuan. Dibujuklah sang putri agar
melupakan kesedihan. Tapi tetap saja tak meruntuhkan nestapanya. Hingga
akhirnya ayahanda mengutus adiknya Kalawirya untuk mencari sang menantu.
Bersama kedua adik Tembangraras, Jayengwesti dan Jayengraga, Kalawirya
dan Nuripin pagi buta berangkat mengembara menyusuri hutan meninggalkan
padepokan Wannamarta.
Ditengah pengembaraannya, berulangkali mereka
dihadapkan pada godaan-godaan yang menjerumuskan mereka menuntaskan
nafsu syahwatnya. Adegan seks dilukiskan begitu vulgar. Mulai
pertemuanya dengan seorang janda kaya yang menjamu mereka hingga mabuk
kemudian mencicipi satu-persatu zakar Nuripin, Kalawirya, dan kedua
keponakannya. Di perjalanan lain kadang mereka menuntaskan syahwatnya
dengan memasukkan alat kelaminnya ke dubur teman prianya. Dipersinggahan
lain, mereka tiba di kediaman seorang peladang bernama Ki Nurbayin.
Katiga putrinya yang buruk rupa diam-diam sudah lama memendam keinginan
untuk mencoba zakar seorang pria. Beberapa kali mereka melihat Ayah dan
ibu tirinya berhubungan intim dari balik tirai kamarnya. Maka begitu
dirumahnya kedatangan tamu para pria, mereka bergerombol mengikuti ke
tempat tidur para tamunya.
“Apa menurut kalian Jayengraga mau ditunggangi jika
kita dekati,” tanya Banem, sisulung kepada kedua adiknya, Banikem dan
Baniyah.
Sesuai kesepakatan, sisulung diberi kehormatan
mencoba zakar Jayengraga untuk yang pertama. Dalam kegelapan Banem
memeluk Jayengraga. Adik Tembangraras itu pura-pura terkejut. Padahal ia
sudah mendengar percakapan ketiga bersaudara itu. Dalam hati ia
sebenarnya tak ingin menyerahkan alat kelaminnya menjadi percobaan para
perempuan buruk rupa itu. Tapi karena tak ingin melukai hatinya,
Jayengraga membiarkan saja ketika Banem naik di atas pahanya. Jayengraga
dibuat geli karena Banem tak tahu bagaimana memulai permainan. Maka
dibimbinglah ia oleh Jayengraga untuk memasukkan zakar yang sudah mulai
mengeras itu ke vaginanya yang masih perawan. Usai Banem, Banikem dan
Baniyah menggilir Jayengraga bergantian, hingga akhirnya subuh tiba dan
Jayengraga segera mengambil air wudhu dan mengerjakan sholat subuh.
Adegan seks itu kendati dilukisakan begitu vulgar,
tapi juga jenaka. Karya sastra ini memang hendak menampilkan seks secara
polos, jujur, sebagai nafsu lahiriah yang lumrah terjadi pada manusia.
Para pria itu beberapa kali tak mampu mengelak dari nafsu syahwati, tapi
usai itu mereka tetap tak lupa menunaikan kewajiban sholat lima
waktunya!
****
“Sayangku, jika kamu berkenan, mari kita kembali ke dunia makhluk dan rajanya,” tutur Amongraga kepada Tembangraras, istrinya.
Amongraga baru saja tersadar dari pengembaraannya
yang panjang. Dia telah menelantarkan Tembangraras, si cantik jelita
putri kiai pesantren Ki Panurta, yang baru dinikahinya. Istri yang baru
disetubuhinya setelah melewati empat puluh hari lamanya memberikan
wejangan tentang ajaran tasawuf Jawa. Itu pun cuma dua hari. Kemudian ia
melanjutkan pengembaraan mencari kedua adik kandungnya. Tapi malah
terhanyut dalam kenikmatan pertapaan untuk mendekatkan diri kepadaNya.
Ia lupa ada hal lain yang harus dia kerjakan selain melakukan jihad
besar itu.
“Oh pangeran Giri! kamu telah membimbing jihad
besarmu sedemikian jauhnya sehingga kamu alpa menjalankan jihad
kecilmu,” ujar Endrasena, pengembara yang ditemuinya di tengah
pengembaraannya. Syekh Amongraga, sebelumnya bernama Jayengresmi. Ia
putra mahkota Sunan Giri. Ia mengembara mencari dua adiknya, Jayengsari
dan Rencangkapti. Kerajaan Giri baru saja diserang Sultan Agung, raja
tanah Jawa karena penguasa Giri tak mau bersujud kepadanya. Kerajaan
Giri hancur dalam kobaran api. Ayahanda, sang Khalifatullah ditangkap
dan dibawa ke Mataram sebagai tahanan perang Sultan Agung.
Usai penyerangan itu, Jayengresmi mencari kedua
adiknya yang hendak diajaknya lari dari kejaran pasukan Sultan Agung.
Tapi ia tak menemukannya. Hatinya hancur. Ia pergi meninggalkan Giri
tanpa seorang pun tahu, ia sendiri tak tahu ke mana hendak dituju dalam
pengembaraannya. Ia mengikuti petunjuk Allah yang mengarahkannya
berkelana masuk Suluk.
Dikisahkan Jayengsari dan Rencangkepti tak terpisah. Mereka juga mencari kakaknya di reruntuhan Giri. Tapi pencarian mereka sia-sia. Merekapun mengembara jauh, menghilang dari kejaran pasukan Mataram di bawah komando Pangeran Pekik. Dalam pengembaraannya, Jayengresmi sudah berubah nama menjadi Amongraga. Ia tiba di pondok Wanamarta dan di sana ia menikahi Tembangraras, putri Ki Bayi Panurta, Kiai pesantren di sana.
Selama empat puluh hari lamanya kedua pasang
penganten itu menunda hubungan badan di malam pertamanya. Amongraga
menyampaikan ajaran tasawuf Jawa kepada sang istri. Ini dilakukan agar
keduanya menjadi jinak dalam ketelenjangan tubuh mereka, dan menyingkap
cadar rohnya dengan ketegangan syahwat serta batin. Abdi setia
Tembangraras, Centini menyimak wejangan tuannya dari balik tirai
ranjang. Baru pada malam empat puluh satunya yang hujan, keduanya
bersenggama. Tapi, usai bersenggama Amongraga meningalkan Tembangraras
untuk mengembara mencari kedua adiknya.
****
Keempat utusan ayahanda Tembangraras mendengar kabar jika Amongraga
dihukum oleh ulama Mataram karena dituduh telah menyesatkan ribuan
pengikutnya di Gunung Kidul tempat Amongraga bertapa Brata. Para
pengikut itu diduga menjadi kehilangan akalnya karena terpengaruh
guna-guna kedua murid Amongraga, Jamal dan Jamil. Amongraga dibuang ke
tengah samudra. Kabar ini segara diwartakan oleh ke empat pengembara itu
ke padepokan. Seisi padepokan tak bisa berkata-kata kecuali menitikan
air mata. Namun kabar ini justru membuat Tembangraras yakin bahwa
suaminya masih hidup. Bersama Centini, Tembangraras pagi-pagi buta
meninggalkan padepokan mengembara mencari belahan jiwanya.
Dalam pengembarannya, kedua perempuan itu menyamar
sebagai laki-laki. Mengenakan kumis dan berpakian menyerupai laiknya
pria. Ditengah jalan mereka menjumpai ke perkampungan para gali kelas
kakap. Tembangraras cemas. Ia tak habis pikir jika para pria bengis itu
mengetahui jika tamunya yang mengaku santri pengembara ini adalah
perempuan. Mereka pasti tak cuma merampok barang berhaganya, tapi juga
kehormatannya. kekhawatiran Tembangraras benar-benar terjadi. Para
perampok itu tahu ketika meraba-raba pakian Tembangraras untuk mengambil
barang berhaga yang dibawanya, salah seorang menyentuh bagian tubuh
kewanitaan putri jelita itu. Tapi Centini tak kehabisan akal. Dia
menyodorkan bokongnya, seraya menantang para pria itu agar memasukkannya
keduburnya. Ketika salah seorang hendak memasukkan ke dubur Centini,
abdi setia Tembangraras itu menyemburkan kentut semarnya hingga
terpentallah para pria di depannya dan dibuatnya kalang kabut.
Begitu lama Tembangraras dan Centini larut dalam
pengembaraan. Sang Tuan Putri putus asa. Ia menggali kuburnya sendiri
dengan tangannya yang sudah lemah. Ia membungkukkan tubuhnya dalam
posisi duduk dengan kaki selonjor. Centini membujuk tuan
junjunganya agar mengurungkan niatnya, tapi tak digubris. Tembangraras
memasuki alam roh, mengutus abdi setianya Centini ke cakrawala. Di sana
Tembangraras bertemu dengan Mangunarsa yang tak lain adalah Jayengsari
dan Rencangkapti, kedua adik Amongraga yang telah mati.
Atas kekuasaan Allah, Amongraga tiba-tiba
disadarkan jika semua saudaranya telah mati. Segera saja ia menghentikan
pertapaannya dan menemui mereka. Beruntung jenazah-jenazah itu belum
dimandikan. Di depan mayat itu Amongraga bersujud, dan ketiga mayat itu
bisa hidup kembali karena sebenarnya mereka cuma pingsan. Tembangraras
segera mengenali suaminya, sementara itu kedua adiknya yang terpisah
sejak mereka masih kecil, sama sekali tak mengenali jika yang ada
dihadapannya itu adalah kakaknya yang selama ini dicari. Tembangraras
memperkenalkan Amongraga kepada kedua adiknya.
Begitulah kisah pengembaraan panjang Amongraga yang
dikisahkan dalam jilid ke sembilan Centini di buku ini. Hingga akhirnya
ia bertemu dengan pengembara asal Cina yang beragama islam. Dia adalah
Endrasena. Amongraga sempat tegang menemui ratusan pasukan bersenjata di
belakang pengembara tampan itu.
“Endrasena! Saudaraku! Apa yang kamu lakukan di situ?”
“San kamu? Hai pangeran Giri! Jadi begitu, kamu menjauhi semua makhluk untuk mendekatkan diri kepadaNya. kamu berupaya berada di kehadiranNya tapi kamu belum bisa lepas dari dirimu sendiri!”
“San kamu? Hai pangeran Giri! Jadi begitu, kamu menjauhi semua makhluk untuk mendekatkan diri kepadaNya. kamu berupaya berada di kehadiranNya tapi kamu belum bisa lepas dari dirimu sendiri!”
Endrasena kemudian menantang Amongraga bermain
petak umpet. Bagi yang memenangkan permainan ini akan mendapat
kehadiranNya. Amongraga kalah. Di antara sinar kegelapan , Amongaraga
bersujud. Dengan suara terpatah-patah, dia mengakui kekalahannya.
Endrasena mengingatkan Amongraga bahwa dirinya terlalu berambisi kepada
jihad besarnya, tapi ia lupa akan jihad kecil.
“Jihad yang mana?” tanya Amongraga.
“Apa kamu lupa bagaimana ayah kita Sunan Giri, telah dikalahkan Sultan Agung?Tak tahukah kamu bahwa beliau telah wafat merana di enjara Mataram,” jawab Endrasena. Amongraga masih belum juga paham. Endrasena kini benar-benar menghilang dari pandangannya.
“Apa kamu lupa bagaimana ayah kita Sunan Giri, telah dikalahkan Sultan Agung?Tak tahukah kamu bahwa beliau telah wafat merana di enjara Mataram,” jawab Endrasena. Amongraga masih belum juga paham. Endrasena kini benar-benar menghilang dari pandangannya.
Amongraga dan Tembangraras pergi ke Mataram menemui
Aji Nyakrakusuma, panggilan Sultan Agung. Mereka menyatakan
keinginannya untuk mencari kedamaian. Keingiannya itu disambut dengan
santun oleh Sang Aji. Dikatakan oleh raja Mataram itu bahwa raja adalah
orang yang terlalubesar yang dilanda rasa takut hebat. Ayah Amongraga
mati karena terlalu menginginkan mahakuasa Allah ketimbang melayaninya.
“Badai telah menduduki tahta para raja,
Sebab untuk membuat gurun, Tuhan, Gusti kita semua.
Memulai dari raja dan mengakhiri pada angin.”
Sebab untuk membuat gurun, Tuhan, Gusti kita semua.
Memulai dari raja dan mengakhiri pada angin.”
Maka atas perintah Sang Aji kedua pasang suami
istri itu berubah menjadi ulat. Satu jantan dan satunya betina. Yang
jantan cincinnya berwarna gelap dan berbulu, yang betina gelangnya merah
dan gembur. Ulat yang jantan dimakan Sultan Agung yang akan menjadi
putranya dan kelak akan menjadi raja. Ulat yang betina dimakan Pangeran
Pekik, ipar sang raja, yang kelak akan menikahi sepupunya.
Tapi keturunan raja, yang diberi nama arab,
Sayidin, yang kemudiangkat menjadi raja Amangkurat I itu melakukan
pembantaian para ulama hingga membuatnya tak layak menerima gelar
Sultan. Ia mensinyalir ada persekonkolan untuk menjatuhkannya. Ia
memerintahkan prajuritnya membunuh siapa saja yang dicurigainya termasuk
pamannya sendiri, Pangeran Pekik. Ia membunuh para pejabat Tua dan
menggantikannya dengan yang lebih muda.
Persaingan perebutan kekuasaan pun terjadi antara
anak dan bapak. Pangeran Anom yang mendapatkan dukungan dari pangeran
dari pulau Madura melancarkan serangan ke Mataram. Sang raja melarikan
diri hingga akhirnya menemukan ajalnya dalam pelariannya sebelum
mencapai pesisir. Mayatnya dimakamkan di Tegalwangi. Di batu nisannya
tertulis, yang entah oleh tangan siapa: “Hampir mati pada dirinya
sendiri, hanya nafsu terakhirnya yang menjelma.”
****
Serat Centini, sama halnya dengan Serat Darmogandhul dan Suluk Gatholoco
pernah menjadi perdebatan sengit di kalangan umat muslim di nusantara.
Selain dituduh mengumbar seksualitas secara vulgar, mereka juga dituduh
menghina ajaran Islam. Pelecehan terhadap ajaran Islam itu dialamatkan
terhadap Serat Darmogandhul dan Suluk Gatholoco. Kedua karya ini sempat
dilarang beredar pada masa pemerintahan Orde Baru. Kedua karya ini
melukiskan potret “kaum abangan” yang awam terhadap Islam dan “kaum
santri” yang terlalu mendewakan syariat.
Kaum santri, dalam Suluk Gatholoco
karya pujangga dan ulama besar jawa Ranggawarsita, digambarkan begitu
mudah terpancing emosinya ketika menghadapi orang abangan macam
Gatholoco (dalam bahasa jawa artinya asal ngomong, asal njeplak).
Ini adalah gambaran kaum santri yang sebenarnya dalam penguasaan ilmu
agama masih dangkal, sehingga mereka begitu mudah memberikan cap “kafir”
kepada orang lain. Berbeda dengan Sunan Kalijaga yang
menyebarkan agama Islam dengan begitu lenturnya, bahkan bisa sambil
bercanda, seperti ketika dirinya mengajak Prabu Brawijaya V masuk Islam.
Sunan Kalijaga menjelaskan tentang islam, shalat dan makrifat layaknya
pasangan yang sedang bersenggama.
Dalam konteks
kekinian, karya-karya sastra besar Jawa itu bisa ditengok kembali untuk
dijadikan sebagai refleksi perkembangan agama Islam di Indonesia dewasa
ini. Bermunculannya gerakan-gerakan Islam yang cenderung radikal, yang
menghalalkan segala cara belakangan ini sudah tercerabut dari
ajaran-ajaran tasawuf Jawa yang arif dan bijaksana. Islam di Jawa dan
nusantara pada umumnya, adalah agama yang secara historis berpijak dari akar budaya lokal yang sarat dengan laku dan budi pekerti luhur.
Mencermati perkembangan dunia kesusasteraan
kontemporer di negeri ini, tampaknya mengalami kemunduran yang terlampau
jauh. Terutama dalam hal kebebasan berekspresi. Dunia sastra kita
sampai dengan hari ini masih sibuk mengkotak-kotakkan diri ke dalam
kubu-kubu: sastra seks, sastra islami atau sastra moralis dan amoral.
Masyarakat pembaca dan juga sastrawan terjebak dalam
penafsiran-penafsiran dangkal atas suatu teks. Mengukur nilai-nilai
sebuah karya sastra dengan ukuran moralitas yang semu.
Pertanyaanya, jika memang moral masih mau
dijadikan sebagai ukuran baik-buruknya sebuah karya sastra, apakah
dengan mengumbar seksualitas maka karya-karya sastra Jawa yang sudah
tersohor hingga ke belahan penjuru dunia itu, dapat dikatakan tidak
ber”moral”? Tidakkah mereka mengajarkan nilai-nilai budipekerti yang
luhur? Wallohu alam bisyhowab…
Judul : Nafsu Terakhir
Penulis : Elizabeth D. Inandiak
Penerbit: Galang Press
Cetakan : Kedua, 2007
Tebal : 190 halaman
Judul : Nafsu Terakhir
Penulis : Elizabeth D. Inandiak
Penerbit: Galang Press
Cetakan : Kedua, 2007
Tebal : 190 halaman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar